Anda di halaman 1dari 26

17

IV. TEORI DASAR

4.1 Batubara

4.1.1 Definisi Batubara

Batubara berasal dari sisa tumbuhan yang mengalami proses

pembusukan, pemadatan yang telah tertimbun oleh lapisan diatasnya,

pengawetan sisa-sisa tanaman yang dipengaruhi oleh proses biokimia

yaitu pengubahan oleh bakteri. Akibat pengubahan oleh bakteri tersebut,

maka sisa-sisa tumbuhan kemudian terkumpul sebagai suatu masa yang

mampat yang disebut gambut (Peatification) terjadi karena akumulasi

sisa-sisa tanaman tersimpan dalam kondisi reduksi didaerah rawa dengan

system draenase yang buruk yang mengakibat selalu tergenang oleh air,

yang pada umumnya mempunyai kedalaman 0,5-1,0 meter. Gambut yang

telah terbentuk lama-kelamaan tertimbun oleh endapan-endapan seperti

batulampung, batulanau dan batupasir. Dengan jangka waktu puluhan

juta tahun sehingga gambut ini akan mengalami perubahan fisik dan

kimia akibat pengaruh tekanan (P) dan temperature (T) sehingga berubah

menjadi batubara yang dikenal dengan proses pembatubaraan

(Coalitification) pada tahap ini lebih dominan oleh proses geokimia dan

proses fisika (Asquisth, 2004).


18

4.1.2 Pembentukan Batubara

A. Keadaan Umum Batubara

Berdasarkan konsep tektonik lempeng kedudukan cekungan

batubara tersier di Indonesia bagian barat berkaitan dengan system busur 14

kepulauan. Dalam system ini dikenal adanya ceungan busur belakang,

cekungan busur depan dan cekungan intramontana atau cekungan antar

busur. Masing-masing cekungan tersebut memliki karakteristik endapan

batubara yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di lain pihak

menurut Koesoemadinata, dkk.(1978), semua cekungan batubara tersier

Indonesia (termasuk cekungan sumatera selatan) digolongkan jenis

cekungan paparan (shefial basin) karena berhubungan dengan kerak

benua pada semua sisinya. Kecuali Cekungan Kutai dan Cekungan

Tarakan di Kalimantan Timur digolongkan sebagai continental margin.

Secara umum Cekungan Sumatera Selatan menghasilkan endapan

batubara dengan penyebaran yang cukup luas, namun memiliki peringkat

batubara tidak terlalu tinggi. Menurut Thomas (2002) yang menerangkan

proses-proses dari perubahan sisa-sisa tanaman dari gambuta hingga

menjadi batuan batubara disebut sebagai suatu peristiwa pembatubaraan

(Coalification). Proses ini dapat diterangkan dengan dua tahapan, yaitu :

1. Tahapan Sedimentary atau yang disebut sebagai tahapan diagenetik,

pada tahapan ini pertama kali dimulai pada saat material tanaman

terdeposisi yang menyebabkan terbentuknya lignit. Pada proses

deposisi ini banyak factor yang menyebabkan perubahan ini baik


19

factor kadar air, tingkat oksidasi, serta gangguan geologis. Factor-

faktor inilah yang berperan utama dalam proses deposisi, kompaksi

material organic serta pembentukan gambut.

2. Tahapan Post-Sedimentary akan terjadi kenaikan temperature yang

mengakibatkan berkurangnya porositas serta Moisture sehingga

senyawa OH, COOH, OCH3 dan CO terlepas, hal ini menyebabkan

unsur karbon akan relative bertambah, kemudia suhu yang terus naik

tadi akan menyebabkan terbentuknya batubara sub-bituminus,

bituminous dan pada akhirnya akan terbentuk antrasit.

B. Ganesa Batubara

Batubara merupakan batuan sedimen (padatan) yang dapat

terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna

coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia

yang berlangsung selama jutaan tahun dan mengakibatkan pengkayaan

kandungan karbonnya (Anggayana, 2002).

Secara teoritis, batubara terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dengan

proses biokimia dan thermal. Diawali dengan proses penghancuran

tumbuh-tumbuhan bahan pembentuk batubara oleh bakteri anaerob

sehingga terbentuklah (gel) sebagai bahan pembentuk batubara. Bahan

tersebut (gel) terendapkan di suatu tempat (cekungan), kemudian

termempatkan menjadi pada yang disebut dengan Peat atau gambut.

Gambut merupakan tahap paling awal dari proses pembentukkan

batubara. Factor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan gambut :


20

1. Evolusi Tumbuhan, hara merupakan unsur utama pembentuk

batubara dan sebagai penentu terbentuknya berbagai tipe

batubara. Metode yang digunakan untuk mengenal jenis

tumbuhan pembentuk batubara yaitu Paleobotani atau maseral.

2. Iklim, kelembaban memegang peranan penting dalam

pembentukan gambut. Iklim tropis dapat mmbentuk gambut

lebih cepat karena kecepatan tumbuh dari tumbuhan lebih

besar, lebih banyak ragam tumbuhan, dalam waktu 7-9 tahun

dapat mencapai ketinggian 30 meter. Sedangkan pada iklim

sedang dapat mencapai ketinggian 5-6 meter dalam jangka

waktu yang sama.

3. Paleografi dan tektonik, syarat terbentuk formasi batubara

adalah kenaikan muka air tanah yang lambat, adanya

perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai da terdapat

energy yang relative rendah. Tahap selanjutnya adalah tahap

pembatubaraan (Coalification) yang merupakan gabungan

proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh

pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperature,

tekanan, dan waktu terhadap komponen organic dari gambut

(Scatch et al, 1982, dalam Susilawati, 1992 ).

Proses pembentukan batubara akan terbentuk pada daerah yang

rendah seperti, pantai, rawa-rawa, delta, cekungan dan sebagainya yang

mempunyai vegetasi atau hutan lebat dan merupakan daerah yang


21

tergenang oleh air. Daerah tersebut mengalami penurunan secara

perlahan-lahan yang diimbang dengan penumpukan tumbuhan, kemudian

diendapkan pula material sebagai lapisan penutup dan terjadi secara

berulang yang disebut proses sedimentasi. Akibat terjadinya proses

biokimia, dimana sisi tumbuhan tersebut mengalami pengawetan tanpa

pembusukan dalam kondisi asam sehingga terbentuk Peat atau gambut.

Dengan terjadinya perubahan atau peningkatan tekanan serta suhu

sebagai akibat dari penurunan cekungan dan proses sedimentasi yang

berulang-ulang tersebut, maka akan berubah menjadi batubara yang

berlapis-lapis dengan ketebalan yang bervariasi. Proses ini akan

berlangsung selama jutaan tahun dan sebagai akibat dari adanya gejala

geologi tersebut maka akan terbentuklah rank atau peringkkat batubara,

antara lain :

a. Peat (Gambut) merupakan jenis tanah yang terbnetuk dari akumulasi

sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk, oleh sebab itu,

kandungan bahan organiknya tinggi dan memiliki kadar air diatas 75%

serta nilai kalori yang paling rendah.

b. Lignite (Brown Coal) merupakan batubara dengan warna hitam,

sangat rapuh, kandungan karbon sedikit, nilai kalori rendah,

kandungan air tinggi (35-75%), kandungan abu banyak dan

kandungan sulfur banyak.

c. Bituminous (Bituminus) merupakan batubara dengan warna hitam

mengkilat, kurang kompak, kandungan karbon relative tinggi, nilai


22

kalori tinggi, kandunga air sedikit, kandungan abu sedikit dan

kandungan sulfur sedikit.

d. Anthracite (Antrasit) merupakan batubara dengan warna hitam sangat

mengkilat berkilauan (luster), kompak, kandungan karbon sangat

tinggi (86-98%), kandungan airnya sedikit (< 8%), kandungan abu

sangat sedikit, dan kandungan sulfur sangat sedikit.

Gambar 4.1 Rank atau Peringkkat Batubara

4.1.3. Tempat Terjadinya Batubara

a. Insitu

Dimana bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya

ditempat asal tumbuhan tersebut berada. Dengan demikian maka

setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transformasi

segeran tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses

coalification. Jenis batubara yang terbentuk seperti di Indonesia

didapatkan di lapangan batubara Muara Enim, Sumatera Selatan.

b. Drift

Dimana bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya

ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan


23

berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut

oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan

sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang

terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi

dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak

mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses

pengangkutan dari tempat asal tumbuhan ke tempat sedimentasi.

Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di

lapangan batubara delta Mahakam Purba Kalimantan Timur.

4.1.4. Pengotor Pada Batubara

Batubara merupakan salah satu batuan sedimen klastik yang saat ini

telah dimanfaatkan sebagai salah satu sumber daya yang banyak

digunakan untuk memenuhi energy karena batubara merupakan salah

satu sumber energy yang murah serta terdapat banyak kelimpahannya

di Indonesia, sehingga ditambang dan dimanfaatkan secara besar-

besaran. Namun pada kenyatannya batubara ini tidak hadir murni

100% batubara namun biasanya terdapat pengotor yang akan menyisip

pada lapisan batubara. Pada lokasi penelitian kali ini terdapat

pengotor, yaitu :

a. Clayband

Clayband merupakan pengotor yang terjadi akibat supply pada

lingkungan pengendapan, supply sedimen klastik melebihi jumlah

akumulasi peat.
24

b. Batupack (Silicified Coal)

Batupack merupakan salah satu jenis pengotor selain clayband

dalam batubara yang merugikan, batupack terbentuk bersamaan

seiring terbentuknya batubara. Batupack hadir dalam batubara dengan

bentuk perlapisan maupun berbentuk melensa (lensis). Batupack

dalam batubara hadir karena dipengaruhi oleh beberapa faktur, seperti:

- Jenis cekungan pembawa endapan batubara

- Aktivitas gunung berapi selama proses sedimentasi

- Struktur geologi berupa perlipatan, sesar serta intrusi

Dalam batubara batupack ini dapat diidentifikasi dengan ciri-ciri

sebagai berikut :

- Pada lapisan batubara seam A1 batupack hadir pada bagian base

dengan ciri melensa (lensis) serta agak rapat.

- Pada lapisan batubara seam A2 batupack hadir dalam base

(melensa tebal, agak rapat dan paling banyak), middle

(tipis,melensa dan jarang), serta top (menerus tetapi berundulasi).

- Pada lapisan batubara seam B1 serta C batupack hadir pada bagian

base dengan lapisan tipis dan jarang.

- Pada lapisan batubara seam B2 batupack hadir diantara middle dan

base dengan karateristik melensa, tebal dan agak rapat.

- Batupack umumnya berwarna coklat apabila terdapat carbo

warnanya akan hitam serta apabila megandung silica maka


25

batupack akan berwarna mengkilap dengan kekesaran 15.000 kpa

untuk karbonan sedangkan untuk silica 20.000 kpa.

4.2 Well Logging

4.2.1 Konsep Dasar Well Logging

Well Logging merupakan salah satu metode eksplorasi geofisika

melalui lubang bor untuk menyelidiki dan memperoleh gambaran bawah

permukaan dengan memanfaatkan pamareter fisika batuan. Pelaksanaanya

dilakukan dengan memasukkan alat deteksi yang biasa disebut sound

kedalam lubang bor sehngga akan diperoleh kurva log yang akan

memberikan gambaran hubungan antara kedalaman dan sifat fisik batuaan.

Kurva log akan terekam oleh alat detektor yang ditempatkan di permukaan

dan respon yang terekam merupakan reaksi dari seluruh material yang

terletak pada volume penyelidikan. Setiap batuan memilki sifat fisis yang

khas sehingga dari kurva hasil perekaman akan dapat di interpretasikan

kedalaman, ketebalan, jenis litologi atau batuan yang berada pada suatu

sumur pemboran. Logging geofisika juga mencakup semua data yang

dikumpulkan selama pengeboran dan diperlukan untuk mendapatkan

gambaran terperinci mengenai stratigrafi bawah permukaan bumi yakni

dari deskripsi litologi.

Logging batubara dirancang tidak hanya untuk mendapatkan informasi

geologi, tetapi untuk memperoleh data lain, seperti kedalaman, ketebalan

dan kualitas lapisan batubara, dan sifat geomekanik batuan yang menyertai

penambahan batubara. Dan juga mengkompensasi berbagai masalah yang


26

tidak terhindar apabila hanya dilakukan pengeboran, yaitu pengecekan

kedalaman sesungguhnya dari lapisan penting, terutama lapisan batubara

atau sequence rinci dari lapisan batubara termasuk parting dan lain-lain.

Pada batubara dikenal “ Coal Lithology Log “, yaitu gabungan

penampilan log gamma ray dan log density, termasuk juga didalamnya

caliper log bila lubang bor rusk missal adanya ambrukan. Keduanya

dioperasikan secara bersamaan sebagai dasar analisis batuan. Pengkuran

well logging diperlukan terutama pada pemboran non coring sedangkan

pada pemboran inti coring digunakan untuk koreksi kedalaman dan

ketebalan bila hasil perolehan inti (Core Recovery) buruk. Kegunaan well

logging dalam hubunganya dengan eksplorasi geofisika menurut Harsono,

1993 adalah :

a. Mempercepat hasil bawah permukaan dan memperkecil biaya

pemboran.

b. Membantu menemukan litologi bawah permukaan dan kedalaman

serta ketebalan lapisan.

c. Membantu menentukan kualitas batubara sejak awal kegiatan

eksplorasi dan membantu menentukan porositas dan suhu bawah

permukaan.

d. Untuk korelasi lapisan batubara.

e. Menentukan kandungan shale serta menentukan lapisan permeable

dan impermeable.
27

Logging digunakan untuk mengecek apakah data yang dihasilkan dari

pengeboran eksplorasi dengan cara openhole maupun coring sama atau

tidak, khususnya untuk lapisan batubara, karena perbedaan ketebalan akan

memiliki pengaruh terhadap perhitungan cadangan batubara.

Interpretasi data log meruppakan suatu metode pendukung dalam usaha

evaluasi formasi, yaitu dengan cara mengunakan hasil perekaman alat

survey logging sebagai sumber informasi yang utama. Interpretasi ini

dapat dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Dewanto,2009).

4.2.2 Jenis Log

Dalam hubungannya dengan eksplorasi batubara, kombinasi log yang

terdiri dari Log Gamma ray, Log Caliper, Log Long Spaced Density, dan Log

Short Spaced Density yang digunakan untuk mengetahui secara langsung

keadaan di bawah permukaan dengan memasukkan kombinassi alat log

tersebut ke dalam sumur bor yang pengukurannya berdasarkan sifat-sifat fisik

batuan dengan target yaitu mencari lapisan batubara.

a. Log Gamma Ray

Log gamma ray merupakan log yang merekam kedalaman dari

radioaktivitas alami bumi. Pada sifat radioaktivitas berasal dari peluruhan

unsur-unsur Uranium (U), Thoruium (TH) serta Potasium (K), yang

terdapat dalam batuan, unsur-unsur ini secaraterus menerus memancarkan

sinar gamma yang memiliki energy tinggi yang mampu menembus

formasi, sehingga dapat dideteksi oleh detector. Sinar gamma ini sangat

tepat digunakan untuk mengetahui lapisan yang bersifat permeable serta


28

non permeable. Menurut Abdullah (2009) respon sinar gamma terhadap

berbagai litologi seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.3.

Gambar 4.3. Respon sinar gamma terhadap berbagai litologi (Abdullah,

2009).

b. Log Densitas

Log densitas merupakan suatu log yang digunakan dalam mengidentifikasi

densitas elektro suatu formasi. Menurut Harsono (1997) log densitas

memiliki prinsip kerja mengikuti prinsip teori fisika nuklir, yakni apabila

sinar gamma dengan tenaga yang tinggi ditembakkan ke bahan akan

terjadi interaksi yang berupa :


29

- Suatu gejala fotolistrik, ditandai energy mula-mula sebesar E<100

ke V.

- Hamburan Compton, bila 75 keV < E < 2 MeV

- Produksi kembar, bila E < 1,2 MeV

Pada setiap tabrakan sinar gamma akan menyebabkan berkurangnya

energy, log densitas dapat pula mendeterminasi densitas elektro formasi

yang dihubungkan dengan densitas bulk sesungguhnya di dalam gr/cc.

Dalam melakukan suatu evaluasi formasi sumur, log densitas digunakan

untuk :

1. Menentukan nilai porositas formasi

2. Mengidentifikasi adanya kandungan gas

3. Mendeterminasi densitas hidrokarbon

Menurut Martono (2008), pada log densitas sendiri terdiri dari dua macam

yaitu Long Spacing Density (LSD) serta Short Spacing Density (SSD).

Log density terdiri dari 2 macam yaitu Long Spacing Density (LSD) dan

Short Spacing Density (SSD) atau Bed Resolution Density (BRD). Long

spacing density digunakan untuk evaluasi lapisan batubara karena

menunjukan densitas yang mendekati sebenarnya berkat pengaruh yang

kecil dari dinding lubang bor. Sedangkan Short spacing density

mempunyai resolusi vertikal yang tinggi, maka cocok untuk pengukuran

ketebalan lapisan batubara. Menurut Rider (1996), respon sinnar gamma

terhadap berbagai litologi seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.4.


30

Gambar 4.4. Respon Log Density terhadap berbagai litologi (Rider, 1996)

Dalam penelitian ini, satuan dari density log adalah counts per second

(CPS). untuk memudahkan perhitungan, maka dilakukan konversi satuan

dari CPS ke gr/cc, nilai satuan CPS berbanding terbalik dengan nilai

satuan gr/cc, maka akan menunjukkan nilai yang rendah dalam satuan

gr/cc yang ditunjukkan pada gambar 4.5.

Gambar4.5. Hubungan antara satuan CPS dan gr/cc menurut Warren

(2002) yang telah dimodifikasi.


31

dapat diperoleh rumus, sebagai berikut:


x
Y = 177598 e 2.4325

Keterangan:

Y : nilai densitas dalam satuan CPS

X : nilai densitas dalam satuan gr/cc

4.2.3 Interpretasi Well Logging

Data Well Logging yang didapatkan dari hasil pengukuran di

lapangan kemudia digunakan dalam identifikasi litologi bawah

permukaan bumi, pada masing-masing batuan memiliki respon yang

berbeda pada kurva log. Menurut (BPB Manual, 1981), karakteristik log

dari beberapa batuan, sebagai berikut :

1. Coal memiliki respon Gamma ray sangat rendah dan Density rendah.

2. Claystone memiliki respon Gamma ray menengah dan Density

menengah.

3. Sandstone memiliki respon Gamma ray rendah dan Density

menengah samai tinggi.

Pada interpretasi tentunya mempertimbangkan banyak hal dimana lubang

bor tidak selalu konstan yang berarti lapisan yang tidak kompak

mendominasi, baik lapisan yang permeable yang membentuk mud cake


32

maupun lapisan lempung yang diameternya lebih lebar karena terjadi

reruntuhan sehingga lubang bornya berongga. Ditinjau dari kandungan

unsur komposisi dari batubara terdiri dari Carbon, Hydrogen serta

Oksigen maka pembacaan pada batubara akan memiliki nilai kecil,

sehingga kehadiran batubara dapat teridentiikasi dari kenampakan kurva

log.

4.2.4 Penentuan Ketebalan Lapisan Batubara

Log yang digunakan dalam penentuan ketebalan batubara dan parting

adalah kombinasi dari log densitas, sinar gamma dan caliper. Log LDS

dibuat secara khusus untuk menghasilkan kombinasi log yang dapat

digunakan untuk menentukan ketebalan batubara, sedangkan SSD

untuk melakukan identifikasi rongga – rongga, misalnya pada roof dan

floor. Pengukuran titik –titik batas pada garis transisi antara lapisan

batbara, roof dan floor serta parting mempunyai cara yang berbeda

untuk masing-masing komponen log densitas . Batasan untuk setiap log

adalah sebagai berikut yang ditunjukan pada gambar 4.6.

- Sinar gamma = 1/3 panjang garis menuju lapisan yang berdensitas

rendah.

- LSD = 1/3 panjang garis menuju lapisan yang berdensits rendah.

- SSD = 1/2 panjang garis defleksi


33

Gambar 4.6. Penentuan Ketebalan antara Log LSD ( Long Spacing

Density) dsn SSD (Short Spacing Density)

4.3 Analisis Batuan Inti (Core)

Batuan inti atau Core merupakan data bawah permukaan yang paling

mahal, karena merupakan satu-satunya data yang langsung memperhatikan

bukti nyata dari kondisi bawa permukaan. Perbedaannya dengan data

laiinya, seperti halnya data log dan seismic, batuan inti (Core) tidaklah

meberikan nilai-nilai atau rekaman data yang mencirikan sifat-sifat atau

karakter dari batuan, tapi langsung memperlihatkan bagaimana kondisi

batuan itu sendiri. Melalui data Core ini menentukan litologi pada setiap

kedalaman di bawah permukaan bumi. Masing-masing batuan mempunyai

respon yang khas pada kurva log, sehingga jenis litologi dapat di ketahui.

Analisis batuan inti merupakan acuan untuk mengidentifikasi litologi

melalui deskripsi. Langkah awal dalam analisis deskripsi adalah mengenali

objek analisis secara kualitatif mulai dari tampak luar sampai unsur

pembentuknya. Pengenalan analisis objek sangat penting karena


34

menentukan jenis dan urutan analisi lanjut yang perlu dilakukan agar

analisisnya bermanfaat. Hal-hal yang perlu dideskripsikan pada core, yaitu:

1. Jenis batuan, sesuai jenis batuan murni atau berdasarkan komponen

terbanyak atau dominan.

2. Warna, kenampakan warna batuan

3. Kekerasan , ukuran kekerasan batuan

4. Ukuran butir, berdasarkan standar baku internasional (Skala Wentworth)

5. Derajat kebundaran, kenampakan butiran dibandingingkan dengan

bentuk bola.

6. Mineral/komponen ikutan, pengamatan berdasarkan mineral ikutan

sebagai semen.

Tujuan utama dari deskripsi core ini adalah untuk membagi lapisan-lapisan

sedimen sepanjang interval core untuk dikorelasikan antar lubang bor.

4.4 Penentuan Kualitas Batubara

Dalam menentukan kualitas suatu batubara diperlukan beberapa

parameter yang digunakan sebagai dasar dalam menentukan klasifikasi

kualitas dari batubara itu sendiri, beberapa parameter tersebut adalah :

1. Total Moisture

Merupakan banyaknya air yang terkandung pada batubara sesuai

dengan kondisi yang diterima baik terikat oleh kondisi kimiawi

maupun pengaruh kondisi luar. Digunakan sebagai bagian untuk


35

mengkalkulasi hasil analisa dalam air drieb basis menjadi as received

basis, pada saat batubara diperdagangkan.

Tahap pertama penentuan total moisture adalah penentuan air drying

loss, dan dapat terdiri dari suatu tahap atau lebih. ASTM (As Sampled

Total Moisture ) mempersyaratkan bahwa seluruh sample harus

dikeringkan sampai berat konstan sebelum digerus, dan setiap melalui

proses penggerusan dan pembagian, sample harus melalui proses

pengonstanan berat kembali. Tahap kedua dari proses ini adalah

penentuan “residual moisture”. Batubara yang telah dikeringkan

dalam udara digerus dan dilakukan pengujian residual moisture

dengan metode standard yang sesuai :

TM = Total Moisture (%)

ADL = Air Drying Loss (%)

RM = Residual Moisture (%)

2. Ash (Kandungan Abu)

Merupakan sisa-sisa zat anorganik yang terbentuk dalam batubara

setelah dibakar. Kandngan abu dapat dihasilkan dari pengotor bawaan

dalam proses pembentukan batubara maupun dari proses

penambangan.

Abu sebagai material pembentuk batubara dibagi dalam dua jenis :


36

a. Extraneous mineral terdiri dari lempung atau unsur lanau, kalsit,

pirit atau marcasite dan komponen kecil seperti sulfat anorganik,

klorida dan fluorida.

b. Inherent ash yang mencakup unsur anorganik dikombinasikan

dengan bagian organik dari batubara yang dibentuk. Biasanya

perlu diperhatikan kuantitas yang signifikan sejauh menentukan

abu.

Tabel 4.1. Klasifikasi Kadar Abu menurut Graese, dkk (1992)

Klasifikasi Kadar Abu


Sangat Tinggi 15 - 20 %
Tinggi 10 - 15 %
Sedang 5 - 10 %
Rendah < 5%

3. Volatile Mater

Merupakan zat aktif yang menghasilkan energy panas apabila

batubara tersebut dibakar. Hasil dari Volatile Mater ditentukan melalui

analisis batubara, hasil ini tidak didapatkan langsung dari batubara,

tetapi melalui hasil pemanasan kondisi dari batubara dalam keadaan

tidak bergerak. Proses ini sering destruktif distilation. Pada umumnya

terdiri dari gas hydrogen, karbon monoksida, metana sulfida

hydrogen, getah dan oksida dari sulfur dan nitrogne air dan gas dari

karbon didapatkan dari proses penguapan yang dihasilkan dari proses

pembusukkan yang komplek dari karbon, hidrogen dan oksigen.

Volatile mater ini sangat berpengaruh pada rank batubara, apabila

volatile mater memiliki nilai tingggi maka rank batubara akan


37

semakin rendah hal ini disebabkan semakin tinggi nilai volatile mater

maka akan mempercepat pembakan karbon padat dan menghasilkan

nyala yang panjang, dan sebaliknya.

4. Fixed Carbon

Merupakan karbon yang tertinggal sesudah pendeterminasian Volatile

mater yang didapat hasil panas dari pembusukan. Jadi terbentuk

bersamaan dengan pembentukan batubara. Angka dari Fixed Carbon

didapatkan dengan cara yang berbeda, yaitu substraksi dari 100

penjumlahan moisture, ash, dan angka volatile mater. Dengan adanya

pengeluaran volatile mater serta kandungan air, maka karbon

terlambat secara otomatis akan naik sehingga makin tinggi kandungan

karbon maka rank batubara makin naik.

FC = (100 + (M + A + VM))

5. Calorific Value

Merupakan penjumlahan dari harga-harga panas pembakaran unsur-

unsr pembentukan batubara. Zat dari batubara yang dipilih, untuk

pembakaran yang mana untuk menentukan angka dari kalori pada

batubara adalah karbon dan hidrogen dari material organik dan yang

kedua adalah sulfur pirit. Ketika Gross Calorific Value ditentukan,

setiap uap air yang dihasilkan baik dari perkembangan air dalam

contoh batubara atau yang terbentuk oleh pembakaran hidrogen,

dikonversikan menjadi cairan moisture dan panas yang terpadam dari

penguapan telah diperoleh kembali. Dalam pembakaran batubara

industri, air tetap sebagai uap dan panas dari penguapan hilang.
38

Sedangkan berikut merupakan hasil penentuan kelas batubara

berdasarkan ketentuan Devisi Batubara, Direktorat Investasi Sumber

Daya Mineral dan Batubara (dalam Indonesia Coal Resources

Reverses and Calorivic Value, 2013) yang ditunjukkan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Kelas Batubara berdasarkan nilai kalori

Nilai Kalori

(Kcall/Kg) Kelas Batubara


< 5100 Low
5100 - 6100 Medium
6100 - 7100 High
> 7100 Very High

6. Total Sulfur

Merupakan kandungan sulfur yang terdapat dalam batubara, baik yang

terbentuk sebagai senyawa orbanik, pirit maupun senyawa organic.

Total sulfur benar-benar bervariasi pada batubara di indonesia, mulai

dari < 0,05% sampai >2,0%. Hasil ini tergantung dari endapan dan

lingkungan di endapan dalam rawa yang membentuk batubara. Nilai

abu dan sulfur batubara yang rendah awalnya seperti gambut air tawar

yang didasari oleh sedimen klastik air tawar yang tidak mengandung

batu gamping. Nilai abu dan sulfur yang tinggi berhubungan dengan

sedimentasi dalam payau atau lingkungan laut. Ketika air laut masuk

ke rawa sulphate ion dalam air laut bercampur menjadi sulphide ion

yang masuk ke dalam molekul batubara sebagai organik sulfur.

Dengan kondisi ini penyebaran sulfur tidak akan sama pada lapisan

batubara dengan lapisan sulfur tinggi yang ditemukan bersebelahan


39

pada roof and floor dari lapisan batubara. Pyritic sulfur yang sangat

tinggi banyak terdapat dalam gambut laut. Lingkungan endapan yang

kaya kalsium dengan pH yang tinggi mendorong aktivitas dari sulfur

yang mengurangi bakteri yang mendukung pembentukan iron pyrite.

Keasamaan tinggi, pH rendah, mendukung pembentukan abu yang

yang rendah atau batubara bersulfur rendah, kadar sulfur berdasarkan

Hunt, dkk (1984) yang ditunjukan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Kadar peringkat batubara berdasarkan data kadar sulfur

(Klasifikasi Hunt, 1984)

Klasifikasi Kadar Sulfur


Tinggi > 1%
Sedang 1 - 0, 55 %
Rendah < 0, 55%

Kandungan sulfur di dalam batubara terdiri dari :

1. Sulfur sulfat, senyawa yang terbentuk sebagai kalsium sulfat

(CaSO4) dalam batubara.

2. Sulfur pyrite, sulfur yang terdapat pada batubara dalam bentuk

besi sulfide.

3. Sulfur organik, terikat secara kimia pada struktur molekul

hidrokarbon pada struktur batubara dan tidak dapat dipisahkan.

Pada umumnya terdapat dua metode analisa yang digunakan saat

mengetahu kualitas batubara, yakni :

a. Analisa Air-Dried Base (ADB)


40

Analisa contoh batubara yang dilakukan dalam keadaan kelembapan

udara sekitarnya. Contohnya batubara akan didiamkan beberapa

waktu sehingga kandungan moisture berkurang.

b. Analisa As Received (AR)

Analisa contoh batubara yang langsung dilakukan ketika contoh

tersebut diterima di laboratorium sehingga kandungan moisture saat

pengambilan contoh batubara sangat berpengaruh terhadap nilai

kualitas.

Perbedaan mendasar pada kedua analisa ini dipengaruhi oleh Total

Moisture (TM). Kandungan TM yang tinggi dapat menurunkan kualitas

batubara, terutama pada nilai Calorific Value (CV). Apabila nilai TM

meningkat secara otomatis maka nilai kalori pun akan turun, sebaliknya

apabila TM dapat dijaga atau diturunkan maka nilai CV akan relative

stabil bahkan akan meningkat (PT.Bukit Asam Tbk, 2018).

4.5 Korelasi Lapisan

Menurut Sandi Sratigarfi Indonesia, korelasi adalah menghubungkan titik-

titik kesamaan waktu atau penghubungan satuan-satuan startigrafi dengan

mempertimbangkan kesamaan waktu. Menurut North Americaan Stratigrafi

Code (1983), ada tiga prinsip :

a. Litokorelasi, yang menguhubungkan unit yang sama litologi dan posisi

stratigrafinya.
41

b. Biokorelasi, yang secara cepat menyamakan fosil dan posisi

biostartigrafinya.

c. Kronokorelasi, yang secara cepat menyesuaikan unsur dan posisi

kronostratigrafi.

4.6 Koefisien Korelasi

Di dalam ilmu statistic R2 dinamakan coefficient of determination dan dapat

mengambil nilai diantara 0 dan 1. Koefisien korelasi ini adalah akar pangkat

dua dari pada coefficient of determination.

Dimana r itu lebih sering dari pada r2 sebagai ukuran baiknya suatu garis

regresi dipakai untuk menerangkan hubungan antara data sample. Kalau r2

berkisar 0 dan 1 saja, maka r ini mungkin mngambil setiap nilai diantara 1

dan -1, atau :

-1 ≤ r ≤ 1

Makin dekat nilai r itu kepada -1 atau 1, maka baiklah data sampel itu

diterangkan oleh garis regresi itu, makin dekat nilai r itu kepada nol, makin

uranglah baik kita memakai analisa regresi itu untuk sample kita

( Amudi,1975).
42

Gambar 4.7 Rentang Koefisien Korelasi

Anda mungkin juga menyukai