Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS INDONESIA

ARTIKEL JURNAL

KEWENANGAN PARA PIHAK DALAM PENGUJIAN UU TERHADAP UUD


(LEGAL STANDING)

HELENA L WITIN

1606834970

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM S1 REGULER

DEPOK 2019
ABSTRAK
Nama: Helena Lena Wtin
NPM: 1606834970
Program Studi: S1 Reguler
Judul: KEWENANGAN PARA PIHAK DALAM PENGUJIAN UU TERHADAP UUD
Tulisan ini bertujuan untuk memahami setiap pihak-pihak dalam kewenangannya
mengajukan pengujian UU terhadap UUD. Dalam jurnal ini akan memaparkan para pihak
mana saja yang dapat tampil dalam pengujian, ataupun dalam hal apa dan dengan tujuan
apa suatu pengujian UU terhadap UUD dilakukan. Judicial review, menurut Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2),
adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap
kebenaran suatu norma.
Kata kunci: artikel,jurnal,penelitian
BAB I
LATAR BELAKANG
Terkait dengan proses legislasi ada catatan penting bahwa munculnya Mahkamah
Konstitusi (MK), yang salah satu kewenangannya menguji Undang-undang terhadapa
UUD, merupakan upaya menghasilkan produk legislasi yang lebih baik. Dengan kata lain
kehadiran lembaga ini dalam system ketatanegaraan merupakan refleksi atas produk
legislasi yang dihasilkan oleh penguasa legislasi pada masa sebelum amandemen UUD.
1
Terkait dengan kewenangan MK yang salah satunya ialah pengujian Undang-undang
terhadap UUD maka adapun pihak-pihak yang berwenang dalam melakukan pengujian
bahkan pihak yang mengajukan pengujian undang-undang tersebut terhadap UUD.
Judicial Review merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh
lembaga peradilan. Dalam praktik, judicial review (pengujian) undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sedangkan,
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh
Mahkamah Agung (MA). Secara teori, lembaga peradilan baik MK maupun MA yang
melakukan judicial review hanya bertindak sebagai negative legislator. Artinya, lembaga
peradilan hanya bisa menyatakan isi norma atau keseluruhan norma dalam peraturan
perundang-undangan itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mereka tidak boleh menambah
norma baru ke dalam peraturan perundang-undangan yang di-judicial review.
Sementara, legislative review adalah upaya ke lembaga 2egara2s2ve atau lembaga
lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-
undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat
meminta legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya
pemerintah (dalam UUD 1945, pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)-

1
Pengujian undang-undang dan proses legislasi
untuk mengubah UU tertentu. Sedangkan, untuk peraturan perundang-undangan yang
lain seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan
Daerah, setiap warga 3egara tentu bisa meminta kepada lembaga pembuatnya untuk
melakukan legislative review atau melakukan revisi Permohonan judicial
review memiliki syarat yang lebih ketat 3egara3s3v legislative review. Dalam judicial
review, sebuah peraturan perundang-undangan hanya bisa dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat bila memang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di atasnya. Sedangkan, dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja
meminta agar lembaga yang memiliki fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk
hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya, peraturan perundang-undangan itu
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang sederajat secara horizontal.
Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam trias politica dikenal tiga macam
kekuasaan. Yakni, kekuasaan 3egara3s3ve (pembuat undang-undang), kekuasaan
eksekutif (pelaksana undang-undang), dan kekuasaan yudikatif atau peradilan (penegak
undang-undang). Kewenangan judicial review diberikan kepada yudikatif sebagai
3egara3 bagi kekuasaan 3egara3s3ve dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-
undang.2
Prof.Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya bahwa dalam teori pengujian
(toetsing), dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut
biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-
undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal).
Kedua bentuk pengujian tersebut oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan
undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil,
sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58).
3egara3s uji materi maupun uji formil ini diberikan bagi pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang,
yaitu (lihat Pasal 51 ayat [1] UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi):
1. Perorangan warga 3egara Indonesia;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga 3egara.

Hak uji ini juga diatur dalam Pasal 31A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agunguntuk pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang
terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan

2
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl1105/praktik-legislative-review--judicial-review-
di-republik-indonesia
hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang
berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga 4egara.3
Rumusan Masalah

1. Dalam suatu pengujian yang dilakukan tentu saja berkaitan dengan pihak-pihak
mana saja yang berperan baik sebagai pengajuan dan pihak yang melakukan
pengujian, maka Pihak-pihak manakah yang memiliki kewenangan dalam
pengajuan pengujian Undang-undang terhadap UUD?
2. Bagaimana Mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD?
3. Apa yang menjadi Landasan dilakukannya suatu Pengujian undang-undang
terhadap UUD?

Tujuan penelitian
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai siapa saja yang berperan dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD, dan mengetahui prosedur serta mekanisme yang
diterapkan, serta untuk mengetahui landasan dilakukannya suatu pengujian undang-
undang terhadap UUD.

BAB II
PEMBAHASAN
“Tinjauan Yudisial” (hak uji materil) merupakan lembaga yang berwenang perihal
kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif
maupun yudikatif di perundingan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap
produk cabang kekuasaan legislatif (tindakan legislatif) dan cabang kekuasaan eksekutif
(tindakan eksekutif) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip 'pemeriksaan dan
keseimbangan' berdasarkan doktrin kontrak kekuasaan (pemisahan kekuasaan). Karena
itu wewenang untuk melakukan 'judicial review' itu melekat pada fungsi hakim sebagai
subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, maka oleh
lembaga penilaian, maka pengujian tersebut tidak dapat disebut sebagai 'tinjauan
yudisial', diperlukan 'tinjauan legislatif'.

Peninjauan Kembali di negara-negara aliran hukum sipil biasanya tersentralisasi (sistem


terpusat). Negara penganut sistem ini biasanya memiliki kepentingan untuk doktrin
supremasi hukum. Karena sistem pengintaian biasanya menolak untuk memberikan
wewenang ini kepada pengadilan biasa, karena keputusan pengadilan biasanya harus
menegakkan hukum yang terkait dengan peraturan perundangan. Kewenangan ini
kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus seperti Mahkamah Konstitusi.4 Agung
Laksono pada pidato Ketua DPR pada 2 Mei 2005 menyampaikan gagasan perlunya
pengaturan tentang hubungan tata kerja antar lembaga Negara dalam sebuah undang-
undang. Gagasan ini berlatar belakang pada hak uji materil Mahkamah Konstitusi juga
berwenang untuk menguji undang-undang yang ditetapkan sebelum perubahan UUD.

3
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4257/judicial-review-vs-hak-uji-materiil
4
http://referensi.elsam.or.id/2014/09/mekanisme-judicial-review/
Mekanisme untuk menguji konstitusionalitas peraturan perundang-undangan apakah
betul peraturan itu sudah sesuai dengan konstitusi diberlakukan di Negara hukum
manapun. Yang berbeda hanyalah lembaga dan mekanismenya. Ada yang pengujian nya
dilakukan oleh lembaga peradilan yang juga menangani perakara-perkara hukum pada
umumnya yaitu Mahkamah Agung, seperti di Amerika Serikat. Ada pula yang
dilaksanakan oleh lembaga peradilan yang khusus didisain untuk “menjaga konstitusi”
dengan melihat peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah terhadap warga
Negara. Model lembaga peradilan khusus khusus ini misalnya diterapkan di Jerman,
Thailand, dan Afrika Selatan. Model kedua inilah yang diadopsi di Indonesia, dengan
adanya penyesuaian sesuai konteks hukum dan politik yang ada. Masalahnya, tak dapat
dipungkiri tipisnya batas antara hukum dan politik dalam putusan-putusan dalam konteks
“menjaga konstitusi” ini. Sebab yang menjadi obyek adalah sebuah produk keputusan
politik.

Mark Tushnet, seorang ahli hukum tata Negara Amerika Serikat, pernah berujar:
“ a constitutional interpreter is a special type of legislator.” Alasannya, menurut Tushnet,
kewenangan hakim konstitusi sesungguhnya sama besarnya dengan actor politik yang
mempunyai wewenang untuk membuat regulasi. Pernyataan Tushnet di atas berada dalam
konteks “konstitusionalisme” yang kuat. Gagasan “konstitusionalisme” sederhananya
adalah soal pembatasan kekuasaan Negara dan perlindungan hak-hak warga Negara.
Dengan begitu, ketika mengatakan bahwa hakim konstitusi adalah “legistlator dalam arti
khusus”, isunya bukanlah kekuatan “lembaga” Mahkamah Konstitusi, melainkan
kekuatan muatan konstitusi yang harus dijaga oleh Mahkamah Konstitusi. Bukan “apa
yang diinginkan oleh hakim, melainkan “bagaimana konstitusi diimplementasikan”.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi memang banyak menimbulkan kontroversi


dalam relasi politik. Tetapi mekanisme pengujian konstitusionalitas undang-undang
mutlak diperlukan dalam sebuah Negara hukum yang ingin menjaga prinsip-prinsip yang
sudah disepakati secara politik dalam konstitusi. Tanpa adanya mekanisme ini,
penyalahgunaan kekuasaan mungkin saja terjadi. Kita tentu masih ingat bagaimana
kebebasan politik dan berorganisasi dibatasi atas nama hukum pada masa Orde baru.

Undang-undang sebagai produk politik tentunya akan selalu mendapatkan


pandangan pro dan kontra. Karena akan selalu ada kompromi dari berbagai kepentingan
dalam pembentukan undang-undang. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi,
ketidaksetujuan dan kesetujuan mengenai undang-undang bisa dinilai secara terbuka dan
argumentative. Tentu saja, putusan Mahkamah Konstitusi pun kembali bisa
diperdebatkan. Namun tersedianya mekanisme antar cabang kekuasaan Negara untuk
mendorong keseimbangan politik (checks and balances). Dan keseimbangan ini baru bisa
punya makna apabila putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti oleh pembuat
undang-undang: DPR dan pemerintah. Terkait dengan proses legislasi ada catatan penting
bahwa munculnya Mahkamah Konstitusi (MK), yang salah satui kewenangannya
menguji undang-undang terhadap UUD, merupakan upaya menghasilkan produk legislasi
vang lebih baik. Dengan kata lain kehadiran lembaga ini dalam sistem ketatanegaraan
merupakan refleksi atas produk legislasi yang dihasilkan oleh penguasa legislasi pada
masa sebelum amandemen UUD. Penyimpangan dalam proses pembentukan maupun
materi undang-undang atas prinsip-prinsip dalam konstitusi dikoreksi oleh MIK.

A. Proses Kelahiran MK dalam Amandemen UUD


Mahkamah Konstitusi, biasa disingkat MK, sebuah lembaga i yang namanya mulai
populer di kalangan masyarakat Indonesiai dalam beberapa tahun belakangan ini.
Walaupun nama MK baru dikenal sekarang, namun wacana tentang cikal bakal
kewenangan MIK sesungguhnya sudah berlangsung puluhani tahun. Kewenangan MK
yang dimaksud adalah soal pengujlan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dibandingkan dengan kewenangan MK yang lain, pengujlan peraturan perundang-
undangan adalah kewenangan yang memiliki sejarah panjang i Dalam beberapa kali
pergantian konstitusi yaitu sejak UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD sampai dengan proses
amandemen UUD 1945 yang berlangsung tahun 1999-2002 soal pengujlan peraturan
perundang-undangan selalu mewarnal. Pro-kontra i tentang perlu tidaknya dilakukan
pengujian peraturan perundang undangan dan lembaga mana yang berhak melakukannya
adalah beberapa topik yang sering diperdebatkan.

1. Perdebatan Tentang Pengujian Peraturan Perundang-undangan


Saat berlangsungnya Sidang BPUPKI untuk menyusun UUD 1945, terjadi
perdebatan antara Prof. Dr. Soepomo dan Muhammad Yamin. Socpomo bersikukuh
menolak dicantumkannya hak penguan peraturan perundang-undangan di UUD 1945
Salah satu alasan yang diajukan oleh Soepomo karena UUD 1945 tidak menganut mar
polta. Pak pengujian peraturan perundang undangan menurut Soepomo hanya ada di
negara yang menganut miar peiaz Sedangkan Yamin yang scjak awal memperjuangkan
demokras dan hak asasi manusia menganggap pentng adanva wewenangpenguan
peraturan perundang-undangan yang diberkan kepada Mahkamah Agung (MA). Anggota
BPUPKI yang lan lebih menyetujui pendapat Soepomo, sehingga UUD 1945 tidak
memberkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan kepada MA. Pada
1949 sampai dengan 1950 saat Indonesia berada di bawah Konsttusi RIS, dikenal dua
jenis undang-undang, yaitu undang undang negara federal dan undang-undang ncgara
bagian. Terhadap undang-undang negara bagian, dapat dilakukan pengujian matenl oleh
MA. Undang-undang negara bagian yang bertentangan dengan Konstitusi RIS merupakan
undang-undang yang menjadi obyek dalam uji materl MA. Sedangkan untuk undang-
undang federal sebagaimana datur dalam Pasal 130 (2) Konstitusi RIS tidak dapat
diganggu gugat. Sehingga dapat disimpulkan bahw undang undang negara federal tidak
dapat dilakukan pengujian.
Sepert juga Konstitusi IIS, pada Indonesia menggunakan UUDS 1950, pengujian
peraturan perundang-undangan juga tidak dikenal. Hal ini discbutkan secara tegas dalam
Pasal 95 avat (2) UUDS bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Untuk
merespons perkembangan tahun 1956-1959, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan MA
mengusulkan seharusnya memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu peraturan
perundang-undangan bertentangan dengan UUD Kemudian dalam pembahasan konstitusi
di bidang peradilan, Konstituante memutuskan untuk membentuk peradilan khusus yang
terdiri dari Iakim Agung yang berwenang menilai peraturan perundang-undangan.10
Akan tetapi ide ini hilang seiring dengan dikeluarkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh
Sockarno. Tahun 1959 setelah kembali ke UUD 1945 tidak tegasnya pengaturan tentang
hak uji materil dalam UUD 1945 akhirnya menimbulkan berbagai perdebatan dan
penafsiran tentang siapa yang berwenang melakukan uji materil dan dimana pengaturani
atas uji materiil tersebut. Pada 1968 misalnya, perdebatan ini telah dibahas dalam Seminar
Hukum Nasional Ke II yang diselenggarakan di Semarang Pada seminar tersebut, ada
lima pandangan yang berkembang terkait dengan kewenangan pengujian materil
peraturan perundang-undangan Pandangan pertama menyatakan bahwa hak menguiji
materil harus diserahkan kepada Mahkamah Agung dengan batasan bahwa hanya
terhadap peraturan di bawah undang-undang, Pandangan kedua menyatakan bahwa
kewenangan hak menguiji tidak dapat diserahkan kepada MA, karena wewenang ini
harusnya berada di MIPR. Pandangan yang ketig berpendapat bahwa kewenangan untuk
melakukan hak uji materil harus dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk olch Undang-
undang Dasar (Ul) atau setdaknya l Kctetapan MIPR.1n Agak berbeda dengan pandangan
lain, pandangan keempat berpendapat bahwa hak menguji undang-undang merupakan
wewenang para hakim untuk mengesampingkan undang-undang melalui perkara yang
sedang dihadapinya karena dianggap bertentangan dengan UUD Pandangan terakhir
menyatakan bahwa MA diberi wewenang untuk menilai apakah sebuah Tap MPR
bertentangan dengan Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 atau tidak. Melalui
perdebatan panjang, pada 1970 secara resmi akhirnya wewenang menguji pcraturan
diberikan kepada Mahkamah Agung Pengaturannya dilakukan dalam Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (saat ini
sudah digantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004). Namun, wewenang yang diberikan kcpada
Mahkamah Agung hanya untuk menguji peraturan di bawah undang-undang, seperti
Peraturan Pemerintah, i Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara itu, undang-undang
tidak dapat diuji. Padahal hakekat dari pengujian undang-undang Jiudivial retien) yang
dikenal dalam praktek hukum tata negara secara universal adalah untuk memberikan
wewenang pengawasan oleh lembaga yudikatif terhadap pembuat undang-undang Di
sinilah salah satu inti dari apa yang disebut "thecdes and balances.

B. Proses Memberi Bentuk MK dalam Pembahasan UU MK


Pembahasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
MK) dianggap beberapa kalangan sangat terlambat. Dalam aturan peralihan UUD 1945
disebutkan MK harus sudah terbentuk dua tahun setelah perubahan, yang berarti pada 17
Agustus 2003. Sedangkan Presiden Megawati Soekarno Putri baru menunjuk wakil
pemerintah dalam pembahasan RUU MK pada 19 Juni 2003. Setelah bekerja ekstra keras
di sela-scla berlangsungnya Sidang Tahunan MPR, DPR dan Pemerintah akhirnya
berhasil membahas RUU MK dan siap disahkan pada 31 Juli 2003 Akan tetapi presiden
Negawati meminta DPR dan Pemerintal melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-
pasal yang menyangkut /mpeacbmen." Setelah dilakukan pembahasan ulang akhirnya
RUU MK disahkan menjadi undang-undang pada 6 Agustus 2003. Pembahasan UU MK
mendapat perhatian yang cukup besar dari kalangan masyarakat sipil, setidaknya hal ini
bisa dillhat dari tulisan yang ada di berbagai media nasional pada kurun waktu Januari-
Agustus 2003. Banyak tulisan yang memberikan masukan, kritik dan komentar
pembentukan MK dari akademisi, politisi dan juga organisasi non pemerintah (ornop).
Gerakan di masyakarat sipil untuk mendorong UU MK yang baik juga sangat besar.
Misalnva saia Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) vang membuat
rancangan undang undang tandingan MK. Mereka iuga secara terus-menerus mengawal
proses pembahasan RUU MK. Gerakan ini juga mendapatkan dukungan dari kalangan
donor seperti The Asia Foundation (TAF), TIFA, Partnership for Government Reform
(PGR), Konrad Adenauer Stiftung (KAS), FNS dan lain. Besarnya harapan yang
diberikan ke lembaga ini, membuat semua orang merasa perlu memberikan kontribusi
pemikiran mereka. Kewenangan MK untuk melakukan pengujian undang undang
mendapatkan respon luar biasa besar dari publik. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya
perkara yang masuk ke MK yang terkait dengan pengujian undang-undang, Sejak 2003
sampai 2007 tercatat 117 perkara masuk ke MK.25 Geiala ini bisa menjadi
pertandaadanya suatu kebutuhan di masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap produk
legislasi yang selama ini salurannya seolah tersumbat. Kemudian MK pun menjadi
semacam momok bagi anggota l DPR, karena banyak produk mereka yang dibatalkan
oleh MK.
Berbagai persoalan pun mulai muncul, adanya lembaga vang tdak mematuhi putusan
MK adanya ketidaktahuan dari masyarakat tentang sebuah pasal sudah diajukan pengujan
ke MK dan sebagainya. Persoalan-persoalan ini muncul karena kalau kita lihat proses
terbentuknya MI di atas memang sangat instan. Dalam rapat-rapat PAH I tidak pernah
dibicarakan secara mendalam tentang kewenangan MK di bidang pengujian undang-
undang dan implikasinya terhadap proses i legislasi. Begitu juga dalam proses
pembahasan RUU MK, wacana yang banyak mengemuka lebih banyak soal impeachment
presiden dan wakil presiden serta soal kriteria hakim MK. Kalaupun ada soal pengujian
undang-undang, hanya menyangkut Pasal 49 soal batas kewenangan MK melakukan
pengujian undang-undang. Bahasan soal implikasi putusan pengujian undang-undang,
terlupakan untuk dibahas secara mendalam oleh anggota DPR dan pemerintah. Waktu
yang mendesak serta tekanan politik yang besar atas kewenangan yang akan diemban
oleh Mk, membuat soal pengujian undang-undang kemudian menjadi soal yang "remeh-
temeh' saja dibandingkan persoalan impeachment atau sengketa pemilihan umum.

C. Mekanisme Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi


Putusan pengujian undang-undang oleh MK yang mencabut atau membatalkan
berlakunya suatu pasal atau suatu undang undang menimbulkan dampak pada kondisi
atau tatanan yang diatur melalui pasal atau undang-undang tersebut. Misalnya pencabutan
pasal yang menyangkut keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi dan penghapusan
ketentuan yang mengatur tentang kewenangan pengawasan oleh Komisi Yudisial. Dua
putusan tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan publik. Pusat Kajian Anti Korupsi
(Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan Indonesia Court Monitoring (ICM)
mengkuatirkan putusan MK terkait dengan Komisi Yudisial mengakibatkan kekosongan
pelaksanaan pengawasan hakim. Tak bisa dihindari putusan ini dinilai sebagai langkah
mundur terhadap pembenahan peradilan dan pemberantasan korupsi. Paska putusan M
tentang pengujlan suatu undang-undang yang mengabulkan permohonan, muncul
masalah dalam menindaklanjutinya. Hingga saat ini, belum ada ketentuan yang mengatur
tentang mekanisme tindak lanjut atau pelaksanaan putusan MK dalam proses legislasi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur
tentang mckanisme tindak lanjut putusan pengujian undang undang. Dalam undang-
undang tersebut hanya diatur kekuatan mengikat putusan pengujan undang-undang
Sehingga sering muncul perdebatan tentang apa dan bagaimana legislator yatu DPR
bersama dengan pemerintah harus menindaklanjutinya. Karena memang addresal putusan
MK untuk melaksanakan putusan pengujian undang-undang meliputi DPR dan
pemerintah yang masing-masing berwenang untuk mengajukan revisi undang undang
yang dibatalkan oleh MK.
Putusan pengujian undang-undang MK berdampak pada berubahnva suatu
keadaan hukum. Ini bisa dilihat dari amar putusan vang masuk dalam kategori putusan
consitntil Perubahan ini dikarenakan dicabut atau dibatalkannya materi ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang atau undang undangnya secara keseluruhan.
Sehingga tidak mempunyal kekuatan hukum mengikat. Perubahan ini menuntut adanya i
upaya tindak lanjut terutama dari legislator untuk menyesuaikan keadaan atau peraturan
dengan putusan MK. Putusan MK yang membatalkan keberadaan Pengadilan.
tentang mekanisme tindak lanjut putusan pengujian undang undang. Dalam
undang-undang tersebut hanya diatur kekuatan mengikat putusan pengujan undang-
undang Schingga scring muncul perdebatan tentang apa dan bagaimana legislator yatu
DPR bersama dengan pemerintah harus menindaklanjutinya. i Karena memang addresal
putusan MK untuk melaksanakan putusan pengujian undang-undang meliputi DPR dan
pemerintah yang masing-masing berwenang untuk mengajukan revisi undang undang
yang dibatalkan oleh MK. Putusan pengujian undang-undang MK berdampak pada
berubahnva suatu keadaan hukum. Ini bisa dilihat dari amar putusan vang masuk dalam
kategori putusan consitntil Perubahan ini dikarenakan dicabut atau dibatalkannya materi
ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau undang undangnya secara
keseluruhan. Sehingga tidak mempunyal kekuatan hukum mengikat. Perubahan ini
menuntut adanya i upaya tindak lanjut terutama dari legislator untuk menyesuaikan
keadaan atau peraturan dengan putusan MK. Putusan MK yang membatalkan keberadaan
Pengadilan.
Terkait dengan program legislasi, Ketua DPR menvatakan bahwa DPR akan
memasukkan Rancangan Undang Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada masa sidang 2007. Terkait dengan putusan pembatalan Pengadilan Tipikor ini,
muncul pula gagasan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) untuk memberi landasan hukum bagi berjalannya pengadilan Tipikor. Gagasan
ini muncul di antaranya dari Muladi, Gubernur Lembaga Pertahahan Nasional
(Lemhanas) dan Perhimpunan Advokat Indonesiai (Peradi). Namun, gagasan ini tidak
mendapat sambutan baik dari Menteri Hukum dan HAM waktu itu, Hamid Awaluddin.
Hamid menilai urgensi pembentukan Perpu dalam hal ini belum mendesak, jangka waktu
selama tiga tahun menurutnya, cukup untuk membentuk undang-undang yang baru.
Sampai dengan 2006, putusan MK yang lain juga banyak memunculkan perdebatan, yaitu
putusan yang membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan putusan yang membatalkan seluruh materi yang ada dalam UU No. 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sementara itu
pada;pertengahan2007, tepatnya pada bulan ][uli, MK kembali mengeluarkan putusan
yang mengejutkan kalangan mengijinkan calon perseorangan untuk ikut bertarung dalam
Sikap beberapa partai di DPR beragam. Partai Amanat Nasional
(PAN) secara tegas menyatakan setuju dan mendukung putusan MK. Apresiasi
juga dilontarkan Partai Demokrat. PDIP menolak dengan alasan bisa merugikan parpol.
PPP dan Partai Golkar bersikap mengambang dengan menyebut putusan MK
menimbulkan keruwetan baru.1 Belum selesai memperdebatkan tentang calon
perseorangan dalam Pilkada, perdebatan kemudian berkembang pada mekanisme tindak
lanjut putusan MI tersebut. Langkah apa yang seharusnya i diambil oleh DPR bersama
pemerintah untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Hal ini terutama ditujukan untuk
mengatasi adanya kekosongan hukum. Ada yang mengusulkan segara dibuat i Perppu,
atau segera melakukan revisi UU Pemda. Memang di dalam putusannya, MK sudah
memberikan solusi untuk mengatasi keadaan kekosongan hukum ini sampau dengan
dilakukannya revisi UU Pemda disesuaikan dengan putusan MK MIK berpendapat KPU
dapat mengambil peran untuk membuat i pengaturan tentang syarat dukungan bagl calon
perseorangan. Namun, solusi ini mendapat banyak protes dari beberapa kalangan.5

D. LEGAL STANDING
Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke MK dan menjadi pemohon.
Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata
maupun hukum acara tata usaha negara tidak dapat dijadikan dasar. D alam shukum acara
perdata dikenal adagium point d ’interet point d'action yaitu apabila ada kepentingan
hukum boleh mengajukan gugatan. Yang dimaksud dengan standing atau personae standi
m judicio adalah hak atau kedudukan hukum untuk m engajukan gugatan atau
permohonan didepan pengadilan (standing to sue). Doktrin yang dikenal di Amerika
tentang standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang
cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan
pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk
menentukan apakah satu pihak terkena dam pak secara cukup sehingga satu perselisihan
diajukan kedepan pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan
masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan.
Untuk membuktikan status legal standing pemohon, ada 6 (enam) kriteria yang dapat
dipakai, yaitu:
a. pemohon adalah salah satu dari keempat kelompok subyek hukum yang disebut oleh
Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 sebagai mereka yang berhak mengajukan
permohonan;
b. bahwa subyek hukum dimaksud memang ternyata mempunyai hak-hak atau
kewenangan-kewenangan yang secara eksplisit ataupun implisit ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan m em ang telah
dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian dari undang-
undang yang dipersoalkannya itu;

5
M.Nur,et.al.,Pengujian Undang-undang dan proses legislasi
d. bahwa kerugian hak atau kewenangan yang dimaksud bersifat spesifik, riil, dan nyata
(actual), atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
(beyond reasonable doubt) dapat dipastikan akan terjadi atau timbul;
e. bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai
hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (causal verband) dengan berlakunya
undang-undang yang dimaksud;
f. bahwa apabila permohonan yang bersangkutan keiak dikabulkan, maka kerugian
konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali atau setidaknya
tidak akan terjadi lagi dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud.
Jika keenam kriteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumulatif, maka yang bersangkutan
dapat dipastikan memiliki legal standmg untuk mengajukan permohonan perkara ke
Mahkamah Konstitusi." Persyaratan standmg dikatakan telah dipenuhi jika dapat
dikatakan bahwa Penggugat mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum
dilindungi.100 Dalam yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi
untuk mempunyai standing to sue yaitu; (1) adanya kerugian yang timbul karena adanya
pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat (i)
spesifik atau khusus, dan (ii) aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat
potensial; (2) adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian
dengan berlakunya satu undang-undang; (3) kemungkinan dengan diberikannya
keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.
Dalam hukum acara MK yang boleh mengajukan permohonan untuk beracara di
MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK yang bunyinya sebagai berikut:
’’Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang, yaitu :
a. Perorangan warganegara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara.
Pemohon harus menguraikan dalam permohonan hak dan kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan. Kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi
dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di MK. Tetapi terdapat dua hal yang
harus diuraikan dengan jelas. Dua kriteria dimaksud adalah:
a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai; (i) perorangan warga negara Indonesia
(termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii)
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau; (iv)
lembaga negara.
b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan
konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang. MK
dalam putusan perkara No. 006/PUU-III/2005 dan 010/PUU-III/2005
merumuskan secara lebih ketat adanya persyaratan hak konstitusional pemohon
yaitu: a. Adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b.
Bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian yang dimaksud besifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya
undang-undang yang dimohon-'kan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Hak atau kewenangan yang dirugikan dalam Pasal 51 UU MK ini haruslah hak dan
kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 yaitu hak dan kewenangan yang oleh UUD
1945 diberikan kepada pemohon. Meskipun ditentukan batasan hak konstitusional
melalui persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam yurisprudensi putusan
a quo namun akses terhadap MK dengan variabel pem ohon yang demikian lebih luas
dibanding dengan akses dengan variabel pem ohon di beberapa MK di Eropa Timur yang
lebih sempit.
Tafsiran atas hak konstitusional yang masih dinamis dapat m enjadikannya lebih luas
lagi sehingga menyamai constitutional complaint yang dikenal di MK Jerman yang dapat
diajukan oleh setiap orang karena hak konstitusionalnya dirugikan. Namun sebagai
catatan bahwa perkara semacam ini telah m enim bulkan beban berat bagi MK Jerman
sehingga untuk membatasi perkara semacam itu masuk disyaratkan bahwa semua upaya
hukum telah terlebih dahulu ditempuh. Sebagai perbandingan, yang boleh mengajukan
permohonan dan m emiliki legal standing di Rusia. Berikut adalah daftar yang dapat
menggerakkan yurisdiksi MK Rusia yaitu
1. Presiden Federasi Rusia,
2. Dewan Federasi
3. Parlemen negara bagian
4. Seperlima anggota Dewan Federasi atau Deputi Parlemen Negara Bagian
5. Pemerintah Federal Rusia,
6. Mahkamah Agung Federal Rusia
7. Pengadilan Tinggi Arbitrase Federasi Rusia, atau
8. Badan-badan kekuasaan legislatif dan eksekutif anggota Federasi Rusia.
Tentu saja pemohon dengan standing yang disebut ini adalah dalam perkara pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar. Tim bulnya klasifikasi pemohon yang
melibatkan pejabat negara seperti presiden, kelompok m inoritas di parlemen dan
lembaga negara lain untuk peng^ujian undang-undang adalah karena terjadinya
pertarungan politik antara pimpinan pemerintahan yang terpilih setelah reformasi ke arah
demokrasi dimana parlemen secara mayo^ritas masih dikuasai oleh bekas partai komunis.
Tampaknya, aturan legal standing yang ada dalam UU M K lebih sederhana tetapi
dalam praktek tidak mudah, sehingga interpretasi hakim akan dapat menyebabkan akses
tersebut menjadi lebih luas atau boleh jadi menyempit. Beberapa putusan MK yang
menafsirkan legal standing tersebut. 1. Perorangan Warga Negara Indonesia.
1. Perorangan Warga Indonesia
Dalam perkara No. 54/PUU-I/2004, pemohon mengajukan keberatan atas Pasal 5 ayat
(1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang dijadikan dasar oleh KPU menolak pendaftaran
pemohon sebagai perseorangan untuk turut serta dalam Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, karena pasal tersebut menentukan bahwa peserta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik
atau gabungan partai politik. Hal tersebut dianggap pemohon bertentangan dengan Pasal
28 D ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa:
a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perla-*kuan yang sama di depan hukum.
b. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakvan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.
Karena setiap orang dianggap berhak untuk mempunyai kesempatan yang sama
dalam pemerintahan maka UU No. 23 Tahun 2003 didalilkan bertentangan dengan
UUD 1945 dan hak konstitusional pemohon telah dirugikan karenanya. MK dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2003
hanyalah mengulangi substansi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 di mana ditentukan
bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pemilihan umum sehingga dengan demikian hak untuk
mengusulkan pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah hak
konstitusional partai politik. Hal itu tidak diartikan menjadi hilangnya hak perorangan
warganegara, in casu pemohon, untuk menjadi calon Presiden atau calon Wakil
Presiden karena hal itu dijamin oleh Pasal 27 ayat (3) UUD 1945. A kan tetapi
pencalonan tersebut harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 UUD
1945 dan dilakukan rnenurut Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yaitu melalui pengusulan
dari partai politik atau gabungan partai politik.
Persyaratan tersebut merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat
terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi calon Presiden Republik Indonesia.
Dengan alasan tersebut, MK berpendapat tidak terdapat kerugian konstitusional
pemohon sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan karenanya MK
memandang pemohon tidak memiliki legal standing. Mengusulkan pemohon sebagai
calon maka pemohon tidak mempunyai hak konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sehingga pemohon tidak dapat mendalilkan telah
menderita kerugian dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2003 tersebut
Dalam perkara No. 008/PUU-I/2004, pemohon sebagai perseorangan warga negara
telah mengajukan pengujian terhadap Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2003 terutama huruf d
yaitu syarat “mampu secara rohani dan jasmani” untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang dianggap diskriminatif. Serta
pemohon juga mengajukan pengujian Pasal 6 huruf s UU a quo yang menentukan calon
Presiden/Wakil Presiden bukan bekas anggota partai terlarang PKI, organisasi massanya
dan bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI. Dalam pengujian terhadap
Pasal 6 huruf d UU No. 23 Tahun 2003, M K menilai pemohon sebagai perorangan
memiliki legal standing karena dianggap berkenaan langsung dengan hak pemohon secara
konstitusional. Akan tetapi dalam pengujian terhadap Pasal 6 huruf s UU No. 23 Tahun
2003, hak konstitusional Pemohon tidak dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut
karena pem ohon bukan bekas anggota partai terlarang PKI, termasuk organisasi
massanya, serta bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI.

2. Kesatuan M asyarakat Hukum Adat


Kesatuan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang diberikan legal standing untuk
menjadi pemohon di MK adalah merupakan pengakuan atas hak asli masyarakat sebagai
pelaksanaan Pasal I8B ayat (2) UUD 1945 dimana ”Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Kata-kata dalam Pasal I8B ayat
(2) UUD 1945 telah disalin dalam memberikan kualifikasi kategori kedua yang memiliki
kedudukan sebagai pemohon di MK jika dirugikan hak konstitusionalnya. Tampaknya
kesatuan masyarakat hukum adat ini hanya boleh diakui sepanjang masih dalam konsep
negara kesatuan dan secara riil masih hidup dengan susunan dan hak yang dikenal dengan
hak ulayat.
Dalam beberapa daerah kesatuan masyarakat adat itu masih hidup dan
melaksanakan fungsinya tetapi dibanyak daerah sesungguhnya tidak dijumpai lagi
kecuali "diciptakan” untuk mengambil keuntungan tertentu. Hak-hak tradisionalnya
diakui secara konstitusional, tentu saja merujuk pada hak dan kewenangannya dalam
pemerintahan dan hak ulayat yang mungkin saja dirugikan dengan berlakunya suatu
undang-undang.
Dalam perkara No. 010/PUU-I/2003, pengujian UU No. II Tahun 2003 tentang
Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir telah didalilkan juga hak-hak tradisional termohon
akan tetapi tidak diterima MK. Meski tidak dalam pertimbangan tentang legal standing
pemohon, akan tetapi MK menyatakan bahwa pem ohon yang mendasarkan pada Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 dan menganggap UU N o. 11 Tahun 2003 tidak mengakui dan
menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. MK memandang
pemohon keliru menafsirkan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 karena pasal tersebut
tidak dimaksudkan untuk dijadikan dasar pembagian wilayah negara, melainkan hanya
merupakan penegasan bahwa negara berkewajiban untuk mengakui serta menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya yang masih hidup selama
sesuai dengan perkem bangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia.
Secara khusus, yang menyangkut legal standing masyarakat hukum adat tersebut,
belum dijumpai perkara di MK yang dapat dijadikan rujukan. Meskipun didepan
peradilan umum kasus perdata adat yang menyangkut hak masyarakat hukum adat
tidaklah terlalu sedikit.
Dalam beberapa permohonan pengujian undang-undang yang menyangkut
sumber daya alam (SDA) di MK, memang hak-hak masyarakat hukum adat terhadap
sumber daya alam banyak disinggung. Tetapi apa sesungguhnya hak ulayat itu jika
dibandingkan dengan hak menguasai dari negara terhadap SDA yang disebut adalah
yayasan yang tujuannya tidak mencari untung atau setidaknya sering dikatakan demikian.
Dalam perkara permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
mungkin saja satu badan hukum, baik yang bersifat privat maupun publik, mengalami
kerugian yang mempengaruhi hak konstitusionalnya karena berlakunya atau
diundangkannya satu undang-undang. Dalam perkara No. 005/PUU-I/2003, beberapa
organisasi yang bergerak dibidang radio dan televisi maupun organisasi wartawannya
mengajukan pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Organisasi yang disebut sebagai Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVS1),
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengklaim diri sebagai badan hukum. Meskipun
MK menyetujui para pemohon sebagai kumpulan perorangan yang memiliki legal
standing tetapi seorang hakim konstitusi berpendapat pemohon dalam kualitas badan
hukum privat tidak mempunyai legal standing dengan alasan berikut:
 Pemohon mendalilkan sebagai badan hukum privat sebagaimana diatur oleh buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang persekutuan Perdata
(maalsehap) khususnya Pasal 1653,1654,1655 KUH Perdata.
 Selain itu Pemohon juga mendalilkan dasarnya pada Keputusan Raja 28 Maret
1870,S. 1870-64 tentang perkumpulan berbadan hukum (rechtspersoonlijHdieid
van vereenigingen).
 Bahwa suatu perkumpulan untuk menjadi suatu perkumpulan berbadan hukum
harus mendapat pengesahan dari Departemen Kehakiman dan HAM c/q
Direktorat Jenderal Administrasi Hukum, tidak cuH aip pendiriannya hanya
dengan akta notaris, lebih-lebih tanpa akta notaris
Dengan alasan tersebut, sesungguhnya pemohon bukanlah merupakan subyek hukum
yang dimaksud Pasal 51 UU MK dalam kualitas sebagai badan hukum privat. dan
sebagai konsekwensi hukumnya pemohon sebagai badan hukum privat tersebut tidak
mengalami kerugian yang berkaitan dengan hak konstitusionalnya.
Contoh yang berbeda adalah dalam perkara No. 002/PUU-I/2003 tentang
Pengujian UU M igas, pemohon merupakan perkumpulan lembaga swadaya
masyarakat yang dalam anggaran dasarnya dikatakan melakukan kegiatan
perlindungan dan advokasi kepentingan umum. Disini tidak jelas kedudukannya
apakah memenuhi syarat sebagai badan hukum privat. MK berpendapat bahwa
terlepas dari terbukti atau tidaknya kedudukan hukum para pemohon sebagai badan
hukum atau tidak, namun berdasar anggaran dasar masing-masing perkumpulan yang
mengajukan permohon pengujian UU a quo, ternyata bahwa tujuan perkumpulan
tersebut adalah untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interest advocacy)
yang di dalam nya tercakup substansi dalam permohonan a quo.
Karenanya MK berpendapat, para pemohon (LSM) tersebut memiliki legal
standing. Sesungguhnya pemberian legal standing terhadap public interest advocacy
(LSM) seperti ini telah mengadopsi legal standing LSM lingkungan dalam UU No.
23 Tahun 1997, sepanjang telah dimuat dalam anggaran dasar dan telah dilakukan
kegiatan membela kepentingan lingkungan (environment).
Tampaknya dengan sikap MK dalam beberapa putusan tersebut, telah terjadi
perluasan legal standing dan kerugian konstitusional yang dialami sebagai syarat
memperoleh pengakuan legal standing demikian. Boleh jadi yurisprudensi MK masa
datang akan perlu menata lagi lebih rapi rumusan legal standing tersebut. Tetapi
pemberian lega! standing terhadap LSM yang bergerak di bidang public interest
advocacy tersebut merupakan kemajuan yang cukup jauh terutama dalam pengujian
undang-undang yang sarat dengan perlindungan kepentingan umum dan HAM.
Standing pemohon harus diperkenankan secara luas. Tapi pendirian semacam ini
bukan tanpa bahaya, bukan hanya dari sudut beban tugas MK yang bisa melebihi
proporsinya tetapi juga ada kemungkinan setiap undang-undang yang baru
diundangkan harus diuji di MK meskipun tidak seialu dengan alasan yang cukup
mendasar.

3. Lembaga Negara
Lembaga negara yang dimaksud di sini bukan hanya lembaga negara yang
memperoleh kewenangan dari UUD 1945 tetapi juga lembaga negara sebagai auxiliary
institution yang dalam praktek banyak dibentuk oleh undang-undang. Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sekarang, istilah lembaga negara tidak selalu dimaksudkan
sebagai lembaga negara yang disebut UUD 1945 yang keberadaannya atas perintah
konstitusi (organ konstitusi), tetapi juga ada lembaga negara yang dibentuk atas dasar
perintah undang-undang dan bahkan juga atas dasar Keputusan Presiden (Keppres).
Contoh-contoh telah disebutkan diatas, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Secara a contrario, dalam pengujian Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK harus mempertahankan kewenangannya yang
melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus-kasus yang terjadi sebelum badan
itu dibentuk. Hal ini dianggap pemohon melanggar hak konstitusional tersangka yang
disidik dan dituntutnya. Kewenangannya diperoleh dari undang-undang tetapi KPK tetap
dianggap sebagai lembaga negara. Contoh lain adalah perkara pengujian Undang-Undang
No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya yang diajukan oleh Ketua
DPRD Provinsi Papua. Pengajuan permohonan ini merupakan keputusan rapat DPRD,
dan Ketua DPRD memperoleh kuasa untuk mengajukan permohonan pengujian undang-
undang tersebut. Tetapi DPRD dalam hal ini adalah lembaga negara yang oleh MK
diterima sebagai pihak yang memiliki standing Am mengalami kerugian kontitusional
dengan terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 yang
dianggap telah ditiadakan dengan berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Demikian pula ketika membicarakan sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang memperoleh wewenangnya dari UUD 1945. Telah dikemukakan bahwa MPR,
Presiden, DPR, DPD dan BPK merupakan lembaga negara dimaksud. Akan tetapi dalam
Perubahan UUD 1945, MK dan KY di samping MA adalah juga lembaga negara yang
memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Tetapi ada beberapa lembaga yang disebut
dalam UUD 1945 dengan kewenangannya, seperti misalnya TNI, Polri dan Dewan
Penasehat Presiden yang menggantikan DPA. Mereka bukanlah merupakan lembaga
negara yang memperoleh wewenangnya dari UUD 1945. Kemudian, apakah Bank
Indonesia dapat dimasukkan dalam kategori lembaga negara? Kejelasan tentang hal ini
masih akan ditentukan dalam yurisprudensi MK.
Lembaga negara sebagai salah satu pihak yang memiliki legal standing diatur dalam
Pasal 51 UU MK. Pasal tersebut merupakan aturan yang termuat dalam Bab V bagian
kedelapan yang menyangkut pengaturan hukum acara secara khusus untuk permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sehingga menjadi pertanyaan apakah
pengertian lembaga negara sebagai pihak yang memiliki legal standing dalam
permohonan pengujian undang-undang sama dengan pengertian lembaga negara dalam
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945,
di mana kewenangan mengenai sengketa kewenangan secara khusus diatur dalam bagian
yang berbeda yaitu pada Bab V bagian kesembilan UU MK. Hemat kami, Pasal 51 UU
MK yang mengatur lembaga negara sebagai salah satu kategori pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang, lebih luas daripada lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya dari UUD 1945.
Lembaga negara yang merupakan auxiliary state institution yang memperoleh
kewenangannya dari undang-undang termasuk dalam kategori yang disebut Pasal 51 ayat
(1) UU MK. Tetapi ada juga pendapat yang menyatakan bahwa lembaga Negara yang
dibentuk dengan satu undang-undang tidak dapat menguji undang-undang yang
menghapuskan lembaga negara tersebut karena hal itu merupakan policy choice dari
pembuat undang-undang.6

6
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20270044-T37378-Ria%20Indriyani.pdf

Anda mungkin juga menyukai