Anda di halaman 1dari 3

Hubungan antara pengadilan pajak dan pengadilan lainnya

Kedudukan Pengadilan Pajak hanya diatur dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa Pengadilan Pajak
merupakan pengadilan khusus di bawah salah satu lingkungan peradilan yang berada
dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pasal 25 Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman.
Terkait dengan terminologi pengadilan khusus, Pasal 1 angka 8 UU No. 48 Tahun 2009
menentukan bahwa “Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”. Artinya bahwa pengadilan
khusus tidak diperbolehkan untuk dibentuk di luar ke-empat badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung. Adapun jenis pengadilan khusus dapat dilihat dalam
penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 yakni “Yang dimaksud dengan
“pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan
hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial
dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan
pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”.

Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan peradilan tata usaha negara adalah dapat
ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak ukur, yakni:

1. Tolak Ukur Subyek


Pasal 1 angka 5 UU No. 14 Tahun 2002 menentukan bahwa “Sengketa pajak adalah
sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung
pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan keputusan yang
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.” Dari pengertian di
atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam sengketa pajak adalah
antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak). Dimana rakyat
sebagai sebagai penggugat dan pemerintah sebagai tergugat. Rakyat dalam sengketa
perpajakan mengajukan gugatan atas keabsahan (rechtnatigheid) tindakan hukum
pemerintah dalam bidang perpajakan. Hal tersebut didasarkan pada teori bahwa
tindakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang perpajakan adalah tindakan
yang bersegi satu (inzidigh), karenanya selalu pihak yang dirugikan adalah rakyat. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha yang menentukan bahwa “Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata”. Terkait
dengan hal tersebut, Sjachran Basah[14] juga menyatakan bahwa manakala sengketa itu
terjadi antara rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri
dari sengketa tata usaha negara.
2. Tolak Ukur Obyek
Yang menjadi obyek dalam sengketa pajak berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU
No. 14 Tahun 2002 adalah Keputusan (beschikking). Yang dimaksud Keputusan menurut
Pasal 1 angka 4 UU No. 14 Tahun 2002 adalah “suatu penetapan tertulis di bidang
perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pengertian tersebut seirama dengan pengertian
keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha yang menentukan bahwa “Keputusan Tata
Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Penteapan atau suatu keputusan dalam bidang perpajakan akan melahirkan sengketa
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 14 Tahun 2002. Hal tersebut
juga senada dengan Pasal 1 angka 10 UU Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha yang menentukan bahwa “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Fungsi pengadilan pajak


Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan
dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa
pajak.” Yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.
engertian peradilan pajak dalam arti luas adalah suatu proses penyelesaian semua bentuk
sengketa pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan peradilan pajak yang
independen, yang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh negara dalam arti sistem dengan wadah
atau tempat yang bernama pengadilan;
2. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, seperti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sebagainya khususnya di bidang hukum pajak;
3. Adanya suatu perselisihan hukum pajak yang nyata, seperti keberatan terhadap Surat
Ketetapan Kurang Bayar, pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan atas pelaksanaan undang-undang
penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
4. Ada sekurang-kurangnya dua pihak yang bersengketa, seperti wajib pajak melawan
Direktur Jenderal Pajak mengenai pajak-pajak pusat atau wajib pajak melawan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I mengenai pajak-pajak daerah.
5. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan, yaitu badan
peradilan pajak yang mempunyai wewenang memutus perselisihan-perselisihan di bidang
perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai