Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Gambar 2.1
Cara Pengambilan
Shale Gas
Gambar 1.1
Penampang Shale Gas

Berdasarkan karateristik geologinya, shale adalah batuan sedimen klastik berbutir halus yang tersusun atas
campuran antara mineral lempung dan fragmen kecil dari mineral lain seperti kuarsa, dolomit, dan kalsit. Di alam
umumnya shale akan berupa laminasi tipis yang sejajar dengan lapisan batuan. Shale gas adalah gas yang
terasosiasi/terperangkap dalam serpihan batuan shale dengan permeabilitas yang sangat kecil. Adanya Gas yang
diperoleh dari shale ini pertama kali diekstraksi di Fredonia, pada tahun 1821. Namun produksi shale gas untuk
industri baru dimulai pada tahun 1970-an. Ketika itu Amerika Serikat mulai mengalami penurunan cadangan gas
konvensional, yang memaksa negara itu untuk melakukan riset dan pengembangan baru. Tetapi dari serangkaian uji
coba, pengeboran shale gas pada era 1980 tersebut masih kurang ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell Energy
menemukan teknologi slick-water fracturing yang ekonomis.

Teknologi Pengambilan Shale Gas

Natural gas tidak akan mudah untuk mengalir ke vertical well karena shale memiliki permeabilitas yang
rendah dan mobilitas fluida pun akan sulit bergerak. Salah satu metode dalam memproduksi shale gas adalah dengan
menggunakan metode fracking. Penggunaan metode ini dilakukan karena letak dari shale gas berada dibawah poripori
batuan (shale formation) di kedalaman ≥1500 m, sehingga shale gas hanya bisa diperoleh dengan cara non
konvensional. Selain itu, lokasi keberadaan shale gas biasanya terletak pada daerah dengan porositas tinggi dan
permeabilitas yang rendah. Hal ini menyebabkan shale gas tidak bisa diproduksi dengan metode konvensional. Oleh
karena itu, maka harus digunakan metode non konvensional, salah satunya adalah hydraulic fracturing atau fracking.
Sejarah penggunaan metode Fracking pada dasarnya sudah digunakan pada tahun 1940-an agar diperoleh
eksplorasi yang ekonomis. Metode ini bertujuan untuk menstimulasi aliran gas bumi yang terperangkap dalam batuan
dikedalaman sekitar 7000-14000ft dibawah permukaan tanah. Teknik fracking diawali dengan pengeboran secara
vertikal hingga sampai ke dalaman formasi shale (diatas 7000ft) lalu diikuti dengan pengeboran horizontal (hingga
4000ft) yang menembus formasi shale.
Dimana drill bit pada saat pengeboran sudah menacapai titik sumur vertical pengeboran akan di lanjutkan
secara horizontal sejauh 1-2 kilometer dengan alasan untuk dapat mengambil area pay zone sebanyak mungkin.
Dengan mengebor secara horizontal, sumur bor dapat memotong lebih banyak fracture yang ada secara alami di
reservoir dan arah jalur bor pun berdasarkan tren fracture yang di ketahui di setiap area. Selama proses pembuatan
sumur baik saat proses casing dan cementing, minyak dan gas harus dipastikan aman dan tidak mencemari lingkungan
seperti mencemari air tanah yang digunakan manusia untuk perluan sehari-hari, karena proses awal pengeboran
dilakukan hingga dibawah kedalaman air tanah atau subsurface aquifer.
Bagian casing akan di hubungkan seluruhnya di dalam wellbore kemudian di injeksikan cement diantara
sumur yaitu diantara casing dan formasi guna melindungi casing tersebut memalui annulus, setelah cement mengeras
selajutnya di uji sifat kekerasannya dan pressure integrity. Kemudian akan dilakukan pengeboran lagi setelah cement
mengeras dan surface casing lulus pressure test. Setelah main hole selesai dibor selanjutnya bor kembali melewati
surface casing kebawah sampai menuju reservoir. Dan casing string lain dipasangkan atau di hubungkan didalam

1
surface casing sampai ke bottom hole dan di semen kembali, kemudian intermediate casing di pasang dengan cara
yang sama seperti casing string sebelumnya. Pada kedalaman yang ditentukan, sumur kemudian dibor sampai interval
reservoir dalam bidang yang horizontal sampai sejauh target yang sudah ditetukan. Setelah drilling selesai selanjutnya
dipasang production casing yang berada didalam wellbore.

Gambar 2.2
Penampang casing
pengeboran shale gas

Sebelum melakukan hydraulic fracture, perlu dilakukan desain terlebih dahulu. Beberapa hal yang harus
dilakukan adalah pemilihan fluida perekah, propan, penentuan tekanan injeksi, penentuan model perekahan, dan
penentuan geometri rekahan. Setelah parameter di desain, kemudian dilakukan analisis peramalan produksi dan juga
keekonomian. Parameter yang di desain tersebut bergantung juga pada mekanika batuan, kedalaman, ketebalan
formasi, tekanan overbudden formasi, tekanan reservoir, properti reservoir, dan properti fluida.
Volume fracking fluid yang digunakan umumnya mencapai 7 juta galon dengan penerapan injeksi fracking
fluid ini dapat dilakukan hingga 18 kali untuk satu sumur dengan tujuan memastikan sumur tesebut dapat beroperasi
dengan ekonomis. Injeksi fracking fluid yang mengandung aditif ini pada dasarnya akan membuat pori atau lubang
buatan menjadi semakin membesar dan bercabang. Injeksi kemudian diikuti dengan penarikan atau pemompaan
kembali fracking fluid tersebut ke atas permukaan. Fracking fluid yang diangkat kepermukaan kembali ini sering
disebut dengan produced water atau flowback water. Produced water yang merupakan limbah cair dari proses
eksplorasi dengan teknik fracking. Limbah cair ini kemudian disimpan dalam suatu pit dan kemudian dibiarkan
terevaporasi dengan dibantu evaporation sprayers. Pada prakteknya, penarikan kembali fracking fluid ke permukaan
hanya berhasil mengembalikan 25% sampai 50% dari volume yang diinjeksikan sehingga dapat disimpulkan bahwa
sisa fracking fluid yang tidak dapat di recovery masih berada di dalam shale. Setelah proses penarikan kembali
fracking fluid selesai dilakukan, maka selanjutnya gas dalam shale dapat diambil secara ekonomis, dengan syarat
selama sumur gas masih aktif berproduksi hydraulic fracturing akan dilakukan sampai 18 kali. Adapun beberapa
contoh bahan kimia yang digunakan dalam fracking fluid diantaranya.

2
Gambar 2.3
Tabel Bahan Aditif
Potensi Shale Gas di Indonesia

3
Gambar 3.1
Cekungan Shale Gas
di Indonesia

Berdasarkan data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan shale gas di Indonesia lebih besar
dibandingkan gas konvensional, yang mana hingga saat ini terdapat tujuh cekungan di Indonesia yang mengandung
shale gas dan satu cekungan berbentuk klasafet formation atau sumber utama hidrokarbon. Cekungan terbanyak
berada di Sumatera, yaitu berjumlah tiga cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale, dan Gumai Shale. Sementara
itu, di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-masing berada di dua cekungan. Selanjutnya, di Papua, berbentuk
klasafet formation. Dari tujuh cekungan tersebut, potensi shale gas Indonesia sangat tinggi, diperkirakan mencapai
574 triliun kaki kubik atau TSCF. Lebih besar jika dibandingkan gas metana batubara (Coal Bed Methane) yang hanya
453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF. Sedangkan hasil kajian EIA/ARI dalam laporannya tentang World Shale Gas
pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa potensi shale gas di Indonesia utamanya terkandung dalam formasi endapan
laut dan sebagian pada formasi batuan serpih non marine yang berupa coaly shale deposits. Adapun Potensi terbesar
di Indonesia terdapat di Cekungan Sumatera Tengah, Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Kutai dan Cekungan
Tarakan dengan endapan batuan serpih tebal yang umumnya merupakan endapan lakustrin. Cekungan– cekungan
tersebut adalah merupakan cekungan-cekungan penghasil hidrokarbon konvensional yang cukup besar, dengan
estimasi potensi shale gas sebesar 46 TSCF.

 Potensi Shale Gas di Sumatra Utara

Gambar 3.2
Methodology

4
Gambar 3.3
Data Cekungan Shale Gas di
Sumatra Utara

Gambar 3.4
Lokasi Cekungan
Sumatra Utara

Gambar 3.5
Stratigrafi Cekungan
Sumatra

• Formasi Baong

5
Gambar 3.6
Formasi Baong

6
• Formasi Belumai

Gambar 3.7
Formasi Belumai

• Formasi Bampo

7
Gambar 3.8
Formasi Bampo

• Kematangan Thermal dan Potensi Source Rock Sumatra Utara

8
Gambar 3.9
Tabel Kemantangan dan Potensi Source Rock

 Potensi Shale Gas di Kalimantan Selatan

9
Cekungan Barito

Gambar 3.10
Lokasi Cekungan Barito

Formasi Tanjung

Gambar 3.11
Formasi Tanjung

Gambar 3.12 Prospek


Formasi Tanjung

10
 Potensial Cekungan Sumatra Selatan

Gambar 3.13
Lokasi Cekungan Sumatra Selatan

11
• Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan

Gambar 3.14
Tabel Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan
 Potensi Bagian Cekungan Jambi
• Formasi Talang Akar
- TOC lebih besar daripada 1 %.
- Index Hydrogen (HI) lebih besar daripada 100.
- Vitrinite Refkectance lebih besar daripada 1,3 % (untuk window dry gas).
- Ketebalan net shale 75.
- Tipe kerogen I/II/III.
- Dari kurva HI Vs Tmax kita dapat mengetahui bahwa tipe kerogen di Formasi Talang Akar adalah Tipe II
dan III yang mana meupakan oil-gas prone and gas prone.
- Source rock derived from the form Lahat formation lacustrine and talang akar formation in the form of
terrestrial coal and coal shale.
- Source rock good to excellent, highly potential ranging from 1,5 to 8 wt % TOC.
- Direct hydraulic fracturing method on the shale layer of a formation, requiring the information of index of
shale brittle.

12
- Stratigraphically, Jambi sub-basin underlain by pre-Tertiary rocks there op consists of Lahat Formation.
(Eocene-Oligocene), then Talang Akar Formation that deposited with unconformity (Oligo-Miocene), and
then continued on it deposited Gumai Formation ( Middle Miocene), Air Benakat -693- CINEST 16-148
(Upper Miocene), Muara Enim (Pliocene), and Kasai (Pleistocene)
- Singkapan pada Formasi Talang akar meruppakan shale yang memiliki interkalasi dari sandstone yang
membuat batuan di formasi ini yaitu Brown to black shale sized clay-silt, consisting of quartz, silica cement
with bedding parallel sedimentary structures; Sandstones, gray, coarse grain size, consisting of quartz,
silica cement, parallel lamination, lenticular, and bioturbation. Dengan adanya Spesies pollen yaitu
Monoporites annulatus, Dicolpopollis sp, Laevigatosporites sp, spVerrucatosporites,Pteris, and
Acrhstichum aureum.
- Formasi Talang Akar berumur lower mioecene.
- Berikut data dari Talang Akar Formation:
TOC 6,40%
Ro 0,37
HI 572 mgHc/g
TOC & O2 Index 19 mgHc/g
Tmax 428 oC
Quartz 46%
Brittleness Index
Smectite 2% FROM XRD
Illite 16% ANALYSIS
kaolinite 26%
Organic Carbon Content average above 1%
range 1,34% - 2.32%
Kerogen Type II & III
Interval reservoir petrophysical analys 5367,5 - 4054,2 ft
i gross 1313
Net shale 1125,4
N/G 0,14
Sw 0,5
Phi 0,26
Bulk Volume of TAF in "MB" Area 5180465025,78 acre ft
78,62 scf/ton
Free Gas Content porosity Avg 0,04
Sw Avg 0,5
Bulk Density 2 ,45 gr/cm 3
1/Bg 300
Constant 32,1052
TOC (%) Avg 1,6
Adsorbed Gas content 49 scf/ton
Gas In place 1110295895

Referensi

Fatahillah, M. R. (2012, Oktober). Efek Teknik Hydraulic Fracturing Dalam Ekstraksi Shale Gas Di Amerika
Serikat Pada Air Tanah. Dipetik Maret 10, 2019, dari Scribd:
https://id.scribd.com/document/110615231/Efek-Teknik-Hydraulic-Fracturing-Dalam-Ekstraksi-
ShaleGas-Di-Amerika-Serikat-Pada-Air-Tanah
Hartanto, V. (2017). LEMIGAS PILOT PROJECT OF SHALE GAS EXPLORATION. Dipetik Maret 12, 2019, dari
Docplayer: https://docplayer.info/34184414-Lemigas-pilot-project-of-shale-gas-exploration.html

13
Listriyanto, d. (2016). Shale Gas Potential of Talang Akar, South Sumatra Basin Case Study: The "MB" Area,
Batanghari Regency, Jambi Province, Indonesia. International Symposium on earth Science and
Technology 2016.
Pengetahuan serta Informasi tentang MIGAS, Energi Terbarukan dan Pengilangan. (2015, September 29).
Penerapan Metode Fracking Pada Sumur Minyak dan Gas. Dipetik Maret 11, 2019, dari Proses Industri:
https://www.prosesindustri.com/2015/09/penerapan-metode-fracking-pada-sumur.html?m=1
Perdalpro. (2015, Mei 14). Potensi Shale Gas di Indonesia. Dipetik Maret 13, 2019, from Wordpress:
https://perdalpro.wordpress.com/2015/05/14/pothensi-shale-gas-di-indonesia/
Tempo.co. (2012, Februari 6). Amerika Tertarik Kembangkan Shale Gas di Indonesia. Dipetik Maret 11, 2019, dari
Tempo: https://bisnis.tempo.co/read/382104/amerika-tertarik-kembangkan-shale-gas-di-indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai