Oleh :
Nama : Indahyo Tumanggor
NIM : 155040207111141
Kelompok : E1
Asisten : Qurrota Ayuni Aprilian
3.2 Purifikasi
3.2.1 Alat dan Bahan
Alat Fungsi
Jarum Oose Untuk mengambil/memindahkan koloni
patogen
Bunsen Untuk mensterilisasi alat
Plastik Wrap Untuk meng-cover hasil isolasi di
cawan Petri
Gelas ukur Sebagai wadah alkohol (sterilisasi alat)
Kamera Untuk mengambil gambar patogen hasil
isolasi
Alat Tulis Untuk menulis pada kertas label
Bahan Fungsi
Alkohol Untuk sterilisasi
Media PDA Untuk membiakkan biakan murni yang
telah dipurifikasi
Spiritus Sebagai bahan bakar bunsen
Isolat hasil Isolasi Bahan untuk purifikasi
Kertas Label Untuk memberi keterangan pada hasil
isolasi
3.3 Identifikasi
3.3.1 Alat dan Bahan
Alat Fungsi
Mikroskop Elektron Untuk identifikasi kenampakan
mikroskopis patogen
Object glass dan Cover glass Untuk tempat isolat yang diamati
(sebagai preparat)
Jarum Oose Untuk mengambil koloni
(Gambar Literatur)
4.2 Colletrotricum capcisi
4.2.1 Gejala yang ditimbulkan patogen
Patogen Colletotrichum capcisi merupakan penyebab penyakit penting
pada tanaman cabai. Antraknosa merupakan penyakit pada tanaman cabai
karena penyakit ini mampu menurunkan kuantitas dan kualitas buah cabai dan
menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Gejala awal terlihat adanya
bercak berwarna kecoklatan sedikit berlekuk. Pada gejala lanjut buah
mengerut, kering seperti mummi. Pada buah yang telah mengerut terdapat
bintik-bintik kecil yang berwana kehitam-hitaman. Penyakit ini mampu
menimbulkan kerusakan pada semua buah cabai, baik buah yang masih muda
maupun yang sudah matang (Krestini, 2012). Penyakit antraknosa pada
tanaman cabai menyebabkan kerugian sebesar 60% bahkan lebih pada suatu
hamparan lahan. Bercak pada tanaman berkembang cepat pada musim hujan,
bahkan pada lingkungan yang kondusif penyakit ini dapat menurunkan
ketahanan suatu areal pertanaman cabai.
4.2.2 Kenampakan makroskopis
Jamur Colletotrichum capsici mempunyai bentuk spora seperti bulan
sabit, ujung spora runcing, ukuran spora 24,3 x 4,4 m dengan kecepatan
tumbuh 9,8 mm per hari (Melin, 2014). Jamur C. capcisi ialah memiliki warna
miselium putih keabu-abuan sampai dengan hitam. Arah pertumbuhannya ke
samping dan struktur miseliumnya kasar. Hasil identifikasi secara makroskopis
isolat jamur patogen digambarkan sebagai berikut :
(Gambar Literatur)
A = Aservulus
B = Konidiofor
C = Konidia
4.3 Fusarium oxysporum
4.3.1 Gejala yang ditimbulkan patogen
Layu fusarium umumnya terjadi pada pertengahan musim panas ketika
temperatur udara dan tanah tinggi. Awal terbentuknya penyakit tanaman ini
adalah perubahan warna daun yang paling tua menjadi kekuningan (daun yang
dekat dengan tanah). Seringkali perubahan warna menjadi kekuningan terjadi
pada satu sisi tanaman atau pada daun yang sejajar dengan petiole tanaman.
Daun yang terinfeksi akan layu dan mengering, tetapi tetap menempel pada
tanaman. Kelayuan akan berlanjut ke bagian daun yang lebih muda dan
tanaman akan segera mati. Batang tanaman akan tetap keras dan hijau pada
bagian luar, tetapi pada jaringan vaskular tanaman, terjadi diskolorisasi, berupa
luka sempit berwarna cokelat. Diskolorisasi dapat dilihat dengan mudah
dengan cara memotong batang tanaman didekat tanah dan akan terlihat luka
sempit berbentuk cincin berwarna cokelat, diantara daerah sumbu tanaman dan
bagian terluar batang (Cahyono, 2008).
4.3.2 Kenampakan makroskopis
Secara makroskopis, terlihat perkembangan koloni yaitu mulai dari
diameter koloni, warna koloni, miselium udara, dan profil koloni. Berdasarkan
data yang diamati secara langsung, bagian dasar koloni berwarna putih
cenderung krem, kemudian bagian atas berwarna putih dengan permukaan
yang halus. Untuk diameter berkisar antara 7 - 7,5 cm, kemudian miselium
udata sedikit, dan profil koloni halus. Berdasarkan pengamatan secara
makroskopis tersebut dapat dikatakan pada kultur jamur di media padat seperti
pada agar dekstrosa kentang (PDA), jamur Fusarium sp. dapat memiliki
penampilan yang berbeda-beda meskipun berasal dari tanaman inang yang
sama. Dan secara umum, miselium udara pertama kali muncul berwarma putih,
dan kemudian dapat berubah menjadi berbagai warna sesuai dengan regangan
dari Fusarium sp.
Pigmen hifa Fusarium sp. Umumnya bervariasi, berpigmen hialin (tidak
berwarna), jika berwarna berarti jamur tersebut berpigmen, umumnya adalah
pigmen melanin yang terikat pada dinding sel hifa. Dalam Sastrahidayat
(1986), jamur yang ditumbuhkan pada medium PDA mula-mula miselium
berwarna putih, semakin tua warna menjadi krem atau kuning pucat, dalam
keadaan tertentu berwarna merah muda agak ungu dengan miselium bersekat
dan membentuk percabangan. Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan hifa
vegetatif jamur biasanya berupa penghambatan ataupun pemicuan
pertumbuhannya sehingga cahaya dapat berpengaruh pada konsentrasi
produski pigmen dan pertumbuhan hifa. Secara umum cendawan yang
ditumbuhkan pada kondisi terang terus akan mempunyai miselium udara yang
lebih banyak dibandingkan pada kondisi yang lain. Sporodokia terbentuk hanya
pada beberapa strain. Sebaliknya koloni berwarna kekuningan hingga
keunguan. Konidiofor dapat bercabang dapat tidak, dan membawa monofialid
(Kirnando, 2011)
Hal ini disebabkan adanya sifat jamur yang tumbuh mengikuti arah
cahay (fototrop). Hasil identifikasi secara makroskopis isolat jamur patogen
digambarkan sebagai berikut :
(Gambar Literatur)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pratikum yang telah dilakukan dari proses isolasi,purifikasi hingga
identifikasi dari keempat patogen jamur didapatkan hasil yang sesuai yaitu pada
jamur patogen Fusarium Oxysporum, Colletotricum capcisi, Alternaria porri, dan
Gloeosporium gloeosporioides yang menunjukan ciri- ciri mikroskopis hampir
sama dengan perbandingan literatur namun pada Alternaria porri dan
Gloeosporium gloeosporioides masih belum dapat teridentifikasi hal ini karena
pada pratikum hasil kenampakan mikroskopis pada mikroskop tidak terlihat jelas
hal ini dimungkinkan karena Alternaria porri dan Gloeosporium gloeosporioides
sulit di biakan pada media buatan.
5.2 Saran
Praktikum kali ini sudah berjalan baik dan jelas, tetap pertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G. N. 1997. Ilmu Penyakit Tumbuhan.(Terjemahan) Edisi Ketiga. UGM-
Press, Yogyakarta.
Alexopoulos, C. J., C. W. Mims, and M. Blackwell. 1996. Introductory Micology.
4th ed. Canada. John Wiley & Sons, Inc.
Cahyono, B. 2008. Tomat: Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Kanisius,
Yogyakarta.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Pedoman Deteksi Dini Seragan
Oeganisme Pengganggu Tumbuhan (Pnyakit Tanaman Padi), Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, Jakarta, 2006.
Gandjar, Indrawati. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Kirnando, A. F., 2011. Pengaruh Gliocladium virens Dan Varietas Terhadap
Perkembangan Penyakit Fusarium oxysporum f.sp lycopersici (Sacc)
Pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Smith) Di Lapangan.
Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Krestini. 2012. Pengujian Ketahanan Lima Klon Cabai (Capsicum Spp) Terhadap
Serangan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici). Balai Penelitian
Tanaman Sayuran, Lembang.
Nurhayati. 2012. Diagnosa Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya : Jakarta.
Pathak, V.N (1976), Dieases of fruit Crops. Dept. Primary Indust, Queensland,
114 p.
Pelczar, M. J. 1986. Chan Eement of Microbiology. McGraw-Hill Book Company
Inc, USA.
Sastrahidayat, I. R. 1986. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional. Surabaya.
Semangun H. 2000. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University
Press : Yogyakarta.
Semangun, H. 2007. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Singleton dan Sainsbury. 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular
Biology 3rd Edition. John Wiley and Sons. Sussex, England.
Triharso, 1995. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Faperta UGM : Yogyakarta.
Melin, Araz. 2014. Hama Dan Penyakit Pada Tanaman Cabai Serta
Pengendaliannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (Bptp) Jambi.
LAMPIRAN
1. Alternaria porri
2. Colletotricum capcisi
3. Fusarium oxysporum
4. Gloesporium gloeosporioides