Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

TEORI DAN PENDEKATAN KONSELING


EKSISTENSIAL HUMANISME

Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Teori Pendekatan Konseling


Dosen pengampu: Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd., Kons dan
Mulawarman, S.Pd., M.Pd., Ph.d.

Disusun Oleh:
MITAHU FAJAR KHOIRI (0106518040)
MUH. NUR HIDAYAT HL (0106518070)
AHMAD BUDIANTO (0106518074)

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT, Tuhan Semesta Alam yang menguasai alam semesta dengan segala
kebesaran-Nya yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami menyampaikan terima kasih teriring do’a “Jazaakumullahu Khaira


Jaza” kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dalam penyelesaian
makalah ini, sehingga dapat tersusun dengan baik, serta semua pihak yang telah
mendukung tersusunnya makalah ini, kepada dosen pengampu mata kuliah “Teori
Pendekatan Konseling” yang telah memberikan arahan dalam penyusunan laporan
ini.
Kami menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kesalahan dalam
penyusunan laporan ini, dengan kerendahan hati kami mengharap kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap bahwa apa yang telah penyusun sampaikan dalam makalah
ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
Amin.

Semarang, 3April 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................i


Daftar isi..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan penulisan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendiri/Pengembang Teori dan Latar Belakang Pengembangan Teori.......... 3
B. Hakekat Manusia............................................................................................ 10
C. Konsep Kerpibadian Dan Perkembangan Teori Eksistensial Humanistik...... 11
D. Proses konseling (tujuan & tahapan) teori Eksistensial Humanistik.............. 21
E. Kajian empirik Teori Eksistensial Humanistik............................................... 23
F. Defresiasi Teori Teori Eksistensial Humanistik.............................................. 25
G. Pendekatan/Teori Turunan Eksistensial Humanistik...................................... 27
BAB III KESIMPULAN
A. Simpulan ........................................................................................................ 30
Daftar Pustaka .................................................................................................. 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan, psikologi adalah salah satu disiplin ilmu yang
amat penting dipelajari. Namun sebagian besar teori psikologi berasal dari Barat,
jadi besar kemungkinan kerangka pikir (mode of thought) psikologi dipenuhi oleh
pandangan dan nilai-nilai hidup masyarakat Barat yang sebagian besar berbeda,
dan mungkin sangat bertentangan, dengan pandangan dan nilai-nilai agama.
Timbul kekhawatiran, jika psikologi Barat diserap tanpa hati-hati, maka
akan merusak ideologi umat beragama. Banyak teori konselingi Barat yang tidak
sesuai bahkan bertentangan dengan pandangan agama. Namun diantara teori
konseling barat tersebut, diantaranya ada pula yang tampaknya masih sejalan
dengan pandangan agama, salah satu diantaranya adalah psikologi Eksistensial
Humanistik. Objek kajian psikologi adalah manusia, oleh sebab itu hal yang
mendasar dan pertama kali dibicarakan oleh didiplin ilmu ini adalah tentang
hakikat manusia.
Teori konseling Eksistensial Humanistik menekankan renungan filosofi
tentang apa artinya menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi
eksistensial, mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada
metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari
kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Dalam
penerapan-penerapan terapeutiknya eksistensial-humanistik memusatkan
perhatian pada filosofis yang melandasiterapi. Pendekatan atau teori eksistensian-
humanistik menyajikan suatu landasan filosofis 2 bagi orang berhubungan dengan
sesama yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan
konselingnya, dan yang melalui implikasiimplikasi bagi usaha membantu dalam
menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
Pendekatan eksistensial-humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus
sentral, sentral memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang
tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian
dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya.
Pendekatan eksistensial secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan
manusia – kesadaran diri dan kebebasan yang konsisten

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka akan diambil rumusan masalah yang akan
dikaji lebih lanjut dalam makalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang pengembangan teori konseling Eksistensial
Humanistik?
2. Bagaimana pandangan teori Eksistensial Humanistik dalam memandang
hakikat manusia?
3. Bagaimana konsep kerpibadian dan perkembangan teori Eksistensial
Humanistik?
4. Bagaimana proses konseling (tujuan & tahapan) teori Eksistensial
Humanistik?
5. Bagaimana kajian empirik (efikasi/efektifitas) teori Eksistensial
Humanistik dalam seting pendidikan & sosial?
6. Bagaimana defrensiasi teori Eksistensial Humanistik?
7. Apa teori/pendekatan lain sebagai turunan dari teori Eksistensial
Humanistik?

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan masalah ini adalah
sebagai beriut:
1. Untuk mengetahui latar belakang pengembangan teori konseling
Eksistensial Humanistik.
2. Untuk mengetahui pandangan teori Eksistensial Humanistik dalam
memandang hakikat manusia.
3. Untuk mengatahui konsep kerpibadian dan perkembangan teori
Eksistensial Humanistik.
4. Untuk mengetahui proses konseling (tujuan & tahapan) teori
Eksistensial Humanistik
5. Untuk mengetahui kajian empirik (efikasi/efektifitas) teori Eksistensial
Humanistik dalam seting pendidikan & sosial
6. Untuk mengetahui defrensiasi teori Eksistensial Humanistik
7. Untuk mengetahui teori/pendekatan lain sebagai turunan dari teori
Eksistensial Humanistik

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendiri/Pengembang Teori dan Latar Belakang Pengembangan Teori

1. Latar Belakang Sejarah dalam Filsafat dan Eksistensialisme

Banyak aliran pemikiran berkontribusi pada gerakan terapi eksistensial


pada 1940-an dan 1950-an, dan itu muncul secara spontan di berbagai bagian
Eropa dan di antara berbagai sekolah psikologi dan psikiatri. Banyak orang Eropa
mendapati bahwa hidup mereka telah hancur oleh Perang Dunia II, dan mereka
bergumul dengan masalah eksistensial termasuk perasaan terasing, keterasingan,
dan tidak ada artinya. Perspektif eksistensial Eropa berfokus pada keterbatasan
manusia dan dimensi kehidupan yang tragis (Sharp & Bugental dalam Corey,
2017).
Pemikiran para psikolog dan psikiater eksistensial dipengaruhi oleh
sejumlah filsuf dan penulis selama abad ke-19. Untuk memahami dasar-dasar
filosofis psikoterapi eksistensial modern, seseorang harus memiliki kesadaran
akan tulisan-tulisan budaya, filosofis, dan religius dari Søren Kierkegaard,
Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, dan Martin Buber.
Mereka adalah tokoh utama eksistensialisme dan fenomenologi eksistensial yang
memberikan dasar bagi pembentukan terapi eksistensial. Ludwig Binswanger dan
Medard Boss juga merupakan psikoanalis eksistensial awal yang menyumbangkan
ide-ide kunci untuk psikoterapi eksistensial. Pengaruh dari para filsuf awal ini,
Yalom menemukan bahwa masing-masing menyumbangkan tema-tema penting
yang memandu pemikirannya sendiri:
Kierkegaard: kecemasan kreatif, putus asa, ketakutan dan
ketakutan, rasa bersalah, dan ketiadaan Nietzsche: kematian, bunuh
diri, dan kemauan Heidegger: makhluk otentik, perhatian,
kematian, rasa bersalah, tanggung jawab individu, dan isolasi
Sartre: tidak ada artinya, tanggung jawab, dan pilihan Buber:
hubungan interpersonal, perspektif saya/anda dalam terapi, dan
transendensi-diri Søren Kierkegaard (1813–1855) Seorang filsuf
Denmark dan teolog Kristen, Kierkegaard khususnya prihatin
dengan kecemasan dan ia membahas peran kecemasan dan
ketidakpastian dalam hidup. Kecemasan yang ada terkait dengan
pengambilan keputusan dasar tentang bagaimana kita ingin hidup,
dan itu tidak patologis. Kierkegaard percaya bahwa kecemasan
adalah sekolah tempat kita dididik untuk menjadi diri sendiri.
Tanpa mengalami kecemasan, kita bisa menjalani hidup sebagai
pejalan tidur.

3
Friedrich Nietzsche (1844–1900) Filsuf Jerman Nietzsche adalah mitra
ikonoklastik untuk Kierkegaard, yang mengekspresikan pendekatan revolusioner
terhadap diri, etika, dan masyarakat. Seperti Kierkegaard, dia menekankan
pentingnya subjektivitas. Nietzsche berusaha membuktikan bahwa definisi kuno
tentang manusia sebagai rasional sepenuhnya menyesatkan. Kita adalah makhluk
yang jauh lebih banyak daripada kita adalah intelek impersonal. Kierkegaard dan
Nietzsche, dengan analisis perintis mereka tentang kecemasan, depresi,
subjektivitas, dan diri otentik, bersama-sama umumnya dianggap sebagai pencetus
perspektif eksistensial (Sharp & Bugental dalam Corey 2017).
Martin Heidegger (1889–1976) Eksistensialisme fenomenologis Heidegger
mengingatkan kita bahwa kita ada “di dunia” dan jangan mencoba menganggap
diri kita sebagai makhluk yang terpisah dari dunia tempat kita dilemparkan.
Suasana hati dan perasaan kita (termasuk kecemasan tentang kematian) adalah
cara memahami apakah kita hidup secara otentik atau apakah kita secara tidak
sadar membangun hidup kita di sekitar harapan orang lain. Eksistensialisme
fenomenologis, sebagaimana disampaikan oleh Heidegger, memberikan
pandangan tentang sejarah manusia yang tidak fokus pada peristiwa masa lalu
tetapi memotivasi individu untuk menantikan "pengalaman otentik" yang belum
datang
Martin Buber (1878–1965) Meninggalkan Jerman untuk tinggal di negara
baru Israel, Buber mengambil sikap yang kurang individualistis daripada
kebanyakan eksistensialis lainnya. Dia berkata bahwa kita manusia hidup dalam
semacam hubungan; yaitu, tidak pernah ada hanya saya, tetapi selalu yang lain.
Meskipun Buber mengakui bahwa kita harus memiliki banyak interaksi I / it
(dalam kehidupan sehari-hari), kita sangat terbatas jika kita hidup hanya di dunia
I.
Buber menekankan pentingnya kehadiran, yang memiliki tiga fungsi: (1)
memungkinkan hubungan sejati Aku / Engkau; (2) memungkinkan makna ada
dalam suatu situasi; dan (3) memungkinkan seseorang untuk bertanggung jawab
di sini dan saat ini (Gould dalam Corey 2017).
Ludwig Binswanger (1881–1966) Seorang analis eksistensial, Binswanger
mengusulkan model diri holistik yang membahas hubungan antara orang tersebut
dan lingkungannya. Dia menggunakan pendekatan fenomenologis untuk
mengeksplorasi fitur penting dari diri, termasuk pilihan, kebebasan, dan
kepedulian. Dia mendasarkan pendekatan eksistensialalnya sebagian besar pada
ide-ide Heidegger dan menerima gagasan Heidegger bahwa kita “dilemparkan ke
dunia.” Namun, “pelemparan” ini tidak membebaskan kita dari tanggung jawab
pilihan kita dan untuk perencanaan masa depan ( Gould, 1993).

4
Medard Boss (1903-1991) Baik Binswanger dan Boss adalah psikoanalis
eksistensial awal dan tokoh penting dalam pengembangan psikoterapi eksistensial.
Mereka berbicara tentang dasein, atau berada di dunia, yang berkaitan dengan
kemampuan kita untuk merenungkan peristiwa-peristiwa kehidupan dan
menghubungkan makna dengan peristiwa-peristiwa ini. Mereka percaya terapis
harus memasuki dunia subjektif klien tanpa prasangka yang akan menghalangi
pemahaman pengalaman ini. Minat profesional utama Boss adalah menerapkan
gagasan filosofis Heidegger ke dalam praktik terapi, dan ia terutama
mementingkan pengintegrasian metode Freud dengan konsep Heidegger, seperti
yang dijelaskan dalam bukunya Daseinanalysis and Psychoanalysis
Jean-Paul Sartre (1905–1980) Seorang filsuf dan novelis, Sartre yakin,
sebagian oleh tahun-tahunnya dalam Perlawanan Prancis dalam Perang Dunia II,
bahwa manusia bahkan lebih bebas daripada yang diyakini oleh eksistensialis
sebelumnya. Keberadaan ruang - ketiadaan - antara seluruh masa lalu kita dan
sekarang membebaskan kita untuk memilih apa yang kita inginkan. Nilai-nilai
kita adalah apa yang kita pilih. Kegagalan untuk mengakui kebebasan dan pilihan
kita menghasilkan masalah emosional. Kebebasan ini sulit dihadapi, jadi kita
cenderung menciptakan alasan dengan mengatakan, "Aku tidak bisa berubah
sekarang karena pengkondisian masa laluku." Sartre menyebut alasan "itikad
buruk." Tidak peduli apa yang telah kita lakukan, kita dapat membuat pilihan
sekarang dan menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Kami dikutuk untuk bebas.

2. Tokoh Kunci dalam Psikoterapi Eksistensial Kontemporer

Viktor Frankl, Rollo May, dan Irvin Yalom menciptakan pendekatan


eksistensial mereka terhadap psikoterapi dari latar belakang mereka yang kuat
dalam psikologi eksistensial dan humanistik. James Bugental juga telah
memberikan kontribusi besar pada pengembangan terapi eksistensial di Amerika
Serikat, dan Emmy van Deurzen terus memengaruhi praktik terapi eksistensial di
Inggris.
Viktor Frankl (1905–1997) lahir dan dididik di Wina. Dia mendirikan
Youth Advisement Centers disana pada tahun 1928 dan mengarahkannya hingga
tahun 1938. Dari tahun 1942 hingga 1945 Frankl adalah seorang tahanan di kamp
konsentrasi Nazi di Auschwitz dan Dachau, tempat orang tua, saudara lelaki, istri,
dan anak-anaknya meninggal. Dia dengan jelas mengingat pengalamannya yang
mengerikan di kamp-kamp ini, tetapi dia tidak membiarkan mereka meredam
cintanya dan antusiasme untuk hidup. Dia berkeliling dunia, memberikan ceramah
di Eropa, Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Amerika Serikat.
Frankl menerima gelar MD-nya pada tahun 1930 dan gelar PhD dalam
bidang filsafat pada tahun 1949, keduanya dari Universitas Wina. Dia menjadi
associate professor di University of Vienna dan kemudian menjadi pembicara

5
terkemuka di United States International University di San Diego. Dia adalah
profesor tamu di universitas Harvard, Stanford, dan Southern Methodist. Karya-
karya Frankl telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa, dan idenya terus
memiliki dampak besar pada pengembangan terapi eksistensial. Bukunya yang
menarik, Man's Search for Meaning (1963) telah menjadi buku terlaris di seluruh
dunia.
Meskipun Frankl telah mulai mengembangkan pendekatan eksistensial
terhadap praktik klinis sebelum tahun-tahun suramnya di kamp kematian Nazi,
pengalamannya disana membenarkan pandangannya. Frankl mengamati dan
secara pribadi mengalami kebenaran yang diungkapkan oleh para filsuf dan
penulis eksistensial yang berpendapat bahwa kita memiliki pilihan dalam setiap
situasi. Bahkan dalam keadaan yang mengerikan, dia percaya, kita bisa
melestarikan sisa kebebasan spiritual dan kebebasan berpikir. Dia belajar dari
pengalaman bahwa segala sesuatu dapat diambil dari seseorang kecuali satu hal:
"kebebasan manusia terakhir - untuk memilih sikap seseorang dalam keadaan
tertentu, untuk memilih jalannya sendiri". Frankl percaya bahwa esensi menjadi
manusia terletak pada pencarian makna dan tujuan. Kita dapat menemukan makna
ini melalui tindakan dan perbuatan kita, dengan mengalami suatu nilai (seperti
cinta atau prestasi), dan dengan penderitaan.
Frankl mengembangkan logoterapi, yang berarti “terapi melalui makna.”
Model filosofis Frankl menjelaskan apa artinya hidup sepenuhnya. Tema sentral
yang dijalankan melalui karya-karyanya adalah kehidupan memiliki makna, dalam
segala situasi; motivasi utama untuk hidup adalah keinginan untuk makna; kita
memiliki kebebasan untuk menemukan makna dalam semua yang kita pikirkan;
dan kita harus mengintegrasikan tubuh, pikiran, dan roh untuk menjadi hidup
sepenuhnya. Tulisan-tulisan Frankl mencerminkan tema bahwa orang modern
memiliki sarana untuk hidup, tetapi seringkali tidak memiliki makna untuk hidup.
“Saya telah memilih Frankl sebagai salah satu tokoh kunci dari pendekatan
eksistensial karena cara dramatis di mana teorinya diuji oleh tragedi hidupnya.
Hidupnya adalah ilustrasi teorinya, karena ia hidup sesuai dengan teorinya”
(Corey, 2017).
Rollo Mei (1909–1994) pertama kali tinggal di Ohio dan kemudian pindah
ke Michigan ketika masih kecil bersama dengan lima saudara laki-lakinya dan
seorang saudara perempuan. Dia mengingat kehidupan rumah tangganya sebagai
orang yang tidak bahagia, situasi yang berkontribusi pada minatnya dalam bidang
psikologi dan konseling. Dalam kehidupan pribadinya, May berjuang dengan
keprihatinan eksistensialnya sendiri dan kegagalan dua pernikahan.
May lulus dari Oberlin College pada tahun 1930 dan kemudian pergi ke
Yunani sebagai guru. Selama musim panasnya di Yunani ia pergi ke Wina untuk
belajar dengan Alfred Adler. Setelah menerima gelar dalam bidang teologi dari

6
Union Theological Seminary, May memutuskan bahwa cara terbaik untuk
menjangkau dan membantu orang adalah melalui psikologi alih-alih teologi. Dia
menyelesaikan gelar doktor dalam psikologi klinis di Universitas Columbia dan
memulai praktik pribadi di New York; dia juga menjadi analis pelatihan
pengawasan untuk William Alanson Institute.
Ketika May sedang mengejar program doktoralnya, dia menderita TBC,
yang mengakibatkan tinggal selama dua tahun di sanatorium. Selama masa
pemulihannya, May menghabiskan banyak waktu untuk belajar langsung tentang
sifat kecemasan. Dia juga menghabiskan waktu membaca, dan dia mempelajari
karya-karya Søren Kierkegaard, yang merupakan katalisator untuk Mei mengenali
dimensi kecemasan yang ada dan membuatnya menulis The Meaning of Anxiety
(1950). Bukunya yang populer Love and Will (1969) mencerminkan perjuangan
pribadinya dengan cinta dan hubungan intim dan mencerminkan pertanyaan
masyarakat Barat tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan seks dan pernikahan.
Pengaruh pribadi terbesar pada Rollo May adalah teolog eksistensial Paul
Tillich (penulis The Courage to Be, 1952), yang menjadi mentor dan teman
pribadinya. Keduanya menghabiskan banyak waktu bersama membahas topik-
topik filosofis, religius, dan psikologis. May sangat dipengaruhi oleh para filsuf
eksistensial, oleh konsep-konsep psikologi Freudian, dan oleh banyak aspek
Psikologi Individual Alfred Adler. Sebagian besar tulisan Mei mencerminkan
keprihatinan dengan sifat pengalaman manusia, seperti mengenali dan berurusan
dengan kekuasaan, menerima kebebasan dan tanggung jawab, dan menemukan
identitas seseorang. Dia menarik dari pengetahuannya yang kaya berdasarkan
klasik dan perspektif eksistensial.
Irvin Yalom (1931) lahir dari orang tua yang berimigrasi dari Rusia tidak
lama setelah Perang Dunia I. Selama masa kecilnya, Yalom tinggal di pusat kota
Washington, D.C., di lingkungan yang miskin. Kehidupan di jalanan sangat
berbahaya, dan Yalom berlindung di dalam rumah membaca novel dan karya-
karya lainnya. Dua kali seminggu ia melakukan perjalanan sepeda berbahaya ke
perpustakaan untuk persediaan bahan bacaan. Dia menemukan dunia alternatif
dan memuaskan dalam membaca fiksi, yang merupakan sumber inspirasi dan
kebijaksanaan baginya. Di awal hidupnya ia memutuskan bahwa menulis novel
adalah hal terbaik yang bisa dilakukan seseorang, dan kemudian ia telah menulis
beberapa novel pengajaran.
Irvin Yalom adalah Profesor Emeritus Psikiatri di Fakultas Kedokteran
Universitas Stanford. Seorang psikiater dan penulis, Yalom telah menjadi tokoh
utama dalam bidang psikoterapi kelompok sejak diterbitkan pada tahun 1970 dari
bukunya yang berpengaruh The Theory and Practice of Group Psychotherapy,
yang telah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa dan saat ini sedang dalam edisi
kelima. Karyanya yang merintis, Existential Psychotherapy, ditulis pada 1980,

7
adalah buku teks klasik dan otoritatif tentang terapi eksistensial. Seorang terapis
eksistensial kontemporer di Amerika Serikat, Yalom mengakui kontribusi psikolog
dan psikiater Eropa dan Amerika untuk pengembangan pemikiran dan praktik
eksistensial. Menggambar pada pengalaman klinisnya dan penelitian empiris,
filsafat, dan literatur, Yalom mengembangkan pendekatan eksistensial untuk
psikoterapi yang membahas empat "pemberian eksistensi," atau perhatian utama
manusia: kebebasan dan tanggung jawab, isolasi eksistensial, tanpa makna, dan
kematian. Tema-tema eksistensial ini berhubungan dengan keberadaan klien, atau
berada di dunia. Yalom percaya sebagian besar terapis berpengalaman, terlepas
dari orientasi teoretis mereka, membahas tema eksistensi inti ini. Bagaimana kita
mengatasi tema-tema eksistensial ini sangat memengaruhi desain dan kualitas
hidup kita.
Psikoterapi selalu menarik bagi Yalom, yang telah mendekati semua
pasiennya dengan rasa takjub pada cerita yang mereka ungkapkan. Dia percaya
bahwa terapi yang berbeda harus dirancang untuk setiap klien karena masing-
masing memiliki kisah unik. Dia menganjurkan penggunaan di sini dan sekarang
dari hubungan terapeutik untuk menjelajahi dunia antarpribadi klien, dan percaya
terapis harus transparan, terutama mengenai pengalaman kliennya. Filosofi
dasarnya adalah eksistensial dan interpersonal, yang ia terapkan pada terapi
individu dan kelompok.
Irvin Yalom telah menulis banyak cerita dan novel yang berkaitan dengan
psikoterapi, termasuk Love's Executioner (1987), When Nietzsche Wept (1992),
Lying on the Couch (1997), Momma dan The Meaning of Life (2000), dan The
Schopenhauer Cure (2005a). Buku nonfiksinya tahun 2008, Staring at the Sun:
Overcoming the Terror of Death, adalah risalah tentang peran kecemasan
kematian dalam psikoterapi, menggambarkan bagaimana kematian dan makna
hidup adalah tema mendasar yang terkait dengan pekerjaan terapi mendalam.
Karya-karya Yalom, diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa, telah banyak
dibaca oleh para terapis dan orang awam.
Penulis lain yang telah menyatukan pendekatan untuk terapi eksistensial
adalah James Bugental (1915–2008). Tulisan-tulisannya fokus pada membantu
pasien berkembang pemahaman eksistensial tentang diri mereka sendiri melalui
pencarian keaslian (Bugental, 1978, 1981; Schulenberg, 2003). Dalam karyanya,
ia mengambil humanistic fokus yang menekankan kemampuan individu untuk
meningkatkan kesadaran dan kemampuan mereka mengaktualisasikan diri. Tema-
tema eksistensial yang dikembangkannya mirip, tetapi tidak identik untuk, orang-
orang dari Yalom (Krug, 2008), misalnya, perubahan, kontingensi, tanggung
jawab, dan pelepasan. Ilustrasi Psikoterapi Bugental Bukan Apa Yang Anda
Pikirkan (1999) pendekatan terapeutiknya, yang berfokus pada pengalaman saat
ini selama sesi terapi.

8
Inti dari pendekatan Bugental adalah pandangannya tentang resistensi,
yang dari perspektif eksistensial-humanistik bukanlah resistensi terhadap terapi
semata, tetapi lebih pada kehadiran penuh selama jam terapi dan dalam
kehidupan. Perlawanan dilihat sebagai bagian dari konstruksi diri dan dunia —
bagaimana seseorang memahami keberadaannya dan hubungannya dengan dunia
pada umumnya. Bentuk-bentuk perlawanan termasuk intelektualisasi,
argumentatif, selalu berusaha untuk menyenangkan, dan pola lain yang membatasi
kehidupan. Ketika resistensi muncul dalam sesi terapi, terapis berulang kali
mencatat, atau "menandai," resistensi sehingga klien meningkatkan kesadarannya
dan pada akhirnya memiliki berbagai pilihan yang meningkat.
Kontribusi Inggris untuk Terapi Eksistensial Emmy van Deurzen,
kontributor utama psikologi eksistensial Inggris, adalah seorang filsuf,
psikoterapis, dan psikolog konseling. Deurzen telah mendapatkan reputasi dunia
dalam bidang psikoterapi eksistensial melalui banyak buku dan perannya dalam
pengajaran dan pelatihan. Deurzen (2012) menyatakan bahwa terapi eksistensial
tidak dirancang untuk "menyembuhkan" orang sakit dalam tradisi model medis
karena orang tidak sakit tetapi "muak hidup atau canggung hidup" (hal. 30).
Praktik psikoterapi Deurzen (2014) telah mengajarinya bahwa individu memiliki
ketahanan dan kecerdasan luar biasa dalam mengatasi masalah mereka begitu
mereka berkomitmen untuk proses pencarian diri. Klien terapi-nya menemukan
makna dalam kesulitan masa lalu mereka daripada mengalami kesulitan-kesulitan
ini sebagai mendefinisikan mereka dalam pola lama. Kliennya mampu mengenali
kontradiksi dan paradoks kehidupan dan untuk menghadapi masalah mereka dan
menyelesaikan dilema. Mereka juga menemukan apa yang paling penting dalam
hidup.
Meskipun ada perbedaan pandangan eksistensial dari semua filsuf ini dan
terapis, ada banyak kesamaan. Pendekatan eksistensial yang disajikan pada bagian
psikologi eksistensial dan psikoterapi mewakili tema yang umum bagi
psikoterapis paling eksistensial.

B. Hakekat Manusia

Psikologi eksistensial humanistik berfokus pada kondisi manusia.


Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman
atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk
mempengaruhi klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan
terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang
berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi
tentang manusia. Menurut Gerald Corey, (2013) ada beberapa konsep utama dari
pendekatan eksistensial yaitu:

9
1. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu
kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir
dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan
semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk
memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka
pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia.

2. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan


Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan
kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga
bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang
tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi
kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu
pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan
potensi-potensinya.

3. Penciptaan Makna
Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan
tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi
kehidupan. Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan
dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah
makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat
menimbulkan kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha
untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi – potensi manusiawinya
sampai taraf tertentu.

Pandangan manusia menurut teori Humanistik:


1. Filsafat Eksistensialis memandang manusia sebagai indvidu dan merupakan
problema yang unik dari existensi kemanusiaan. Manusia merupakan seorang
yang ada, yang sadar dan waspada akan keberadaanya sendiri. Setiap orang
menciptakan tujuannya sendiri dengan segala kreatifitasnya,
menyempurnakan esensidan fakta existensinya.
2. Bahwa manusia sebagai makhluk hidup, menentukan apa yang ia kerjakan
dan yang tidak ia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan.
Jadi yang pokok adalah apakah seorang berkeinginan atau tidak sebab filsafat
eksistensialis percaya bahwa setiap orang bertanggung jawab atas segala
tindakannya. Dengan kata lain setiap individu merupakan penentu utama akan
tingkah laku dan pengalamannya.
3. Teori humanistik mendasar pendapat bahwa manusia tidak pernah statis , ia
selalu menjadi sesuatu yang berbeda. untuk menjadi sesuatu ini maka

10
manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama, berdiri pada kaki
sendiri dan mencari jalan, kearah manusia yang baru dan lebih besar menuju
aktualisasi diri.
4. Menekankan pada kesadaran manusia, pengalaman personal yang
berhubungan dengan eksistensi dalam dunia orang lain.

C. Konsep Kepribadian dan Perkembangan

Signifikansi penting dari gerakan eksistensial adalah bahwa ia bereaksi


terhadap kecenderungan untuk mengidentifikasi terapi dengan serangkaian teknik.
Sebaliknya, itu mendasarkan praktik terapeutik pada pemahaman tentang apa
artinya menjadi manusia. Gerakan eksistensial berarti penghormatan terhadap
orang tersebut, untuk mengeksplorasi aspek-aspek baru dari perilaku manusia, dan
untuk metode-metode yang berbeda dalam memahami orang. Ia menggunakan
banyak pendekatan untuk terapi berdasarkan asumsi tentang sifat manusia.
Tradisi eksistensial mencari keseimbangan antara mengenali batas dan
dimensi tragis dari eksistensi manusia di satu sisi dan kemungkinan serta peluang
kehidupan manusia di sisi lain. Itu tumbuh dari keinginan untuk membantu orang
terlibat dilema kehidupan kontemporer, seperti isolasi, keterasingan, dan
ketiadaan makna. Menjadi manusia menyiratkan bahwa kita menemukan dan
memahami keberadaan kita. Kita terus mempertanyakan diri sendiri, orang lain,
dan dunia. Meskipun pertanyaan spesifik yang diajukan berbeda-beda sesuai
dengan tahap perkembangan dalam kehidupan, tema mendasarnya tidak beragam.
Kami mengajukan pertanyaan yang sama yang telah dipikirkan oleh para filsuf
sepanjang sejarah Barat: "Siapa aku?" "Apa yang bisa saya ketahui?" "Apa yang
harus saya lakukan?" "Apa yang bisa saya harapkan?" "Di mana saya akan pergi?"
Dimensi dasar dari kondisi manusia, menurut pendekatan eksistensial,
meliputi (1) kapasitas kesadaran diri; (2) kebebasan dan tanggung jawab; (3)
menciptakan identitas seseorang dan membangun hubungan yang bermakna
dengan orang lain; (4) pencarian makna, tujuan, nilai, dan tujuan; (5) kecemasan
sebagai kondisi hidup; dan (6) kesadaran akan kematian dan ketidakberadaan.

Proposisi 1: Kapasitas untuk Kesadaran Diri


Kebebasan, pilihan, dan tanggung jawab merupakan fondasi dari
kesadaran diri. Semakin besar kesadaran kita, semakin besar kemungkinan kita
untuk kebebasan (lihat Proposisi 2). Kami meningkatkan kapasitas kami untuk
hidup sepenuhnya ketika kami memperluas kesadaran kami di bidang-bidang
berikut:
• Kita terbatas dan tidak memiliki waktu tanpa batas untuk melakukan apa yang
kita inginkan dalam hidup.

11
• Kita memiliki potensi untuk mengambil tindakan atau tidak bertindak;
kelambanan adalah keputusan.
• Kita memilih tindakan kita, dan karena itu kita dapat secara parsial
menciptakan takdir kita sendiri.
• Makna adalah produk menemukan bagaimana kita "dilempar" atau berada di
dunia dan kemudian, melalui komitmen, hidup secara kreatif.
• Ketika kita meningkatkan kesadaran kita tentang pilihan yang tersedia bagi
kita, kita juga meningkatkan rasa tanggung jawab kita atas konsekuensi dari
pilihan-pilihan ini.
• Kita tunduk pada kesepian, ketidakberartian, kekosongan, rasa bersalah, dan
isolasi.
• Kita pada dasarnya sendirian, namun kita memiliki kesempatan untuk
berhubungan dengan makhluk lain.
Kita dapat memilih untuk memperluas atau membatasi kesadaran kita.
Karena kesadaran diri adalah akar dari sebagian besar kapasitas manusia lainnya,
keputusan untuk mengembangkannya merupakan hal mendasar bagi pertumbuhan
manusia. Berikut adalah beberapa bidang kesadaran yang muncul yang mungkin
dialami individu dalam proses konseling:
• Mereka melihat bagaimana mereka memperdagangkan keamanan dari
ketergantungan untuk kecemasan yang menyertai memilih untuk diri mereka
sendiri.
• Mereka mulai melihat bahwa identitas mereka berlabuh pada definisi orang
lain tentang mereka; yaitu, mereka mencari persetujuan dan konfirmasi
keberadaan mereka pada orang lain alih-alih mencari diri mereka untuk
penegasan.
• Mereka belajar bahwa dalam banyak hal mereka menahan diri dengan
beberapa keputusan masa lalu mereka, dan mereka menyadari bahwa mereka
dapat membuat keputusan baru.
• Mereka belajar bahwa meskipun mereka tidak dapat mengubah peristiwa
tertentu dalam hidup mereka, mereka dapat mengubah cara mereka
memandang dan bereaksi terhadap peristiwa ini.
• Mereka belajar bahwa mereka tidak dikutuk ke masa depan yang serupa
dengan masa lalu, karena mereka dapat belajar dari masa lalu dan dengan
demikian membentuk kembali masa depan mereka.
• Mereka menyadari bahwa mereka begitu sibuk dengan penderitaan, kematian,
dan kematian sehingga mereka tidak menghargai hidup.
• Mereka dapat menerima keterbatasan mereka namun tetap merasa berharga,
karena mereka mengerti bahwa mereka tidak perlu sempurna untuk merasa
layak.

12
• Mereka menyadari bahwa mereka gagal hidup di masa sekarang karena sibuk
dengan masa lalu, merencanakan masa depan, atau mencoba melakukan
terlalu banyak hal sekaligus.
Meningkatkan kesadaran diri—yang mencakup kesadaran akan alternatif,
motivasi, faktor-faktor yang memengaruhi orang tersebut, dan tujuan pribadi—
adalah tujuan dari semua konseling. Klien perlu belajar bahwa harga harus
dibayar untuk peningkatan kesadaran. Ketika kita menjadi lebih sadar, lebih sulit
untuk "pulang lagi." Ketidaktahuan tentang kondisi kita mungkin telah membawa
kepuasan bersama dengan perasaan sebagian mati, tetapi ketika kita membuka
pintu di dunia kita, kita dapat mengharapkan lebih banyak kekacauan juga sebagai
potensi untuk lebih banyak pemenuhan.

Proposisi 2: Kebebasan dan Tanggung Jawab


Tema eksistensial yang khas adalah bahwa orang bebas untuk memilih di
antara alternatif dan karenanya memainkan peran besar dalam membentuk nasib
mereka sendiri. Schneider dan Krug (2010) menulis bahwa terapi eksistensial
mencakup tiga nilai: (1) kebebasan untuk menjadi dalam konteks dalam konteks
keterbatasan alam dan diri; (2) kapasitas untuk merefleksikan makna pilihan kita;
dan (3) kapasitas untuk bertindak berdasarkan pilihan yang kita buat. Meskipun
kita tidak memilih keadaan di mana kita dilahirkan, kita menciptakan nasib kita
sendiri dengan pilihan yang kita buat. Sartre mengklaim kita terus-menerus
dihadapkan dengan pilihan orang seperti apa kita, dan untuk tetap hidup tidak
pernah harus diselesaikan dengan pilihan seperti ini. Hidup dalam eksistensi
autentik mengharuskan kita memikul tanggung jawab atas pilihan kita.
Konsep sentral eksistensial adalah bahwa walaupun kita merindukan
kebebasan, kita sering mencoba melepaskan diri dari kebebasan kita dengan
mendefinisikan diri kita sebagai entitas yang tetap atau statis (Russell dalam
Corey, 2017). Cara eksistensi yang tidak autentik terdiri dari kurangnya kesadaran
akan tanggung jawab pribadi untuk kehidupan kita dan secara pasif berasumsi
bahwa keberadaan kita sebagian besar dikendalikan oleh kekuatan eksternal.
Kebebasan menyiratkan bahwa kita bertanggung jawab atas hidup kita,
atas tindakan kita, dan atas kegagalan kita untuk mengambil tindakan. Dari
perspektif Sartre, orang-orang dikutuk kebebasan. Dia menyerukan komitmen
untuk memilih untuk diri kita sendiri. rasa bersalah eksistensial adalah menyadari
telah menghindari komitmen, atau memilih untuk tidak memilih. Rasa bersalah ini
adalah suatu kondisi yang tumbuh dari rasa ketidaklengkapan, atau kesadaran
bahwa kita bukanlah kita yang seharusnya. Rasa bersalah mungkin merupakan
tanda bahwa kita telah gagal menghadapi tantangan kecemasan kita dan bahwa
kita telah berusaha menghindarinya dengan tidak melakukan apa yang kita tahu
mungkin untuk kita lakukan (Deurzen, 2012). Kondisi ini tidak dipandang sebagai

13
neurotik, juga tidak dilihat sebagai gejala yang perlu disembuhkan. Rasa bersalah
yang ada dapat menjadi sumber motivasi yang kuat menuju transformasi dan
hidup secara otentik (Ruben & Lichtanski, 2015). Terapis eksistensial
mengeksplorasi rasa bersalah ini untuk melihat apa yang klien dapat pelajari
tentang cara-cara mereka menjalani kehidupan mereka. Rasa bersalah ini juga
dihasilkan dari membiarkan orang lain mendefinisikan kita atau membuat pilihan
kita untuk kita. Sartre berkata, "Kita adalah pilihan kita." Keaslian menyiratkan
bahwa kita hidup dengan jujur terhadap evaluasi kita sendiri tentang apa yang
merupakan keberadaan yang berharga bagi diri kita sendiri; itu adalah keberanian
untuk menjadi diri kita sendiri. Salah satu tujuan terapi eksistensial adalah untuk
membantu orang menghadapi kesulitan hidup dengan keberanian daripada
menghindari perjuangan hidup.
Bagi para eksistensialis, menjadi bebas dan menjadi manusia adalah
identik. Kebebasan dan tanggung jawab berjalan seiring. Kita adalah penulis
kehidupan kita dalam arti bahwa kita menciptakan nasib kita, situasi hidup kita,
dan masalah kita (Russell, 1978). Terapis membantu klien dalam menemukan
bagaimana mereka menghindari kebebasan dan mendorong mereka untuk belajar
mengambil risiko menggunakannya. Tidak melakukannya adalah melumpuhkan
klien dan membuat mereka bergantung pada terapis. Terapis memiliki tugas
mengajar klien bahwa mereka dapat secara eksplisit menerima bahwa mereka
memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin telah mengabdikan sebagian besar
hidup mereka untuk menghindari mereka.
Dua tugas utama terapis adalah mengundang klien untuk mengenali
bagaimana mereka telah memungkinkan orang lain untuk memutuskan bagi
mereka dan mendorong mereka untuk mengambil langkah-langkah ke arah pilihan
untuk diri mereka sendiri. Dengan mengundang klien untuk mengeksplorasi cara-
cara lain untuk menjadi lebih memuaskan dari pada keberadaannya yang sekarang
dan terbatas, beberapa penasihat eksistensial bertanya, “Meskipun Anda telah
hidup dalam pola tertentu, sekarang setelah Anda mengenali harga dari beberapa
cara Anda, apakah Anda bersedia untuk pertimbangkan untuk menciptakan pola
baru? ”Orang lain mungkin memiliki kepentingan untuk menjaga klien dalam pola
lama, jadi inisiatif untuk mengubahnya harus berasal dari klien.
Faktor budaya perlu diperhitungkan dalam membantu klien dalam proses
memeriksa pilihan mereka. Seseorang yang berjuang dengan perasaan terbatas
oleh situasi keluarganya dapat diundang untuk melihat bagiannya dalam proses ini
dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budayanya. Terapis eksistensial akan
mengundang konseli untuk mulai mengeksplorasi apa yang bisa dia lakukan dan
menyadari bahwa dia bisa menjadi otentik terlepas dari tekanan pada dirinya oleh
situasinya. Menurut Vontress (Corey, 2017), kita dapat menjadi otentik dalam

14
masyarakat mana pun, apakah kita adalah bagian dari masyarakat individualistis
atau kolektif.
Sangat penting untuk menghormati tujuan yang ada dalam pikiran orang
ketika mereka memulai terapi. Jika kami memperhatikan dengan seksama apa
yang klien kami ceritakan tentang apa yang mereka inginkan, kami dapat
beroperasi dalam kerangka kerja eksistensial. Kita dapat mendorong individu
untuk menimbang alternatif dan untuk mengeksplorasi konsekuensi dari apa yang
mereka lakukan dengan kehidupan mereka. Meskipun kekuatan yang menindas
mungkin sangat membatasi kualitas hidup mereka, kami dapat membantu orang
melihat bahwa mereka bukan semata-mata korban keadaan di luar kendali mereka.
Meskipun kadang-kadang kita tidak dapat mengendalikan hal-hal yang terjadi
pada kita, kita memiliki kendali penuh atas bagaimana kita memilih untuk
memandang dan menanganinya. Meskipun kebebasan kita untuk bertindak
dibatasi oleh realitas eksternal, kebebasan kita berhubungan dengan realitas
internal kita. Pada saat yang sama ketika orang belajar bagaimana mengubah
lingkungan eksternal mereka, mereka dapat ditantang untuk melihat ke dalam diri
mereka sendiri untuk mengakui kontribusi mereka sendiri terhadap masalah
mereka. Melalui pengalaman terapi, klien mungkin dapat menemukan tindakan
baru yang akan mengarah pada perubahan situasi mereka.

Proposisi 3: Berjuang untuk Identitas dan Hubungan dengan Orang Lain


Orang-orang khawatir tentang menjaga keunikan dan keterpusatan mereka,
namun pada saat yang sama mereka memiliki minat untuk pergi keluar dari diri
mereka sendiri untuk berhubungan dengan makhluk lain dan dengan alam. Kita
masing-masing ingin menemukan diri atau, lebih tepatnya, untuk menciptakan
identitas pribadi kita. Ini bukan proses otomatis, dan menciptakan identitas
membutuhkan keberanian. Sebagai makhluk relasional, kami juga berupaya untuk
terhubung dengan orang lain. Banyak penulis eksistensial membahas kesepian,
keterasingan, dan keterasingan, yang dapat dilihat sebagai kegagalan untuk
mengembangkan ikatan dengan orang lain dan dengan alam.
Namun begitu banyak dari kita telah mencari arahan, jawaban, nilai, dan
kepercayaan dari orang-orang penting di dunia kita. Daripada memercayai diri
kita sendiri untuk mencari ke dalam dan menemukan jawaban kita sendiri
terhadap konflik dalam hidup kita, kita menjual dengan menjadi apa yang orang
lain harapkan dari kita. Keberadaan kita menjadi berakar dalam harapan mereka,
dan kita menjadi orang asing bagi diri kita sendiri.
The Courage to Be, Paul Tillich (1886–1965), seorang teolog Protestan
terkemuka abad ke-20, meyakini bahwa kesadaran akan sifat kita yang terbatas
memberi kita penghargaan terhadap keprihatinan utama. Dibutuhkan keberanian
untuk menemukan "dasar keberadaan kita" yang sebenarnya dan menggunakan

15
kekuatannya untuk melampaui aspek-aspek ketidakberadaan yang akan
menghancurkan kita (Tillich dalam Corey, 2017). Keberanian menuntut kemauan
untuk bergerak maju meskipun ada situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan,
seperti menghadapi kematian kita (Mei dalam Corey, 2017). Kita berjuang untuk
menemukan, menciptakan, dan mempertahankan inti dalam diri kita. Salah satu
ketakutan terbesar klien adalah bahwa mereka akan menemukan bahwa tidak ada
inti, tidak ada diri, tidak ada substansi, dan bahwa mereka hanyalah refleksi dari
harapan semua orang terhadap mereka. Seorang klien mungkin berkata,
"Ketakutan saya adalah bahwa saya akan menemukan bahwa saya bukan siapa-
siapa, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa bagi saya. Saya akan menemukan
bahwa saya adalah kulit kosong, kosong di dalam, dan tidak ada yang akan ada
jika saya melepaskan topeng saya. ”Jika klien menunjukkan keberanian untuk
menghadapi ketakutan ini, mereka mungkin meninggalkan terapi dengan toleransi
yang meningkat untuk ketidakpastian kehidupan. Dengan membantu klien dalam
menghadapi ketakutan bahwa hidup atau diri mereka kosong dan tidak berarti,
terapis dapat membantu klien untuk menciptakan diri yang memiliki makna dan
substansi yang telah mereka pilih.
The Experience of Aloneness, The eksistensialis mendalilkan bahwa
bagian dari kondisi manusia adalah pengalaman kesepian. Tetapi mereka
menambahkan bahwa kita dapat memperoleh kekuatan dari pengalaman melihat
diri kita sendiri dan merasakan pemisahan kita. Rasa terisolasi muncul ketika kita
menyadari bahwa kita tidak dapat bergantung pada orang lain untuk konfirmasi
kita sendiri; artinya, kita sendiri yang harus memberi makna pada hidup, dan kita
sendiri yang harus memutuskan bagaimana kita akan hidup. Jika kita tidak dapat
mentolerir diri kita sendiri ketika kita sendirian, bagaimana kita bisa
mengharapkan orang lain diperkaya oleh perusahaan kita? Sebelum kita dapat
memiliki hubungan yang solid dengan orang lain, kita harus memiliki hubungan
dengan diri kita sendiri. Kita ditantang untuk belajar mendengarkan diri kita
sendiri. Kita harus bisa berdiri sendiri sebelum kita benar-benar bisa berdiri di
samping yang lain.
The Experience of Relatedness, Kita manusia bergantung pada hubungan
dengan orang lain. Kami ingin menjadi signifikan di dunia orang lain, dan kami
ingin merasa bahwa kehadiran orang lain adalah penting di dunia kami. Ketika
kita mampu berdiri sendiri dan memanfaatkan kekuatan kita sendiri, hubungan
kita dengan orang lain didasarkan pada pemenuhan kita, bukan dari kekurangan
kita. Namun, jika kita merasa dirampas secara pribadi, kita hanya bisa
mengharapkan sedikit tetapi hubungan yang saling bergantung dan simbiosis
dengan orang lain. Mungkin salah satu fungsi terapi adalah membantu klien
membedakan antara keterikatan yang bergantung secara neurotik dengan yang lain
dan hubungan yang menguatkan kehidupan di mana kedua orang tersebut

16
ditingkatkan. Terapis dapat menantang klien untuk memeriksa apa yang mereka
dapatkan dari hubungan mereka, bagaimana mereka menghindari kontak intim,
bagaimana mereka mencegah diri mereka memiliki hubungan yang setara, dan
bagaimana mereka dapat menciptakan hubungan manusia yang terapeutik, sehat,
dan dewasa. Terapis eksistensial berbicara tentang intersubjektivitas, yang
merupakan fakta keterkaitan kita dengan orang lain dan perlunya kita berjuang
dengan ini secara kreatif.
Struggling With Our Identity Karena rasa takut kita berurusan dengan
kesendirian kita, Farha (1994) menunjukkan bahwa beberapa dari kita terjebak
dalam pola perilaku ritual yang menguatkan kita pada citra atau identitas yang kita
peroleh pada masa kanak-kanak. Kita menjadi terjebak dalam mode melakukan
untuk menghindari pengalaman menjadi. Bagian dari perjalanan terapi terdiri dari
terapis yang menantang klien untuk mulai memeriksa cara-cara di mana mereka
kehilangan kontak dengan identitas mereka, terutama dengan membiarkan orang
lain merancang hidup mereka untuk mereka. Proses terapi itu sendiri sering kali
menakutkan bagi klien ketika mereka menyadari bahwa mereka telah
menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam hubungan
terapi mereka harus memikul kebebasan mereka lagi. Dengan menolak
memberikan solusi atau jawaban yang mudah, terapis eksistensial menghadapi
klien dengan kenyataan bahwa mereka sendiri yang harus menemukan jawaban
mereka sendiri.

Proposisi 4: Pencarian Makna


Karakteristik manusia yang jelas adalah perjuangan untuk merasakan makna
dan tujuan hidup. Konflik mendasar yang membawa orang ke dalam konseling
dan terapi dipusatkan pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial ini: "Mengapa saya
di sini?" "Apa yang saya inginkan dari kehidupan?" "Apa yang memberi tujuan
hidup saya?" artinya bagi saya dalam hidup? "
Terapi yang ada dapat memberikan kerangka kerja konseptual untuk
membantu klien menantang makna dalam hidup mereka. Pertanyaan yang
mungkin diajukan oleh terapis adalah, “Apakah Anda menyukai arah hidup
Anda?” “Apakah Anda senang dengan diri Anda sekarang dan menjadi apa Anda
sekarang?” “Jika Anda bingung tentang siapa diri Anda dan apa yang Anda
inginkan untuk diri sendiri, apa yang kamu lakukan untuk mendapatkan
kejelasan? "
Masalah Membuang Nilai-Nilai Lama, Salah satu masalah dalam terapi
adalah bahwa klien dapat membuang nilai-nilai tradisional (dan dipaksakan) tanpa
membuat yang lain, yang sesuai untuk menggantikannya. Apa yang dilakukan
terapis ketika klien tidak lagi berpegang teguh pada nilai-nilai yang mereka tidak
pernah benar-benar internalkan dan sekarang mengalami kekosongan? Klien dapat

17
melaporkan bahwa mereka merasa seperti perahu tanpa kemudi. Mereka mencari
pedoman dan nilai-nilai baru yang sesuai untuk sisi-sisi diri mereka yang baru
ditemukan, namun untuk sementara waktu mereka tidak memilikinya. Salah satu
tugas proses terapeutik adalah membantu klien menciptakan sistem nilai
berdasarkan cara hidup yang konsisten dengan cara hidup mereka.
Pekerjaan terapis adalah untuk mempercayai kapasitas klien untuk akhirnya
menciptakan sistem nilai yang diturunkan secara internal yang memberikan
fondasi bagi kehidupan yang bermakna. Mereka tidak diragukan lagi akan
terombang-ambing untuk sementara waktu dan mengalami kecemasan sebagai
akibat dari tidak adanya nilai yang jelas. Kepercayaan terapis penting dalam
membantu klien memercayai kapasitas mereka sendiri untuk menciptakan sumber
nilai baru.
Ketidakberesan Menurut Frankl (Corey, 2017), perhatian utama manusia
adalah menemukan makna yang akan memberikan arah hidup seseorang.
Pengalaman hidup Frankl dan pekerjaan klinisnya membawanya pada kesimpulan
bahwa kurangnya makna adalah sumber utama stres dan kecemasan eksistensial di
zaman modern. Dia memandang neurosis eksistensial sebagai pengalaman tanpa
makna. Ketika dunia yang kita tinggali ini tampak tidak berarti, kita mungkin
bertanya-tanya apakah layak untuk terus berjuang atau bahkan hidup. Berhadapan
dengan kemungkinan kematian kita, kita mungkin bertanya, “Apakah ada gunanya
apa yang saya lakukan sekarang, karena pada akhirnya saya akan mati? Apakah
yang saya lakukan akan dilupakan ketika saya pergi? Mengingat fakta kefanaan,
mengapa saya harus menyibukkan diri dengan apa pun? "Seorang pria dalam
salah satu kelompok saya menangkap dengan tepat gagasan penting pribadi ketika
ia berkata, "Saya merasa seperti halaman lain dalam sebuah buku yang telah
dibalik dengan cepat, dan tidak seorang pun bersusah payah membaca halaman
itu”. Frankl percaya bahwa perasaan tidak berarti seperti itu adalah neurosis
eksistensial utama kehidupan modern.
Ketidakberesan dalam hidup dapat menyebabkan kekosongan atau suatu
kondisi yang Frankl sebut sebagai kekosongan eksistensial. Kondisi ini sering
dialami ketika orang tidak sibuk dengan rutinitas atau dengan pekerjaan. Karena
tidak ada desain yang sudah ditentukan sebelumnya untuk hidup, orang
dihadapkan dengan tugas untuk menciptakan makna mereka sendiri. Kadang
orang yang merasa terjebak oleh kehampaan hidup menarik diri dari perjuangan
menciptakan kehidupan dengan tujuan. Mengalami ketiadaan makna dan
membangun nilai-nilai yang merupakan bagian dari kehidupan yang bermakna
adalah masalah yang menjadi jantung konseling.
Menciptakan Makna Baru logoterapi dirancang untuk membantu klien
menemukan makna dalam kehidupan. Fungsi terapis bukan untuk memberi tahu
klien apa makna khusus mereka dalam hidup tetapi untuk menunjukkan bahwa

18
mereka dapat menciptakan makna bahkan dalam penderitaan (Frankl dalam
Corey, 2017). Pandangan ini berpendapat bahwa penderitaan manusia (aspek
tragis dan negatif dari kehidupan) dapat diubah menjadi pencapaian manusia oleh
pendirian yang diambil seseorang ketika dihadapkan padanya. Frankl juga
berpendapat bahwa orang yang menghadapi rasa sakit, rasa bersalah,
keputusasaan, dan kematian dapat secara efektif menghadapi keputusasaan
mereka dan dengan demikian menang.
Namun makna bukanlah sesuatu yang bisa kita cari dan dapatkan secara
langsung. Secara paradoks, semakin rasional kita mencarinya, semakin besar
kemungkinan kita akan melewatkannya. Makna dibuat dari keterlibatan individu
dengan apa yang dihargai, dan komitmen ini memberikan tujuan yang menjadikan
hidup berharga (Deurzen dalam Corey, 2017). Vontress (Corey, 2017) menangkap
gagasan bahwa makna dalam hidup adalah proses berkelanjutan yang kita
perjuangkan sepanjang hidup kita

Proposisi 5: Kecemasan sebagai Kondisi Hidup


Kecemasan muncul dari usaha pribadi seseorang untuk bertahan hidup dan
untuk mempertahankan dan menegaskan keberadaan seseorang, dan perasaan
yang dihasilkan oleh kecemasan adalah aspek yang tak terhindarkan dari kondisi
manusia. kecemasan eksistensial adalah hasil yang tak terhindarkan dari
dihadapkan dengan "pemberian eksistensi" - mayat, kebebasan, pilihan, isolasi,
dan tidak berarti (Vontress, Yalom, & Josselson dalam Corey, 2017). Kecemasan
eksistensial muncul ketika kita mengenali kenyataan kematian kita, konfrontasi
kita dengan rasa sakit dan penderitaan, kebutuhan kita untuk berjuang untuk
bertahan hidup, dan kesalahan kita yang mendasar. Kita mengalami kecemasan ini
ketika kita menjadi semakin sadar akan kebebasan kita dan konsekuensi dari
menerima atau menolak kebebasan itu. Bahkan, ketika kita membuat keputusan
yang melibatkan rekonstruksi kehidupan kita, kecemasan yang menyertainya bisa
menjadi sinyal bahwa kita siap untuk perubahan pribadi dan dapat menjadi
stimulus untuk pertumbuhan. Jika kita belajar mendengarkan pesan-pesan
kecemasan yang halus, kita dapat berani mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengubah arah hidup kita.
Terapis eksistensial membedakan antara kecemasan normal dan neurotik,
dan mereka melihat kecemasan sebagai sumber pertumbuhan potensial.
kecemasan normal adalah respons yang tepat untuk suatu peristiwa yang sedang
dihadapi. Menerima kebebasan dan tanggung jawab untuk membuat keputusan
dan pilihan hidup, mencari makna, dan menghadapi kefanaan bisa menakutkan.
Kecemasan semacam ini tidak harus ditekan, dan itu bisa menjadi kekuatan
motivasi yang kuat menuju perubahan dan pertumbuhan (Ruben & Lichtanski
dalam Corey, 2017). Dari sudut pandang eksistensial, kecemasan normal adalah

19
undangan untuk kebebasan. “Kecemasan adalah guru, bukan halangan atau
sesuatu yang harus dihilangkan atau dihindari” (Deurzen & Adams dalam Corey,
2017).
Kegagalan untuk bergerak melalui kecemasan menghasilkan kecemasan
neurotik, yaitu kecemasan tentang hal-hal konkret yang tidak sebanding dengan
situasi. Kecemasan neurotik biasanya di luar kesadaran, dan cenderung
melumpuhkan orang tersebut. Menjadi sehat secara psikologis berarti hidup
dengan kecemasan neurotik sesedikit mungkin, sambil menerima dan berjuang
dengan kecemasan eksistensial yang tak terhindarkan yang merupakan bagian dari
kehidupan.
Terapis dan klien dapat mengeksplorasi kemungkinan bahwa meskipun
melepaskan diri dari pola yang melumpuhkan dan membangun cara hidup baru
akan dipenuhi dengan kecemasan untuk sementara waktu, kecemasan akan
berkurang ketika klien mengalami kepuasan lebih dengan cara-cara baru untuk
menjadi. Ketika seorang klien menjadi lebih percaya diri, kecemasan yang
dihasilkan dari harapan akan bencana cenderung berkurang.

Proposisi 6: Kesadaran akan Kematian dan Ketidakberadaan


Eksistensialis tidak memandang kematian secara negatif tetapi
berpendapat bahwa kesadaran akan kematian sebagai kondisi dasar manusia
memberi arti penting bagi kehidupan. Karakteristik manusia yang membedakan
adalah kemampuan untuk memahami realitas masa depan dan kematian yang tak
terhindarkan. Penting untuk memikirkan kematian jika kita ingin berpikir secara
signifikan tentang kehidupan. Kematian seharusnya tidak dianggap sebagai
ancaman; kematian memberikan motivasi bagi kita untuk mengambil manfaat dari
menghargai saat ini. Alih-alih dibekukan oleh rasa takut akan kematian,
merenungkan realitas kematian dapat mengajar kita bagaimana hidup sepenuhnya.
Deurzen dan Adams (Corey, 2017) menulis: "Hidup adalah pemimpin tugas,
sedangkan kematian adalah guru utama". Jika kita membela diri terhadap
kenyataan kematian akhirnya, hidup menjadi hambar dan tidak berarti. Tetapi jika
kita menyadari bahwa kita fana, kita tahu bahwa kita tidak memiliki keabadian
untuk menyelesaikan proyek-proyek kita dan bahwa saat ini sangat penting.
Kesadaran kita akan kematian adalah sumber semangat hidup dan kreativitas.
Kematian dan kehidupan saling bergantung, dan meskipun kematian fisik
menghancurkan kita, gagasan kematian menyelamatkan kita
Menghadapi rasa takut ini bisa menjadi faktor yang membantu kita
mengubah cara hidup yang tidak otentik menjadi yang lebih otentik. Menerima
kenyataan kematian pribadi kita dapat menghasilkan perubahan besar dalam cara
kita hidup di dunia (Yalom & Josselson, 2014). Kita dapat mengubah ketakutan
kita akan kematian menjadi kekuatan positif ketika kita menerima kenyataan

20
kefanaan kita. Dalam Staring at the Sun: Overcoming the Terror of Death, Yalom
(Corey, 2017) mengembangkan gagasan bahwa menghadapi kematian
memungkinkan kita untuk hidup dengan cara yang lebih berbelas kasih.
Satu fokus dalam terapi eksistensial adalah pada mengeksplorasi sejauh
mana klien melakukan hal-hal yang mereka hargai. Tanpa disibukkan oleh
ancaman ketidakberadaan, klien dapat mengembangkan kesadaran yang sehat
akan kematian sebagai cara untuk mengevaluasi seberapa baik mereka hidup dan
perubahan apa yang ingin mereka lakukan dalam hidup mereka. Mereka yang
takut mati juga takut hidup. Ketika kita secara emosional menerima kenyataan
kematian akhirnya kita, kita menyadari lebih jelas bahwa tindakan kita memang
diperhitungkan, bahwa kita memiliki pilihan, dan bahwa kita harus menerima
tanggung jawab utama untuk seberapa baik kita hidup (Corey & Corey dalam
Corey, 2017).
D. Proses Konseling (Tujuan & Tahapan)
a. Tujuan Konseling
Terapi eksistensial dainggap paling baik sebagai konsep agar klien
mengenali cara-cara di mana mereka tidak menjalani kehidupan yang sepenuhnya
otentik dan untuk membuat pilihan yang akan mengarah pada menjadi apa yang
mereka mampu. Tujuan terapi adalah untuk membantu klien dalam bergerak
menuju keotentikan dan belajar untuk mengenali ketika mereka menipu diri
mereka sendiri (Deurzen dalam Corey, 2017). Orientasi eksistensial menyatakan
bahwa tidak ada jalan keluar dari kebebasan karena kita akan selalu bertanggung
jawab. Namun, kita dapat melepaskan kebebasan kita, yang merupakan
keotentikan tertinggi. Terapi eksistensial bertujuan membantu klien menghadapi
kecemasan dan terlibat dalam tindakan yang didasarkan pada tujuan otentik untuk
menciptakan keberadaan yang layak. Otentisitas melibatkan mengklaim
kepengarangan — mengambil tanggung jawab atas tindakan kita dan cara kita
hidup (Deurzen & Adams dalam Corey, 2017).
May (Corey, 2017) berpendapat bahwa orang datang ke terapi dengan ilusi
mementingkan diri sendiri bahwa “mereka adalah budak dalam hati “dan bahwa
“orang lain (terapis) dapat membebaskan mereka”. Terapis eksistensial terutama
peduli tentang membantu orang untuk mendapatkan kembali dan menata kembali
kehidupan mereka. Tugas terapi eksistensial adalah untuk mengajarkan klien
untuk mendengarkan apa yang sudah mereka ketahui tentang diri mereka sendiri,
meskipun mereka mungkin tidak memperhatikan apa yang mereka ketahui.
Schneider dan Krug (Corey, 2017) mengidentifikasi empat tujuan penting dari
terapi humanistik eksistensial: (1) untuk membantu klien menjadi lebih hadir
untuk diri mereka sendiri dan orang lain; (2) untuk membantu klien dalam
mengidentifikasi cara mereka memblokir diri mereka sendiri dari kehadiran yang
lebih penuh; (3) untuk menantang klien untuk memikul tanggung jawab untuk

21
merancang kehidupan mereka saat ini; dan (4) untuk mendorong klien untuk
memilih cara yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Peningkatan kesadaran adalah tujuan utama terapi eksistensial, yang
memungkinkan klien menemukan bahwa kemungkinan alternatif ada di mana
tidak ada yang dikenali sebelumnya. Klien menyadari bahwa mereka mampu
membuat perubahan dalam cara mereka berada di dunia.
b. Tahap Konseling
Pendekatan eksistensial tidak seperti kebanyakan terapi lain dalam hal itu
tidak berorientasi teknik. Meskipun terapis berorientasi eksistensial dapat
menggabungkan banyak teknik dari model lain, intervensi ini dibuat dalam
konteks upaya untuk memahami dunia subjektif klien. Intervensi yang digunakan
oleh para praktisi eksistensial didasarkan pada pandangan filosofis tentang sifat
keberadaan manusia. Praktisi ini lebih suka deskripsi, pemahaman, dan eksplorasi
realitas subjektif klien, sebagai lawan dari diagnosis, pengobatan, dan prognosis
(Deurzen dalam Corey, 2017). "Terapis eksistensial lebih suka dianggap sebagai
sahabat filosofis, bukan sebagai orang yang memperbaiki jiwa" (Vontress, 2013,
p. 150). Bukan teori dan teknik yang menyembuhkan tetapi pertemuan yang
terjadi antara klien dan terapis saat mereka bekerja bersama (Elkins dalam Corey,
2017). Terapis eksistensial bebas untuk menarik dari teknik yang mengalir dari
banyak orientasi lain, tetapi mereka memiliki serangkaian asumsi dan sikap yang
memandu intervensi mereka dengan klien.
Deurzen (Corey, 2017) percaya bahwa titik awal untuk pekerjaan
eksistensial adalah bagi para praktisi untuk memperjelas pandangan mereka
tentang kehidupan. Dia menekankan pentingnya terapis mencapai kedalaman dan
keterbukaan yang cukup dalam kehidupan mereka sendiri untuk menjelajah ke
perairan keruh klien tanpa tersesat. Sifat pekerjaan eksistensial adalah membantu
orang dalam proses kehidupan dengan keahlian dan kemudahan yang lebih besar.
Deurzen (Corey 2017) mengidentifikasi bagaimana terapis membuat perbedaan
dengan klien: "Kami membantu mereka menjadi lebih baik dalam merefleksikan
situasi mereka, menangani dilema mereka, menghadapi kesulitan mereka dan
berpikir untuk diri mereka sendiri" (hal. 236). Deurzen mengingatkan kita bahwa
terapi eksistensial adalah petualangan kolaboratif di mana klien dan terapis akan
berubah jika mereka membiarkan diri mereka tersentuh oleh kehidupan. Ketika
diri terapis yang terdalam bertemu dengan bagian terdalam dari klien, proses
konseling adalah yang terbaik. Terapi adalah proses penemuan yang kreatif dan
berkembang yang dapat dikonseptualisasikan dalam tiga fase umum.
Selama fase awal konseling, terapis membantu klien dalam
mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang dunia. Klien
diundang untuk mendefinisikan dan mempertanyakan cara mereka memandang
dan memahami keberadaan mereka. Mereka memeriksa nilai-nilai, kepercayaan,
dan asumsi mereka untuk menentukan validitasnya. Ini adalah tugas yang sulit

22
bagi banyak klien karena pada awalnya mereka dapat menyajikan masalah mereka
sebagai hasil hampir seluruhnya dari penyebab eksternal. Mereka mungkin fokus
pada apa yang orang lain “buat mereka rasakan” atau pada bagaimana orang lain
sebagian besar bertanggung jawab atas tindakan atau kelambanan mereka.
Konselor mengajar mereka bagaimana merenungkan keberadaan mereka sendiri
dan untuk memeriksa peran mereka dalam menciptakan masalah mereka dalam
kehidupan.
Selama fase tengah konseling eksistensial, klien dibantu secara penuh
memeriksa sumber dan otoritas sistem nilai mereka saat ini. Proses eksplorasi diri
ini biasanya mengarah pada wawasan baru dan beberapa restrukturisasi nilai dan
sikap. Individu mendapatkan ide yang lebih baik tentang kehidupan seperti apa
yang mereka anggap layak untuk dijalani dan mengembangkan rasa yang lebih
jelas tentang proses penilaian internal mereka.
Fase terakhir konseling eksistensial berfokus pada membantu orang
mengambil apa yang mereka pelajari tentang diri mereka sendiri dan
mewujudkannya. Transformasi tidak terbatas pada apa yang terjadi selama jam
terapi. Jam terapi hanya kontribusi kecil untuk pertunangan baru seseorang
dengan kehidupan, atau latihan seumur hidup (Deurzen dakam Corey, 2017).
Tujuan terapi adalah untuk memungkinkan klien menemukan cara menerapkan
nilai-nilai yang diperiksa dan diinternalisasi secara konkret antara sesi dan setelah
terapi dihentikan. Klien biasanya menemukan kekuatan mereka dan menemukan
cara untuk menempatkannya untuk melayani kehidupan yang memiliki tujuan.
E. Kajian Empirik Efikasi/efektifitas Pendekatan di Seting Pendidikan dan
Sosial
1. THE FULLY FUNCTIONING SOCIETY: A HUMANISTIC–EXISTENTIAL
VISION OF AN ACTUALIZING, SOCIALLY JUST FUTURE (Journal of
Humanistic Psychology 2016, Vol. 56(6) 581–594. DOI:
10.1177/0022167816659755)
Peneliti: Mick Cooper (Department of Psychology, University of Roehampton,)
Email: mick.cooper@roehampton.ac.uk
Penelitian ini bertujuan untuk mencari visi manusia yang ideal di masa depan,
yang mengaktualisasikan nilai-nilai, sifat-sifat manusia dan komitmen manusia
dalam berhubungan sosial.
Hasil dari penelitian ini yang berlandaskan pada wacana eksistensial
humanistic bahwasanya masyarakat yang ada dalam kehidupan ini adalah
bermacam-macam atau bervariasi, dimana setiap orang atau individu
berkesempatan dalam memberikan makna atau arti dalam hidup mereka. Dan
dijelaskan pula dalam penelitian tersebut dalam kehidupan di masa depan
diharapkan setiap individu memiliki spesialisasi pada dirinya dan

23
menumbuhkan potensi-potensi kreativitas agar bisa berkompetisi di masa
mendatang. Dalam penelitian ini visi eksistensial humanistic dalam kehidupan
di masa depan juga mengap pentingnya kolaborasi antara individu dengan
individu yang lainnya sehingga diharapkan kolaborasi ini membentuk tindakan
yang sinergis dalam memberikan kemanfaatan bagi individu/orang lain.
Analisis interpretasi pemakalah: Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori
eksistensial humanistik yang menganggap hakikat manusia tentang kesadaran
diri, yakni bahwa setiap manusia sadar atas dirinya sendiri. Dari penelitian
diatas menunjukan pentingnya spesilalisasi manusia dalam bidang tertentu
maka hal ini sesuai, artinya manusia haruslah sadar atas kekurangan dan
kelebihan akan potensi dirinya sehingga ketika dia menyadari akan potensi
dirinya manusia tersebut bisa memfokuskan potensinya tersebut ke arah yang
lebih terfokus/spesialis, mejadi ahli dalam suatu bidang.
2. PENDEKATAN EKSISTENSIAL HUMANISTIK BERBASIS NILAI
BUDAYA GOTONG-ROYONG UNTUK MENINGKATKAN EMPATI
SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (Prosiding SNBK (Seminar Nasional
Bimbingan dan Konseling) 2 (1), 55 – 63 | 2018 ISSN: 2580-216X (Online)
Peneliti dalam penelitian ini adalah Rizka Eliza Pertiwi Pascasarjana
Universitas Negeri Semarang.
Pembahasan pada penelitian ini adalah terkait dengan rendahnya rasa empati
pada remaja yang di integrasikan pada pendekatan eksistensial humanistic yang
berorientasi pada konten lokal indonesia, yaitu terkait dengan kegiatan gotong
royong.
Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil dalam penanganan
permasalahan empati pada remaja, maka perlu adanya pengembangan
konseling berbasis budaya serta peran konselor multikultural. Pengembangan
konseling eksitensial humanistik berbasis nilai budaya gotong-royong
diharapkan dapat efektif dalam menangani permasalahan konseli, karena
masyarakat Indonesia masih sangat kuat dalam mengintegrasikan nilai-nilai
kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari. Secara praktik, konselor perlu
mengintegrasikan budaya lokal di dalam konseling demi meningkatkan
persentase keefektifan dan keberhasilan dalam proses konseling. Sebab
konselor yang mempunyai sensitivitas dan wawasan budaya lokal akan lebih
mudah memahami dan mengintervensi.
Analisis interpretasi pemakalah dalam hasil penelitian tersebut terkait
penerapan budaya gotong royong dalam mempengaruhi efektifitas konseli juga
relevan dengan dasar/hakikat manusia menurut teori eksistensial humanistik

24
tentang penciptaan makna, maksudnya setiap manusia menginginkan dirinya
menjadi bermakna dalam kehidupan ini. Begitu juga dengan nilai gotong
royong memberikan kesempatan pada setiap manusia untuk menemukan
makna dirinya dalam suatu kelompok.
3. PENERAPAN KONSELING EKSISTENSIAL HUMANISTIK UNTUK
MENINGKATKAN RASA PERCAYA DIRI SISWA
Peneliti: Ketut Fandi Mertha Dharma (Ganesha University)
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan rasa percaya diri pada siswa kelas
X-6 Singaraja. Diketahui peneliti menganggap rasa percaya diri pada siswa
kelas kurang dalam setiap pembelajaran sehingga peneliti ingin meningkatkan
rasa percaya diri pada siswa.
Hasil penelitian Konseling eksistensial humanistik dapat meningkatkan rasa
percaya diri siswa kelas X.6 SMA Negeri 1 Singaraja. Bukti bahwa konseling
eksistensial humanistic efektif terlihat perubahan perilaku siswa menjadi aktif
dalam mengajukan serta menjawab pertanyaan. Secara emosional siswa mulai
tidak cemas saat ditunjuk oleh guru untuk maju ke depan menjawab
pertanyaan. Secara spiritual siswa sudah mulai menyadari kekurangan dan
kelebihan yang dimilikinya dalam proses pembelajaran.
Analisis interpretasi pemakalah dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri
dalam penelitian ini juga selaras dengan hakikat manusia bahwa manusia
menginginkan kebebasan dan tanggung jawab dalam konteks penelitian ini
penelitian ini siswa mempunyai tanggung jawab belajar secara aktif dalam
sekolah.
F. Defrensiasi Teori Eksistensial Humanistik
1. Kelebihan dibanding teori lain
a. Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam
perkembangan dan kepercayaan diri.
b. Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
c. Memanusiakan manusia.
d. Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis
terhadap fenomena sosial.
e. Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan
klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan
dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja
menjadi dewasa
f. Guru menerima siswa apa adanya, memahami jalan pikiran siswa
g. Selalu mengedepankan akan hal-hal yang bermuara demokratis,
partisipatif dialogis dan humanis

25
h. Keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas disekolah dan lebih-
lebih adalah kemampuan hidup bersama( komural-bermasyarakat) diantara
peserta didik yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda-beda
i. Suasana pembelajaran yang saling menghargai adanya kebebasan
berpendapat kebebasan mengungkapkan gagasan
2. Keterbatasan dan kritik Eksistensial-Humanistik
a. Kritik utama yang sering ditujukan pada pendekatan ini adalah bahwa ia
tidak memiliki pernyataan sistematis tentang prinsip dan praktik
psikoterapi. Beberapa praktisi mengalami masalah dengan apa yang
mereka anggap sebagai bahasa dan konsep mistisnya. Beberapa terapis
yang mengklaim kepatuhan terhadap orientasi eksistensial
menggambarkan gaya terapeutik mereka secara samar dan global seperti
aktualisasi diri, pertemuan dialogis, keaslian, dan keberadaan di dunia.
Penggunaan bahasa khusus ini menyebabkan kebingungan pada waktu dan
membuatnya sulit untuk melakukan penelitian pada proses atau hasil dari
terapi eksistensial.
b. Baik praktisi pemula maupun lanjutan yang tidak memiliki pemikiran
filosofis cenderung menemukan banyak konsep eksistensial yang luhur
dan sulit dipahami. Seperti yang telah kita lihat, pendekatan ini
menekankan pada pemahaman subyektif tentang dunia klien. Diasumsikan
bahwa teknik mengikuti pemahaman. Fakta bahwa beberapa teknik
dihasilkan oleh pendekatan ini menjadikan penting bagi para praktisi untuk
mengembangkan prosedur inovatif mereka sendiri atau meminjam dari
sekolah terapi lain. Untuk konselor yang percaya bahwa mereka
memerlukan serangkaian teknik khusus untuk berunding secara efektif,
pendekatan ini memiliki keterbatasan (Vontress, 2013).
c. Praktisi yang lebih suka praktik konseling berdasarkan penelitian
berpendapat bahwa konsep harus secara empiris sehat, bahwa definisi
harus operasional, bahwa hipotesis harus diuji, dan bahwa praktik terapi
harus didasarkan pada hasil penelitian baik dalam proses maupun hasil dari
konseling. Tentu saja, gagasan terapi manual dan praktik berbasis bukti
bukan bagian dari perspektif eksistensial karena setiap pengalaman
psikoterapi adalah unik (Walsh & McElwain, 2002). Menurut Cooper
(2003), praktisi eksistensial umumnya menolak gagasan bahwa proses
terapi dapat diukur dan dievaluasi secara kuantitatif dan empiris. Meskipun
praktik eksistensial umumnya ditegakkan dalam penelitian terbaru tentang
efektivitas terapeutik (lihat Elkins, 2009), beberapa studi langsung
mengevaluasi dan memeriksa pendekatan eksistensial. Untuk sebagian
besar, terapi eksistensial menggunakan teknik dari teori lain, yang
membuatnya sulit untuk menerapkan penelitian untuk pendekatan ini
untuk mempelajari efektivitasnya (Sharf, 2016).

26
Menurut Deurzen (2002), batasan utama dari pendekatan ini adalah tingkat
kedewasaan, pengalaman hidup, dan pelatihan intensif yang diperlukan oleh para
praktisi. Terapis eksistensial harus bijaksana dan mampu memahami mendalam
dan luas tentang apa artinya menjadi manusia. Keaslian adalah karakteristik utama
dari seorang praktisi eksistensial yang kompeten, yang tentunya lebih terlibat
daripada menguasai tubuh pengetahuan dan memperoleh keterampilan teknis.
Russell (2007) mengemukakan gagasan ini dengan baik: “Keaslian berarti mampu
menandatangani nama Anda sendiri pada pekerjaan dan kehidupan Anda. Ini
berarti Anda akan ingin mengambil tanggung jawab untuk menciptakan cara Anda
sendiri untuk menjadi seorang terapis ”(hlm. 123)
G. Pendekatan/Teori Turunan dari Teori Eksistensial Humanistik
1. Logoterapi
Logoterapi sering disebut “aliran psikoterapi wina ketiga” (yang pertama
adalah psikoterapi Freud yang dan kedua adalah psikoterapi Adler) ialah bahwa
keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan memperoleh
makna bagi keberadaannya. Pendekatan Victor E. Frankl menyatukan elemen-
elemen psikodinamik, eksistensial, dan behaviorisme. Logotherapy berasal dari
Bahasa Yunani yakni logos yang berarti “arti” atau “meaning” dan therapy
(Bahasa inggris) yang berarti penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara
umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/ psikiatri yang mengakui
adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan
kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat
untuk hidup bermakna (the will of meaning) merupakan motivasi utama manusia
guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) yang
didambakannya. Ada tiga asas utama logoterapi yang menjadi inti dari terapi ini,
yaitu: (1) Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam
penderitaan dan kepedihan: (2) Setiap manusia memiliki kebebasan – yang
hampir tidak terbatas – untuk menentukan sendiri makna hidupnya; (3) Setiap
manusia memiliki kemampuan untuk mangambil sikap terhadap peristiwa tragis
yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa dirinya sendiri dan lingkungan
sekitar. Contoh yang jelas adalah seperti kisah Imam Ali diatas, ia jelas-jelas
mendapatkan musibah yang tragis, tapi ia mampu memaknai apa yang terjadi
secara positif sehingga walaupun dalam keadaan yang seperti itu Imam tetap
bahagia.

2. Gestalt
Terapi Gestalt adalah pendekatan eksistensial, fenomenologis, dan berbasis
proses yang dibuat pada premis bahwa individu harus dipahami dalam konteks
hubungan berkelanjutan mereka dengan lingkungan. Kesadaran, pilihan, dan

27
tanggung jawab adalah landasan praktik. Tujuan awal adalah agar klien
memperluas kesadaran mereka tentang apa yang mereka alami di saat ini. Melalui
kesadaran ini, perubahan terjadi secara otomatis. Pendekatan ini fenomenologis
karena berfokus pada persepsi klien tentang realitas dan eksistensial karena
didasarkan pada gagasan bahwa orang selalu dalam proses menjadi, membentuk
kembali, dan menemukan kembali diri mereka sendiri. Sebagai pendekatan
eksistensial, terapi Gestalt memberikan perhatian khusus pada eksistensi ketika
individu mengalaminya dan menegaskan kapasitas manusia untuk pertumbuhan
dan penyembuhan melalui kontak dan wawasan antarpribadi (Yontef, 1995).
Singkatnya, pendekatan ini berfokus pada di sini dan sekarang, apa dan
bagaimana pengalaman, keaslian terapis, penyelidikan dialogik aktif dan
eksplorasi. Fritz Perls adalah pencetus utama dan pengembang terapi Gestalt.
Terapi Gestalt adalah pendekatan pengalaman dimana klien memahami apa dan
bagaimana mereka berpikir, merasakan, dan melakukan ketika mereka
berinteraksi dengan terapis. Praktisi Gestalt menghargai kehadiran penuh selama
pertemuan terapeutik dengan keyakinan bahwa pertumbuhan terjadi karena kontak
murni antara klien dan terapis.
3. Person-Centered Therapy
Person-Centered Therapy merupakan konsep dan nilai dengan perspektif
eksistensial. Asumsi dasar Rogers adalah bahwa orang pada dasarnya dapat
dipercaya, bahwa mereka memiliki potensi besar untuk memahami diri mereka
sendiri dan menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa intervensi langsung dari
pihak terapis. Selain itu, mereka mampu untuk tumbuh sendiri jika mereka terlibat
dalam jenis hubungan terapeutik tertentu. Sejak awal, Rogers menekankan sikap
dan karakteristik pribadi terapis dan kualitas hubungan klien-terapis sebagai
penentu utama dari hasil proses terapi. Dia secara konsisten terdegradasi ke
masalah posisi sekunder seperti pengetahuan terapis tentang teori dan teknik.
Keyakinan ini pada kapasitas klien untuk penyembuhan diri berbeda dengan
banyak teori yang melihat teknik terapis sebagai agen paling kuat yang mengarah
pada perubahan (Bohart & Tallman dalam Corey, 2017). Rogers merevolusi
bidang psikoterapi dengan mengusulkan teori Person-Centered Therapy sebagai
agen utama untuk perubahan diri yang konstruktif (Bohart & Tallman dalam
Corey, 2017).
Person-Centered Therapy kontemporer adalah hasil dari proses evolusi
yang terus tetap terbuka untuk perubahan dan perbaikan (Cain & Seeman dalam
Corey, 2017). Rogers tidak menyajikan Person-Centered Therapy pada orang
sebagai pendekatan yang tetap dan lengkap untuk terapi. Dia berharap orang lain
akan memandang teorinya sebagai seperangkat prinsip tentatif yang berkaitan
dengan bagaimana proses terapi berkembang, bukan sebagai dogma. Rogers
berharap modelnya berkembang dan terbuka serta mau menerima perubahan.

28
29
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

Terapi eksistensial-humanistik berdasarkan pada asumsi bahwa kita bebas dan


bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil dan perbuatan yang kita
lakukan. Yang paling diutamakan dalam konseling eksistensial-humanistik
adalah hubunganya dengan klien. Kualitas dari dua orang yang bertatap muka
dalam situasi konseling merupakan stimulus terjadinya perubahan yang
positif. Ada tiga tahap dalam proses konseling eksistensial-humanistik. Dan
tidak ada teknik khusus yang digunakan dalam konseling eksistensial-
humanistik.
Kecocokannya untuk diterapkan di Indonesia terletak pada pendapat kalangan
eksistensial tentang kebebasan dan control dapat bermanfaat untuk menolong
klien menangani nilai-nilai budaya mereka. Dalam pandangan humanistik,
manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta
mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku
mereka.

30
DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. 2016. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (10th
edition). California: Brooks/Cole

Fall, K.A., Holden, & J.M., Marquis, A. 2017. Theoretical Models of Counseling
and Psychotherapy (3rd edition). New York: Routledge

Sharf, R. 2012. Theories of Psychotherapy and Counseling: Concepts and Cases


(5th edition). Belmont. CA: Brooks/Cole.

Misiak, H & Sexton, VS. 2009. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan


Humanistik-Suatu Survei Historis. Bandung: PT Refika Aditama.

Cooper, Mick. (2016). The Fully Functioning Society: A Humanistic–Existential


Vision of an Actualizing, Socially Just Future. Journal of Humanistic
Psychology Vol. 56(6) 581-594.

Pertiwi, Rizka Eliza. (2018). Pendekatan Eksistensial Humanistik berbasis nilai


budaya gotong-royong untuk meningkatkan empati siswa Sekolah
Menengah Atas. Prosiding SNBK Unipa 2 (1), 55 – 63.

Dharma, Ketut Fandi Mertha. (2013). Konseling eksistensial humanistik untuk


meningkatkan rasa percaya diri siswa. Jurnal skripsi Universitas
Pendidikan Ganesha

31

Anda mungkin juga menyukai