Anda di halaman 1dari 24

TAHAP DAN PROSES PERKEMBANGAN

A. Pengertian Kognitif
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan
potensi intelektual yang terdiri dari tahapan : pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi
(evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan
kemampuan rasional (akal).
Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk mengoptimalkan
kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain. Oleh sebab itu kognitif berbeda
dengan teori behavioristik, yang lebih menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang
diwujudkan dengan cara kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada
dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari aspek tenaga pendidik
misalnya. Seorang guru diharuskan memiliki kompetensi bidang kognitif. Artinya seorang guru
harus memiliki kemampuan intelektual, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan
mengenai cara mengajar, pengetahuan cara menilai siswa dan sebagainya.
Didalam buku psikologi perkembangan karya Prof.Dr.Kusdwiratri Setiono, Psi. menyatakan
bahwa secara umum kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui serta dipikirkan oleh
seseorang.
Serupa dengan aspek-aspek perkembangan yang lainnya, kemampuan kognitif anak juga
mengalami perkembangan tahap demi tahap. Secara sederhana, pada buku karangan
(Desmita, 2009) dijelaskan kemampuan kognitif dapat dipahami sebagai kemampuan anak
untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan
masalah. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif ini akan memudahkan peserta didik
menguasai pengetahuan umum yang lebih luas, sehingga anak mampu melanjutkan fungsinya
dengan wajar dalam interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan.
Sehingga dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah salah satu aspek
perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan, yaitu semua proses
psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya, sesuai buku karangan (Desmita, 2009).
B. Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang menjelasakan bagaimana
anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya.
Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan
makanan serta objek-objek sosial seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana cara anak
mengelompokan objek-objek untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaannya, untuk memahami penyebab terjadinya perubahan dalam objek-objek dan
perisiwa-peristiwa dan untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa tersebut.
Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya
mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses berfikir dalam
konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman dengan dunia sekitarnya,
namun anak juga berperan aktif dalam menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui
pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai
dunia yang telah ia punya.
Piaget percaya bahawa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau priode-
periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan
melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat
atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri
dengan lingkunagn serta adanya pengorganisasian struktur berfikir. Sebagai seorang yang
memperoleh pendidikan dasar dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan
uraian dari teorinya terpengaruh aspek biologi.
Teori Piaget merupakan akar revolusi kognitif saat ini yang menekankan pada proses mental.
Piaget mengambil perspektif organismik, yang memandang perkembangan kognitif sebagai
produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka. Menurut Piaget,
bahwa perkembangan kognitif dimulai dengan kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Dengan kemampuan bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi
mewarisi reflek-reflek seperti reflek menghisap. Reflek ini sangat penting dalam bulan-bulan
pertama kehidupan mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada perkembangan
selanjutnya.

C. Tahapan Perkembangan Kognitif


Menurut Piaget, pikiran anak-anak dibentuk bukan oleh ajaran orang dewasa atau pengaruh
lingkungan lainnya. Anak-anak memang harus berinteraksi dengan lingkungan untuk
berkembang, namun merekalah yang membangun struktur-struktur kognitif baru dalam dirinya.
Piaget juga yakin bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing
tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berfikir yang khas/berbeda.
Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut:
1. Tahap Sensori Motor.
Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada
tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan
pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan
fisik.
Dengan berfungsinya alat-alat indera serta kemampuan kemampuan-kemampuan melakukan
gerak motorik dalam bentuk refleks ini, maka seorang bayi berada dalam keadaan siap untuk
mengadakan hubungan dengan dunianya.
Piaget membagi tahap sensori motor ini kedalam 6 periode, yaitu:
a. Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1 bulan)
Refleks yang paling jelas pada periode ini adalah refleks menghisap (bayi otomatis menghisap
kapanpun bibir mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala pada sumber rangsangan
secara lebih tepat dan terarah. Misalnya jika pipi kanannya disentuh, maka ia akan
menggerakkan kepala kearah kanan.
b. Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer (Usia 1-4 bulan)
Reaksi ini terjadi ketika bayi menghadapi sebuah pengalaman baru dan berusaha
mengulanginya. Contoh: menghisap jempol.
Pada contoh menghisap jempol, bayi mulai mengkoordinasikan 1). Gerakan motorik dari
tangannya dan 2). Penggunaan fungsi penglihatan untuk melihat jempol.
c. Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder (Usia 4-10 bulan)
Reaksi sirkuler primer terjadi karena melibatkan koordinasi bagian-bagian tubuh bayi sendiri,
sedangkan reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan dan menghasilkan kembali
peristiwa menarik diluar dirinya.
d. Periode 4: Koordinasi skema-skema skunder (Usia 10-12 bulan)
Pada periode ini bayi belajar untuk mengkoordinasikan dua skema terpisah untuk mendapatkan
hasil. Contoh: suatu hari Laurent (anak Piaget) ingin memeluk kotak mainan, namun Piaget
menaruh tangannya ditengah jala. Pada awalnya Laurent mengabaikan tangan ayahnya. Dia
berusaha menerobos atau berputar mengelilinginya tanpa menggeser tangan ayahnya. Ketika
Piaget tetap menaruh tangannya untuk menghalangi anaknya, Laurent terpaksa memukul kotak
mainan itu sambil melambaikan tangan, mengguncang tubuhnya sendiri dan mengibaskan
kepalanya dari satu sisi ke sisi lain. Akhirnya setelah beberapa hari mencoba, Laurent berhasil
menggerakkan perintang dengan mengibaskan tangan ayahnya dari jalan sebelum memeluk
kotak mainan. Dalam kasus ini, Laurent berhasil mengkoordinasikan dua skema terpisah yaitu:
1). Mengibaskan perintang 2). Memeluk kotak mainan.
e. Periode 5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18 bulan)
Pada periode 4, bayi memisahkan dua tindakan untuk mencapai satu hasil tunggal. Pada
periode 5 ini bayi bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda untuk mengamati
hasil yang berbeda-beda. Contoh: Suatu hari Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli
Piaget. Dia memukulnya dengan telapak tangannya beberapa kali. Kadang keras dan kadang
lembut untuk mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh tindakannya.
f. Periode 6: Permulaan Berfikir (Usia 18-24 bulan)
Pada periode 5 semua temuan-temuan bayi terjadi lewat tindakan fisik, pada periode 6 bayi
kelihatannya mulai memikirkan situasi secara lebih internal sebelum pada akhirnya bertindak.
Jadi, pada periode ini anak mulai bisa berfikir.dalam mencapai lingkungan, pada periode ini
anak sudah mulai dapat menentukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis
dan internal, tetapi juga dengan koordinasi internal dalam gambaran atau pemikirannya.

2. Tahap Pemikiran Pra-Operasional


Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun. Pada tahap ini anak mulai melukiskan
dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar atau simbol. Menurut Piaget, walaupun anak-anak
pra sekolah dapat secara simbolis melukiskan dunia, namun mereka masih belum mampu
untuk melaksanakan “ Operation (operasi) ”, yaitu tindakan mental yang diinternalisasikan yang
memungkinkan anak-anak melakukan secara mental yang sebelumnya dilakukan secara fisik.
Perbedaan tahap ini dengan tahap sebelumnya adalah “ kemampuan anak mempergunakan
simbol”. Penggunaan simbol bagi anak pada tahap ini tampak dalam lima gejala berikut:
a. Imitasi tidak langsung
Anak mulai dapat menggambarkan sesuatu hal yang dialami atau dilihat, yang sekarang
bendanya sudah tidak ada lagi. Jadi pemikiran anak sudah tidak dibatasi waktu sekarang dan
tidak pula dibatasi oleh tindakan-tindakan indrawi sekarang.
Contoh: anak dapat bermain kue-kuean sendiri atau bermain pasar-pasaran. Ini adalah hasil
imitasi.
b. Permainan Simbolis
Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu anak mencoba meniru kejadian yang pernah
dialami.
Contoh: anak perempuan yang bermain dengan bonekanya, seakan-akan bonekanya adalah
adiknya.
c. Menggambar
Pada tahap ini merupakan jembatan antara permainan simbolis dengan gambaran mental.
Unsur pada permainan simbolis terletak pada segi “kesenangan” pada diri anak yang sedang
menggambar. Sedangkan unsur gambaran mentalnya terletak pada “usaha anak untuk
memulai meniru sesuatu yang riel”.
Contoh: anak mulai menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis lainnya.
d. Gambaran Menta
Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek atau pengalaman yang lampau.
Gambaran mental anak bersifat statis. Anak masih mempunyai kesalahan yang sistematis
dalam mengambarkan kembali gerakan atau transformasi yang ia amati.
Contoh deretan lima kelereng putih dan hitam.
e. Bahasa Ucapan
Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai representasi benda atau kejadian. Melalui
bahasa anak dapat berkomunikasi dengan orang lain tentang peristiwa kepada orang lain.
3. Tahap Operasi berfikir Kongkret
Tahap ini berada pada rentang usia 7-11 tahun.tahap ini dicirikan dengan perkembangan
system pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan yang logis. Anak sudah
mengembangkan operasi logis. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
a. Pengurutan
Yaitu kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.
Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil.
b. Klasifikasi
Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut
tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-
benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
c. Decentering
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa
memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap gelas lebar tapi pendek
lebih sedikit isinya dibanding gelas kecil yang tinggi.
d. Reversibility
Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke
keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-
4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
e. Konservasi
Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan
dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila
anak diberi gelas yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan
ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi gelas
lain.
f. Penghilangan sifat Egosentrisme
Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, Lala menyimpan boneka di dalam kotak, lalu
meninggalkan ruangan, kemudian Baim memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu
baru Lala kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Lala
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu
sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Baim.
4. Tahap Operasi berfikir Formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget.
Tahap ini mulai dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus berlanjut sampai dewasa.
Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar
secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai.
Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan
besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran
moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap
operasional konkrit.
Pada tahap ini, remaja telah memiliki kemampuan untuk berpikir sistematis, yaitu bisa
memikirkan semua kemungkinan untuk memecahkan suatu persoalan. Contoh: ketika suatu
saat mobil yang ditumpanginya mogok, maka jika penumpangnya adalah seorang anak yang
masih dalam tahap operasi berpikir kongkret, ia akan berkesimpulan bahwa bensinnya habis. Ia
hanya menghubungkan sebab akibat dari satu rangkaian saja. Sebaliknya pada remaja yang
berada pada tahap berfikir formal, ia akan memikirkan beberapa kemungkinan yang
menyebabkan mobil itu mogok. Bisa jadi karena businya mati, atau karena platinanya, dll.
Seorang remaja pada tahap ini sudah mempunyai ekuilibrum yang tinggi, sehingga ia dapat
bepikir fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan persoalan yang kompleks.
Remaja dapat berfikir fleksibel karena dapat melihat semua unsur dan kemungkinan yang ada.
Dan remaja dapat berfikir efektif karena dapat melihat pemikiran mana yang cocok untuk
persoalan yang dihadapi.
A. Proses Perkembangan Kognitif
Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling berhubungan,
yaitu:
1. Organisasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan pengetahuan kedalam
system-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah system pengetahuan atau cara berfikir
yang disertai dengan pencitraan realitas yang semakin akurat. Contoh: anak laki-laki yang baru
berumur 4 bulan mampu untuk menatap dan menggenggam objek. Setelah itu dia berusaha
mengkombunasikan dua kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan menggenggam
objek-objek yang dilihatnya.
Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk membuat struktur kognitif
menjadi semakin komplek. Struktur-struktur kognitif disebut skema. Skema adalah pola prilaku
terorganisir yang digunakan seseorang untuk memikirkan dan melakukan tindakan dalam
situasi tertentu. Contoh: gerakan reflek menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan
bibir yang menimbulkan gerakan menarik.
2. Adaptasi.
Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi baru dengan mempertimbangkan apa
yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
a. Asimilasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada peleburan informasi baru
kedalam struktur kognitif yang sudah ada. Seorang individu dikatakan melakukan proses
adaptasi melalui asimilasi, jika individu tersebut menggabungkan informasi baru yag dia terima
kedalam pengetahuan mereka yang telah ada.
Contoh asimilasi kognitif: seorang anak yang diperlihatkan segi tiga sama sisi, kemudian
setelah itu diperlihatkan segitiga yang lain yaitu siku-siku. Asimilasi terjadi jika si anak
menjawab bahwa segitiga siku-siku yang diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.
b. Akomodasi
Merupakan perubahan yang terjadi pada sebuah struktur kognitif dalam rangka menampung
informasi baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu menyesuaikan diri dengan informasi
baru. Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah ada dalam diri seseorang mengalami
perubahan sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari objeknya.
Contoh: si anak bisa menjawab segitiga siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.
c. Ekuilibrasi
Yaitu kecenderungan untuk mencari keseimbangan pada elemen - elemen kognisi. Ekuilibrasi
diartikan sebagai kemampuan yang mengatur dalam diri individu agar ia mampu
mempertahankan keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Agar terjadi
ekuilibrasi antara diri dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi
secara terpadu, bersama-sama dan komplementer.
Contoh: bayi yang biasanya mendapat susu dari payudara ibu ataupun botol, kemudian diberi
susu dengan gelas tertutup (untuk latihan minum dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa
menyedot air gelas membutuhkan gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari yang biasa
dilakukannya saat menyusu dari ibunya, maka si bayi akan mengakomodasi hal itu dengan
akomodasi skema lama. Dengan melakukan hal itu, maka si bayi telah melakukan adaptasi
terhadap skema menghisap yang ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas. Dengan demikian
asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.
B. Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget dalam Pembelajaran
Dalam hal ini, peran seorang pendidik sangatlah vital. Beberapa implementasi yang harus
diketahui dan diterapkan adalah sebagai berikut:
1. Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya.
Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak
sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2. Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri
dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi
(ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya
sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3. Tidak menekankan pada praktek - praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak
seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget
mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama
namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.

Ruang Lingkup Psikologi Kognitif


A. TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF MENURUT PARA AHLI
1. Ausubel
Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik dalam
melaksanakan kegiatan belajar, demi mencapai hasil belajar yang memuaskan. Pembelajaran
akan mempunyai arti apabila antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama
memiliki keterkaitan. Inilah teori David P. Ausubel, pembelajaran bermakna, seorang ahli
psikologi pendidikan. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang
sedang melalui pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.Artinya, bahan subjek
itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan mesti relevan dengan struktur kognitif yang
dimiliki siswa.Oleh karena itu, subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah
dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya.
David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli psikologi kognitif yang berpendapat bahwa
keberhasilan belajar siswa sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari.
Ausubel menggunakan istilah “pengatur lanjut” (advance organizers) dalam penyajian informasi
yang dipelajari peserta didik agar belajar menjadi bermakna. Selanjutnya dikatakan bahwa
“pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak, sebagian lagi merupakan sesuatu
yang sudah diketahui peserta didik di pihak lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar
terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa.

2. Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang ahli biologi dan psikolog yang mempunyai kontribusi besar dalam
pemahaman terhadap perkembangan intelektual anak. Menurut Piaget perkembangan kognitif
anak dibagi menjadi empat tahap, yaitu Tahap sensori motorik, praoperasional, operasional
konkret, dan opersional formal.
1. Tahap sensori motorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mengatur sensorinya (inderanya) dan tindakan-tindakannya.Pada awal
periode ini anak tidak mempunyai konsepsi tentang benda-benda secara permanen.Artinya
anak belum dapat mengenal dan menemukan objek, benda apapun yang tidak dilihat, tidak
disentuh atau tidak didengar. Benda-benda tersebut dianggap tidak ada meskipun
sesungguhnya ada di tempat lain.
2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun)
Anak sudah dapat memahami objek-objek secara sempurna, sudah dapat mencari benda yang
dibutuhkannya walaupun ia tidak melihatnya. Sudah memiliki kemampuan berbahasa (dengan
kata-kata pendek).
3. Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun)
Anak sudah mulai melakukan operasi dan berpikir rasional, mampu mengambil keputusan
secara logis yang bersifat konkret, mampu mepertimbangkan dua aspek misalnya bentuk dan
ukuran.Adanya keterampilan klasifikasi-dapat menggolongkan benda-benda ke dalam
perangkat-perangkat dan penalarannya logis dan bersifat tidak abstrak (tidak membayangkan
persamaan aljabar).
4. Tahap Operasional Formal (11-15 tahun)
Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikiran.Mereka
dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan, kemungkinan- kemungkinan hipotetis, atau dalil-
dalil dan penalaran yang benar-benar abstrak. Tiga sifat pemikiran remaja pada tahap
operasional formal:
a. Remaja berfikir lebih abstrak daripada anak-anak. Para pemikir operasional formal, misalnya
dapat memecahkan persamaan-persamaan aljabar yang abstrak.
b. Remaja sering berfikir tentang yang mungkin. Mereka berfikir tentang ciri-ciri ideal diri
mereka sendiri, orang lain, dan dunia.
c. Remaja mulai berfikir seperti ilmuwan, yang menyusun rencana-rancana untuk memecahkan
masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis. Tipe pemecahan masalah ini
diberi nama deduksi hipotetis.
3. Mex Wertheimenr
Teori Gestalt ini memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman
(insight), yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar
bagian di dalam suatu situasi permasalahan (sering diungkapkan dengan pernyataan “aha”).
Para pengikut teori gestalt berpendapat bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui
sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara menyeluruh kemudian menyusunnya
kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami..Karena pada
dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut terjadi. Dengan kata lain, teori
Gestalt ini menyatakan bahwa yang paling penting dalam proses belajar individu adalah
dimengertinya apa yang dipelajari oleh tersebut.

4. Brunner
Menurut Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat
belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan
dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara
yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan adalah pengembangan
program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual
pembelajar pada setiap jenjang belajar. Dalam teori belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa
kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu
aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga
tahap itu adalah:
a. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
b. Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain.
c. Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau
tidak.
Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan
5. Kurt Lewin
Teori belajar cognitive field menitikberatkan perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial,
karena pada hakikatnya masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang
bersifat psikologis, yang disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan
dimana individu bereaksi, misalnya orang yang dijumpai, fungsi kejiwaan yang dimiliki dan objek
material yang dihadapi.
Jadi, tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan, baik yang berasal dari dalam diri
individu, seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun yang berasal dari luar individu,
seperti tantangan dan permasalahan yang dihadapi.Menurut teori ini, belajar itu berlangsung
sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil pertemuan dari dua kekuatan, yaitu yang berasal
dari struktur medan kognitif itu sendiri dan yang lainnya berasal dari kebutuhan dan motivasi
internal individu. Dengan demikian, peranan motivasi jauh lebih penting daripada reward atau
hadiah.

6. Benyamin S. Bloom
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan “taksonomi” untuk domain kognitif. Taksonomi
adalah metode untuk membuat urutan pemikiran dari tahap dasar ke arah yang lebih tinggi dari
kegiatan mental, dengan enam tahap sebagai berikut :
a. Pengetahuan ( Knowledge ) ialah kemapuan untuk menghafal, mengingat atau mengulangi
informasi yang pernah diberikan. Contoh, Sebutkan lima bagian utama kamera 35 mm.
b. Pemahaman ( comprehension ) ialah kemampuan untuk menginterpretasi atau mengulang
informasi dengan menggunakan bahasa sendiri. Contoh, Uraikan 6 tahapan dalam mengisi film
untuk kamera 35 mm.
c. Aplikasi ( Application ) ialah kemampuan menggunakan informasi, teori, dan aturan pada
situasi baru. Contoh, pilih ekspose 3 kamera untuk pengambilan gambar yang berbeda.
d. Analisis ( Analysis ) ialah kemampuan mengurai pemikiran yang kompleks, dan mengenai
bagian-bagian serta hubungannya. Contoh, Bandingkan cara kerja dua kamera 35 mm yang
memiliki model yang berbeda.
e. Sintesis ( Synthesis ) ialah kemampuan mengumpulkan komponen yang sama guna
membentuk satu pola pemikiran yang baru. Contoh, Susunlah urutan fotografi untuk 6 objek.
f. Evaluasi ( evaluation ) ialah kemampuan membuat pemikiran berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan. Contoh, buatlah penilaian terhadap kualitas slide yang dihasilkan dalam lomba,
dengan 4 urutan penilaian.
7. Vygotsky
Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seorang seturut dengan
teori sciogenesis. Dimensi kesadaran social bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya
bersifat derivative atau merupakan turunan dan bersifat skunder.Artinya, pengetahuan dan
pengembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber social di luar dirinya.Hal ini tidak
berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga
menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Maka
teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut dengan pendekatan konstruktivisme karena ia
lebih menekan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Konsep teori perkembangan kognitif
vygotsky terdapat pada tiga hal:
a. Hukum genetik, tentang perkembangan (genetic law of development)
b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
c. Mediasi
8. John Dewey
Ia berpendapat bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri. Topik
dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan
satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa dalam
konteks pengalaman sosial.Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa
maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong
siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum
yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan
memiliki hasil maksimalKesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar
membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru bertindak
sebagai fasilitator, diadakan diskusi dan review teman. Dewey juga menyarankan penggunaan
media teknologi sebagai sarana belajar.
John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral
atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011).
Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa tahapan yang
dikemukakan, yaitu :
a. Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau
sosial.
b. Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan
kepada kriteria kelompoknya.
c. Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai
dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria
kelompoknya.

B. RUANG LINGKUP PSIKOLOGI KOGNITIF


Psikologi kognitif adalah ilmu yang menyelidiki pola pikir manusia.Psikologi kognitif dapat pula
dipandang sebagai studi terhadap proses-proses yang melandasi dinamika mental.Psikologi
kognitif memiliki sejarah yang panjang diawali dari filsuf yang menanyakan asal muasal
pengetahuan dan bagaimana pengetahuan ditampilkan dalam pikiran.
Fungsionalisme memahami apa yang dilakukan manusia dan mengapa melakukannya artinya
mempelajari proses bagaimana dan kenapa pikiran bekerja. Wiliam James (1842-1910
melahirkan gagasan atensi, kesadaran dan persepsi yang kemudian melahirkan pragmatisme
(John Dewey 1859-1952) yang menyoroti tentang kegunaan pengetahuan.
Studi terhadap aksara hierogilf Mesir kuno menunjukkan bahwa penulisnya meyakini
bahwa pengetahuan berada di jantung sebuah pemikiran yang juga diungkapkan oleh
Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno namun tidak disetujui oleh gurunya Plato yang
berpendapat bahwa otak adalah tempat pengetahuan yang disimpan. Teori-teori kuno
umumnya membahas letak pikiran dan memori.
Abad ke-8 dikenal sebagai abad pencerahan, adalah terjadinya perubahan besar-besaran
dalam teknologi sosial, dan politik. Ilmu pengetahuan berkembang pesat tanpa adanya
ketakutan akan pengucilan dari gereja. Pada masa inilah sebuah cabang ilmu filsafat akan
menjadi psikologi yang dibawa pada titik keilmuan.

Intelegensi
A. Pengertian Intelegensi
Konsep Intelegensi menimbulkan kontroversi dan debat panas, sering kali sebagai
reaksi terhadap gagasan bahwa setiap orang punya kapasitas mentalumum yang dapat diukur
dan dikuantifikasikan dalam angka. Inteligensi adalah suatu istilah yang popular. Hampir semua
orang sudah mengenal istilah tersebut, bahkan mengemukakannya. Seringkali kita dengar
seorang mengatakan si A tergolong pandai atau cerdas (inteligen) dan si B tergolong bodoh
atau kurang cerdas (tidak inteligen). Istilah inteligen sudah lama ada dan berkembang dalam
masyarakat sejak zaman Cicero yaitu kira-kira dua ribu tahun yang lalu dan merupakan salah
satu aspek alamiyah dari seseorang. Inteligensi bukan merupakan kata asli yang berasal dari
bahasa Indonesia. Kata inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin
yaitu “inteligensia“. Sedangkan kata “ inteligensia “ itu sendiri berasal dari kata inter dan lego,
inter yang berarti diantara, sedangkan lego berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya
mempunyai pengertian kemampuan untuk memilih suatu penalaran terhadap fakta atau
kebenaran.
Menurut W. Stem dalam Abu Ahmadidan Widodo Supriyono mengemukakan intelegensi adalah
suatu daya jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat di dalam situasi yang
baru.
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses
berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung,
melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berpikir rasional itu.
Menurut Wangmuba inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat
kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini
memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan,
kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat
atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-
kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman
atau pengertian.
David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk
mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun
di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak
secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Beberapa pakar menyebutkan bahwa intelegensi sebagai keahlian untuk memecahkan
masalah.
Intelegensi merupakan potensi bawaan yang sering dikaitkan dengan berhasil tidaknya anak
belajar disekolah. Dengan kata lain, intelegensi dianggap sebagai faktor yang menentukan
berhasil atau tidaknya anak disekolah.
Kecerdasan (Inteligensi) secara umum dipahami pada dua tingkat yakni:
1. kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang
membentuk pengetahuan dan kesadaran.
2. Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah
yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem solved) dan dengan demikian pengetahuan pun
bertambah.
Sternberg dan Santrock mengatakan bahwa secara umum intelegensi dibedakan menjadi 3
diantaranya:
· 1. Inteligensi Analitis
Yaitu kecerdasan yang lebih cenderung dalam proses penilaian objektif dalam suatu
pembelajaran dalam setiap pelajaran, selalu mendapatkan nilai yang bagus dalam setiap hasil
ujian. Misalnya: seorang individu dalam ujian disetiap pelajarannya selalu mendapatkan nilai di
atas rata-rata.
2. Inteligensi Kreatif
Yaitu kecerdasan yang lebih cenderung pada sifat-sifat yang unik, merancang hal-hal yang
baru. Misalnya: seorang peserta didik diinstrusikan untuk menuliskan kata “P O H O N” oleh
gurunya, tetapi jawaban seorang individu yang kreatif dengan menggambarkan sebuah pohon.
· 3. Inteligensi Praktis
Yaitu kecerdasan yang berfokus pada kemampuan untuk menggunakan, menerapkan,
mengimplementasikan, dan mempraktikan. Misalnya: seorang individu mendapatkan skor
rendah dalam tes IQ tradisional, tetapi dengan cepat memahami masalah dalam kehidupan
nyata, contohnya dalam pembelajaran praktikum di laboratorium, akan cepat memahami karena
dibantu dengan berbagai peralatan dan media.
B. Macam-macam IntelIgensi
Ada beberapa macam intelegensi, antara lain :
· 1. Inteligensi keterampilan verbal
Yaitu kemampuan untuk berpikir dengan kata-kata dan menggunakan bahasa untuk
mengungkapkan makna. Contohnya: seorang anak harus berpikir secara logis dan abstrak
untuk menjawab sejumlah pertanyaan tentang bagaimana beberapa hal bisa menjadi mirip.
Contoh pertanyaannya “Apa persamaan Singa dan Harimau”?. Cenderung arah profesinya
menjadi: (penulis, jurnalis, pembicara).
· 2. Inteligensi keterampilan matematis
Yaitu kemampuan untuk menjalankan operasi matematis. Peserta didik dengan kecerdasan
logical mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan
eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka
menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka
mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Cenderung profesinya menjadi: (ilmuwan,
insinyur, akuntan)
· 3. Inteligensi kemampuan ruang
Yaitu kemampuan untuk berpikir secara tiga dimensi. Cenderung berpikir secara visual. Mereka
kaya dengan khayalan internal (Internal imagery) sehingga cenderung imaginaif dan kreatif.
Contohnya seorang anak harus menyusun serangkaian balok dan mewarnai agar sama dengan
rancangan yang ditunjukan penguji. Koordinasi visual-motorik, organisasi persepsi, dan
kemampuan untuk memvisualisasi dinilai secara terpisah. Cenderung menjadi profesi arsitek,
seniman, pelaut.
· 4. Inteligensi kemampuan musical
Yaitu kepekaan terhadap pola tangga nada, lagu, ritme, dan mengingat nada-nada. Ia juga
dapat mentransformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan
musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai
menggunakan kosa kata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara
dalam sebuah komposisi music.
· 5. Inteligensi Keterampilan kinestetik tubuh
Yaitu kemampuan untuk memanipulasi objek dan mahir sebagai tenaga fisik. Senang bergerak
dan menyentuh. Mereka memiliki control pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan
keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Cenderung
berprofesi menjadi ahli bedah, seniman yang ahli, penari.
· 6. Inteligensi Keterampilan intrapersonal
Yaitu kemampuan untuk memahami diri sendiri dengan efektif mengarahkan hidup seseorang.
Memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri,
dan mampu mengendalikan diri dalam konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan
dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan social. Mereka mengetahui kepada siapa
harus meminta bantuan saat memerlukan. Cenderung berprofesi menjadi teolog, psikolog.
· 7. Inteligensi keterampilan interpersonal
Yaitu kemampuan untuk memahami dan secara efektif berinteraksi dengan orang lain. Pintar
menjalin hubungan social, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat
berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan
orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain.

· 8. Inteligensi keterampilan naturalis


Yaitu kemampuan untuk mengamati pola di alam serta memahami system buatan manusia dan
alam. Menonjol ketertarikan yang sangat besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang,
diusia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan
fenomena alam, misalnya terjadinya awan, dan hujan, asal-usul binatang, peumbuhan
tanaman, dan tata surya.
· 9. Inteligensi emosional
Yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengungkapkan emosi secara akurat dan adaftif
(seperti memahami persfektif orang lain).
Orang yang berjasa menemukan tes inteligensi pertama kali ialah seorang dokter bangsa
Prancis Alfred Binet dan pembantunya Simon. Tesnya terkenal dengan nama Tes Binet-Simon.
Seri tes dari Binet-Simon ini, pertama kali diumumkan antara 1908-1911 yang diberinama :
“Chelle Matrique de l’inteligence” atau skala pengukur kecerdasan. Tes binet-simon terdiri dari
sekumpulan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikelompok-kelompokkan menurut umur (untuk
anak-anak umur 3-15 tahun). Pertanyaan-pertanyaaan itu sengaja dibuat mengenai segala
sesuatu yang tidak berhubungan dengan pelajaran di sekolah. Seperti mengulang kalimat,
dengan tes semacam inilah usia seseorang diukur atau ditentukan. Dari hasil tes itu ternyata
tidak tentu bahwa usia kecerdasan itu sama dengan usia sebenarnya (usia kalender). Sehingga
dengan demikian kita dapat melihat adanya perbedaan-perbedaan IQ (Inteligentie Quotient)
pada tiap-tiap orang/anak.
Dewasa ini perkembangan tes itu demikian majunya sehingga sekarang terdapat beratus-ratus
macam tes, baik yang berupa tes verbal maupun nonverbal. Juga dinegeri kita sudah mulai
banyak dipergunakan te, dalam lapangan pendidikan maupun dalam memilih jabatan-jabatan
tertentu. Klasifikasi IQ antara lain :
· Genius 140 ke atas
· Sangat Cerdas 130-139
· Cerdas (superior) 120-129
· Di atas rata-rata 110-119
· Rata-rata 90-109
· Di bawah rata-rata 80-89
· Garis Batas 70-79
· Moron 50-69
· Imbisil, Idiot 49 ke bawah

C. Faktor yang mempengaruhi Inteligensi


Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat intelegensi yang
berbeda. Perbedaan intelegensi itu, dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut
a. Pengaruhfaktorbawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga,
atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi (+ 0,50) orang yang
kembar (+ 0,90) yang tidak bersanak saudara (+ 0,20), anak yang diadopsi korelasi dengan
orang tua angkatnya ( + 0,10 – +0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada
hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian
makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru,
rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang
peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain
(khususnya pada masa-masa peka). Ada beberapa lingkungan yang berpengaruh terhadap
intelegensi, antara lain :
- Lingkungan keluarga;
- Pengalaman pendidikan;
c. Stabilitas inteIigensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan
individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya
mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas intelegensi tergantung perkembangan
organic otak.
d Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik
maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan
fungsinya (berkaitan erat dengan umur).
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti disekolah) dan pembentukan
tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia
untuk berinteraksi dengan dunia luar. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk
berbuat lebih giat dan lebih baik.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam
memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas
dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau
tidaknya seseorang, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut,
karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam
perbuatan intelegensi seseorang.

D. Beberapa hal yang berhubungan dengan Inteligensi


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah intelegensi, antara lain
a. Inteligensi Dengan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kamampuan umum individu dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dalam kemampuan yang umum ini terdapat keampuan-
kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan ini memberikan pada individu suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan tertentu setelah
melalui suatu latihan. Inilah yang disebut bakat atau aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak
dirancang khusus untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak
dengan segera diketahui lewat tes inteligensi. Demikian juga, karena rangsang lingkungan
dengan tidak sadar selalu diarahkan pada kemampuan-kemampuan khusus ini maka bakat
tidak selalu dengan sendirinya menampakkan diri.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut aptitude test atau tes
bakat. Karena sifatnya khusus, maka tes ini dirancang khusus untuk mengungkap kemampuan
yang amat spesifik.
b. Inteligensi dan Kreativitas
Kreatifitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena keativitas juga
merupakan manifestsi dari suatu proses kognitif, meskipun demikian, hubungan antara
kreativitas dengan inteligensi tidak selalu menunjukkan keselarasannya. Walaupun ada
anggapan kreatifitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tetapi
bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung pendapat itu. Skor IQ yang
rendah memang diikuti tingkat kreativitas yang rendah, namun semakin tinggi skor IQ tidak
selalu diikuti oleh tingkat keativitas yang tinggi. Sampai pada skor IQ tertentu, masih dapat
korelasi yang cukup berarti.
Permasalahan diatas menimbulkan banyak pertanyaan mengapa ini terjadi. Salah satu
jawabannya diberikan oleh J. P. Guilfrod. Ia menjelaskan bahwa kreatifitas adalah suatu proses
berfikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan alternatif jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk
mengukur proses berfikir yang bersifat konvergen, yakni kemampuan untuk memberikan satu
jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan
c. Hubungan inteligensi dengan kehidupan
Memang kecerdasan/intelegensi seseorang memainkan peranan yang penting dalam
kehidupannya. Akan tetapi kehidupan adalah sangat kompleks, intelegensi bukan satu-satunya
faktor yang menentukan sukses tidaknya kehidupan seseorang. Banyak lagi faktor yang lain,
seperti faktor kesehatan dan ada tidaknya kesempatan. Orang yang sakit-sakitan saja
meskipun intelegensinya tinggi dapat gagal dalam usaha mengembangkan dirinya dalam
kehidupannya. Demikian pula meskipun cerdas jika tidak ada kesempatan mengembangkan
dirirnya dapat gagal pula.
Juga watak (pribadi) seseorang sangat berpengaruh dan turut menentukan. Banyak di antara
orang-orang yang sebenarnya memiliki intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak mendapat
kemajuan dalam kehidupannya. Ini disebabkan/karena misalnya, kekurangan-mampuan
bergaul dengan orang-orang lain dalam masyarakat,atau kurang memiliki cita-cita yang tinggi,
sehingga tidak/kurang adanya usaha untuk mencapainya.
Sebaliknya, ada pula seorang yang sebenarnya memiliki intelegensi yang sedang saja, dapat
lebih maju dan mendapat kehidupan yang lebih layak berkat ketekunan dan keuletannya dan
tidak banyak faktor-faktor yang menggagu atau yang merintanginya. Akan tetapi intelejensi
yang rendah menghambat pula usaha seseorang untuk maju dan berkembang, meskipun orang
itu ulet dan bertekun dalam usahanya. Sebagai kesimpulan dapat kita katakan: Kecerdasan
atau intelejensi seseorang memberi kemungkinan bergerak dan berkembang dalam bidang
tertentu dalam kehidupannya. Sampai di mana kemungkinan tadi dapat direalisasikan,
tergantung pula kepada kehendak dan pribadi serta kesempatan yang ada. Jelaslah sekarang
bahwa tidak terdapat korelasi yang tetap antara tingkatan intelegensi dengan tingkat kehidupan
seseorang.
COGNITIVE ENTRY
A. Konsep Kognitif
1. Teori Psikologi kognitif
Menurut Sternberg (2008:2): kognitif adalah cara manusia berpikir, Psikologi kognitif adalah
ilmuan yang berpikir tentang cara manusia berpikir. Dan psikologi kognitif adalah sebuah bidang
studi tentang bagaimana manusia memahami, belajar mengingat dan berpikir tentang suatu
informasi. Seorang psikologi kognitif mempelajari cara manusia memahami beragam bentuk,
kenapa mereka ingat beberapa fakta tetapi lupa fakta yang lain atau bagaimana cara mereka
belajar bahasa. Solso dan kawan-kawan, (2008:10) : Psikologi kognitif adalah ilmu pemrosesan
informasi yang dimaksudkan adalah psikologi kognitif berkutat dengan cara kita memperoleh
dan memproses informasi mengenai dunia cara informasi mengenai dunia, cara informasi
tersebut disimpan dan diproses oleh otak, cara kita menyelesaikan masalah, berpikir dan
menyususn bahasa dan bagaimana proses–proses ini ditampilkan dalam perilaku yang dapat di
amati. Proses-proses tersebut meliputi neurosains kognitif, kecerdasan manusia dan
kecerdasan konsep, berpikir dan formasi konsep, perkembangan kognitif, pengenalan pola,
atensi, kesadaran, memori, representasi pengetahuan, pencitraan, bahasa, sensasi persepsi
2. Teori Belajar Psikologi Kognitif
Proses hubungan stimulus-response-reinforcement merupakan awal dari teori belajar psikologi
kognitif atau teori belajar kognitif. Para ahli psikologi kognitif berpendapat bahwa tingkah laku
seseorang tidak dikontrol oleh reward dan reinforcement dan senantiasa didasarkan pada
kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Dalam situasi belajar seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight
untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitifis berpandangan bahwa tingkah laku seseorang
lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan–hubungan yang ada di dalam situasi.
Keseluruhan adalah lebih dari bagian–bagiannya. Mereka memberi tekanan pada organisasi
pengamatan atas stimuli di dalam lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi
pengamatan
a. Teori Belajar Cognitive-Field dari Lewin
Lewin (1892-1947) dalam Wasty Soemanto (2006:129) berpendapat bahwa tingkah laku
merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan baik yang dari dalam individu seperti tujuan,
kebutuhan, tekanan kejiwaan;maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan
permasalahan. Belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Lewin mengembangkan teori belajar berdasarkan Life Space (dunia psikologis dari kehidupan
individu). Masing-masing individu berada di dalam medan kekuatan psikologis, medan itu
dinamakan Life Space yang terdiri dari dua unsur yaitu kepribadian dan psikologi sosial. Ia
menyatakan bahwa tingkah laku belajar merupakan usaha untuk mengadakan
reorganisasi/restruktur (dari isi jiwa). Tingkah laku merupakan hasil dari interaksi antar kekuatan
baik dari dalam (tujuan, kebutuhan, tekanan batin, dan sebagainya) maupun dari luar
(tantangan, permasalahan).
b. Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget dalam Wasty Soemanto (2006:130) memandang bahwa proses berpikir
sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Ia memakai
istilah scheme: pola tingkah laku yang dapat diulang, yang berhubungan dengan :
1) Reflex pembawaan (bernapas, makan, minum)
2) Scheme mental (pola tingkah laku yang susah diamati, dan yang dapat diamati)
Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tingkat yaitu :
1) sensory motor ;
2) pre-operational ;
3) concrete operational dan ;
4) formal operational
Perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap menurut Piaget yaitu:
1) Kematangan ;
2) Pengalaman fisik/ lingkungan ;
3) Transmisi social ;
4) Equilibrium/self regulation
Menurut Piaget intelegensi itu terdiri dari tiga aspek, yaitu:
1) struktur (scheme) : pola tingkah laku yang dapat diulang
2) isi (content) : pola tingkah laku yang spesifik (saat menghadapi masalah)
3) fungsi (function) : berhunbungan dengan cara seseorang untuk mencapai kemajuan
intelektul
c. Teori Belajar Discovery Learnig dari Jerome Bruner
Teori Bruner dalam Wasty Soemanto (2006:134) menyatakan bahwa anak harus berperan
secara aktif dalam belajar di kelas. Maksud dari Discovery Learning yaitu siswa
mengorganisasikan metode penyajian bahwa dengan cara dimana anak dapat mempelajari
bahan itu, sesuai dengan tingkat kemampuan anak. The act of discovery dari Burner
diantaranya
1) Adanya suatu kenaikan di dalam potensi intelektual ;
2) Ganjaran intrinsic lebih ditekankan daripada ekstrinsik ;
3) Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai
metodediscovery learning ;
4) Murid lebih senang mengingat-ingat informasi
Selain ketiga tokoh tersebut Ausubel juga berpengaruh dalam psikologi kognitif. Dia
mengungkapkan teori ekspository teaching, yaitu dapat diorganisasikan atau disajikan secara
baik agar dapat menghasilkan pengertian dan resensi yang baik pula sama dengan discovery
learning.
B. Konsep Behavior
Ada beberapa pandangan tentang behaviorisme, Sternberg (2008:7) behaviorisme adalah
sebuah pandangan teoritis yang berpandapat bahwa psikologi mestinya menyoroti relasi antar
perilaku yang bisa diamati di satu sisi, dan peristiwa-peristiwa lingkungan atau stimuli yang
mempengaruhinya di sisi lain.
1. Teori Behavioristik
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Teori ini berkembang menjadi aliran
psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan
dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik, dimana aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Dengan demikian teori
behavioristik menganggap seseorang telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan
perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami
siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon. Disamping stimulus respon dalam teori behavioristik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan yang dimaksud dalam teori ini apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respon.

2. Teori Belajar Behavioristik


Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans)
yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik
terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan
perilaku S-R (stimulus-Respon).
a) Teori Koneksionisme
Teori belajar Thorndike (1874-1949) dalam Dalyono (2005:30) disebut “connectionism” atau
asosiasi karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respon. Teori ini sering pula disebut “trial and error learning”, individu yang belajar melakukan
kegiatan proses “trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu.
Peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S)
dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi
tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah
sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari percobaan ini
Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut (Dalyono, 2005:31) :
1) “Law of readiness” :
Jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka
rekasi menjadi memuaskan
2) “Law of exercise” :
Makin banyak dipraktekkan atau digunakan hubungan stimulus respon, makin kuat hubungan
itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”
3) “Law of effect” :
Bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dibarengi dengan “state of affairs” yang
memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bilaman hubungan dibarengi ”state of
affairs” yang menunggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang
Selanjutnya Dalyono (2005:31) menyebutkan ciri–ciri belajar dengan “trial-and-error”yaitu :
(a).ada motif pendorong aktivitas; (b).ada berbagai respon terhadap situasi; (c).ada
eliminasi respon–respon yang gagal/salah dan; (d) ada kemajuan reaksi–reaksi mencapai
tujuan
b) Skinner’s Operant Conditioning
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan
behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, B.F. Skinner dikenal sebagai
tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku
dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku
organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar.
Seperti halnya Thorndike, Skinner dalam Soemanto (2006:125)
menganggap “reward” atau “reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku.
Selanjutnya Skinner membagi dua jensi respon dalam proses belajar yakni :
1) Respondents : respon yang terjadi karena stimuli khusus
2) Operants : respon yang terjadi karena situasi random
Operants conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons dibuat lebih kuat
akibat reinforcement langsung. Operants conditioning menjamin respon terhadap stimuli. Ada
beberapa jenis stimuli (Soemanto, 2006:126) diantaranya :
1) Positive reinforcement : panyajian stimuli yang meningkatkan probabilitas suatu respons;
2) Negative reinforcement : pembatasan stimuli yang tidak menyenangkan, yang hanya jika
dihentikan akan mengakibatkan probalilitas respon;
3) Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya “contradiction or
reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penagguhan stimulus yang menyenangkan (removing
a pleasant or reinforcing stimulus);
4) Primary reinforcement : stimuli pemenuhan kebutuhan – kebutuhan fisiologis :
5) Secondary or learned reinforcement ; (6) Modifikasi tingkah laku guru : perlakuan guru
terhadap murid berdasarkan minat dan kesenangan mereka
C. Kelebihan dan kekurangan Teori Kognitif
1. Kelebihan dari metode pembelajaran kognitif
Teori kognitif adalah sebuah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan
pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan perilaku, melainkan manusia juga mempunyai
pengalaman dan pengetahuan yang berbeda di dalam diri setiap manusia yang berupa struktur
kognitif, proses belajar kognitif akan berjalan dengan baik apabila di berikan materi pelajaran
baru dari penyaji sehingga si penerima tidak merasa bosan.
Teori pembelajaran kognitif memiliki kelebihan sebagai berikut:
a) Sebagian besar dalam kurikulum pendidikan negara Indonesia lebih menekankan pada teori
kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan yang dimiliki pada setiap
individu.
b) Pada metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memeberikan dasar-dasar dari
materi yang diajarkan unruk pengembangan dan kelanjutannya deserahkan pada peserta didik,
dan pendidik hanya perlu memantau, dan menjelaskan dari alur pengembangan materi yang
telah diberikan.
c) Dengan menerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan ingatan yang
dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-materi yang diberikan karena pada
pembelajaran kognitif salah satunya menekankan pada daya ingat peserta didik untuk selalu
mengingat akan materi-materi yang telah diberikan.
d) Menurut para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan satu hal baru
atau membuat suatu yang baru dari hal yang sudah ada, maka dari itu dalam metode belajar
kognitif peserta didik harus lebih bisa mengkreasikan hal-hal baru yang belum ada atau
menginovasi hal yang yang sudah ada menjadi lebih baik lagi.
e) Metode kognitif ini mudah untuk diterapkan dan juga telah banyak diterapkan pada
pendidikan di Indonesia dalam segala tingkatan
2. Kelemahan dari metode pembelajaran kognitif
Selain meninjau dari segi kelebihan teori kognitif, berikut adalah beberapa kelemahan dari
metode pembelajaran kognitif:
a) Pada dasarnya teori kognitif ini lebih menekankan pada kemampuan ingatan peserta didik,
dan kemampuan ingatan masing-masing peserta didik, sehingga kelemahan yang terjadi di sini
adalah selalu menganggap semua peserta didik itu mempunyai kemampuan daya ingat yang
sama dan tidak dibeda-bedakan.
b) Adakalanya juga dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik dalam
mengeksplorasi atau mengembangkan pengetahuan dan cara-cara peserta didiknya dalam
mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing peserta didik memiliki cara yang berbeda-
beda.
c) Apabila dalam pengajaran hanya menggunakan metode kognitif, maka dipastikan peserta
didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang diberikan.
d) Jika dalam sekolah kejuruan hanya menggunakan metode kognitif tanpa adanya metode
pembelajaran lain maka peserta didik akan kesulitan dalam praktek kegiatan atau materi.
e) Dalam menerapkan metode pembelajaran kognitif perlu diperhatikan kemampuan peserta
didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah diterimanya.
D. Aplikasi praktis teori kognitif dalam pembelajaran
1. Penalaran Deduktif
Adalah proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan universal terkait dengan apa yang
diketahui untuk mencapai satu kesimpulan logis tertentu. Penalaran deduktif merupakan
proposisi logis didasarkan pada pernyataan tegas yang bisa benar atau salah dalam sebuah
argumen logis premis adalah proposisi yang membentuk argumentasi-argumentasi.

a) Penalaran Deduktif Proses Kognitif


Dalam konteks psikologi kognitif, Sternberg (2008:425) menyatakan penalaran deduktif
berguna karena membantu manusia menghubungkan berbagai preposisi untuk mencapai
kesimpulan. Beberapa kesimpulan ini masuk akal sementara yang lain tidak. Tetapi sebagian
besar kesulitan menalar ini terletak di dalam upaya memahami bahasa masalah–masalah
(Girotto, 2004).
b) Penalaran Deduktif Proses Entry Behavior
Penalaran deduktif dapat kita tingkatkan dengan mengembangkan strategi-strategi untuk
menghindari pembuatan kesalahan. Dalam entry behavior kita dapat meningkatkan efektifitas
proses kerja dengan pembalikan negasi-negasi universal. Prosesnya dengan mengambil waktu
untuk mempertimbangkan contoh–contoh yang sebaliknya dan menciptakan model-model
mental yang lebih banyak.
2. Jaringan dan Skema
Jaringan merupakan cara manusia mengoranisasikan konsep, sedangkan skema merupakan
pendekatan untuk memahami bagaimana konsep berkaitan di dalam pikikiran.
a) Jaringan dan Skema Proses Kognitif
Skema adalah sebuah kerangka mental bagi pengorganisasian pengetahuan. Skema
menciptakan struktur bermakna dari konsep-konsep terkait. Skema bagi psikologi kognitif
merupakan sebuah elaborasi yang sangat kaya (Sternberg, 2008: 269)
b) Jaringan dan Skema Proses Entry Behavior
Proses berpikir dalam matematika membentuk model deklaratif dan prosedural dimana dalam
menyelasikan sebuah masalah dilakukan proses analisis. Hal ini paling sering dibaut dalam
pohon masalah atau jejaring pada teori graf. Analoginya dalam proses berpikir didukung oleh
pengalaman – pengalaman yang diperoleh melalui latihan – latihan sehingga proses
pembentukan mental dapat terwujud.

E. Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavior


Dalam setiap teori tidak lepas dengan adanya kelebihan dan kekurangan, maka dalam
penerapan teori pembelajaran berbasis behavioristik menjumpai kekurangan dan kelebihan
diantaranya :
1. Kelebihan Teori Behavior
Teori behaviorisme dalam pendidikan memiliki sejumlah besar pengikut sehingga memiliki
implikasi yang nyata dalam pembelajaran. Bahkan harus diakui banyak pendidik diseluruh
belahan dunia ini yang masih mempraktekan aliran behaviorisme. Teori bihaviorisme dengan
model hubungan S-R mendukung siswa sebagai individu yang pasif.
Pembelajaran yang berpijak yang dirancang berdasarkan teori behaviorisme memandang
pengetahuan bersifat objektif, tetap, pasti dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar merupakan
transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang
sama tentang pengetahuan yang diajarkan. Proses berpikir utama siswa adalah “meng-copy
and paste” pengetahuan seperti apa yang dipahami pengajar.

2. Kekurangan Teori Behavior


Dalam proses belajar mengajar siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan
motivasi dan penguatan dari pengajar. Oleh karena itu, kurikulum dikembangkan secara
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang
harus diraih oleh siswa. Dalam penilaian (assesment) hasil tes tulis, hasil uji kinerja yang dapat
diamati (observable), sehingga hal-hal yang tidak teramati seperti sikap, minat, bakat, motivasi
dan sebagainya kurang dijangkau oleh penilaian.

F. Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran


Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pembelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang
sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami
oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pembelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti
kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai
dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku
wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pembelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pembelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
G. Cognitive Entry Behavior
Cognitive entry behavior merupakan istilah lain untuk menjelaskan tipe-
tipeprerequisite pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang esensial untuk belajar pada
tugas-tugas yang baru. Dalam responsive evaluation, entry behavior termasuk dalam klasifikasi
dataantecedent yang dapat berupa status seorang siswa sebelum mengikuti pelajaran seperti :
bakat, pengalaman sebelumnya, minat dan kemauan. Hasil belajar dalam cognitive entry
behavior terukur melalui cognitive entry characteristics, affective entry characteristics dan
kualitas pembelajaran itu sendiri
Kemampuan awal (entry behavior) berbeda dengan kamampuan dasar (aptitude). Entry
behavior menunjuk pada kemampuan prasyarat (prerequisite background) yang diperlukan
sebagai dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dipelajari, yang sifatnya menjurus
pada aspek tertentu, sedangkan kemampuan dasar bersifat lebih umum. Dalam
merumuskan cognitive entry behavior maka diperlukan langkah awal persiapan berupa
desain cognitive entry behavior plus outputnya sebagai berikut:
1. mengidentifikasi entry behavior; outputnya adalah entry behavior calon peserta pelatihan;
2. merumuskan tujuan pembelajaran (objective); outputnya adalah rincian tujuan pembelajaran
yang sudah spesifik, operasional dan dapat diukur;
3. menyusun performance test ; tentunya hasilnya adalah berbagai bentuk dan jenis test yang
relevan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran tersebut;
mengurutkan performance (instructional analysis); dan menentukan aktifitas (strategi: metode,
media, waktu) yang relevan untuk pencapaian tujuan pelatihan tersebut;

Anda mungkin juga menyukai