Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam berdarah dengue/ dengue hemorrhagic fever merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas di Asia tropik termasuk Indonesia.1 Beberapa dekade
terakhir ini, insiden demam dengue menunjukkan peningkatan yang sangat pesat
diseluruh penjuru dunia. Sebanyak dua setengah milyar atau dua perlima penduduk
dunia beresiko terserang demam dengue dan sebanyak 1,6 milyar (52%) dari
penduduk yang beresiko tersebut hidup di wilayah Asia Tenggara. WHO
memperkirakan sekitar 50 juta kasus infeksi dengue tiap tahunnya.1
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah
tanah air. Indonesia menempati urutan tertinggi kasus DBD tahun 2010 di
Asean, dengan jumlah kasus 156.086 dan kematian 1.358 orang. Di Rektorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL kemkes RI),
melaporkan kasus DBD tahun 2011 di Indonesia menurun dengan jumlah kasus
49.486 dan jumlah kematian 403 orang. Untuk tahun 2015 , jumlah kasus DBD
mengalami penurunan dari tahun 2014, pada Oktober – Desember 2014 jumlah kasus
DBD adalah 23.882 kasus, sementara tahun 2015 sebanyak 7.244 kasus. Angka
kematianpun cenderung mengalami penurunan, pada 2014 jumlah kematian akibat
DBD mencapai angka 197 jiwa sedangkan pada 2015 jumlah kematian dalam rentang
waktu tiga bulan tersebut mencapai angka 100 jiwa.1,2
Demam Berdarah Dengue terutama menyerang kelompok umur balita sampai
dengan umur 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Kejadian Luar Biasa
(KLB) biasanya terjadi di daerah endemis ( kawasan berkembangnya penyakit
tertentu) dan berkaitan dengan datangnya musim penghujan. Di Indonesia penyakit
ini mulai menyerang beberapa minggu setelah datangnya musim penghujan. Endemi
mencapai angka tertinggi pada sebulan setelah curah hujan mencapai puncak tertinggi
untuk kemudian menurun sejalan dengan menurunnya curah hujan. KLB di Indonesia

1
umumnya terjadi mulai Oktober - April. Ketika DBD mulai mewabah di suatu
wilayah, kerapkali menimbulkan kepanikan dalam masyarakat. Instansi kesehatan
seperti Rumah Sakit, puskesmas dan klinik kewalahan menangani pasien.3,4
Penyakit Demam Berdarah di daerah tropis dan subtropis di berbagai belahan
dunia terutama di musim hujan yang lembab. Organisasi kesehatan dunia WHO
(World Health Organization) memperkirakan sekitar 50-100 juta kasus infeksi virus
dengue di seluruh dunia.3,4
Pada tahun 2014, jumlah penderita DBD di seluruh wilayah di Kota Makassar
ada 273 kasus dengan angka kesakitan/IR= 19,6 per 100.000 penduduk di antaraya
terdapat 11 kasus kematian karena DBD, jumlah tersebut meningkat dibandung tahun
2013 dan 2014 sebanyak 75 dan 86 kasus dengan angka kesakitan 6,3 per 100.000
penduduk dan terdapat 4 kematian. Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah
yang terjadi di Makassar tahun 2014 berlokasi di Puskesmas Kecamatan Antang
Kecamatan Manggala dengan 39 korban, di Puskesmas Cendrawasih Kecamatan
Mamajang sendiri saat ini sudah dilaporkan 15 kasus anak yang telah menderita DBD
dan sebagian besar mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.3,4
Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien dan semakin luas
penyebarannya. Hal ini karena masih tersebarnya nyamuk Aedes aegypthi di seluruh
pelosok tanah air.1,4

1.2 Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh terdiri dari
unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga dapat lebih
berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence
based medicine).

2
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan
pelayanan dokter layanan primer secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai
dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based
medicine (EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah
klinis serta prinsip penatalaksanaan pasien DBD berdasarkan kerangka penyelesaian
masalah pasien (problem oriented).

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan etika dalam pengendalian
DBD secara individual, masyarakat maupun pihak terkait.
b. Melakukan pengendalian DBD’
c. Melakukan komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada level individu,
keluarga, masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian DBD.
d. Memanfaatkan sumber informasi terkini dan melakukan kajian ilmiah dari
data di lapangan, untuk melakukan pengendalian DBD.
e. Menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan Masyarakat
dalam melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam
pengendalian DBD.
f. Dapat menggunakan dan menjelaskan epidemiologi, transmisi dan
patogenesis DBD.
g. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta
mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis DBD.
h. Melakukan prosedur tatalaksana DBD sesuai standar kompetensi dokter
Indonesia.

3
1.2.3 Manfaat Studi Kasus
1. Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
2. Bagi Penderita (Pasien).
Menambah wawasan akan DBD yang meliputi proses penyakit dan
penanganan menyeluruh DBD sehingga dapat memberikan keyakinan untuk
tetap berobat secara teratur.
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita DBD.
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka memperluas
wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based dan pendekatan
diagnosis holistik DBD serta dalam hal penulisan studi kasus.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue. Virus ini dibawa oleh vektor penyakit (nyamuk Aedes
aegypti) dengan masaa tunas (inkubasi) 1-7 hari. Penyakit ini seringkali berakibat
fatal dan berat, dimana kematian terjadi 40%-50% penderita dengan syok.3,4

2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi DBD banyak ditemukan di daerah tropis, dimana suhu
yang hangat, adanya penyimpanan air untuk kepentingan sehari-hari dan samutasi
yang kurang baik menyebabkan terdapatnya populasi Aedes aegypti yang
permanen.3
Di Indonesia penyakit DBD ditemukan pertama di surabaya pada tahun 1968.
Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah hingga tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan,
jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun
luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi kejadian luar biasa
(KLB) setiap tahun, dimana jumlah penderita meningkat lebih dari dua kali pada
penderita yang sama.3
KLB DBD tersebar tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35, 19 per
100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) = 2%. Pada tahun 1999 IR
menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung
meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (2001); 19,24 (2002); dan 23,87 (2003).
Sejak januari sampai 5 maret 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia
mencapai 26,015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53%),
sehingga pada 16 februari 2004 demam berdara dinyatakan sebagai kejadian luar
biasa nasional. 3

5
Kejadian DBD di Kota Makassar mulai dari tahun 2002-2012 cenderung naik
turun. Angka tertinggi kejadian DBD terjadi pada tahun 2002 dengan jumlah kasus
1445 penderita. Kasus tertinggi di Kecamatan Rappocini kemudian disusul
Kecamatan Panakukang. Pada tahun 2003 jumlah kasus 1154, tahun 2004 menurun
drastis menjadi 637 kasus tapi melonjak naik pada tahun 2005 yaitu 892 kasus
(meninggal 32 orang) jumlah kematian tertinggi jika dilihat dari tahun 2002-2012.
Angka kematian dapat ditekan menjadi 6 orang dari 852 penderita pada tahun 2006.
Tahun 2007 jumlah kasus DBD di Kota Makassar yaitu sebanyak 457 kasus, tahun
2008 sebanyak 265 kasus, tahun 2009 sebanyak 256 kasus, tahun 2010 sebanyak 185
kasus, tahun 2011 sebanyak 85 kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak 86 kasus
dengan jumlah kematian sebanyak 2 kasus.4
Meningkatkan jumlah kasus serta bertambanya wilayah yang terjangkit,
disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya
pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang
nyamuk (PSN), terdapatnya vektor hampir diseluruh pelosok tanah air serta adanya
tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.5

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus dengue. Sampai saat ini dikenal ada 4
serotype virus yaitu :
1. Dengue 1 (DEN-1) diisolasi oleh sabin pada tahun 1944
2. Dengue 2 (DEN-2) diisolasi oleh sabin pada tahun 1944
3. Dengue 3 (DEN-3) diisolasi oleh sather
4. Dengue 4 (DEN-4) diisolasi oleh Sather.5,6
Virus tersebut termasuk dalam grup B arthropod borne viruses (arbovirus).
Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia dan yang
terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue
type 3 merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus berat.5

6
Infeksi dari salah satu serotif virus dengue ini akan menghasilkan imunitas
sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi
perlindungan sementara dan partial terhadap serotipe-serotiipe yang lain. Virus
dengue menunjukan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain,
mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukleokapsid
ikosahedral dan terbungkus oleh selaput lipid.6
Virion virus dengue mempunyai diameter kira-kira 50 nm. Genom flavivirus
mempunyai panjang kira-kira II kb ( kilo basses ), dan urutan genom lengkap dikenal
untuk mengisolasi ke4 serotip, megkode untuk nukleokapsid atau protein ini ( c ),
protein yang berkaitan dengan membran ( m ), dan protein pembungkus ( e ), dan
tujuh gen protein non struktural ( ns ). Domain-domain bertanggung jawab untuk
netralisasi, fusi dan interaksi denagn reseptor virus berhubungan dengan protein
pembungkus.6
Vektor Virus Demam Berdarah
Agar virus-virus dengue ini dapat masuk kedalam tubuh hostnya yaitu
manusia, maka virus-virus dengue tersebut harus memiliki penghubung vektor yang
membawanya masuk kedalam tubuh manusia. Adapun yang menjadi fektor dari virus
dengue ini adalah nyamuk Aedes Aegypti betina. Sebab nyamuk Aedes Aegypti ini
merupakan spesies nyamuk tropis dan subtropis yang hidup pada garis diantara
35oLintang Utara ( LU ) dan 35o Lintang Selatan ( LS ), atau kira-kira berhubungan
dengan musim isoterm 10oC.6
Penyebaran penyakit Aedes Aegypti ini dibatasi oleh ketinggian. Nyamuk
Aedes Aegypti merupakan vektor yang paling efisien bagi virus-virus dengue yang
merupakan kelompok aerbovirus. Sebab nyamuk ini sangat antropofilik dan hidupnya
dekat dengan manusia.6
Nyamuk Aedes Aegypti ini hidup berkembangbiak pada tempat-tempat
penampungan air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, seperti :
a. Bak Mandi / WC
b. Tempat Minuman Burung dalam sangkar

7
c. Air tandon
d. Air dalam Tempayan / gentong yang tidak ditutup rapat.
e. Kaleng-kaleng bekas yang dapat menampung air
f. Ban-bban bekas yang dapat menampung air
Di indonesia nyamuk Aedes Aegypti tersebarluas diseluruh pelosok tanah air
baik dikota-kota maupun didesa-desa, kecuali diwilayah yang ketinggiannya > 1000
m diatas permukaan air.6
Perkembangan nyamuk Aedes Aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan
waktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah
serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Sedangkan nyamuk
jantan tidak bbisa menggigit atau menghisap darah, melainkan hidup dari sari bunga
tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk Aedes Aegypti betina berkisar antara 2 minggu
sampai 3 bulan rata-rata 0,5 bulan, tergantung dari suhu kelembapan udara
disekelilingnya.6
Kemampuan terbang nyamuk ini berkisar antara 40-100 m dari tempat
berkembang biaknya. Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang
tergantung yang ada dirumah. Seperti gorden, kelambu, dan baju atau pakaian
dikamar yang gelap dan lembab.6
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada musim hujan, dimana terdapat
banyak genangan air bersih yang dapt menjadi tempat berkembangnya nyamuk Aedes
Aegypti. Selain nyamuk aedes Aegypti,penyakit demam berdarah dapat ditularkan
oleh nyamuk Ae Albopictus, yang kurang berperan dalam menyebarkan penyakit
demam berdarah, jika dibandingkan dengan nyamuk Aedes Aegypti. Hai ini dikarena
nyamuk Ae Albopictus hidup dan berkembangbiak dikebun atau semak-semak,
sehingga lebih jarang kontak dengan manusia dibandingkan dengan nyamuk Aedes
Aegypti yang berada di dalam rumah manusia dan sekitar rumah.6

8
2.4 Patomekanisme & Perjalanan Penyakit
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih di
perdebatkan.Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti kuat bahwamekanisme
immunohepatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue.6
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :6
1. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang di mediasi komplemen dan sitotoksisitas yang di
mediasi oleh antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipothesis ini disebut
Antibody Dependent Enchancement (ADE).
2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-Sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin. Sedangkan, TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dan opsonisasi antibody.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag.
4. selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya
C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang mengatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang oleh
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestic
antibody sehingga menyebabkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.6
Kurane dan ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti
lain, menyatakan bahwa infeksi virus dengue mengakibatkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus – antibody yang non netralisasi sehingga virus
bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga di produksi limfokin dan
interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi

9
berbagai mediator inflamasi sepeti TNF-a, IL-1, PAF (Platelet activating Factor), IL-
6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks
virus-antibody yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.Hal ini terbukti
denganpeningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa.6

Gambar 1 : Hipotesis heterologous dengue infection.6

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1). Supresi


sumsum tulang, 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular
dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai maka akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoesis. Kadar trombopoietin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia.Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
fragmen C3g, terdapatnya antibody virus dengue, konsumsi trombosit selama proses

10
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadan b-tromboglobulin dan PF4
yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.6
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur instrinsik juga berperan melalui aktivasi factor XIa
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1- inhibitor complex).6

Gambar 2 : Perjalan klinis demam berdarah dengue.6

1. Fase Febris
Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa pasien biasanya mengalami demam tinggi
secara tiba-tiba.Fase demam akut ini berlangsung 2-7 hari dan sering disertai

11
dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, sakit seluruh badan, mialgia,
arthralgia, sakit mata retro-orbital, fotofobia dan sakit kepala.Beberapa pasien
mungkin mengeluh sakit tenggorokan. Pasien juga biasanya mengeluh tidak
nafsu makan, mual dan muntah.7
Di fase awal demam, bisa jadi sulit untuk membedakan klinis DBD dari
penyakit demam non-dengue. Tes tourniquet positif dalam fase ini menunjukkan
peningkatan probabilitas dengue. Namun, gambaran klinis tidak memprediksi
tingkat keparahan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk memantau
tanda-tanda peringatan dan parameter klinis lain untuk mengenali perkembangan
ke fase kritis.Manifestasi perdarahan ringan seperti petechie dan perdarahan
membran mukosa (misalnya dari hidung dan gusi) dapat ditemukan. Awal
kelainan pada hitung darah lengkap adalah penurunan progresif jumlah sel darah
putih, yang harus diwaspadai oleh dokter untuk probabilitas tinggi dengue.7
2. Fase Kritis
Pada gambar 2 dijelaskan mengenai transisi dari fase demam ke fase
penyembuhan, pasien dengan tanpa peningkatan permeabilitas kapiler akan
mengalami perbaikan tanpa melalui fase kritis. Pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapilerdapat bermanifestasi dengan tanda-tanda peringatan,
sebagian besar sebagai akibat dari kebocoran plasma.7
Tanda-tanda peringatan menandai awal dari fase kritis. Keadaan pasien
menjadi lebih buruk pada waktu penurunan suhu badan sampai yang normal, saat
suhu turun menjadi 37,5-38 ° C atau kurang dan tetap berada pada fase ini,
biasanya pada hari 3-8 sakit. Leukopenia progresif yang diikuti oleh penurunan
cepat jumlah trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma. Peningkatan
hematokrit menjadi salah satu tanda tambahan awal. Periode kebocoran plasma
yang signifikan secara klinis biasanya berlangsung 24-48 jam. Tingkat kebocoran
plasma bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah
dan denyut nadi.7

12
Tingkat hemokonsentrasi mencerminkan tingkat keparahan kebocoran plasma.
Namun hal ini dapat dikurangi dengan pemberian cairan intravena. Oleh karena
itu, pemeriksaan pengukuran hematokrit sesering mungkin penting karena
sebagai tanda perlunya kemungkinan penyesuaian terapi cairan intravena. Selain
kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar sering terjadi.(6)
Jika syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang melalui kebocoran,
seringkali didahului oleh tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh bisa subnormal
ketika syok terjadi. Dengan syok mendalam dan/atau berkepanjangan,
hipoperfusi mengakibatkan asidosis metabolik dan gangguan organ progresif.
Hal ini dapat menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit
menurun. Peningkatan leukosit biasanya ditemukan pada fase ini, total jumlah sel
putih mungkin meningkat sebagai respon stres pada pasien dengan perdarahan
hebat.7
Beberapa pasien masuk ke fase kritis yaitu mengalami kebocoran plasma dan
syok sebelum penurunan suhu badan sampai yang normal. Pada pasien ini
mengalami peningkatan hematokrit dan timbulnya trombositopeniaatau tanda-
tanda peringatan, menunjukkan terjadinya kebocoran plasma. Pasien dengue
dengan tanda peringatan biasanya akan membaik dengan rehidrasi intravena.
Beberapa pasien memburuk menjadi dengue berat.7
Tanda-tanda peringatan biasanya mendahului manifestasi syok dan muncul
menjelang akhir fase demam, biasanya antara hari 3-7 sakit. Muntah dan nyeri
perut hebat adalah indikasi awal kebocoran plasma dan menjadi semakin
memburuk karena kondisi pasien berkembang menjadi syok. Pasien menjadi
semakin lesu tapi biasanya tetap waspada secara mental. Gejala ini dapat
menetap sampai ke tahap syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi postural terjadi
selama keadaan syok. Perdarahan mukosa spontan merupakan manifestasi
penting.7
Pembesaran hepar sering dijumpai. Namun akumulasi cairan klinis hanya
dapat dideteksi jika kehilangan plasmasecara signifikan atau setelah pengobatan

13
dengan cairan intravena. Peningkatan platelet secara cepat dan progresif menjadi
100.000/mm3 dan kenaikan hematokrit melebihi batas normal menjadi tanda awal
kebocoran plasma. Hal ini biasanya didahului dengan leukopenia (≤ 5000
sel/mm3).7
3. Fase Penyembuhan
Setelah pasien berada pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi bertahap cairan
kompartemenekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum
membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien memiliki
eritematosakonfluen atau petekie dengan daerah kecil kulit normal, digambarkan
sebagai "pulau putih di laut merah". Beberapa mungkin mengalami generalized
pruritus.7
Bradikardi dan perubahan EKG sering terjadi pada fase ini. Hematokrit stabil
atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi penyerapan cairan. Jumlah sel
darah putih biasanya mulai naik segera setelah penurunan suhu badan sampai
yang normal tetapi pemulihan jumlah trombosit biasanya lambat dibandingkan
dengan jumlah sel darah putih. Gangguan pernapasan dari efusi pleura masif dan
ascites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis
dan/atau fase pemulihan jika diberikan cairan intravena yang berlebihan. 7

2.5 Faktor Resiko


Secara garis besar kejadian DBD dipengaruhi oleh faktor individu (host),
virus (agent) yang dibawa oleh nyamuk dan epidemiologi. Faktor individu meliputi
umur, jenis kelamin, ras, status gizi, adanya infeksi lain dan respon penderita
terhadap virus. Dari aspek epidemiologi DBD dipengaruhi oleh banyaknya orang
yang rentan terhadap DBD, kepadatan vektor, sirkulasi virus dan endemisitas
wilayah. Sedang faktor agent meliput keganasan (virulence) dan jenis virus
(serotype).5,6

14
Berkaitan dengan pengendalian nyamuk sebagai vektor pembawa virus
dengue, terdapat empat komponen yang mempengaruhi keberadaan nyamuk yaitu:
jenis nyamuk (Aedes aegypti, Aedes albopictus), perilaku manusia/host (kebiasaan
menguras tempat penampungan air, kebiaan menggantung pakaian), lingkungan fisik
(tempat penampunhan air, ketinggian tempat, iklim dan tata guna tanah), lingkungan
biologis (tanaman sekitar rumah, tanaman hias, pemeliharaan ikan) dan lingkungan
kimiawi (penggunaan pestisida dan abatisasi).5,6
Orang yang menguras tempat penampungan air dengan frekuens lebih dari
seminggu mempunyai kemungkinan terkena DBD 2,8 kali dibandingan dengan orang
yang melakukan pengurasan kurang dari seminggu sekali (95% Cl OR= 1,4-5,4) p =
0,002. Kebiasaan tidur siang mempunyai kemungkinan menderita DBD 4,8 kali (95%
Cl OR= 1,2-15,2) p = 0,044.5

2.6 Manifestasi Klinis

Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari ( pada umumnya 5-8 hari ). Awal penyakit
biasanya mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai
bagian tubuh, anoreksia, rasa mengigil & malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu
demam tinggi, nyeri padaanggota badan, dan timbulnya ruam ( rash ). Ruam timbul
pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5
berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada
tekanan. Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak,
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung,
otot, sendi dan disertai rasamengigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk
kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian
selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat
dianggap patognomonik. Kelainan darah tepi demam dengue ialah leucopenia selama
periode pra demam dan demam, neutrofilia relative dan limfopenia, disusul oleh

15
neutropenia relative dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa
konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak
penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia.
Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu. Komplikasi demam
dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau ovaritis,keratitis, dan retinitis.
Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, diantaranya menurunnya kesadaran,
paralisis sensorium yang bersifat sementara, meningismus, dan ensefalopati.
Diagnosis banding mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chicungunya), bacteria
dan parasit yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis klinis
infeksi virus dengue ringan adalah mustahil, terutrama pada kasus-kasus sporadic.8

Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam
tinggi,perdarahan terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran
darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat
penyakit dan membedakan DBD & DD ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia & diathesis
hemoragik. Patokan diagnosis DBD ( WHO, 1975 ) berdasarkan gejala klinis
& laboraturium.7,8

Klinis:
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji turniket positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hemetemesis dan ataumelena.
3. Pembesaran hati
4. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤
20mmHg ), tekanan darah menurun ( tekanan sistolik ≤ 80 mmHg ) disertai kulit

16
yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien
menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium:
Trombositopenia (≤ 100.000 / ul ) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatannilai Ht ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum
sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya 2 atau 3 patokan klinis pertamai disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis
DBD.7
WHO ( 1975 ) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat:
 Derajat I : demam tidak khas, uji Tourniquet positif
 Derajat II : derajat I + perdarahan spontan
 Derajat III : kegagalan sirkulasi (gelisah, nadi cepat & lembut, tekanan darah
turun ≥ 20mmHg, hipotensi, sianosis, akral dingin & lembab)
 Derajat IV : syok berat, nadi tak teraba, tek.darah tak terukur.7
Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih  Leukopenia
tanda: sakit kepala, nyeri  Trombositopenia (-)
retroorbital, mialgia, atralgia  Serologi dengue Positif
DBD I Gejala di atas ditambah uji  Trobositopenia
bendung positif  Adanya kebocoran
plasma
DBD II Gejala di atas ditambah  Trobositopenia
pendarahan spontan  Adanya kebocoran
plasma
DBD III Gejala di atas ditambah  Trobositopenia
kegagalan sirkulasi (kulit dingin  Adanya kebocoran
dan lemah serta gelisah) plasma
DBD IV Syok berat disertai dengan  Trobositopenia
tekanan darah dan nadi tidak  Adanya kebocoran
terukur plasma
Tabel 1.2. Klasifikasi Derajat Penyakit DBD

17
2.7 Protokol Penatalaksanaan DBD
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai
akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat
diruang perawatan biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan
perawatan intensif. 8
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
terapi suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Berikut adalah tatalaksana DBD:7
1. Protokol 1 Pasien Tersangka DBD

Gambar 3 : Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di
unit gawat dadurat.6

Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan


pertolongan pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas atau
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya untuk dipakai

18
sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat. Manifestasi
perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih belum tampak,
demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hemoglobin, hematokrit, lekosit dan
trombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal, sehingga sulit membedakannya
dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya.7

Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-
kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan
observasi/pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit, dan jumlah trombosit.7
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah:
a. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan
b. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
c. DBD tanpa perdarahan masif dengan :
- Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
- Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit
dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik
Rumah Sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien rnemburuk
agar segera kembali ke Puskesmas. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi
rawatnya, rnaka untuk sementara pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan
anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus ringer laktat sebanyak 500 cc
dalam empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.7
Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.7
a. Hemoglobin, hematokrit dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang
dari 100.000/pl atau
b. Hemoglobin, hematokrit yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari
150.000/pl

19
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai hemoglobin, hematokrit dalam
batas normal dengan jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dan dalam waktu 24 jam
kemudian diminta kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD apabila
keadaan menjadi memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap diobservasi dan
tetap diberikan infus ringer laktat 500 cc dalam waktu empat jam berikutnya. Setelah
itu dilakukan pemeriksaan ulang hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit.7
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.7
a. Nilai hemoglobin, hematokrit dalam batas normal dengan jumlah trombosit
kurang dari 100.000/ul
b. Nilai hemoglobin, hematokrit tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya
dengan jumlah trombosit normal atau menurun
Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekuensi nadi, dan
pernafasan serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.7

2. Protokol 2 DBD tanpa perdarahan masif dan syok

Gambar 4 : Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat

20
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif,
petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang
rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah rumus: 1500 + {20 x (BB
dalam kg – 20)}Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam;
a) Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan
tiap 12 jam.
b) Bila Hb, Ht meningkat >20% dan rombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.6,7
Pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain yang
dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer laktat atau ringer
asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan garam atau
NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam,
pasienmengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat badan sekitar 50-
70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam.6,7
Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus dapat
dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan lebih
dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Selama fase
akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya tetap sama dan
pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai turun,
pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter dalam 24 jam) dan
tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai
meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai
dikurangi.6,7
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa
perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb,
Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit
kurang dari 100.000/p 1, sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah

21
trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan
setiap 24 jam.6,7
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin
dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan
didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus
lebih diperketat. Mengenai tanda-tandasyok sedini mungkin sangat diperlukan,
karena penanganan pasien SSD lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang
lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak
gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak
pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala
diatas merupakan tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital
tersebut.6,7
Tanda-tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan
sistolik kurang dari 100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dan
kecil. Apabila didapatkan tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera
diberikan. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif
(perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit <
100.000/pl, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata (KID). Pasien
DBD dengan trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi
suspensi trombosit.7

22
3. Protokol 3 DBD dengan peningkatan Ht > 20%

Gambar 5 : Penangan pasien demam berdarah dengue dengan peningkatan


hematocrit> 20%.7
Pada Gambar 5 menjelaskan mengenai tatalaksana pasien DBD dengan
peningkatan hematocrit > 20%.Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh
mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian
cairan adalah dengan memberikan infus kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang
ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah
stabil, produksi urin meningkat, maka jumlah cairan infus dikurangi 5ml/kgBB/jam.
Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan 24-48 jam kemudian.7
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan
tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan drah menurun

23
<20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus
menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan
bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 2
ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka maka jumlah
cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya
kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani
dengan protokol tatalaksana sindrome syok dengue pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.7
4. Protokol 4 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan
lainnya 500 ml setiap 4 jam.7
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan
sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Heparin
diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang),
Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan
jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.7
5. Protokol 5 DBD dengan syok dan perdarahan spontan
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat
penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien

24
DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapatkan pertolongan atau pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat
termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD
yang tidak adekuat.6,7

2.8 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :8
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
 Menguras bak mandi/penampungan air, sekurang-kurangnya sekali seminggu.
 Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.
Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
 Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah
dan lain sebagainya.8
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).8
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
 Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna
untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
 Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

25
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup,
menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara
ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur,
memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang
obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.8

2.9 Peranan Keluarga Dalam Penanggulangan DBD


Duvall ( 1985) menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang
dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan
dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional
dan sosial dari tiap anggota. Undang-Undang No.10 tahun 1992 menyatakan bahwa
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak
atau ayah, ibu dan anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998)
menyebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang tediri
dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat
di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.8
Tugas kesehatan keluarga dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
DBD adalah keluarga pertama kli harus mampu mengenal masalah yang berkaitan
dengan penyakit DBD, keluarga dapat mengenal masalah DBD dengan beberapa cara
seperti penyuluhan dari petugas kesehatan, informasi dari majalah ataupun peran aktif
keluarga untuk mencari tahu informasi mengenai DBD. Kesadaran akan tumbuh pada
tiap anggota keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap DBD jika
keluarga sudah dapat mengenal masalah kesehatan yang berhubungan dengan DBD
begitupun dalam penanggulangan penyakit ini.8
Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluarga harus mampu
memutuskan tindakan yang tepat jika salah satu anggota keluarga yang terkena
penyakit DBD, keluarga harus dengan cepat memutuskan tindakan yang tepat pada
anggot keluargana yang terkena DBD dengan membawanya ke Rumah Sakit.

26
Keputusan harus diambil keluarga karena keluarga yang dapat memantau anggota
keluarganya yang terkena DBD.8
Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluarga harus dapat menciptakan
lingkungan yang sehat. Kemampuan keluarga ini sangat erat kaitannya dengan
pencegahan penyakit DBD karena nyamuk penyebab DBD dapat berkembang biak
di lingkungan rumah yang tidak diperhatikan oleh keluarga. Keluarga dapat
melakukan tindakan 3 M pada lingkungan rumahnya untuk mencegah terjadinya
DBD.
Tugas kesehatan keluarga yang terakhir adalah keluarga harus dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada untuk membantu anggota keluarganya
yang terkena DBD. Pemerintah Indonesia telah membebaskan biaya untuk pasien
DBD, jika tidak ada alasan bagi keluarga untuk tidak membawa anggotanya
keluarganya yang terkena DBD karena penyakit ini akan menimbulkan kematian
yang sangat cepat jika penderitanya tidak dibawa ke rumah sakit dengan segera.8
Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan DBD adalah keterlibatan
semua anggota keluarga baik tanggung jawab secara mental dan emosional.
Pengelolaan sarana yang diadakan agar tetap terjamin dan terpelihara sehingga tidak
menjadi tempat perkembangbiakan vektor penyakit DBD. Maironah (2005) dan
Yatim (2001) mengatakan bahwadalam melakukan pencegahan DBD keluarga perlu
memerlukan beberapa metode yang tepat diantaranya:
1. Lingkungan, metode ini digunakan untuk mengendalikan perkembangbiakan
nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN),
memakai pakaian dengan lengan panjang untuk menghindari gigitan nyamuk
penyebab DBD, menghindari tidur siang, menggunakan kelambu saat tidur,
merapikan pakaian kotor yang bergantungan di balik pintu.
2. Biologi, pencegahan DBD dengan metode biologi antara lain keluarga dapat
memelihara ikan pemakan jentik jika di rumah mereka terdapat kolam
3. Kimiawi, cara pencegahan DBD dengan menggunakan metode kimiawi antara
lain keluarga dapat memberikan bubuk abate pada tempat-tempat penampungan

27
air dengan dosis takaran 1 gram bubuk abate untuk 10 liter air dan keluarga juga
dapat melakukan pengasapan atau fogging dan menggunakan obat nyamuk (obat
nyamuk bakar, obat nyamuk semprot dan lotion anti nyamuk).8
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa cara yang paling efektif dalam
pencegahan dan penanggulangan DBD adalah dengan kegiatan pemberantasan sarang
nyamuk yaitu menguras, menutup dan mengubur serta tindakan lainnya seperti
memberikan bubuk abate, memasang obat nyamuk, dan melakukan pemeriksaan
jentik berkala.8

28
BAB III
METODOLOGI DAN STUDI KASUS

3.1 Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus.


Studi kasus dilakukan pada 15 Februari 2017 di puskesmas tabaringan,
penderita berobat ke Rumah Sakit Angkatan Laut Jalla Amari Makassar pada tanggal
17 Februari 2017, Selanjutnya dilakukan home visit untuk mengetahui secara holistik
keadaan dari penderita pada 18 Februari 2017.

3.2 Pengumpulan data /informasi


Semua yang berkaitan dengan penyakit atau permasalahan kesehatan
penderita informasinya dikumpulkan dengan melakukan observasi dan komunikasi
personal kepada keluarganya secara langsung dengan menggunakan pertanyaan what,
why, who, where, when dan how.

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Studi Kasus


A. Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 8 thn
Suku Bangsa : Bugis
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jln. Sabutung Kelurahan Totaha Kec. Ujung Tanah, Kota
Makassar Sulsel
B. Anmnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang anak umur 8 tahun datang ke poli umum Puskesmas Tabaringan
diantar oleh keluarganya dengan keluhan demam yang dialami sejak 2 hari
terakhr, demam bersifat terus menerus dan turun jika diberi obat penurun panas.
Menggigil tidak ada, keringat malam tidak ada. Sakit kepala ada, mual ada,
muntah tidak ada, batuk tidak ada, sesak tidak ada, nyeri ulu hati ada, nyeri pada
otot dan persendian ada. Perdarahan hidung dan gusi tidak ada. Buang air besar
kesan normal, buang air kecil lancar
Riwayat Penyakit Sebelumnya : tidak ada
Riwayat Keluhan yang sama dalam keluarga: tidak ada

C. Pemeriksaan Fisis
Status Present :
Keadaan Umum : sakit sedang/composmentis/gizi cukup

30
Tanda vital
Nadi : 90 kali per menit
RR : 18 kali per menit
Suhu : 38,60 C
Kepala / Leher:
Konjungtiva anemis tidak, ikterus tidak ada, pupil isokor 2,5/2,5 mm, udem
palpebra tidak ada.
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
Kaku kuduk tidak ada
Thorax:
Cor :
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis di ICS IV-V midclavicular line sinistra
Perkusi: batas jantung kesan normal
Auskultasi: S1 S2 regular, murmur tidak ada
Pulmo:
Inspeksi: retraksi otot-otot pernapasan (-)
Palpasi: gerak napas simetris kiri sama dengan kanan
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: suara paru vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi: peristaltik ada, kesan Normal
Ekstremitas:
Peteki (-), Purpura (-)

31
D. Pemeriksaan Penunjang
Uji rumpelede (+)  Pemeriksaan khusus
E. Penatalaksaan Puskesmas
Treatment yang diberikan di puskesmas yaitu :
Paracetamol 500 mg 3x1
Vitamin C 2x1
2 hari Kemudian pasien masuk ke Rumah Sakit TNI AL Jala Ammari pada
17 Februari 2017
F. Perjalanan penyakit setelah dirawat
Pasien dirawat di Rumah Sakit Jala Ammari selama 1 hari, hari
pertama Keadaan Umum masih jelek dengan suhu 38,6 C dan dilakukan
pemeriksaan darah rutin didapatkan RBC meningkat dan Trombosit sangat
rendah.
G. Pemeriksaan Penunjang Selanjutnya
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan di Puskesmas Tabaringan
yaitu pemeriksaan rumple leede dan didapatkan hasil positif. Kemudian
setelah dirujuk ke Rumah Sait TNI AL Jala Ammari dilakukan pemeriksaan
laboratorium hematologi didapatkan hasil bermakna yaitu, hematokrit rendah
dan juga trombosit rendah.
Hasil pemeriksaan laboratori :
- Hb : 16,1 g/dl L: 14-18, P: 12-18
- Leucosyte : 7,2 juta/ul 4,0-10,0
- Erytrosite : 6,32 juta/ul L: 5,0-5,5, P: 4,5-5,0
- Hematokrit: 48,9 % 45-50
- Trombosit : 39 ribu/ul 150,0-450,0
H. Penatalaksanaan Rumah Sakit TNI AL Jala Ammari
- IVRL 28 tpm
- Paracetamol Inj/12 jam/iv
- Omeprazole 40 mg/12 jm/iv

32
I. Anjuran
Istirahat cukup
Banyak minum air
Biasakan tidur menggunakan kelambu
Makan makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
J. Pencegahan
1. Rajin menguras bak mandi minimal seminggu sekali
2. Menutup rapat wadah penampungan air
3. Mengubur kaleng-kaleng bekas
4. Hindari menggantung pakaian yang menjadi tempat persembunyian
nyamuk

4.2 Pembahasan
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan anamnesis secara holistic
yaitu, aspek personal, aspek klinik, aspek resiko internal, dan aspek resiko
eksternal serta pemeriksaan penunjang dengan melakukan pendekatan
menyeluruh dan pendekatan diagnosis holistik.
a. Anamnese
Aspek Personal
Pasien seorang perempuan usia 8 tahun datang ke poli umum puskesmas
Tabaringan dengan keluhan demam yang dialami sejak 2 hari terakhr, demam
bersifat terus menerus dan turun jika diberi obat penurun panas. Menggigil tidak
ada, keringat malam tidak ada. Sakit kepala ada, mual ada, muntah tidak ada,
batuk tidak ada, sesak tidak ada, nyeri ulu hati ada, nyeri pada otot dan persendian
ada. Perdarahan hidung dan gusi tidak ada. Buang air besar kesan normal, buang
air kecil lancer
Aspek Klinik
1. Demam yang dialami sejak 2 hari terakhir
2. Sakit kepala

33
3. Mual tapi tidak sampai muntah
4. Nyeri ulu hati
5. Nyeri otot dan sendi
Aspek Faktor Resiko Internal
Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan terutama mengenai pentingnya menguras bak mandi minimal
seminggu sekali, mengubur kaleng-kaleng bekas yang mungkin bisa menjadi
wadah perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti, menutup rapat wadah
penampungan air dan hindari menggantung pakaian yang akan menjadi tempat
persembunyian nyamuk penyebab DBD.
Aspek Faktor Resiko Eksternal.
Ada tetangga pasien yang juga menderita demam berdarah dan tempat
tinggal mereka berdekatan.
Derajat Fungsional
Pasien bekerja sebagai pelajar
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital : Nadi 90x/menit, Pernafasan 18 x/menit, Suhu 38,6 oC
Pemeriksaan fisis dalam batas normal.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan di Puskesmas Tabaringan yaitu
pemeriksaan rumple leede dan didapatkan hasil positif. Kemudian setelah
dirujuk ke Rumah Sait TNI AL Jala Ammari dilakukan pemeriksaan
laboratorium hematologi didapatkan hasil bermakna yaitu, hematokrit rendah
dan juga trombosit rendah.
Hasil lpemeriksaan laboratorium :
- Hb : 16,1 g/dl L: 14-18, P: 12-18
- Leucosyte : 7,2 juta/ul 4,0-10,0
- Erytrosite : 6,32 juta/ul L: 5,0-5,5, P: 4,5-5,0
- Hematokrit: 48,9 % 45-50

34
- Trombosit : 39 ribu/ul 150,0-450,0
d. Diagnosis Holistik (Bio-Psiko-Sosial)
Diagnose Klinis : Demam berdarah dengue grade 1
Differential Diagnosis : Demam Tifoid
Diagnosis Psikososial : kecemasan akan penyakitnya memburuk.
e. Penatalaksaan
Penatalaksanaan Puskesmas
Paracetamol 500 mg 3x1
Vitamin C 2x1
Dirawat di Rumah Sakit TNI AL Jalla Ammari
Penatalaksanaan :
IVRL 28 tpm
Paracetamol Inj/12 jam/iv
Omeprazole 40 mg/12 jm/iv
f. Pencegahan
1. Rajin menguras bak mandi minimal seminggu sekali
2. Menutup rapat wadah penampungan air
3. Mengubur kaleng-kaleng bekas
4. Hindari menggantung pakaian yang menjadi tempat persembunyian
nyamuk
5. Menggunakan kelambu dan lotion anti nyamuk ketika tidur
6. Lakukan larvasidasi, yaitu menambahkan bubuk jentik (abate 1G altosid,
1,3 G dan sumilarv 0,5 G) di tempat-tempat yang sulit dikuras atau
didaerah yang sulit air
g. Hasil Kunjungan Rumah
Kunjungan rumah dilaksanakan untuk melihat keadaan lingkungan sekitar
pasien dan hubungan antara lingkungan dengan penyakit yang diderita. Dengan
demikian pasien dan keluarga dapat memahami bagaimana pengaruh lingkungan

35
terhadap suatu penyakit dan sebaliknya bagaimana suatu penyakit dapat
mempengaruhi lingkungan.
h. Biodata Personil Keluarga
Bapak
Nama : Tn. Sudirman
Umur : 47 Tahun
Pekerjaan : di Pelabuhan
Ibu
Nama : Ny. Ani
Umur : 40 Tahun
Pekerjaan : IRT
Anak
Nama : Aini
Umur : 8 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : Sekolah dasar
Anak
Nama : Ahmad
Umur : 2 tahun

Profil Keluarga
Pasien tinggal bersama ibu bapaknya beserta adiknya yang merupakan
keluarga inti. Dan ada nenek, dan saudara dari bapaknya yang terdiri dari dua anak
perempuan dan satu anak laki – laki. Pasien bekerja sebagai buruh di pelabuhan
dan istrinya bekerja sebagai ibu rumah tangga. Dalam rumah tersebut ada 8 orang
personil dalam rumah tersebut. Anggota keluarga yang lain tidak ada yang
menderita ataupun pernah menderita DBD.

36
Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga
Pasien adalah seorang pelajar. Pasien tinggal bersama kedua orangtua dan
adik sebagai keluarga inti dan nenek dan saudara dari bapaknya beserta 3 orang
anak.
Luas rumah sekitar 12 x 5 m2, keadaan rumah yang ditinggali pasien kurang
bersih dan sedikit lembab. Rumah terdiri dari ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 kamar
mandi, dan satu dapur. Hanya saja bagian WC dan tempat mencuci sanitasi
kurang. Peralatan rumah tangga kurang lengkap dan pengaturannya kurang baik.
Riwayat Penyakit Keluarga, tidak ada riwayat penyakit DBD di dalam keluarga
atau penyakit lainnya yang berhubungan dengan kelainan darah.
Pola konsumsi keluarga tersebut cukup baik sesuai dengan apa yang
dibutuhkan, yaitu dengan mengkonsumsi makanan bergizi seperti nasi, telur, ikan,
tahu, tempe,dan sayur secara rutin.
Lingkungan
Lingkungan sekitar rumah cukup padat dan lembab disebabkan sekitar rumah
berada dalam gang yang sempit dan mendapatkan pencahayaan yang kurang.
Hal lain yang berkenaan juga dapat dilihat dari:
 Tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat perindukan nyamuk
Bak Air : Jentik Nyamuk Aedes aegypti (-)
Kaleng-kaleng bekas : Jentik Nyamuk Aedes aegypti (-)
Penampung Air lain : Jentik Nyamuk Aedes aegypti (-)
 Tingkat Kepadatan Hunian
Rumah dengan L: 12 x 5 : 60 m2 dihuni oleh 8 orang anggota keluarga (padat)
 Ventilasi rumah : Terdapat kurang lebih 4 ventilasi dalam rumah, dan 1 buah
jendela rumah sehingga sirkulasi udara kurang.

37
 Pencahayaan : Karena situasi musim penghujan, padatnya sekitaran rumah
dan rumah menghadap ke belakang sehingga rumah pasien memiliki
pencahayaan yang kurang
 Tempat peristirahatan nyamuk : Masih terdapat pakaian yang digantung
sehingga memungkinkan nyamuk beristirahat
Perilaku terhadap Nyamuk
Dalam kesehariannya, dari wawancara yang kami lakukan diketahui bahwa
pola prilaku keluarga dan pasien sendiri terhadap nyamuk kurang baik, hal ini dapat
dinilai dengan
 Saat tidur tidak memakai kelambu
 Saat tidur tidak menyalakan obat nyamuk/ elektrik pembunuh nyamuk
 Saat tidur memakai baju dan biasanya hanya menggunakan sarung

38
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus DBD yang dilakukan di Puskesmas Tabaringan
mengenai pencegahan penderita DBD dengan pendekatan diagnose holistik,
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang dilakukan, maka
pasien atas nama An. A menderita demam berdarah dengue grade 1
2. Lingkungan anggota keluarga tidak ada yang menderita DBD namun ada
seorang tetangga berselang 7 rumah yang menderita DBD.
3. Kondisi rumah pasien nampak sanitasi yang kurang dan kelembaban yang
tinggi serta pencahayaan yang kurang

5.2 Saran
1. Kepada penderita DBD agar selalu menjaga kesehatan dan pola makan
yang baik untuk meningkatkan imunitas pasien.
2. Sebaiknya peranan keluarga dalam memelihara kesehatan dan lingkungan
sehat lebih ditingkatkan lagi dalam upaya pencegahan DBD terutama
pada keluarga dengan anak yang menderita DBD.
3. Sebaiknya dilakukan pencegahan penyakit DBD disekitar wilayah kerja
puskesmas dengan lebih intensif, terutama saat musim hujan.
4. Promosi kesehatan kepada masyarakat di wilayah kerja puskesmas
berkaitan dengan gaya hidup, sanitasi dan lingkungan sekitar akan sangat
membantu dalam penanggulangan penyakit DBD.
5. Pemerintah setempat sebaiknya memberikan perhatian lebih terhadap
masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang rentan terhadap
serangan penyakit DBD.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Hairani LK, Gambaran Epidemiologi Demam Berdarah di Indonesia. FKM


UI. 2009
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Indonesia Belum Bebas
Demam Berdarah. Diakses dari
www.depkes.go.id/article/view/1501170300003. (Tanggal 25 Februari 2017)
3. Wahono TD, Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan: 2004
4. Maria I, Ishak H, Selomo M. Faktor Resiko Kejadian Demam Berdarah
Dengue (DBD) Di Kota Makassar Tahun 2013. Makassar: Universitas
Hasanuddin; 2013
5. Anggia SD. Gambaran Klinis Penderita Demam Berdarah Dengue yang
dirawat di Bagian Ilmu penyakit dalam periode 1 Januari-31 Desember 2005.
Pekanbaru,2006: 27-37
6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.
Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi V. Editor : Sudoyo AW
dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :
2007.
7. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. New edition. Geneva. 2009
8. Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Farmaka. 2007 ; 5:12-29.

40

Anda mungkin juga menyukai