Anda di halaman 1dari 15

GAWAT JANIN

Gawat janin menunjukkan suatu keadaan bahaya relatif dari janin yang secara serius
mengancam kesehatan janin.1 Istilah gawat janin (fetal distress) terlalu luas dan kurang tepat
menggambarkan situasi klinis. Ketidakpastian dalam diagnosis gawat janin yang didasarkan
pada interpretasi pola frekuensi denyut jantung janin menyebabkan munculnya istilah- istilah
deskriptif misalnya "reassuring" (meyakinkan) atau "nonreassuring" (meragukan, tidak
meyakinkan). 2 Gawat janin juga umum digunakan untuk menjelaskan kondisi hipoksia yang
bila tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu menyebabkan kerusakan atau
kematian janin jika tidak diatasi secepatnya atau janin secepatnya dilahirkan. Hipoksia ialah
keadaan jaringan yang kurang oksigen, sedangkan hipoksemia ialah kadar oksigen darah
yang kurang. Asidemia ialah keadaan lanjut dari hipoksemia yang dapat disebabkan
menurunnya fungsi respirasi atau akumulasi asam. 3

Kegawatan yang kronik dapat timbul setelah suatu periode waktu yang panjang
selama periode antenatal bila status fisiologis dari unit ibu-janin-plasenta yang ideal dan
normal terganggu. Hal ini dapat dipantau melalui evaluasi dari pertumbuhan janin intrauteri,
keadaan biofisikal janin, cordosintesis, dan velosimetri Doppler. (springer). Gawat janin
akut disebabkan oleh suatu kejadian yang tiba-tiba yang mempengaruhi oksigenasi janin 1.
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia (kurang oksigen) pada janin. Tanpa
oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan
menunjukkan deselerasi (perlambatan) lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap,
glikolisis (pemecahan glukosa) anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang
menurun.4
Sebagian besar diagnosis gawat janin didasarkan pada pola frekuensi denyut jantung.
Penilaian janin ini adalah penilaian klinis yang sarna sekali subyektif dan pastilah memiliki
kelemahan dan harus diakui demikian. Salah satu penjelasannya adalah bahwa pola-pola ini
lebih merupakan cerminan fisiologi daripada patologi janin. Pengendalian frekuensi denyut
jantung secara fisiologis terdiri atas beragam mekanisme yang saling berkaitan dan
bergantung pada aliran darah serta oksigenasi. Selain itu, aktivitas mekanisme-mekanisme
pengendali ini dipengaruhi keadaan oksigenasi janin sebelumnya, seperti tampak pada
insufisiensi plasenta kronik, sebagai contoh. Yang juga penting, jika janin menekan tali
pusat, tempat aliran darah terus menerus mengalami gangguan. Selain itu, persalinan normal
adalah proses yang menyebabkan janin mengalami asidemia yang semakin meningkat.
Dengan demikian, persalinan normal adalah suatu proses saat janin mengalami serangan
hipoksia berulang yang menyebabkan asidemia yang tidak terelakkan. Dengan kata lain, dan
dengan beranggapan bahwa "asfiksia" dapat didefinisikan sebagai hipoksia yang
menyebabkan asidemia, persalinan normal adalah suatu proses yang menyebabkan janin
mengalami asfiksia.2

ETIOPATOFISIOLOGI
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat janin
terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Penurunan aliran darah plasenta
akibat kontraksi dapat menyebabkan kompresi terhadap tali pusat sehingga pada wanita yang
mengalami persalinan lama hal ini dapat menyebabkan kegawatan pada bayi melalui
mekanisme di atas. Kegawatan akut dapat terjadi akibat abrupsio plasenta, prolaps tali pusat
(terutama dengan presentasi bokong), keadaan hipertonik uterine dan penggunaan oksitosin.
Hipotensi dapat terjadi akibat anestesi epidural atau posisi supine, dimana hal ini dapat
mengurangi aliran darah vena cava kembali ke jantung. Penurunan aliran darah pada
hipotensi dapat menyebabkan kegawatan pada janin.
Hendaknya kita dapat menganalisa kondisi janin dan ibu untuk kemudian membuat
pemeriksan khusus dalam membuktikan kebenaran analisa tersebut. Kondisi klinik yang
berkaitan dengan hipoksia ialah :
1. Kelainan pasokan plasenta : solutio plasenta, plasenta previa, postterm, prolapsus tali
pusat, lilitan tali pusat, pertumbuhan janin terhambat, insufisiensi plasenta
2. Kelainan arus darah plasenta : hipotensi ibu, hipertensi, kontraksi hipertonik
3. Saturasi oksigen ibu berkurang: hipoventilasi, hipoksia, penyakit jantung
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang, maka janin akan mengalami retardasi organ
bahkan risiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya redistribusi aliran darah yang akan
ditujukan pada organ penting seperti otak dan jantung dengan mengorbankan visera (hepar
dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion yang berkurang (oligohidramnion).
Bradikardia yang terjadi merupakan mekanisme dari jantung dalam bereaksi dari baroreseptor
akibat tekanan (misalnya hipertensi pada kompresi tali pusat) atau reaksi kemoreseptor akibat
asidemia. 3
Skema patofisiologi hipoksia dan asidosis janin
Hal – hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan keadaan Gawat Janin:

1. Denyut jantung janin (DJJ)


Dellinger dkk. (2000) secara retrospektif menganalisis pola frekuensi denyut jantung
janin intrapartum pada 898 kehamilan dengan menggunakan suatu sistem klasifikasi yang
mereka rancang sendiri. Pola frekuensi denyut jantung janin selarna persalinan sebelum
pelahiran diklasifikasikan sebagai "normal", "stres", atau "gawat". "Gawat" janin didiagnosis
pada 8 (1 persen) rekaman dan 70 persen diklasifikasikan sebagai "normal". Hampir sepertiga
adalah pola intermediet. Yang digolongkan ke dalam "gawat" janin antara lain tidak adanya
variabilitas plus deselerasi larnbat atau deserasi variabel sedang sampai parah atau denyut
basal kurang dari 110 dpm selama 5 menit atau lebih. Hasil akhir seperti seksio sesarea,
asidemia janin, dan rawat inap di ruang perawatan intensif secara bermakna berkaitan dengan
pola frekuensi denyut jantung janin. Para penulis ini menyimpulkan bahwa sistem klasifikasi
mereka secara akurat dapat memprediksi hasil akhir normal bagi janin serta membedakan
gawat janin yang sesungguhnya. 2
Singkatnya, setelah lebih dari 30 tahun pengalaman dengan interpretasi pola frekuensi
denyut jantung janin, akhirnya ditemukan bukti bahwa beberapa kombinasi pola frekuensi
denyut jantung janin dapat digunakan untuk mengidentifikasi janin normal dan abnormal
parah. Pola gawat janin yang sejati tampaknya berupa tidak adanya variabilitas denyut-demi-
denyut disertai deselerasi berat atau perubahan frekuensi basal persisten atau keduanya. Salah
satu penjelasan mengapa manfaat pemantauan frekuensi denyut jantung sulit dibuktikan
secara ilmiah adalah gawat janin semacam itu jarang terjadi sehingga sulit dilakukan uji
klinis yang sahih (Hornbuckle dkk., 2000). 2
Pemantauan dan pencatatan denyut jantung janin yang segera dan kontinyu dalam
hubungan dengan kontraksi uterus memberikan suatu penilaian kesehatan janin yang sangat
membantu selama persalinan. Akselerasi periodik pada gerakan janin merupakan keterangan
dari reaktifitas janin yang normal.2
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin:
1.Bradikardi.
Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.
2.Takikardi.
Akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>160) dapat dihubungkan dengan demam
pada ibu yang sekunder terhadap infeksi intrauterine. Prematuritas atropine juga dihubungkan
dengan denyut jantung janin yang meningkat.
3.Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun.
Yang berarti depresi system saraf otonom janin oleh medikasi ibu (atropine , skopolamin,
diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesic narkotik).
4.Pola deselerasi.
Deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi
uteriplasenter. Deselerasi yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus adalah
lebih sering dan muncul untuk menunjukkan kompresi sementara waktu saja dari pembuluh
darah umbilicus. Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi lanjut,
penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.4

2. Air ketuban hijau dan kental (mekonium)


Mekonium akan keluar dari usus pada keadaan stres hipoksia, telah terbukti bahwa
pasase mekonium disebabkan karena rangsangan saraf dari saluran pencernaan yang sudah
matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi matur, terjadi stimulasi vagal dari
kepala atau kompresi tali pusat yang akan menyebabkan timbulnya peristaltik dan relaksasi
dari spinkter ani yang menyebabkan keluarnya mekonium. Walaupun etiologinya belum
dipahami dengan baik, namun efek dari mekonium telah diketahui. Pasase mekonium pada
janin yang matur difasilitasi oleh myelinisasi serabut saraf, peningkatan tonus parasimpatis
dan bertambahnya konsentrasi motilin (suatu peptida yang yang merangsang kontraksi
usus). Ditemukan adanya hubungan antara kejadian gawat janin dengan peningkatan kadar
motilin. Mekonium secara langsung merubah air ketuban, menekan efek antibakteri dan
selanjutnya meningkatkan risiko infeksi perinatal, juga dapat mengiritasi kulit janin sehingga
meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun komplikasi yang paling berbahaya dari
keluarnya mekonium in utero adalah aspirasi air ketuban yang mengandung mekonium
sebelum, selama dan sesudah persalinan.
Mekonium menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas. Mekonium yang
teraspirasi ke jalan nafas akan menimbulkan fenomena katup bola dimana udara yang
melewati mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal pada saat
ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi ekspirasi paru, kapasitas residu fungsional dan
diameter anteroposterior rongga dada.
Udara yang terjebak di bagian distal saluran pernafasan menyebabkan hiperekspansi
alveoli dan atelektasis dan menimbulkan terjadinya ventilasi yang tidak seimbang dan shunt
intrapulmoner. Kebocoran udara terjadi pada sekitar 50 % bayi dengan aspirasi mekonium,
dan umumnya terjadi pada saat dilakukan tindakan resusitasi. Hipertensi pulmonar
merupakan komplikasi yang sering ditemukan. Aspirasi mekonium merupakan penyebab
utama dari penyakit yang berat dan kematian pada bayi baru lahir. Pendidikan obstetri
sepanjang abad ini mengajarkan konsep bahwa keluamya mekonium kemungkinan
merupakan peringatan adanya asfiksia janin. J.Whitridge Williams mengamati pada tahun
1903 bahwa "tanda khas ancaman asfiksia adalah keluamya mekonium". Ia menyatakan
bahwa keluarnya mekonium disebabkan oleh "relaksasi otot sfingter ani yang dipicu oleh
kurangnya aerasi darah janin". Namun, para ahli kebidanan juga telah lama menyadari bahwa
deteksi mekonium selama persalinan menimbulkan masalah dalam memprediksi asfiksia atau
gawat janin. Memang, walaupun 12 sampai 22 persen persalinan pada manusia dipersulit oleh
mekonium, hanya sedikit yang mengakibatkan kematian bayi. Dalam sebuah penelitian baru-
baru ini di Parkland Hospital, mekonium terbukti sebagai bahaya obstetris "risiko-rendah"
karena angka kematian perinatal yang disebabkan oleh mekonium adalah 1 kematian per
1000 kelahiran hidup (Nathan dkk.,1994). Tiga teori diajukan untuk menjelaskan keluamya
mekonium dari janin dan mungkin, sebagian menjelaskan korelasi yang lemah antara deteksi
mekonium dan mortalitas bayi. Penjelasan patologis menyatakan bahwa janin mengeluarkan
mekonium sebagai respons terhadap hipoksia, dengan demikian mekonium merupakan tanda
gangguan janin (Walker, 1953). Penjelasan lain, keluamya mekonium in utero mungkin
merupakan pematangan normal saluran cerna di bawah kontrol saraf (Mathews dan Warshaw,
1979). Ketiga, keluamya mekonium juga terjadi setelah stimulasi vagus akibat terjepitnya tali
pusat yang sering terjadi tetapi berlangsung singkat dan menyebabkan peningkatan peristalsis
(Hon et al., 1961). Dengan demikian, pengeluaran mekonium oleh janin juga mungkin
mencerminkan proses fisiologis. 2
Ramin dan rekan (1996) mempelajari hampir 8000 persalinan yang air ketubannya
tercemar mekonium di Parkland Hospital. Sindrom aspirasi mekonium secara bermakna
berhubungan dengan asidemia janin saat lahir. Hal-hal lain yang secara bermakna berkaitan
dengan aspirasi antara lain seksio sesarea, pemakaian forseps untuk mempercepat kelahiran,
kelainan frekuensi denyut jantung intrapartum, penurunan skor Apgar, dan perlunya bantuan
ventilasi saat lahir. Analisis jenis asidemia janin berdasarkan gas darah tali pusat
menunjukkan bahwa gangguan janin yang menyertai sindrom aspirasi mekonium merupakan
suatu kejadian yang akut karena sebagian besar janin asidemik lebih memperlihatkan
peningkatan abnormal PC02 daripada asidemia metabolik murni. 2
Yang menarik, hiperkarbia pada janin domba terbukti memicu janin tersengal-sengal
(gasping) dan menyebabkan peningkatan inhalasi cairan amnion (Dawes dkk., 1972).
Jovanovic dan Nguyen (1989) mengamati bahwa mekonium yang terhirup ke dalam paru
menyebabkan sindrom aspirasi hanya pada janin hewan yang mengalami asfiksia. Ramin dan
rekan (1996) berhipotesis bahwa patofisiologi sindrom aspirasi mekonium melibatkan, tetapi
tidak terbatas pada: hiperkarbia janin-yang merangsang respirasi janin sehingga terjadi
aspirasi mekonium ke dalam alveolus, dan kerusakan parenkim paru akibat asidemia yang
memicu kerusakan sel alveolus. Dalam skenario patofisiologi ini, mekonium dalam cairan
amnion lebih merupakan suatu bahaya potensial yang terdapat di lingkungan janin daripada
menjadi penanda sudah terjadinya suatu gangguan. Rangkaian proses patofisiologi yang
dihipotesiskan ini tidak bersifat menyeluruh, karena tidak memperhitungkan sekitar separuh
kasus sindrom aspirasi mekonium dengan janin yang tidak mengalami asidemia saat lahir.
Disimpulkan bahwa tingginya insiden ditemukannya mekonium dalam cairan amnion selama
persalinan sering mencerminkan pengeluaran isi saluran cerna janin yang merupakan proses
fisiologis normal. Namun, mekonium ini dapat menjadi suatu bahaya potensial lingkungan
apabila disertai asidemia janin. Yang penting, asidemia janin tersebut terjadi secara akut
sehingga aspirasi mekonium tidak dapat diperkirakan dan besar kemungkinannya tidak dapat
dicegah. 2

3. Pemeriksaan pH darah janin


Contoh darah janin memberikan informasi yang objektif tentang status asam basa
janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat menjadi begitu sensitive terhadap perubahan-
perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat diduga bahkan bila janin itu
dalam keadaan sehat dan hanya memberi reaksi terhadap stress dari kontraksi uterus selama
persalinan. Oleh karena itu, pengukuran pH kapiler janin dikombinasikan dengan pemantauan
denyut jantung janin memberikan informasi kesehatan janin yang dapat dipercaya
dibandingkan jika hanya melakukan pemantauan denyut jantung janin saja. 4
Pengambilan contoh darah janin diindikasikan bilamana pola denyut jantung janin
abnormal atau kacau. Jika pH kulit kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini menandakan pH
normal. Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20 menandakan hipoksia janin
dengan asidosis. Jika hal ini terdeteksi maka persiapan kelahiran segera dilakukan.
Seksiosesaria dianjurkan, kecuali jika kelahiran pervaginam sudah dekat. 1,7
Jika terjadi pH patologis, hal ini membuat rangsangan pada kemoreseptor, yang
mengakibatkan :
a) Takikardi
b) Irama detak jantung irreguler ; rangsangan saraf simpatikus dan saraf vagus yang
bersamaan
c) Detak jantung menurun dan irama tidak teratur
d) Rangsangan saraf vagus mempengaruhi sfingter ani terbuka sehingga mekonium
keluar
e) Metabolisme anaerobik membuat cadangan glukosa menurun dan kontraksi melemah
sehingga terjadi kegagalan total dan janin mati.

GEJALA DAN TANDA


A. Gawat Janin Sebelum Persalinan
Gerakan janin menurun, pasien mengalami kegagalan dalam pertambahan berat badan
dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang lebih kecil daripada umur kehamilan yang
diperkirakan memberi kesan retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion.
Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor risiko tinggi, masalah-masalah obstetri, persalinan
prematur atau lahir mati dapat memberi kesan suatu peningkatan risiko gawat janin. Faktor-
faktor risiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung,
postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, isoimunisasi Rh dan penyakit ginjal. 1
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin sepanjang:
(1) denyut dasar dalam batas normal;
(2) variabilitas denyut ke denyut normal,
(3) akselerasi terjadi sesuai gerakan janin, dan
(4) tidak ada deselerasi lanjut dengan adanya kontraksi uterus.

Untuk mengetahui keterangan kesehatan janin dapat dilakukan Non-stress test atau
pun contraction stress test.
1. Non-stress test atau Tes nonstres (TNS) merupakan tindakan observasi dari respon denyut
jantung janin terhadap pergerakan janin memberikan suatu evaluasi yang cepat dari
kesejahteran janin selama periode antepartum. Pasien diletakkan pada posisi semi-Fowler
untuk menghindari hipotensi telentang. Transduser denyut jantung eksterna dan
tokodinamometer dipasang pada abdomen. Tekanan darah diperiksa sesering mungkin. 1,2
Pergerakan janin direkam. Dapat terjadi dua pola : 1,2
a) Pola reaktif yaitu dua atau lebih akselerasi denyut jantung janin dari 15 denyut per
menit yang berlangsung sedikitnya 15 detik selama suatu periode tes 20 menit. Garis
dasar denyut jantung berkisar antara 110 dan 160 denyut per menit dengan variabilitas
garis dasar antara 5 dan 15 denyut per menit. Suatu pola reaktif tampaknya
merupakan suatu indikator yang dapat dipercaya dari kesejahteraan janin.
b) Pola nonreaktif yaitu tidak adanya akselerasi denyut jantung janin di atas suatu
interval 40 menit. Walaupun garis dasar denyut jantung janin dapat berkisar antara
110 dan 160 denyut, variabilitas garis dasar berkurang sampai kurang dari 5 denyut
per menit. Penjelasan terhadap pola nonreaktif meliputi asfiksia, medikasi maternal,
anomali janin dan keadaaan istirahat yang memanjang.
2. Contraction Stress Test
Contraction Stress Test atau Tes stres kontraksi atau OCT (oxytocin challenge
test) bertujuan untuk menilai cadangan plasenta untuk penghantaran oksigen ke janin dan
mendeteksi insufisiensi uteroplasenter melalui observasi respon denyut jantung terhadap
kontraksi- kontraksi uterus spontan atau yang diinduksi. Pasien diletakkan pada posisi semi-
Fowler untuk menghindari hipotensi telentang, dan monitor eksterna yang tersedia
ditempatkan pada abdomen untuk merekam kontraksi uterus. Pertama-tama tekanan darah ibu
diperiksa dan selanjutnya setiap sepuluh menit selama pengujian. 1,2
Rekaman batas dasar denyut jantung janin harus diperoleh, baik dengan tranduser
ultrasonik atau dengan elektroda EKG janin abdominal. Akselerasi denyut jantung janin
berkaitan dengan pergerakan janin dicatat seperti juga variabilitas batas dasar denyut jantung
dan batas dasar aktivitas uterus. 1,2
Suatu penolakan yang adekuat dianggap tiga kontraksi uterus, masing-masing ber
langsung 40-60 detik, selama interval sepuluh menit. Apabila garis dasar aktivitas uterus
tidak adekuat untuk menyokong penolakan yang cukup, perangsangan dengan oksitosin
dimulai dengan 0,5 mU/menit dengan pompa infus intravena. Infus dinaikkan setiap 15 menit
sampai timbul tiga kontraksi dalam interval sepuluh menit. Perangsangan puting susu
merupakan suatu alternatif terhadap oksitosin intravena. 1,2
Kontraindikasi terhadap perangsangan oksitosin meliputi seksio sesarea klasik
sebelumnya, plasenta previa, ketuban pecah dini, kehamilan ganda, dan inkompetensi serviks.
Hasil test dapat menunjukkan: 1,2
a) Tes Negatif: Tidak ada deselerasi lanjut dari denyut jantung janin yang teramati de
ngan tiga kontraksi selama suatu interval sepuluh menit. Suatu tes negatif dianggap
merupakan suatu perkiraan yang dapat dipercaya dari kesejahteraan janin.
b) Tes Positif: Adanya deselerasi lanjut persisten dan konsisten dengan tiga kontraksi
uterus selama interval 10 menit. Karena tes positif dapat mewakili hilangnya
cadangan uteroplasenter, kelahiran biasanya dianjurkan bila keadaan memberi kesan
bahwa bayi akan jauh lebih baik dalam perawatan daripada di dalam uterus. Suatu tes
stres yang positif tidak selalu berarti bahwa unit fetoplasenter tidak dapat mentolerir
persalinan; sebanyak 20%-40% pasien dengan tes stres yang positif dapat tidak
kontinu memperlihatkan deselerasi lanjut bila denyut jantung selama persalinan
diamati dengan suatu elektroda yang ditempatkan pada kulit kepala janin (scalp
electrode). Pada peninjuauan kembali tes stres dapat dianggap sebagai suatu tes
positif palsu. Penjelasan yang mungkin meliputi hipotensi terlentang, aktivitas uterus
yang berlebihan dan faktor-faktor teknik.
c) Tes Kecurigaan atau Ekuivokal: Kadang-kadang deselerasi lanjut yang tidak per
sisten dengan semua kontraksi uterus dianggap ekuivokal (tidak tegas). Tes ini dapat
diulang dalam 24 jam.
d) Hiperstimulasl: Deselerasi denyut jantung janin dikaitkan dengan aktivitas uterus
yang tinggi. Tes ini dapat diulang dalam 24 jam.
e) Tes yang tidak memuaskan: data aktivitas uterus dan denyut jantung tidak adekuat
untuk menegakkan tidak adanya deselerasi lanjut. Tes tidak memuaskan paling
cenderung ditemukan bila pasien gemuk atau bayi-bayi yang aktif tidak seperti
biasanya. Tes ini diulangi dalam 24 jam.
Pada peta gerakan janin didapatkan gerakan janin yang berkurang merupakan tanda
dini dari gawat janin. Rekaman gerakan janin harian dapat membantu dalam evaluasi
kehamilan risiko tinggi. 1
Pada pemeriksaan ultrasonografi, dilakukan pengukuran diameter biparietal secara
seri dapat mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin. Gerakan
pernapasan janin, aktivitas janin dan volume cairan ketuban memberikan penilaian tambahan
dari kesehatan janin. Oligohidramnion memberi kesan anomali janin atau retardasi
pertumbuhan. Sonografi dapat juga mengidentifikasi kehamilan ganda dan anomali janin. 1
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu pengukuran fungsi janin
dan plasenta, karena pembentukan estriol memerlukan aktivitas dari enzim-enzim dalam hati
dan kelenjar adrenal janin seperti dalam plasenta. Karena kehamilan berlanjut, kadar estriol
meningkat. Kadar estriol yang normal merupakan indikator dari unit fungsional fetoplasental
normal dan menentramkan keadaan kesehatan janin. 1
HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu jika didapatkan Kadar 4 meg/ml
atau kurang setelah kehamilan 30 minggu memberi kesan fungsi plasenta yang abnormal dan
janin dalam bahaya. 1
Amniosentesis didapatkan mekonium dalam cairan amnion. Arti dari mekonium
adalah tidak tentu dan kontroversial. Banyak yang percaya bahwa mekonium dalam cairan
amnion menunjukkan stres patologis atau fisiologis terhadap janin, sementara yang lainnya
percaya bahwa pasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan stimulasi vagal temporer
tanpa bahaya yang mengancam. Penetapan rasio lesitinsfingomielin (rasio LIS) memberikan
suatu perkiraan maturitas janin. 1

B. Gawat Janin Selama Persalinan


Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa oksigen yang
adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi
lanjut pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam
laktat dengan pH janin yang menurun. 1
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat janin. Tetapi,
biasanya tidak ada gejala-gejala subjektif. Seringkali indikator gawat janin yang pertama
adalah perubahan dalam pola denyut jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya
variabilitas, atau deselerasi lanjut). Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau
kontraksi uterus yang hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan
asfiksia janin. 1

PENATALAKSANAAN DAN EDUKASI


Pada gawat janin selama kehamilan, keputusan harus didasarkan pada evaluasi
kesehatan janin in utero dan maturitas janin. Potensi untuk kehidupan ekstrauterin harus
dipertimbangkan terhadap risiko insufisiensi plasenta intrauterin. Bila seorang pasien
khawatir mengenai gerakan janin yang menurun, pemantauan denyut jantung janin
atau oxytocin challenge test sering memberikan keterangan akan kesehatan janin. Jika
normal, pasien dapat dipulangkan dengan suatu peta/grafik gerakan janin dan diminta untuk
mencatat gerakan janin pada pagi, siang, sore dan malam hari. Jika penurunan gerakan janin
menetap dianjurkan evaluasi obstetrik ulang. Jika janin imatur dan keadaan insufisiensi
plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan observasi tambahan. Pada umur janin
telah matur, dan terjadi kejadian insufisiensi plasenta maka perlu secepatnya dilakukan
kelahiran. Persalinan dapat diinduksi jika serviks dan presentasi janin menguntungkan.
Selama induksi, denyut jantung janin harus dipantau secara teliti; penetapan pH kulit kepala
diindikasikan. Dilakukan seksio sesarea jika terjadi gawat janin. Seksio sesarea juga dipilih
untuk kelahiran presentasi bokong, atau jika pasien pernah mengalami operasi uterus
sebelumnya. 1
Pada gawat janin selama masa persalinan, lakukan upaya pembebasan setiap kompresi
tali pusat, perbaiki aliran darah uteroplasental, dan segera nilai apakah persalinan dapat
berlangsung normal atau kelahiran segera merupakan indikasi. Rencana kelahiran (per
vaginam atau per abdominam) didasarkan pada faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat
obstetrik pasien dan jalannya persalinan. Langkah-langkah khusus berupa posisi ibu diubah
dari posisi terlentang ke posisi lateral sebagai usaha untuk membebaskan kompresi
aortokaval dan memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah
uteroplasental. Perubahan dalam posisi juga dapat membebaskan kompresi tali pusat.
Oksigen diberikan melalui masker muka 6 liter per menit sebagai usaha untuk meningkatkan
pergantian oksigen fetomaternal. Oksitosin dihentikan, karena kontraksi uterus akan
mengganggu curahan darah ke ruang intervili. Hipotensi dikoreksi dengan infus intravena
dekstrosa 5% dalam larutan Ringer Laktat. Transfusi darah dapat diindikasikan pada syok
hemoragik. Pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan menentukan
perjalanan persalinan. Elevasi kepala janin secara lembut dapat merupakan suatu prosedur
yang bermanfaat. 1,2
Adapun tindakan yang dianjurkan oleh American College of Obstetricians and
Gynecolo gists (1998) untuk penatalaksanaan pola frekuensi denyut jantung janin yang
meragukan, diperlihatkan di tabel dibawah. 2

Tabel Kriteria Penatalaksanaan untuk Pola Frekuensi Jantung Janin yang Meragukan 2

1. Reposisi pasien
2. Penghentian stimulant uterus dan koreksi hiperstimulasi uterus
3. Pemeriksaan dalam vagina
4. Koreksi hipotensi ibu
5. Pemberitahuan kepada staf anestesi dan keperawatan akan perlunya persalinan darurat
6.Pemantauan frekuensi denyut jantung janin dengan monitor janin elektronik atau auskultasi- di
ruang operasi sebelum persiapan abdomen
7. Meminta petugas terlatih untuk bersiap melakukan resusitasi dan perawatan neonatus
8. Pemberian oksigen kepada ibu
Medikamentosa
TOKOLISIS. Suntikan dosis tunggal 0,25 mg terbutalin sulfat intravena atau subkutan
yang diberikan untuk melemaskan uterus dilaporkan dapat digunakan sebagai tindakan
sementara dalam penatalaksanaan pola frekuensi denyut jantung janin yang tidak meyakinkan
selama persalinan. Alasan tindakan ini adalah bahwa inhibisi kontraksi uterus dapat
memperbaiki oksigenasi janin sehingga terjadi resusitasi in utero. Cook dan Spinnato (1994)
melaporkan pengalaman mereka dengan tokolisis terbutalin untuk resusitasi janin pada 368
kehamilan selama periode 10 tahun. Tindakan resusitasi ini memperbaiki angka pH darah
kulit kepala janin walaupun semua wanita ini melahirkan melalui seksio sesarea. Dalam
kajian mereka, para peneliti berkesimpulan bahwa walaupun studi yang ada sedikit dan
jarang berupa studi acak, namun sebagian besar melapor kan bahwa tokolisis terbutalin untuk
pola yang meragukan memberi hasil baik. Nitrogliserin intra vena dalam dosis kecil (60
sampai 180 mg) juga dilaporkan bermanfaat (Mercier dkk., 1997). 2

Prognosis
Jika kita telah dapat menegakkan diagnosa gawat janin saat antepartum maupun
intrapartum, modalitas terapi yang bisa diberikan yaitu memperbaiki kondisi janin dalam
uterin untuk mempertahankan pertukaran oksigen yang adekuat atau melakukan persalinan
janin secepatnya. Perbaikan dari kondisi intra uterin pada kondisi kronik termasuk baring
posisi miring. Pada kondisi akut, ditangani hipotensi dan dipastikan ibu mendapat ventilasi
dan oksigenasi yang optimal, posisi yang tepat,tokolisis dan melakukan amnioinfusion.
Terminasi kehamilan dilakukan jika keadaan intra uterin tidak dapat di perbaiki. Penanganan
yang tepat sangat berpengaruh terhadap janin, karena dapat terjadi gangguan ireversibel pada
janin jika janin tidak mendapatkan oksigen minimal 10 menit.

DISKUSI KASUS :
TEORI KASUS
Augmentasi persalinan adalah tindakan Pada pasien sudah terjadi pematangan serviks
terhadap ibu hamil yang telah mengalami (Bishop score >6 ) dan dilakukan
pematangan serviks untuk meningkatkan augmentasi untuk meningkatkan kontraksi
kontraksi uterus yang tidak adekuat agar uterus yang tidak adekuat dengan pemberian
terjadi persalinan. oksitosin.
Penurunan aliran darah plasenta akibat Pasien ini mengalami persalinan yang lama
kontraksi dapat menyebabkan kompresi yang dapat menyebabkan penurunan aliran
terhadap tali pusat sehingga pada wanita darah plasenta yang pada akhirnya
yang mengalami persalinan lama hal ini menyebabkan gawat janin
dapat menyebabkan kegawatan pada bayi
melalui mekanisme tersebut. Kegawatan akut
dapat terjadi akibat abrupsio plasenta, prolaps
tali pusat (terutama dengan presentasi
bokong), keadaan hipertonik uterine dan
penggunaan oksitosin.
Gawat janin didaahului oleh fetal takikardi Pada pasien ini dijumpai denyut jantung janin
yang merupakan mekanisme kompensasi meningkat terlebih dahulu (fetal takikardi)
terhadap gangguan aliran uteroplasenta yang dan selanjutnya diikuti penurunan denyut
menyebabkan terjadi hipoksia. Hal ini jantung jani (fetal bradikardi).
dilanjutkan dengan terjadinya fetal takikardi.
Diagnosa gawat janin yaitu berdasarkan Pada pasien ini dijumpai DJJ yang meningkat
1. Denyut jantung janin (bradikardi 1. (>160) diikuti penurunan DJJ (<120).
2. Setelah selaput ketuban pecah
<120,takikardi >160, variabilitas
dijumpai air ketuban berwarna kuning
denyut jantung dasar yang menurun,
kehijauan (air ketuban bercampur
dan deselerasi lambat)
2. Air ketuban yang bercampur meconium)
3. pH darah janin tidak diperiksa pada
meconium
3. pH darah janin yang <7,20 kasus ini
Mekonium akan keluar dari usus pada Setelah selaput ketuban pecah dijumpai air
keadaan stres hipoksia, telah terbukti bahwa ketuban berwarna kuning kehijauan (air
pasase mekonium disebabkan karena ketuban bercampur meconium)
rangsangan saraf dari saluran pencernaan
yang sudah matur. Pada saat janin aterm,
saluran pencernaan menjadi matur, terjadi
stimulasi vagal dari kepala atau kompresi tali
pusat yang akan menyebabkan timbulnya
peristaltik dan relaksasi dari spinkter
ani. Ditemukan adanya hubungan antara
kejadian gawat janin dengan peningkatan
kadar motilin (suatu peptida yang yang
merangsang kontraksi usus).
Pada gawat janin selama masa persalinan, Pada pasien ini dilakukan resusitasi
lakukan upaya resusitasi intrauterine dengan intrauterine yaitu:
cara: 1. Posisi ibu diubah dari posisi
1. Posisi ibu diubah dari posisi terlentang ke posisi lateral.
2. Oksigen diberikan 2-4 liter/ menit
terlentang ke posisi lateral sebagai
lewat nasal kanul.
usaha untuk membebaskan kompresi
3. Pemberian oksitosin sebagai
aortokaval dan memperbaiki aliran
augmentasi pada pasien ini tidak
darah balik, curah jantung, dan aliran
dihentikan
darah uteroplasental dan segera nilai
apakah persalinan dapat berlangsung
normal atau kelahiran segera
merupakan indikasi..
2. Oksigen diberikan melalui masker
muka 6 liter per menit sebagai usaha
untuk meningkatkan pergantian
oksigen fetomaternal.
3. Oksitosin dihentikan, karena
kontraksi uterus akan mengganggu
curahan darah ke ruang intervili.
Pada kasus gawat janin dilakukan seksio Pada kasus kasus ini dilakukan seksio
sesarea. Seksio sesarea juga dipilih untuk sesarea.
kelahiran presentasi bokong, atau jika pasien
pernah mengalami operasi uterus
sebelumnya.
Aspirasi meconium berhubungan dengan Pada kasus pasien ini dilakukan seksio
meningkatnya risiko seksio sesarea dan sesarea dan dijumpai skor Apgar yang
penurunan skor Apgar. Mekonium menurun 5/6.
menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan
nafas. Mekonium yang teraspirasi ke jalan
nafas akan menimbulkan fenomena katup
bola dimana udara yang melewati mekonium
pada saat inspirasi akan terperangkap di
bagian distal pada saat ekspirasi,
menyebabkan peningkatan resistensi
ekspirasi paru, kapasitas residu fungsional
dan diameter anteroposterior rongga dada.

Daftar Pustaka

1. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea.


Intrapartum Assessment.. 2002. Williams obstetrics. Ed.22. Stamford: Appleton and
Lange.

2. Hariadi R. Gawat Janin. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya :


Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

3. Reece EA, Hobbins J. Normal and Abnormal placentation. 2007. Clinical Obstetrics :
The Fetus and Mother. Ed.3. Massachusetts: Blackwell

4. Datta S. Fetal Distress. 2004. Anesthetic and obstetric management of high-risk


pregnancy. Ed.3. New York : Springer.

Anda mungkin juga menyukai