Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN BESAR


YANG DILAKSANAKAN DI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

“Myasis pada Domba”

Oleh:
Sarah Arnestia Yudandi, S.KH
NIM. 170130100011013

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN PPDH
ROTASI INTERNA HEWAN BESAR
YANG DILAKSANAKAN DI
PETERNAKAN DRH RIBUT HARTONO
DAN KAMPUNG SAPI ADVENTURE

(25 Februari – 22 Maret 2019)

Oleh:

Sarah Arnestia Yudandi, S.KH


170130100011013

Menyetujui,

Koordinator rotasi Penguji

drh. Analis Wisnu Wardhana, M.Biomed drh. M. Arfan Lesmana, M.Sc


NIP. 19800904 200812 1 001 NIK.2013098410041001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

Dr. Ir. Sudarminto Setyo Yuwono, M.App.Sc


NIP. 19631216 198803 1 002

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada penulis, karena berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan koasistensi rotasi interna hewan
besar dan menuliskan laporan kegiatan dengan lancar tanpa ada hambatan yang
berarti. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak di antaranya:
1. Drh. Arfan Lesmana, M.Sc selaku dosen pembimbing maupun dosen penguji
pada kegiatan PPDH rotasi Interna Hewan Besar
2. Drh. Ribut Hartono sebagai dosen pembimbing lapang yang telah bersedia
untuk berbagi ilmu selama kegiatan koasistensi
3. Teman sejawat PPDH Gelombang X Kelompok 3 atas kerjasama, dorongan,
semangat, inspirasi, keceriaan, dan kebersamaannya.
Akhir kata, penulis berharap semogaTuhan Yang Maha Esa membalas
segala kebaikan yang telah diberikan dan penulis sepenuhnya menyadari bahwa
penulisan laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mohon kritik
dan saran yang bersifat membangun demi masa mendatang yang lebih baik.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Maret 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 1
BAB II STUDI KASUS ..........................................................................................2
2.1 Signalement......................................................................................................... 2
2.2 Anamnesa ............................................................................................................ 2
2.3 Temuan Klinis ..................................................................................................... 2
2.4 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................... 3
2.5 Diagnosa Banding ............................................................................................... 3
2.6 Diagnosa ............................................................................................................. 3
2.7 Prognosis ............................................................................................................. 3
2.8 Penanganan dan Terapi ....................................................................................... 3
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................4
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................10
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 10
4.2 Saran ................................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................11

iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
3.1 Domba yang Mengalami Myasis ............................................................ 2
3.2 Diagram Alir Patogenesa Myasis ............................................................ 4
3.3 Obat yang Digunakan.............................................................................. 6

v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu usaha peternakan domba di Indonesia dalam menjalankan produksi
tidaklah selalu lancar karena berbagai masalah dapat terjadi termasuk penyakit
pada ternak yang dimiliki usaha tersebut. Keadaan ini diperburuk dengan
manajemen peternakan rakyat yang masih sederhana sehingga menyebabkan
ternak rentan terhadap berbagai penyakit.Penyakit tersebut dapat berasal dari
berbagai macam penyebab baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius.
Salah satu penyakit infeksius yang menjadi masalah serius pada sapi dan juga
ternak lain adalah myasis.
Miasis adalah penyakit atau kelainan karena investasi lalat pada jaringan
tubuh hewan hidup. Proses terjadinya miasis didahului oleh adanya luka traumatik
pada kulit inang. Luka dapat berasal dari gigitan caplak atau benda-benda di
sekitar sapi. Awal infeksi larva terjadi pada kulit yang terluka, selanjutnya larva
bergerak lebih dalam menuju jaringan otot sehingga luka semakin lebar.
Meskipun penyakit myiasis jarang menyebabkan kematian tetapi kerugian
ekonomi yang ditimbulkannya cukup besar. Kasus myiasis pada ternak sering
ditemukan di sekitar mata, mulut, vulva, tanduk yang dipotong, luka kastrasi dan
pusar hewan yang baru lahir. Kondisi ini menyebabkan tubuh sapi menjadi lemah,
kurang nafsu makan, demam, dan anemia sehingga sapi menjadi kurus dan
produktivitasnya menurun yang secara langsung berdampak pada harga jualnya.
Sebenarnya kasus miasis masih sering terjadi, terutama di daerah endemik, akan
tetapi sering kali dilupakan. Langkah-langkah pengendalian masih harus terus
dilakukan, yaitu pengobatan luka secara dini, pemantauan terhadap populasi lalat
miasis dan pengawasan lalu lintas ternak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana peneguhan diagnosa myasis pada domba?
2. Bagaimana pencegahan dan penanganan myasis pada domba?

1.3 Tujuan
3. Mengetahui peneguhan diagnosa myasis pada domba
4. Mengetahui pencegahan dan penanganan myasis pada domba
BAB II STUDI KASUS

2.1 Signalement
Berikut ini merupakan signalement dari pasien kasus myasis yang
meliputi:
Jenis Hewan : Domba
Ras Hewan : Merino Mix
Jenis Kelamin : Betina
Umur : ± 3 tahun
Ciri khusus : Warna coklat, disekitar kepala terdapat corak hitam.

Gambar 2.1 Domba yang Mengalami Myiasis (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.2 Anamnesa
Berdasarkan hasil anamnesa dengan pemilik domba tersebut, diperoleh
infomasi bahwa domba betina ini baru melahirkan 1 bulan lalu, domba terlihat
lemas dan sering berbaring sejak 15 hari yang lalu, awal dikira oleh pemilik
karena digigit tikus pada bagian ekornya. Nafsu makan dan minum menurun sejak
3 hari yang lalu.

2.3 Temuan Klinis


Dari hasil pemeriksaan klinis diketahui bahwa temperatur tubuh: 39°C,
respirasi : 32 x/ menit dan bagian ekor domba terdapat kerusakan jaringan yang
cukup parah. Kemudian luka tersebut dibersihkan menggunakan air bersih,
digunting bulu disekitar luka, diamati dan diperiksa bagian luka tersebut dengan
menggunakan pinset lalu ditemukan luka yang berisi larva lalat didalamnya.

2
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

2.5 Diagnosa Banding


Diagnosa banding untuk kasus ini adalah :
 Abcess
 Celullitis
 Furunculosis

2.6 Diagnosa
Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang
telah dilakukan, maka domba tersebut mengalami Myiasis pada bagian ekor.

2.7 Prognosis
Prognosis dari kasus myiasis ini adalah Fausta.

2.8 Penanganan dan Terapi


Bulu disekitar luka digunting, agar lebih mudah untuk membersihkan dan
mengobati luka. Luka kemudian dibersihkan menggunakan air bersih. Selanjutnya
luka dikuret untuk menghilangkan jaringan mati dengan menggunakan hemostatik
forcep, lalu larva dikeluarkan dari dalam jaringan satu persatu sambil sesekali
diberi air tembakau untuk memicu larva keluar. Setelah luka sudah bersih, luka
disemprot dengan Dicodine® untuk mencegah lalat datang kembali. Untuk
mempercepat proses kesembuhan luka, domba diinjeksi Sulpidon® dan Vetstrep®
secara IM dan Wormectin® secara SC.

3
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Domba Merino, betina, usia ± 3 tahun dilaporkan oleh pemilik dengan


keluhan lemas, tidak aktif bergerak, sering berbaring sejak 15 hari yang lalu dan
terdapat luka pada bagian ekor yang diduga akibat gigitan tikus. Nafsu makan dan
minum menurun sejak 3 hari yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui
bahwa bagian ekor domba terdapat kerusakan jaringan yang cukup parah.
Kemudian luka tersebut dibersihkan menggunakan air bersih, digunting bulu
disekitar luka, diamati dan diperiksa bagian luka tersebut dengan menggunakan
pinset lalu ditemukan luka yang berisi larva lalat didalamnya. Berdasarkan hasil
anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka domba
tersebut mengalami Myiasis pada bagian ekor.

Gambar 3.1 Luka pada Bagian Ekor Domba (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Myiasis merupakan peyakit yang disebabkan infestasi larva lalat dari ordo
Diptera pada hewan dan manusia. Larva tersebut memakan jaringan mati atau
hidup serta cairan tubuh atau makanan yang ditelan hospesnya. Myiasis
merupakan satu di antara penyakit parasitik yang masih menjadi kendala bagi
peternak di Indonesia. Myiasis yang disebabkan oleh lalat Chrysomya bezziana
(beberapa bercampur dengan Sarcophaga sp.) telah tersebar luas di kepulauan
Indonesia dan beberapa pulau di antaranya merupakan daerah endemik. Tercatat
kejadian myiasis pada ternak dan manusia di daerah endemik mencapai 95%.
Oleh karena itu, Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International de
Epizootica (OIE) menggolongkan penyakit ini ke dalam daftar B, yaitu penyakit

4
menular yang memiliki dampak sosial ekonomi atau memiliki nilai kepentingan
kesehatan pada suatu negara dalam perdagangan internasional terkait dengan
produk produk asal hewan.
Penyakit myiasis sering menyerang hewan ternak, seperti domba,
kambing, sapi dan vertebrae lainnya. Larva lalat yang dapat menyebabkan myasis
tergolong dalam genus Chrysomia. Genus Chrysomia yang memegang peranan
penting dalam kasus myasis yaitu Chrysomia megacephala dan Chrysomia
bezziana. Lalat Chrysomia bezziana dilaporkan sebagai lalat penyebab utama
penyakit miasis di Indonesia terutama pada daerah-daerah yang ternaknya
dipelihara secara semi intensif dan ekstensif. Myasis selalu diawali dari adanya
luka di kulit hewan yang terkontaminasi kotoran, yang memicu terjadinya infeksi
oleh bakteri oportunistik. Bakteri yang berkembang biak menyebabkan bau yang
disukai oleh lalat dan mengundang lalat untuk bertelur di luka yang
terkontaminasi tersebut. Larva lalat akan memakan sel-sel mati, eksudat dan
debris dari hewan. Larva dapat menembus lapisan kulit paling atas dan mencapai
daerah bawah kulit, sehingga dapat terbentuk rongga di bawah kulit dengan
diameter yang cukup besar. Infestasi larva lalat ini ke dalam tubuh ternak dapat
menyebabkan terjadinya penurunan nafsu makan disertai penurunan berat badan,
penurunan produksi susu, anemia, dan kerusakan kulit (Wardhana 2006).
Patogenesis myasis pada hewan dimulai saat ternak mengalami luka alami
seperti akibat berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan pasca
partus atau terputusnya tali pusar/umbilikus atau luka lain yang disebabkan oleh
manusia, misalnya pada kasus pemotongan tanduk (de-horning), kastrasi,
pencukuran bulu dan lain-lain. Bau darah segar yang mengalir akan menarik lalat
betina Chrysomia bezziana untuk meletakkan telurnya ditepi luka tersebut. Telur
ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh ke tanah oleh
gerakkan hewan, sehingga dalam waktu kurang dari 12 jam, telur akan menjadi
larva dan bergerak masuk kedalam jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan
tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah.
Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain
(lalat sekunder dan tersier) untuk hinggap dan memicu terjadinya infeksi sekunder
oleh bakteri (Wardhana dan Muharsini,2005)

5
LUKA

Lalat Betina Chrysomia bezziana

Telur

Larva

Masuk kedalam jaringan

Kerusakan jaringan yang parah

Gambar 3.2 Diagram Alir Patogenesa Myasis

Siklus hidup lalat Chrysomia bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu
telur, larva, pupa dan lalat . Pada tahapan larva, perkembangan L1 sampai dengan
L3 memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan membentuk
pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari, kemudian menjadi lalat yang akan
bertelur setelah enam hingga tujuh hari . Lalat betina akan meletakkan kumpulan
telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu sekitar 4,1
menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai
245 (rata-rata 180 telur) (Spradbery, 2002).
Terapi rekomendasi pada kasus myasis menurut Rahman et al (2009)
yaitu dapat dilakukan dengan menghilangkan larva menggunakan minyak
terpentin. Manfaat minyak terpentin dalam pengobatan myasis telah terbukti
membantu menghilangkan larva penyebab myasis. Minyak terpentin membuat
kondisi anaerob pada luka sehingga larva akan merangkak keluar dari luka dalam
waktu 3-5 menit. Selain itu, minyak terpentin mengandung antioksidan sehingga
dapat menghambat proses inflamasi. Terpentin juga terbukti dapat meningkatkan
fibrinogen plasma sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka.
Penggunaan antibiotik dapat diaplikasikan untuk mencegah infeksi sekunder

6
selama proses penyembuhan luka. Antibiotik yang dapat digunakan seperti
kombinasi penisilin dan streptomisin. Penisilin bekerja dengan cara menghambat
sintesis dinding sel bakteri dan streptomisin bekerja dengan cara menghambat
sintesis protein.
Pengobatan myasis dapat diawali dengan pengambilan larva dari daerah
luka. Pada peternak komersial, umumnya dilakukan dipping menggunakan
insektisida golongan organophospat dengan dosis maksimal untuk pemberantasan
parasit eksternal. Pengobatan myasis juga dapat dilakukan menggunakan
insektisida sistemik, seperti ivermectin pada dosis 200mg/KgBB. Pencegahan
agar luka tidak mendapat serangan lalat dapat digunakan doramectin
(200mg/KgBB) yang dilaporkan efektif sampai 12-14 pasca pengobatan.
Spinosad (formula dari produk fermentasi bakteri) dapat digunakan untuk
pengobatan umum yang digunakan oleh peternak adalah penyemprotan luka
dengan Gusanex® (Wardhana dan Muharsini, 2005).
Pasien myasis pada kasus ini ditangani oleh dokter hewan dengan cara
bulu disekitar luka digunting terlebih dahulu, agar lebih mudah untuk
membersihkan dan mengobati luka. Luka kemudian dibersihkan menggunakan air
bersih, selanjutnya luka dikuret untuk menghilangkan jaringan mati dengan
menggunakan hemostatik forcep, lalu larva dikeluarkan dari dalam jaringan satu
persatu sambil sesekali diberi air tembakau untuk memicu larva keluar. Menurut
Zaidi et al (2004) Tembakau dipilih karena mengandung zat alkaloid, minyak
atsiri, nikotin dan flavonoid yang berfungsi sebagai insektisida. Menurut
Mungenge et al (2014) senyawa flavonoid mempunyai efek toksik pada serangga
melalui beberapa mekanisme di antaranya sebagai antiproliferatif, yaitu dengan
cara menghambat transduksi signal ke nukleus sel. Mekanisme kedua,
menginduksi fragmentasi DNA sehingga menyebabkan apoptosis sel. Mekanisme
ketiga, menghambat aktivasi protein kinase pada daerah pengikatan ATP sehingga
pertumbuhan sel menjadi terhambat. Ketiga mekanisme tersebut diduga
menyebabkan kematian sel pada larva melalui mekanisme racun pencernaan.
Kandungan nikotin pada tembakau merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat
dan dapat bertindak sebagai racun kontak pada serangga.

7
Luka yang sudah bersih disemprot dengan Dicodine® untuk mencegah
lalat datang kembali. Dicodine® mengandung Dichlofention 1% yang berkhasiat
untuk mempercepat penyembuhan luka dan mencegah terjadinya myasis.
Sulpidon® mengandung dipyrone dan lidocaine yang digunakan sebagai analgesik,
antiinflamasi dan antipiretik. Dipyrone bekerja dengan cara menghambat
prostaglandin dalam menyebabkan reaksi peradangan berupa rasa nyeri, bengkak,
dan demam. Pada domba diberikan volume pemberian 5-10 ml (untuk 30-60 kg)
secara IM.
Antibiotik Vetstrep® digunakan untuk membunuh bakteri yang terdapat
pada luka atau juga dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder oleh
bakteri yang dapat memperparah kerusakan jaringan dan menghambat proses
kesembuhan luka. Setiap gram Vetstrep® mengandung streptomycin 50% dan
dihydrostreptomycin 50%. Larutkan 25 gram Vetstrep® kedalam 80 ml aquadest.
Pada domba diberikan volume pemberian 0,5-1 ml/kgBB secara IM. Streptomisin
merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, antibiotik ini bekerja dengan cara
menghambat sintesis protein. Antibiotik streptomisin bekerja dengan cara
menghambat sintesis protein secara reversibel. Antibiotik ini berikatan pada
subunit 30S ribosom bakteri, beberapa juga pada subunit 59S ribosom dan
menghambat translokasi peptidil-tRNA dari situs A ke situs P, dan menyebabkan
kesalahan pembacaan mRNA dan mengakibatkan bakteri tidak mampu
mensintesis protein vital untuk pertumbuhannya (Pratiwi, 2008).
Pemberian Wormectin® (Dihydroavermectin/ivermectin) merupakan
antiparasit spektrum luas. Menurut Cassie et al (2008) obat ini mengikat dan
mengaktifkan saluran klorida glutamate-gated (GluCls) yang ada di neuron dan
miosit. Ivermectin berikatan secara selektif pada reseptor di sinaps motor perifer,
menghambat transmisi kimia dari asam γ aminobutirat (GABA / Gamma
Aminobutyric Acid) yang berada di sistim saraf pusat. GABA merupakan
neurotransmitter pada otak yang menghambat reaksi neurologis yang tidak
menguntungkan. Hal tersebut merangsang pelepasan GABA pada ujung saraf
endoparasit, meningkatkan afinitas GABA pada reseptor di sinaps dan
menyebabkan gangguan impuls saraf, menimbulkan paralisis dan kematian pada
larva.

8
Gambar 3.2 Obat yang Digunakan (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Pengendalian penyakit miasis masih mengandalkan preparat insektisida


seperti senyawa organofosfat dan senyawa ivermectin. Ivermectin adalah obat
miasis yang paling baik yang dapat memberikan perlindungan sampai 10 hari
pada sekali suntik. Pengendalian dengan preparat insektisida banyak dilakukan
dengan cara disemprot, namun apabila luka sudah terlalu dalam, maka aplikasi
menjadi tidak efektif. Pengobatan miasis secara tradisional dengan tembakau,
bensin dan batu baterai pernah dilakukan peternak, namun cara ini hanya
mengusir larva dan tidak menyembuhkan luka.
Tindakan pencegahan agar luka tidak mendapat serangan larva lalat, dapat
digunakan doramectin (200 mg/kg) yang dilaporkan efektif untuk melindungi luka
dari serangan lalat miasis. Kasus miasis masih sering terjadi, terutama di daerah
endemik, akan tetapi sering kali dilupakan. Langkah-langkah pengendalian masih
harus terus dilakukan, yaitu pengobatan luka secara dini, pemantauan terhadap
populasi lalat miasis dan pengawasan lalu lintas ternak (Wardhana, 2006).
Prognosa dari kasus penyakit myiasis pada domba ini adalah fausta (dapat
disembuhkan) dengan penanganan yang baik jika ditangani dengan cepat dan
dalam kondisi lingkungan yang baik untuk menghindari populasi lalat dan
mempercepat kesembuhan luka serta didukung dengan manajemen perawatan
luka yang benar (Hartutiek dkk, 2014).

9
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Domba Merino, betina, usia ± 3 tahun dilaporkan oleh pemilik dengan
keluhan lemas, tidak aktif bergerak, sering berbaring sejak 15 hari yang lalu dan
terdapat luka pada bagian ekor yang diduga akibat gigitan tikus. Nafsu makan dan
minum menurun sejak 3 hari yang lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui
bahwa bagian ekor domba terdapat kerusakan jaringan yang cukup parah.
Kemudian luka tersebut dibersihkan menggunakan air bersih, digunting bulu
disekitar luka, diamati dan diperiksa bagian luka tersebut dengan menggunakan
pinset lalu ditemukan luka yang berisi larva lalat didalamnya. Berdasarkan hasil
anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka domba
tersebut mengalami Myiasis pada bagian ekor. Pengobatan yang diberikan untuk
domba tersebut luka disemprot dengan Dicodine® untuk mencegah lalat datang
kembali. Untuk mempercepat proses kesembuhan luka, domba diinjeksi
Sulpidon® (analgesik, antiinflamasi dan antipiretik) dan Vetstrep® (antibiotik)
secara IM dan Wormectin® (insektisida) secara SC.

4.2 Saran
Peternak harus memperbaiki manajemen pemeliharaan domba yang baik
agar menghindari terjadinya gangguan pada saluran pencernaan.

10
DAFTAR PUSTAKA
Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry P. 2008. Cutaneous Myiasis:
Diagnosis, Treatment, and Prevention. J Oral Maxillofac Surg 66:560-
568.

Hartutiek, P., R. Sasmita, A. Sunarso, dan M. Yunus. 2014. Ilmu Penyakit


Artropoda Veteriner.

Mungenge C, Zimudzi C, Zimba M, Nhiwatiwa T. 2014. Phytochemical


screening, cytotoxicity and insecticidal activity of the fish poison plant
Synaptolepis alternifolia Oliv. (Thymelaeaceae). Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry 2(5): 15- 19

Pratiwi, S. T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 154, 158, Jakarta, Erlangga Medikal
Series.

Rahman M.A., M. A. Hossain and M. R. Alam. 2009. Clinical Evaluation Of


Different Treatment Regimes For Management Of Myiasis In Cattle.
Bangl. J. Vet. Med. 7(2) : 348 – 352

Spradbery, J.P . 2002 . The screwworm fly problem : A background briefing.


Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference Canberra
. Canbera, 12 - 15 November 2001 . Departement of Agric.

Wardhana AH and Muharsini S .2005. Kasus Myasis yang disebabkan oleh


Chrysomia bezziana di Pulau Jawa. Dalam, Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 12-13
September 2005, 1078-1084

Wardhana AH. 2006. Chrysomya bezziana, the cause of myasis on animal and
human: problem and control. Wartazoa. 16(3):146-159
Zaidi, M. I., Gul, A. & Khattak, R. A. 2004. Antibacterial Activity of Nicotine
and It’s Mercury Complex. Sarhad J. Agric, 20 (4): 619 – 622

11

Anda mungkin juga menyukai