Anda di halaman 1dari 8

KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP SYARIAT DAN HUKUM

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Metododologi Studi Fiqih

Dosen Pengampu : Rofat Hilmi, S.HI., M.S.I.

Oleh :
1. Muthia Shafwa Kamila (1830110103)
2. Laili Kamalia Maftukah (1830110115)
3. Mu’ammal Hamidi (1830110119)
4. M. Ali Fachrurozi (1830110140)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

JURUSAN USHULUDDIN

PROGRAM STUDI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR

TAHUN AKADEMIK 2018


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia adalah makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Yang diciptakan dengan
kemampuan akal dan naluri. Manusia juga merupakan makhluk yang bersifat social. Dia tidak
hanya berinteraksi sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu.
Misalnya, dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih saying
kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.

Sebagai masyarakat Indonesia, setiap manusia diatur oleh hukum dan hidup bersama aturan
kehidupan yang telah diberlakukan. Sebagai umat Islam, setiap insan diatur oleh hukum syariat
yang telah ditetapkan oleh Allah AWT. Keadaan hukum merupakan salah satu bagian dari
kaedah social. Kaidah social timbul manakala manusia berhubungan dengan manusia lainnya.
Sehingga diharapkan dapat mencegah dari gangguan-gangguan , bentrokan-bentrokan antar
manusia, yang dapat merugikan manusia tersebut. Begitu pula hubungannya dengan syariat.

Jadi dapat disimpukan bahwasanya syariat atau hukum dan manusia memiliki hubungan yang
erat dengan kehidupan manusia sebagai makhluk social.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Syariat dan Hukum?


2. Apa saja perbedaan Syariat dan Hukum?
3. Bagiamana latar belakang kebutuhan manusia akan syariat dan hukum?
4. Bagaimana implementasi syariat dan hukum dalam kehidupan manusia?
C. TujuanPenulisan

1. Untuk mengetahui pengertian Syariat dan Hukum


2. Untuk mengetahui perbedaan Syariat dan Hukum
3. Untuk mengetahui latar belakang kebutuhan manusia akan syariat dan hukum
4. Untuk mengetahui implementasi syariat dan hukum dalam kehidupan manusia

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Syariat dan Hukum

A. Pengertian Syariat

Syari’at dari segi etimologi diartikan sebagai madzhab dan jalan lurus. Kata syir’atul
ma’ yang artinya sumbar air yang hendak diminum. Kata syara’a bermakna nahaja
(meneliti), menerangkan,dan menjelaskan berbagai jalan tititan.kata syara’a juga berarti
sanna (menetapkan). Sedangkan syariat secara terminologi berarti agama dan berbagai
hukum yang di syariatkan aiiah untuk hamba-hambanya. Hokum-hukum ini disebut
syariatnya Karena ia lurus dan menyerupai mata air,karena ia memberiakan kehidupan
bagi jiwa dan akal sebagaimana mata air memebawa kehidupan bagi fisik.1

Pada mulanya istilah syariah identik dengan istilah dīn atau agama. Dalam hal ini
syariah didefinisikan sebagai semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Alquran
maupun Sunnah Rasul. Karena itu, syariah mencakup ajaran-ajaran pokok agama (ushūl
al-dīn), yakni ajaran-ajaran yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, akhirat, dan
yang berkaitan dengan pembahasan-pembahasan ilmu tauhid yang lain. Syariah
mencakup pula etika, yaitu cara seseorang mendidik dirinya sendiri dan keluarganya,
dasar-dasar hubungan kemasyarakatan, dan cita-cita tertinggi yang harus diusahakan
untuk dicapai atau didekati serta jalan untuk mencapai cita-cita atau tujuan hidup itu. Di
samping itu, syariah juga mencakup hukum-hukum Allah bagi tiap-tiap perbuatan

1
Abdul karim zaidan, pengantar study syari’ah, Jakarta:rabbani press 2008, hal:44
manusia, yakni halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Kajian tentang yang terakhir
ini sekarang disebut fikih.

Secara singkat bisa dimengerti, semula syariah mempunyai arti luas yang mencakup
akidah (teologi Islam), prinsip-prinsip moral (etika Islam, akhlak), dan peraturan-
peraturan hukum (fikih Islam).2
Dari tiga definisi syariah di atas dapat dipahami bahwa syariah lebih khusus dari
agama. Syariah adalah hukum amaliyah yang berbeda di kalangan umat manusia
menurut perbedaan Rasul yang membawanya. Syariah yang datang kemudian
mengoreksi dan membatalkan syariah yang lebih terdahulu, sedangkan dasar agama,
yaitu aqidah (tauhid), tidak berbeda di antara para rasul dan umatnya.

B. Pengertian Hukum
Hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata jamaknya
diambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “hukum”. Hukum juga dinamakan recht
yang berasal dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin yang berarti pimpinan atau
tuntunan atau pemerintahan.

Di dalam ilmu ushul fiqih terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum,
yaitu hukum (‫)الحكم‬, hakim (‫)الحاكم‬, mahkum fihi (‫)محكوم فيه‬, dan mahkum ‘alaih (‫)محكوم عليه‬.
Secara bahasa hukum (‫ )الحكم‬berarti man’u (‫ )المنع‬yang berarti “mencegah”, hukum juga
berarti qadla’ (‫ )القضاء‬yang berarti “putusan”.[1]
Adapun secara istilah, pengertian hukum menurut ulama’ ushul yaitu:
‫ طلبا او تخييرا او وضعا‬, ‫الحكم هو خطاب الشارع المتعلق بافعال المكلفين‬.[2]
“Hukum adalah khitab syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan seoarang
mukallaf, berupa tuntutan, pilihan ataupun ketetapan.

Dapat disimpulkan bahwa hukum bermakna sebuah ketentuan atau peraturan-


peraturan yang harus dilaksanakan dan bagi yang melanggarnya akan mendapatkan
hukuman atau sanksi sesuai dengan kesalahan
1. Van Kan
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi
kepentingan manusia di dalam masyarakat.

1.Lihat Muhammad Yūsuf Mūsā, Al-Islām wa al-Hājat al-Insāniyyat Ilaih, Alih bahasa oleh A. Malik
Madani dan Hamim Ilyas dengan judul “Islam Suatu Kajian Komprehensif”, Jakarta: Rajawali Pers,
Sumber Cet. I, 1988, h. 131. Lihat juga Ahmad Hasan, The Principles ..., h. 1.22

2. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, Cet. II, 1993,
h. 14.
2. Wiryono Kusumo
Hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan
sanksi.
3. Aristoteles
Hukum adalah kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga
hakim.
4. Utrecht
Hukum adalah himpunan peraturan berupa perintah ataupun larangan
yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan.3

2. Perbedaan Syariat dan Hukum

Syariat tidak sama dengan hukum. Menurut Abdul Qodir Audah dalam At-Tasyri
Al-Jinai Al-Islamy Muqoran bil bil Qanunil Wad’iy, sejatinya syariat tidak dapat
dianalogikan dengan hukum. Syariat merupakan produk Sang Pencipta, sedangkan
hukum adalah hasil pemikiran manusia. Ketika keduanya dianalogikan,ibarat
membandingkan bumi dan langit dan manusia dengan Tuhan.

Kaidah Syariat yang dibuat oleh Allah bersifat kekal untuk mengatur urusan-urusan
masyarakat. Berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Ia hanya akan berlaku
untuk masyarakat yang ada pada saat itu, tapi terbelakang untuk masyarakat masa depan.
Karena hukum itu bisa berubah sesuai perkembangan masyarakat tersebut.

Syariat tidak hanya mengatur urusan dan kehidupan masyarakat tetapi berperan
sebagai pembentuk individu-individu yang saleh, membentuk format negara, dan tatanan
dunia yang ideal. Sedangkan hukum disusun untuk mengatur urusan dan kehidupan
masyarakat bukan mengarahkan mereka

3
Lihat Muhammad Yūsuf Mūsā, Al-Islām wa al-Hājat al-Insāniyyat Ilaih, Alih bahasa oleh A. Malik
Madani dan Hamim Ilyas dengan judul “Islam Suatu Kajian Komprehensif”, Jakarta: Rajawali Pers, Cet. I,
1988, h. 131. Lihat juga Ahmad Hasan, The Principles ..., h. 1.
3. Latar belakang kebutuhan manusia akan syariat dan hukum

A. Kebutuhan manusia akan syariat agama

Dalam sejarah manusia, agama adalah kebutuhan fitri manusia. Fitrah keagamaan
yang ada dalam diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia akan
hukum dan agama. Oleh karenanya ketika datang wahyu Tuhan menyeru manusia agar
beragama, maka seruan itu memang amat sejalan dengan fitrahnya manusia.

Di dalam Al-Qur’an manusia disebut sebagai insan maupun basyar. Dengan


mengacu pada informasi yang diberikan pada AL-Qur’an tersebut, Musa Asy-Syairi
menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang menerima pelajaran dari Tuhan
tentang apa yang tidak diketahuinya. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa pengertian
manusia dalam Al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan lapangan kegiatan manusia yang
amat luas, yang terletak pada kemampuan manusia menggunakaan akalnya. Dan
mewujudkan pengetahuan konseptualnyadalam kehidupan konkret. Sedangkan manusia
basyar hanya untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya saja, seperti
makan, minum, tidur, dll.

Setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrahnya masing-masing dalam beragama.


Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi yahudi, nasrasi,
ataupun majusi. Karena demi8kian pentingnya menumbuhkembangkan dan memelihara
potensi keagamaan yang ada dalam hati manusia, maka pada saat kelahirannya yang
pertama kali diperdengarkan adalah nama Allah melalui adzan pada telinga kanan dan
iqamah pada telinga kiri. Kemudian didirikan makanan yang bersih yang diambangkan
dengan memberikan madu, mencukur rambut anak dengan tujuan agar menyukai
kebersihan, keindahan, ketampanan.

Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama dapat
dilihat melalui bukti historis dan antropologis melalui bukti ini lima ita mengetahui
bahwa manusia primitive yang tidak pernah datang kepadanya mengenai informasi
tentang Tuhan. Ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan. Misalnya, mereka
mempertuhankan benda yang dianggap misterius dan mengagumkan.
Berkaitan dengan uraian di atas ada beberapa historis yang diajukan mengenai
pertumbuhan agama pada manusia :

i. Hipotesis yang mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut, seperti
rasa takut dari alam.
ii. Hipotesis yang mengatakan bahwa agama adalah produk dari kebodohan.
Manusia sesuai wataknya selalu cenderung ingin mengetahui sebab dan
hukum-hukum yang berlaku atas alam ini, serta peristiwa-peristiwa yang
terjadi di dalamnya.
iii. Hipotesis yang mengatakan bahwa motivasi keterikatan manusia kepada
agama pendalamannya akan keadilan dan keteraturan. Hipotesis tersebut telah
banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli. Karena dasar hipotesis
tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas , sedangkan agama yang
benar berasal dari Tuhan yang tidak terbatas. Jadi karena di dalam hati
manusia sudah terdapat potensi untuk beragama, maka potensi beragama
inilah yang perlu pembinaan, pengarahan, dan pengembangan.4

B. Kebutuhan Manusia akan Hukum


Dengan mendasarkan pada pendekatan filosofis, diketahui asumsi-asumsi dasar dari
paradigma rasional sebagaimana terlihat dalam teori murni Hans Kelsen terdiri dari
asumsi manusia yang berkarakter quasi transcendental, aurea aetas, dan normativitas
dijadikan sebagai kondisi logika transcendental ; asumsi epistimologis yang
menempatkan ilmu hukum sebagai ilmu kongritif menjadikan norma hukum sebagai satu
kesatuan objek dan norma hukum yang direkontruksi terbentuk dari relasi antara fakta-
fakta yang bersifat non-kausal dan non mentafisikal ; asumsi asiologis menempatkan
norma yang dikontruksi sebagai objek ilmu hukum dan mneyamakan norma dasar dengan
hukum alam.5

4
5
Kelik Wardiono, “Basis epistimologis Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum”
4. Implementasi syariat dan hukum dalam kehidupan manusia

Kesimpulan

Kesimpulannya syariat lebih tinggi daripada seluruh tingkatan hukum dunia pada saat
diturunknnya dan hal tersebut masih tetap seperti itu hingga sekarang.

Daftar pustaka

Izomiddin, 2018, pemikiran dan filsafat hukum islam,,prenada media

nama diwalik, tahun, buku, kota , penerbit

Anda mungkin juga menyukai