Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar
manusia. Pada profesi keperawatan komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan
metode utama dalam mengimplementasikan proses keperawatan.

Pengalaman ilmu untuk menolong sesama memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial
yang besar (Abdalati, 1989). Untuk itu perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian
sosial yang mencakup keterampilan intelektual, tehnical dan interpersonal yang tercermin dalam
perilaku “caring” atau kasih sayang/cinta (Johnson, 1989) dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik tidak saja akan mudah
menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, mencegah terjadinya masalah legal, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan
serta citra rumah sakit (Achir Yani), tetapi yang paling penting adalah mengamalkan ilmunya
untuk memberikan pertolongan terhadap sesama manusia.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian komunikasi termasuk “Konsep Komunikasi
Terapeutik pada Keadaan Pre dan Post Operasi” untuk praktek keperawatan, sikap dan teknik serta
dimensi hubungan dari komunikasi terapeutik.

1.2 Tujuan Masalah

Tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul “Konsep Komunikasi Terapeutik pada
Keadaan Pre dan Post Operasi” yaitu :

1. Mengetahui pengertian komunikasi

2. Memahami teknik komunikasi terapeutik

3. Mengetahui fase – fase terapeutik


4. Mengetahui sikap komunikasi terapeutik

5. Mengetahui cara berkomunikasi dengan klien pre dan post operatif

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi?

2. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik?

3. Apa saja yang termasuk fase – fase komunikasi terapeutik?

4. Bagaimana sikap komunikasi terapeutik yang baik?

5. Bagaimana cara berkomunikasi dengan klien pre dan post operatif?

1.4 Metode

Metode yang kami gunakan dalam pembuatan makalah ini dengan menggunakan studi
pustaka dan situs web untuk mempermudah dalam penyusunan makalah ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam pembuatan makalah ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab II : Konsep Komunikasi Terapeutik pada Keadaan Pre dan Post Operasi

Bab III : Roleplay

Bab IV : Kesimpulan dan Saran


BAB II

KONSEP KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA KEADAAN PRE DAN POST


OPERATIF

2.1 Pengertian dan Jenis Komunikasi

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan


individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry
(1993), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik.
Makalah ini difokuskan pada komunikasi interpersonal yang terapeutik.

Komunikasi interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara sedikitnya dua orang atau
dalam kelompok kecil, terutama dalam keperawatan. Komunikasi interpersonal yang sehat
memungkinkan penyelesaian masalah, berbagai ide, pengambilan keputusan, dan pertumbuhan
personal.

Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984) dan Tappen (1995)
ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang dimanifestasikan secara
terapeutik.

2.2 Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien


(Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses
yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan pada klien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal
dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang
mendasar dari komunikasi ini adalah adanya rasa saling membutuhkan antara perawat dan klien,
sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan klien, perawat
membantu dan klien menerima bantuan.

Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik diarahkan
pada pertumbuhan klien meliputi :
a Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.

b Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.

c Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung
dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.

d Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realistik.

2.2.1 Komponen Komunikasi Terapeutik

Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional berikut


(Hamid,1998) :

a) Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.

b) Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima.

c) Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi oleh pesan.

d) Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.

e) Konteks tatanan di mana komunikasi terjadi.

Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima elemen struktur ini
maka masalah – masalah yang spesifik atau kesalahan yang potensial dapat diidentifikasi.
Menurut Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi
tumbuhnya hubungan yang terapeutik.

Karakteristik tersebut antara lain : (Suryani, 2005)

a. Kejujuran (Trustworthy)

Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang bernilai
terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya. Klien hanya akan
terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya bila yakin bahwa perawat
dapat dipercaya.

b. Tidak Membingungkan dan Cukup Ekspresif


Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan kata–kata yang mudah
dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang
disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.

c. Bersikap Positif

Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan
penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah kehangatan,
ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.

d. Empati Bukan Simpati

Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan karena dengan sikap ini
perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang dirasakan dan
dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan alternatif pemecahan
masalah bagi klien karena meskipun dia turut merasakan permasalahan yang dirasakan kliennya,
tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang
dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan
secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan terlarut didalamnya.

e. Mampu Melihat Permasalah Klien dari Kacamata Klien

Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien (Taylor
dkk, 1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien
perawat harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat
harus menggunakan teknik active listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien.
Jika perawat menyimpulkan secara tergesa–gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan
ungkapan klien akibatnya dapat fatal karena dapat saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak
sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan dapat tidak membantu bahkan
merusak klien.

f. Menerima Klien Apa Adanya

Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman dalam
menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau mengkritik klien berdasarkan
nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak menerima klien apa adanya.
g. Sensitif Terhadap Perasaan Klien

Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena jika
tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi dan menyinggung perasaan
klien

h. Tidak Mudah Terpengaruh oleh Masa Lalu Klien ataupun Diri Perawat Sendiri.

Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak
akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika
ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.

2.3 Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik

Struktur dalam komunikasi terapeutik menurut Stuart G.W.,1998, terdiri dari empat fase
yaitu :

1. Fase Preinteraksi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien. Tugas perawat pada
fase ini yaitu :

a) Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya.

b) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk
memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu
belajar kembali, diskusi teman kelompok.

c) Mengumpulkan data tentang klien sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi.

d) Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu
dengan klien.

2. Fase Orientasi

Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat pertama kali
bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan
langkah awal dalam membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini
adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan serta membantu
klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara
lain :

a) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi


terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas,
menerima klien apa adanya, menepati janji, dan menghargai klien.

b) Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan sebuah
interaksi. Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu tempat, waktu dan topik
pertemuan.

c) Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk mendorong klien
mengekspresikan perasaannya, maka teknik yang digunakan adalah pertanyaan terbuka.

d) Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien teridentifikasi.
Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi
(Stuart,G.W,1998 dikutip dari Suryani,2005). Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain
:

i. Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan.

ii. Memperkenalkan diri perawat.

iii. Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien untuk berkomunikasi,
topik, tempat, dan lamanya pertemuan.

iv. Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu melengkapi penjelasan tentang
identitas serta tujuan interaksi agar klien percaya kepada perawat.

v. Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang
membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus
pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan utama.
Pada pertemuan lanjutan evaluasi atau validasi digunakan untuk mengetahui kondisi dan kemajuan
klien hasil interaksi sebelumnya.
vi. Menyepakati masalah. Dengan teknik memfokuskan perawat bersama klien
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.

Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi. Tujuan orientasi
adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini dan
mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.

3. Fase Kerja

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Tahap ini perawat
bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien. Perawat dan klien mengeksplorasi stressor
dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan dan
perilaku klien. Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan.
Teknik komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi,
mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan
(Geldard, D, 1996. dikutip dari Suryani, 2005).

4. Fase Terminasi

Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah
terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan.
Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien akan
pulang. Perawat dan klien bersama – sama meninjau kembali proses keperawatan yang telah dilalui
dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat
menggunakan konsep kehilangan.

Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:

a) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;

b) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara
menyeluruh.

Tugas perawat pada fase ini adalah :

a) Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan. Evaluasi ini disebut evaluasi
objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa meminta klien menyimpulkan tentang
apa yang telah didiskusikan atau respon objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada
tahap terminasi (Suryani, 2005).

b) Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setalah


berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu.

c) Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering disebut
pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan interaksi
yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut
klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam.

d) Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati yaitu topik,
waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara dan terminasi akhir adalah
bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.

2.4 Sikap Komunikasi Terapeutik

Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi
komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :

1. Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.

2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien
dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau
mendengar sesuatu.

4. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan
untuk berkomunikasi.

5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam
memberi respon kepada klien. Selain hal – hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi
melalui perilaku non verbal.

Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu :

1. Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal misalnya
tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
2. Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.

3. Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang
seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.

4. Ruang, memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini
didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.

5. Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling
personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar
belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.

2.5 Teknik Komunikasi Terapeutik

Ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif (Stuart dan Sundeen, 1998) yaitu
:

1. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi maupun penerima
pesan.

2. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan lebih dahulu sebelum
memberikan saran, informasi maupun masukan.

Hubungan kerjasama Perawat – Klien yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan
pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik. Jarak yang baik untuk komunikasi
terapeutik adalah 50 – 120 cm, tidak dibatasi oleh meja.

Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut :

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian

Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan
klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat
mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara. Perawat
harus menjadi pendengar yang aktif.

2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain
tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.

3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang
disampaikan oleh klien.

4. Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata – kata sendiri

Melalui pengulangan kembali kata – kata klien, perawat memberikan umpan balik bahwa perawat
mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.

5. Mengklasifikasi

Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata – kata ide atau pikiran
yang tidak jelas dikatakan oleh klien.

6. Memfokuskan

Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih
spesifik dan dimengerti.

7. Menyatakan hasil observasi

Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien.

8. Menawarkan informasi

Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien yang
bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.

9. Diam

Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir. Diam
memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan
memproses informasi.

10. Meringkas

Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.


11. Memberi penghargaan

Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha
keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian dan persetujuan atas
perbuatannya.

12. Memberi kesempatan klien untuk memulai pembicaraan

Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan.

13. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh
pembicaraan.

14. Menempatkan kejadian secara berurutan

Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam
suatu perspektif.

15. Memberikan kesempatan klien untuk menguraikan persepsinya.

Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala sesuatunya dari
perspektif klien

16. Refleksi

Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.

2.6 Hambatan Dalam Berkomunikasi

1) Resisten

Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas yang dialaminya.
Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk
berubah telah dirasakan. Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja,
karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah.

2) Transferens
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap terhadap
perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa lalu. Sifat yang
paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme
pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan
dan tergantung.

3) Kontertransferens

Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien. Kontertransferens merujuk
pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi maupun
konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya
berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau
membenci dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.

Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk mengungkapkan
perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat – klien (Hamid, 1998).
Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan komunikasi terapeutik dan
mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar belakang perilaku digali
baik klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan dampak negative
pada proses terapeutik.

2.7 Tolak Ukur Keberhasilan Komunikasi

1) Kepercayaan penerima pasien

2) Daya tarik pesan dan kesesuaian kebutuhan

3) Pemahaman yang sama

4) Kemampuan komunikan menafsirkan pesan

5) Setting komunikasi yang kondusif

6) Metode dan media penyampaian yang sesuai

2.8 Tinjauan Tentang Kecemasan


2.8.1 Pengertian

Kecemasan (anxietas) merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak
menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari – hari. Tindakan
operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai
kemungkinan buruk bisa saja terjadi yang akan membahayakan pasien. Maka tak heran jika sering
kali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang
mereka alami. Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait dengan segala macam prosedur
asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat prosedur
pembedahan dan pembiusan.

2.8.2 Penyebab Kecemasan

1. Faktor Predisposisi

a) Teori Psikoanalitik

Menurut Freud, struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen yaitu id, ego, dan super ego.
Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani
seseorang dan dikendalikan oleh norma – norma budaya seseorang, sedangkan ego digambarkan
sebagai mediator antara tuntutan dari id dan super ego. Kecemasan merupakan konflik emosional
antara id dan super ego yang berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatu bahaya yang
perlu diatasi.

b) Teori Interpersonal

Kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal, hal ini juga dihubungkan
dengan trauma pada masa pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan
seseorang menjadi tidak berhahaya. Individu yang mempunyai harga diri rendah biasanya sangat
mudah untuk mengalami kecemasan.

c) Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan para ahli perilaku menganggap kecemasan
merupakan suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan dorongan, keinginan untuk
menghindarkan rasa sakit. Teori ini meyakini bahwa manusia yang pada awal kehidupanya
dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan menunjukkan kemungkinan kecemasan yang
berat pada kehidupan yang berat dan pada kehidupan masa dewasanya.

d) Teori Biologis

Dari penyelidikan – penyelidikan telah dibuktikan bahwa kemampuan untuk mengalami


suatu emosi tidak hanya tergantung dari kadar adrenalin yang meningkat tetapi jenis emosi yang
dialami dan diperhatikan tergantung dari faktor – faktor dan stimulus dalam lingkungan.

2. Faktor Presipitasi

a Ancaman Integritas Diri

Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi infeksi virus dan bakteri,
polusi lingkungan, sampah. rumah dan makanan juga pakaian dan trauma fisik. Faktor internal
meliputi kegagalan mekanisme fisiologi seperti sistem kekebalan, pengaturan suhu dan jantung,
serta perubahan biologis.

b Ancaman Sistem Diri

Meliputi ancaman terhadap identitas diri, harga diri dan hubungan interpersonal,
kehilangan serta perubahan status atau peran. Faktor eksternal yang mempengaruhi harga diri
adalah kehilangan, dilematik, tekanan dalam kelompok sosial maupun budaya.

3. Karakteristik Tingkat Kecemasan

A. Kecemasan Ringan

· Fisik : Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, gejala ringan
berkeringat.

· Kognitif : Lapang persepsi meluas, mampu menerima rangsang kompleks, konsentrasi


pada masalah, menyelesaikan masalah aktual.

· Perilaku dan emosi : Tidak dapat duduk dengan tenang, tremor halus pada tangan,
suara kadang-kadang meninggi.
B. Kecemasan Sedang

· Fisik : Sering nafas pendek, nadi ekstra sistole, tekanan darah meningkat, mulut
kering, anoreksia, diare atau kontipasi, dan gelisah.

· Kognitif : Lapang persepsi meningkat, tidak mampu menerima rangsang lagi, berfokus
pada apa yang menjadi perhatiannya.

· Perilaku dan emosi : Gerakan tersentak – sentak, meremas tangan, bicara lebih banyak
dan cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.

C. Kecemasan Berat

· Fisik : Nafas pendek nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat dan sakit kepala,
penglihatan kabur dan ketegangan.

· Kognitif : Lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu menyelesaikan


masalah.

· Perilaku dan emosi : Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat.

D. Panik

· Fisik : Nafas pendek, rasa tercekik dan palpitasi sakit dada, pucat, hipotensi, koordinasi
motorik rendah.

· Kognitif : Lapang persepsi sangat menyempit tidak dapat berpikir logis.

· Perilaku dan emosi: Agitasi, mengamuk, marah ketakutan, berteriak, blocking, kehilangan
kontrol diri, persepsi datar.

4. Ukuran Skala Kecemasan

Ukuran skala kecemasan rentang respon kecemasan dapat ditentukan dengan gejala yang ada
dengan menggunakan Hamilton anxietas rating scale (Stuart & Sundeen, 1991) dengan skala
HARS terdiri dari 14 Komponen yaitu :

a) Perasaan cemas meliputi takut, mudah tersinggung dan firasat buruk.


b) Ketegangan meliputi lesu, tidur tidak tenang, gemetar, gelisah, mudah terkejut dan mudah
menangis.

c) Ketakutan meliputi akan gelap, ditinggal sendiri, orang asing, binatang besar, keramaian lalu
lintas, kerumunan orang banyak.

d) Gangguan tidur meliputi sukar tidur, terbangun malam hari, tidak puas, bangun lesu, sering
mimpi buruk dan mimpi menakutkan.

e) Gangguan kecerdasan meliputi daya ingat buruk.

f) Perasaan depresi meliputi kehilangan minat , sedih, bangun dini hari, berkurangnya
kesenangan pada hobi, perasaan berubah – ubah sepanjang hari.

g) Gejala somatic meliputi nyeri otot kaki, kedutan otot, gigi gemertak, suara tidak stabil.

h) Gejala sensorik meliputi tinnitus, penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemas,
perasaan di tusuk – tusuk.

i) Gejala kardiovakuler meliputi tachicardi , berdebar – debar, nyeri dada, denyut nadi
mengeras, rasa lemas seperti mau pingsan, detak jantung hilang sekejap.

j) Gejala pernapasan meliputi rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, merasa napas pendek
atau sesak, sering menarik napas panjang.

k) Gejala saluran pencernaan makanan meliputi sulit menelan, mual, muntah, eneg, konstipasi,
perut melilit, defekasi lembek, gangguan pemcernaan, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan,
rasa panas di perut, berat badan menurun, perut terasa panas atau kembung.

l) Gejala urogenital meliputi sering kencing, tidak dapat menahan kencing.

m) Gejala vegetatif atau otonom meliputi mulut kering, muka kering, mudah berkeringat, sering
pusing atau sakit kepala, bulu roma berdiri.

n) Perilaku sewaktu wawancara meliputi gelisah, tidak tenang, jari gemetar, mengerutkan dahi
atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat, napas pendek dan cepat, muka merah

2.9 Landasan Teoritis Keperawatan Perioperatif

1. Definisi
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman
fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien. Kata perioperatif
adalah gabung an dari tiga fase pengalaman pembedahan yaitu : pre operatif, intra operatif dan
post operatif.

2. Etiologi

Pembedahan dilakukan untuk berbagai alasan (Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth ) seperti :

a. Diagnostik, seperti dilakukan biopsi atau laparatomi eksplorasi

b. Kuratif, seperti ketika mengeksisi masa tumor atau mengangkat apendiks yang inflamasi

c. Reparatif, seperti memperbaiki luka yang multipek

d. Rekonstruktif atau Kosmetik, seperti perbaikan wajah

e. Paliatif, seperti ketika harus menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, contoh
ketika selang gastrostomi dipasang untuk mengkompensasi terhadap kemampuan untuk menelan
makanan.

3. Tahap dalam Keperawatan Perioperatif

1. Fase Pre operatif

Fase pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang dimulai
ketika pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke
meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup
penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah, wawancara pre operatif dan
menyiapkan pasien untuk anasthesi yang diberikan pada saat pembedahan.

Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi persiapan psikologi
baik pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien).
a. Persiapan Psikologi

Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya tidak stabil. Hal ini
dapat disebabkan karena takut akan perasaan sakit, narcosa atau hasilnya dan keadaan sosial
ekonomi dari keluarga. Maka hal ini dapat diatasi dengan memberikan penyuluhan untuk
mengurangi kecemasan pasien. Meliputi penjelasan tentang peristiwa operasi, pemeriksaan
sebelum operasi (alasan persiapan), alat khusus yang diperlukan, pengiriman ke ruang bedah,
ruang pemulihan, kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi, bernafas dalam dan
latihan batuk, latihan kaki, mobilitas dan membantu kenyamanan.

b. Persiapan Fisiologi, meliputi :

1) Diet (puasa) : pada operasi dengan anaesthesi umum, 8 jam menjelang operasi pasien tidak
diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak diperbolehkan minum. Pada operasai
dengan anaesthesi lokal/spinal anaesthesi makanan ringan diperbolehkan. Tujuannya supaya tidak
aspirasi pada saat pembedahan, mengotori meja operasi dan mengganggu jalannya operasi.

2) Persiapan Perut : Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan pada bedah


saluran pencernaan atau pelvis daerah periferal. Tujuannya mencegah cidera kolon, mencegah
konstipasi dan mencegah infeksi.

3) Persiapan Kulit : Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut.

4) Hasil Pemeriksaan : Hasil laboratorium, foto rontgen, ECG, USG dan lain-lain.

5) Persetujuan Operasi/Informed Consent : Izin tertulis dari pasien/keluarga harus


tersedia.

2. Fase Intra operatif

Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindahkan ke instalasi bedah dan
berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup pemasangan IV cath, pemberian
medikasi intravena, melakukan pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Contoh : memberikan dukungan psikologis selama
induksi anestesi, bertindak sebagai perawat scrub, atau membantu mengatur posisi pasien di atas
meja operasi dengan menggunakan prinsip - prinsip dasar kesimetrisan tubuh.

Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi yaitu pengaturan posisi karena
posisi yang diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis
pasien.

a. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien adalah :

1. Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.

2. Umur dan ukuran tubuh pasien.

3. Tipe anaesthesia yang digunakan.

4. Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan (arthritis).

b. Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien :

Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman dan sedapat mungkin jaga privasi pasien,
buka area yang akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk.

Anggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam dua bagian. Berdasarkan kategori
kecil terdiri dari anggota steril dan tidak steril :

- Anggota steril, terdiri dari : ahli bedah utama / operator, asisten ahli bedah, Scrub Nurse /
Perawat Instrumen

- Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : ahli atau pelaksana anaesthesi, perawat
sirkulasi dan anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit).

3. Fase Post operatif

Fase Post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre operatif dan intra operatif
yang dimulai ketika klien diterima di ruang pemulihan (recovery room)/pasca anaestesi dan
berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah.

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang aktivitas yang luas selama
periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian meliputi efek agen anaestesi dan memantau fungsi vital
serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan yang
penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta pemulangan ke rumah.

Fase post operatif meliputi beberapa tahapan, diantaranya adalah :

a) Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca anaestesi (recovery room).

b) Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus diantaranya adalah letak insisi bedah,
perubahan vaskuler dan pemajanan. Pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring pada posisi
yang menyumbat drain dan selang drainase. Selama perjalanan transportasi dari kamar operasi ke
ruang pemulihan pasien diselimuti, jaga keamanan dan kenyamanan pasien dengan diberikan
pengikatan diatas lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk mencegah terjadi resiko injury.
Proses transportasi ini merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat anaestesi dengan
koordinasi dari dokter anaestesi yang bertanggung jawab.

c) Perawatan post anaestesi di ruang pemulihan atau unit perawatan pasca anaestesi

Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di ruang pulih sadar
(recovery room : RR) atau unit perawatan pasca anaestesi (PACU: post anaesthesia care unit)
sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).

PACU atau RR biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk
mempermudah akses bagi pasien untuk :

a. Perawat yang disiapkan dalam merawat pasca operatif (perawat anaestesi)

b. Ahli anaestesi dan ahli bedah

c. Alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.

4. Klasifikasi Perawatan Perioperatif

Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan pembedahan dapat


diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan, yaitu :
a. Kedaruratan/Emergency : Pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin
mengancam jiwa. Indikasi dilakukan pembedahan tanpa di tunda. Contoh : perdarahan hebat,
obstruksi kandung kemih atau usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak atau tusuk, luka bakar
sangat luas.

b. Urgen : Pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat dilakukan dalam 24-30
jam. Contoh : infeksi kandung kemih akut, batu ginjal atau batu pada uretra.

c. Diperlukan : Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan dapat direncanakan dalam


beberapa minggu atau bulan. Contoh : Hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih.
Gangguan tyroid, katarak.

d. Elektif : Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan, bila tidak dilakukan
pembedahan maka tidak terlalu membahayakan. Contoh : perbaikan Scar, hernia sederhana,
perbaikan vaginal.

e. Pilihan : Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan sepenuhnya pada pasien.


Indikasi pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika. Contoh :
bedah kosmetik.

Sedangkan menurut faktor resikonya, tindakan pembedahan di bagi menjadi :

a. Minor : Menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan yang minim.
Contoh : incisi dan drainage kandung kemih, sirkumsisi

b. Mayor : Menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat serius. Contoh : Total
abdominal histerektomi, reseksi colon, dan lain-lain.

5. Komplikasi Post Operatif dan Penatalaksanaanya

a. Syok

Syok yang terjadi pada pasien bedah biasanya berupa syok hipovolemik. Tanda-tanda syok adalah
: Pucat, kulit dingin, basah, pernafasan cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah
dan bergetar, penurunan tekanan darah, urine pekat.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi dengan dokter terkait dengan
pengobatan yang dilakukan seperti terapi obat, terapi pernafasan, memberikan dukungan
psikologis, pembatasan penggunaan energi, memantau reaksi pasien terhadap pengobatan, dan
peningkatan periode istirahat.

b. Perdarahan

Penatalaksanaannya pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki


membentuk sudut 20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijaga tetap lurus. Kaji
penyebab perdarahan, luka bedah harus selalu diinspeksi terhadap perdarahan.

c. Trombosis vena profunda

Trombosis vena profunda adalah trombosis yang terjadi pada pembuluh darah vena bagian
dalam. Komplikasi serius yang bisa ditimbulkan adalah embolisme pulmonari dan sindrom pasca
flebitis.

d. Retensi urin

Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan rektum, anus dan vagina.
Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter kandung kemih. Intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan adalah pemasangan kateter untuk membantu mengeluarkan urine dari kandung kemih.

e. Infeksi luka operasi (dehisiensi, evicerasi, fistula, nekrose, abses)

Infeksi luka post operasi dapat terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi pada saat
operasi maupun pada saat perawatan di ruang perawatan. Pencegahan infeksi penting dilakukan
dengan pemberian antibiotik sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril.

f. Sepsis

Sepsis merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman berkembang biak. Sepsis
dapat menyebabkan kematian karena dapat menyebabkan kegagalan multi organ.

g. Embolisme Pulmonal
Embolsime dapat terjadi karena benda asing (bekuan darah, udara dan lemak) yang terlepas
dari tempat asalnya terbawa di sepanjang aliran darah. Embolus ini bisa menyumbat arteri
pulmonal yang akan mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan sesak nafas,
cemas dan sianosis. Intervensi keperawatan seperti ambulatori pasca operatif dini dapat
mengurangi resiko embolus pulmonal.

h. Komplikasi Gastrointestinal

Komplikasi pada gastrointestinal sering terjadi pada pasien yang mengalami pembedahan
abdomen dan pelvis. Komplikasinya meliputi obstruksi intestinal, nyeri dan distensi abdomen.
BAB III
ROLEPLAY

1. Tahap Pre-Interaksi
2. Mengumpulkan data tentang klien : Ditinjau dari catatan medis/catatan keperawatan
 Kondisi klien adalah post operasi caesar
 Diagnosa Keperawatan gangguan rasa nyama nyeri
 Tujuan khusus adalah setelah dilakukan perawatan nyeri berkurang
 Tindakan keperawatannya adalah perawatan luka post partum
 DS : klien mengatakan lemas
 Klien mengatakan nyeri pada luka operasinya
 DO: Klien tampak lemas
 Perban tampak lembab
 Luka tampak basah, dan terdapat kemerahan
 TTV: suhu: 375 oC
 Nadi: 74x/menit
 TD : 120/70 mmhg
1. Mengeskplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan
 Saya siap berinteraksi dengan klien (Ny. X) dengan tindakan perawatan luka post
Operasi Caesar

1. Membuat rencana pertemuan dengan klien


 Saya telah membuat kontrak untuk melakukan perawatan luka hari ini pukul 8 pagi
2. Tahap Orientasi
(dialog)

Perawat : “ibu selamat pagi”


Klien : “salam pagi juga suster”

Perawat : “Saya Yuni , apakah benar ini dengan ibu X ?”

Klien : “iya suster”

Perawat : “Ibu X, ibu lebih suka saya panggil apa ibu?”

Klien : “ibu Ibet saja supaya lebih akrab suster”

Perawat : “baik ibu Ibet, saya yuni, hari ini saya yg akan merawat ibu dari pukul 07.00 -
14.00 siang nanti bu, jadi kalua ada masalah atau keluhan ibu dapat menginformasikannya kepada
saya”

Klien : “Oke baik suster yuni”

Perawat : “Baiklah, ibu bagaimana keadaannya hari ini setelah operasi caesar kemarin?”

Klien : “suster saya senang sekali dengan kelahiran anak peratama saya, Tapi saya
masih merasa sakit pada luka operasinya dan sulit bergerak”

Perawat : “ saya turut senang atas kelahiran anak pertama ibu, karna ibu caesar jd wajar
kalau ibu sakit dan sulit bergerak karna ada luka operasi yg masih rentan, apakah ada keluhan lain
yang di rasakan?”

Klien : “oh begitu ya suster, tidak suster hanya nyeri dan sulit bergerak saja”

Perawat : “baik bu, sesuai dengan perjanjian kita kemarin, saya akan mengganti perban
luka ibu, supaya tidak terjadi infeksi dan supaya ibu bisa segara beraktivitas kembali”

Klien : “baik suster, berapa lama?”

Perawat : “hanya sekitar 15 menit ibu Ibet”

Klien : “iya suster”


3. Tahap kerja
(dialog)

Perawat : “baiklah bu, sebelumnya ada yang ingin ibu tanyakan?

Klien : “apakah perawatan luka ini penting sus? dan berapa frekuensi penggantian perbannya?

Perawat : “iya ibu, perawatan luka ini sangat penting karna jika luka kotor akan menimbulkan
infeksi dan dapat menyebabkan kematian, perban itu harus diganti minimal 1x sehari bu”.

Klien : “baik suster”

Perawat : ”oke ibu Ibet, pertama maaf ibu bajunya saya buka ya bu, nanti jika sudah dirumah
atau saat ibu sudah merasa tidak nyaman. Ibu atau dengan bantuan keluarga dapat melakukan
secara mandiri”.

Klien : ” alat-alatnya apa saja suster?”

Perawat : ” sarung tangan, pinset, gunting, plester, kasa steril, cairan pembersih. Ibu dapat
menggunakan NaCl,,

Klien : ”lalu caranya bagaimana sus?

Perawat : ”pertama-tama kita buka balutan yang lama namun jangan memegang dengan tangan
telanjang, kita harus memakai sarung tangan, lalu kita bersihkan luka dengan NaCl
yang dicelupkan ke kasa dan dikeringkan dengan kasa kering.

Klien : “apakah kasa tidak boleh dipakai berulang-ulang sus?

Perawat : ”benar sekali ibu, setiap kali kita membersihkannya kita tukar dengan kasa yang baru
dan jangan lupa ibu kita harus membersihkan luka dari daerah yang bersih kedaerah yang kotor”.

Klien : “lalu apa lagi sus ?


Perawat : “lalu bu, kita tutup luka dengan kasa steril , dan direkatkan dengan plester, lalu ditutup
dengan pakaian ibu kembali dan semua bekas balutan dibuang ketempat sampah medis”.

Klien : “saya rasa saya sudah bisa melakukannya sus”.

4. Tahap terminasi
(dialog)

Perawat : ”baik ibu Ibet, perawatan lukanya sudah selesai dan ibu pun sudah
mengerti bagaimana cara melakukan perawatan luka Sekarang bagaimana rasannya bu, apakah
sudah lebih nyaman sekarang ?

Klien : “iya suster sudah lebih nyaman,”

Perawat : “baik ibu kalau begitu, besok saya akan ganti lagi lukanya ya” .

Klien : “ iyah suster, terimakasih”,

Perawat : “ iyah ibu Ibet, apakah ada yang ingin ibu tanyakan?

Klien : “tidak sus,saya rasa cukup dan saya sudah paham pentingnya mengganti luka”

Perawat :” baik ibu sekarang ibu dapat beristirahat kembali”

Klien :” iyah suster, terimakasih ya sus,,

Perawat : “sama-sama ibu Ibet, semoga rasa sakitnya terus berkurang.


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik pada keadaan pre dan post operasi
memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak
dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi
keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan
bagi perawat.

Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaanya diperhatikan
sikap dan teknik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi
hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat berpengaruh dalam
mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.

4.2 Saran

Sebagai seorang perawat yang profesional sebaiknya kita harus mempraktekkan konsep
komunikasi terapeutik dengan baik, karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan pasien.
Dan untuk kita calon perawat hendaknya sejak dini mempelajari sungguh – sungguh tentang apa
yang harus kita katakan dan lakukan, karena akan sangat bermanfaat ketika sudah praktek terjun
langsung dan berhadapan dengan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

http://nengyulisetiani.blogspot.com/2012/05/makalah-komunikasi-terapeutik-pre-dan.html

http://putriatkinson.blogspot.com/2013/10/komunikasi-terapeutik-pasien-post-dan.html

http://rosalinameisuri.blogspot.com/2011/08/konsep-dasar-keperawatan-perioperatif.html?m=1
MAKALAH KONSEP KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN DALAM
KEADAAN PRE DAN POST OPERATIF

OLEH :

A.A. AYU TRISNA MARIANI {18C10241}

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN BALI


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN KONVERSI

TAHUN AKADEMIK 2018/2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bangli, November 2018

Penyusun

Anda mungkin juga menyukai