Anda di halaman 1dari 30

Nama : Firstia Fauziah Indarjo

NIM : S351902006

1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya.
 Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris.
 Akta autentik dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk
itu di tempat akta itu dibuat.
Akta otentik harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata,
sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya. Akta-akta yang dibuat, walaupun
ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi persyaratan Pasal 1868
KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, hanya mempunyai
kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan (Pasal 1869 KUHPerdata)
 Kewenangan notaris
Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3)
UUJN, yang dapat dibagi menjadi :
a. Kewenangan Umum Notaris.
b. Kewenangan Khusus Notaris.
c. Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian.

A. Kewenangan Umum Notaris


Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu
membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris
dengan batasan sepanjang :
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-
undang.
2. Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk
dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3. Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan
siapa suatu akta itu dibuat.
Namun, ada juga beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga
menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu :
1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW)
2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW)
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal
1405, 1406 BW)
4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK)
5. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat [1] UU No.4 Tahun
1996),
6. Membuat akta risalah lelang.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15
UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang dapat kita
pahami, yaitu :
1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/tindakan para
pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang
lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak
benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan
pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku

B. Kewenangan Khusus Notaris


Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur
mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu,
seperti:
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus ;
2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam suatu
buku khusus ;
3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan ;
4. Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat aslinya ;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
7. Membuat akta risalah lelang
Khusus mengenai nomor 6 (membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan) banyak
mendapat sorotan dari kalangan ahli hukum Indonesia dan para notaris itu sendiri.
Karena itulah akan sedikit dibahas mengenai masalah ini.

Pasal 15 ayat (2) huruf j UUJN memberikan kewenangan kepada notaris untuk
membuat akta di bidang pertanahan. Ada tiga penafsiran dari pasal tersebut (Habib
Adjie, 2008 : 84) yaitu:
1. Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi wewenang notaris
atau telah menambah wewenang notaris.
2. Bidang pertanahan juga ikut menjadi wewenang notaris.
3. Tidak ada pengambil alihan wewenang dari PPAT ataupun dari notaris, karena
baik PPAT maupun notaris telah mempunyai wewenang sendiri-sendiri.

C. Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian


Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan
ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan
datang kemudian (ius constituendum) (Habib Adjie, 2008 : 82). Wewenang notaris yang
akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU no. 5 Tahun 1986
tetang Peradilan Tata Usaha Negara (Habib Adjie, 2008 : 83), bahwa :
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah
semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan
Perwakilan Rakyat Bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat
pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian
tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara
(Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang
berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan
perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di
bawah undang-undang.

2. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai
Notaris untuk menjalankan jabatan dari Notaris yang meninggal dunia
Pejabat sementara notaris, yaitu seseorang yang untuk sementara menjalankan jabatan
notaris bagi notaris yang:
a. Meninggal dunia;
b. Diberhentikan;
c. Diberhentikan sementara.

Dalam hal notaris meninggal dunia, maka Protokol Notaris akan diserahkan oleh ahli
warisnya kepada notaris lain yang ditunjuk Majelis Pengawas Daerah (“MPD”).
Demikian menurut ketentuan pasal 63 ayat [2] UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (“UUJN”).

Dalam UUJN juga diatur bahwa jika Notaris meninggal dunia pada saat
menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris Pengganti
sebagai Pejabat Sementara Notaris paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal
Notaris meninggal dunia (lihat pasal 35 ayat [3]). Pejabat Sementara Notaris
wajib menyerahkan Protokol Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada
MPD paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia (lihat
pasal 35 ayat [4]).
Perihal kematian Notaris telah dijelaskan pemerintah melalui Undang-undang
Jabatan Notaris (UUJN). Pertama, dalam pasal 8 ayat 1 dijelaskan bahwa jika
Notaris meninggal dunia, ini berarti almarhum telah berhenti dari jabatannya
sebagai Notaris dengan secara hormat.

Selanjutnya, pada pasal 35, saat Notaris meninggal dunia, suami/istri atau
keluarga sedarah dalam garis keturunan wajib memberitahukannya kepada
Majelis Pengawas Daerah paling lambat tujuh hari setelah hari kematiannya.
Majelis Pengawas Daerah kemudian menunjuk Pejabat Sementara Notaris untuk
menggantikan tugas Notaris yang meninggal dunia.

Protokol Notaris yang dipegang Notaris yang meninggal dunia kemudian


diserhaterimakan kepada Pejabat Sementara Notaris oleh ahli waris Notaris.
Pejabat Sementara kemudian menyerahkan Protokol tersebut kepada Majelis
Pengawas Daerah paling lama 60 hari sejak kematiannya. Pejabat Sementara
yang ditunjuk untuk menggantikan Notaris yang meninggal dunia dapat
membuat akta autentik atas namanya sendiri dan memiliki Protokol Notaris
sendiri.
Jika Notaris meninggal dunia dalam keadaan cuti sementara tugas dan
wewenangnya digantikan oleh Notaris Pengganti, maka dalam UUJN Notaris
Pengganti tersebut menjalankan tugas sebagai Pejabat Sementara Notaris selama
30 hari sejak kematian Notaris.
Penyerahan Protokol Notaris merupakan penanda pelimpahan wewenang dari
almarhum kepada pejabat penggantinya. Dengan demikian, jika saat meninggal
dunia Notaris tengah mengurus pembuatan akta autentik milik klien, maka
proses penyelesaian pembuatan akta selanjutnya dilimpahkan kepada Pejabat
Sementara Notaris dengan namanya sendiri.

3. Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris
untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara
berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
“Notaris Pengganti (1) adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai
Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk
sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris.” (Pasal 1
Angka 3 UU Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris).
“Notaris Pengganti (2) adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai
Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk
sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris.” (Pasal 1
Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris).
Syarat Notaris Pengganti
Persyaratan yang harus dipenuhi dapat diangkat sebagai Notaris Pengganti :
a. Warga Negara Indonesia
b. Lulusan Sarjana Hukum
c. Sudah bekerja paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut sebagai karyawan
kantor Notaris.

Prosedur Pengangkatan Notaris Pengganti


Notaris yang hendak cuti mengajukan permohonan cuti disertai usulan penunjukan
seorang Notaris Pengganti dan selanjutnya menyerahkan Protokol Notaris kepada
Notaris Pengganti yang dibuatkan berita acara dan dilpaorkan kepada Majelis
Pengawas Wilayah.

Notaris / Notaris Pengganti mengajukan permohonan pelantikan ke Kepala Kantor


Wilayah Kementerian Hukum dan HAM dengan melampirkan :
1. Surat Permohonan Pelantikan,
2. Surat Keputusan Pengangkatan Notaris / Notaris Pengganti.
3. Berita Acara Pelantikan.

Dokumen yang dilampirkan untuk pengangkatan Notaris Pengganti adalah sebagai


berikut:
a. fotokopi ijazah minimal sarjana hukum yang sudah dilegalisir oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan;
b. fotokopi KTP yang sudah dilegalsir oleh Notaris;
c. fotokopi akta kelahiran yang sudah dilegalsir oleh Notaris;
d. fotokopi Buku Nikah bagi yang sudah kawin yang sudah dilegalsir oleh
Notaris;
e. surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian setempat;
f. surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter pemerintah;
g. Pasphotooto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 4 lbr;
h. Daftar Riwayat Hidup.

5. Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan Notaris yang berbentuk


perkumpulan berbadan hukum.
Wadah Berkumpul yang pertama kalinya di Hindia-Belanda itu bernama “de
Nederlandsch-Indische Notarieele Vereeniging”. Karena pada waktu itu Hindia-
Belanda merupakan Negara jajahan Belanda, maka keberadaan perkumpulan ini
tidak terlepas dari perkumpulan yang ada di Negeri Belanda. Di Belanda sendiri
pada waktu itu telah mempunyai perkumpulan dalam bidang kenotariatan, yaitu
‘roederschap der Notarissen’, yang merupakan perkumpulan bagi notaris-notaris
di Negeri Belanda dan ‘Broederschap van Candidaat-Notarissen in Nederland en
zijne Kolonien’, yaitu perkumpulan bagi para calon notaris di Negeri Belanda.
Saat ini, keduanya menjadi satu perkumpulan yang bernama ‘Koninklijke
Notarieele Beroepsorganisatie’ disingkat menjadi KNB.
Ketentuan mengenai organisasi notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
Belanda mengatur secara rinci mengenai organisasi notaris, hal ini tidak terlepas
dari pentingnya peranan organisasi notaris dalam bidang kenotariatan di Negara
tersebut. Ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris Belanda menyebutkan
secara jelas tentang satu-satunya organisasi notaris yaitu KNB.
Tugas KNB adalah memajukan pengembanan profesi notaris secara baik dan
juga pelaksanaan keahlian profesi oleh para anggota, mencakup penjagaan
(pemeliharaan) martabat dan kehormatan jabatan notaris. Semua ketentuan
mengenai tugas, kepengurusan, cabang, rapat anggota, dewan anggota,
sumbersumber keuangan, peraturan umum dan keputusan-keputusan dari
organisasi KNB diatur dalam UndangUndang Jabatan Notaris Belanda tersebut.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris di Indonesia,


sebagai undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan jabatan notaris yang
saat ini berlaku di Indonesia juga telah memasukkan beberapa peraturan
mengenai organisasi notaris dalam beberapa pasalnya. Walaupun tidak
selengkap dan rinci sebagaimana Undang-Undang Jabatan Notaris di Belanda,
namun hal ini merupakan suatu perkembangan tersendiri mengingat sebelumnya
tidak ada suatu pengaturan khusus mengenai organisasi notaris di Indonesia.
Pengaturan mengenai organisasi notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
di Indonesia merupakan bentuk kesadaran bahwa keberadaan organisasi notaris
memang dibutuhkan sehubungan dengan pelaksanaan jabatan notaris itu sendiri,
karena itu diperlukan suatu pengaturan mengenai organisasi notaris di Indonesia,
pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris yang mengatur tentang organisasi notaris antara lain adalah :
1. Pasal 1 ayat (5) tentang Ketentuan Umum memberikan penjabaran
tentang apa yang dimaksud dengan organisasi notaris, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang
berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum”.

2. Pasal 82, yang berbunyi sebagai berikut:


“(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris
(2) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan
susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga”.
3. Pasal 83, yang berbunyi sebagai berikut:
“(1) Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
(2) Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya
disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas”.
Ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
organisasi notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan
yang berbadan hukum. Suatu organisasi belum tentu merupakan suatu perkumpulan dan
suatu perkumpulan dapat berupa suatu badan hukum dan bukan badan hukum,
sedangkan untuk organisasi notaris telah ditentukan oleh undang-undang harus
berbentuk suatu perkumpulan yang berbadan hukum. Untuk memahami ketentuan Pasal
1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana yang disebutkan diatas,
maka harus dilihat mengenai teori-teori tentang perkumpulan dan badan hukum,
sehingga dapat diketahui perkumpulan yang bagaimana yang sesuai dengan organisasi
notaris dan termasuk ke dalam badan hukum mana oraganisasi notaris tersebut. Selain
itu, akan terlihat perbedaan antara organisasi notaris yang dimaksud dalam
UndangUndang Jabatan Notaris dengan organisasi lain dengan adanya status badan
hukum yang melekat padanya.

Pelaksanaan Ketentuan Satu Wadah Organisasi Notaris


Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang
memuat ketentuan mengenai satu wadah berkumpul bagi Notaris di Indonesia, muncul
berbagai pendapat mengenai ketentuan tersebut. Pada dasarnya, pendapat-pendapat
mengenai ketentuan satu wadah tersebut, terutama mengenai wadah organisasi mana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, terbagi atas dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa satu wadah yang dimaksud dalam Undang-
Undang jabatan Notaris adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI). Hal tersebut berkaitan
dengan peranan INI bagi profesi notaris yang telah dilakukan puluhan tahun lamanya,
disamping INI juga telah memenuhi syarat sebagai suatu perkumpulan yang berbadan
hukum. Pendapat kedua menyatakan bahwa keberadaan organisasi-organisasi
beranggotakan notaris yang lain selain INI, yaitu Himpunan Notaris Indonesia (HNI),
Asosiasi Notaris Indonesia (ANI), dan Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori),
tidak dapat diabaikan eksistensinya. Pendapat kedua ini mengedepankan Pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin adanya kebebasan berkumpul dan
berserikat. Pada akhirnya, pendapat kedua ini mengarah pada suatu pemikiran bahwa
ketentuan satu wadah yang dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris berarti
keempat organisasi tersebut seharusnya bersatu atau berada dibawah satu wadah
berkumpul yang merupakan kesatuan dari keempatnya.
Wadah yang dimaksud sebagai kesatuan dari keempatnya tersebut dapat berupa suatu
federasi yang membawahi INI, HNI, ANI dan Pernori. Sebagai contoh, suatu
perkumpulan yang membawahi beberapa organisasi profesi telah terbentuk pada profesi
advokat/pengacara.
Munculnya berbagai pendapat mengenai ketentuan satu wadah dikarenakan Undang-
Undang Jabatan Notaris memang tidak menyebutkan secara eksplisit organisasi mana
yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. UndangUndang Jabatan Notaris juga
tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa semua organisasi beranggotakan notaris yang
ada saat ini harus berkumpul dalam satu wadah, menjadi suatu wadah baru. Pasal 82
ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris hanya menyebutkan bahwa notaris berhimpun
dalam satu wadah organisasi profesi notaris, tanpa adanya penjelasan lebih lanjut
mengenai apa yang dimaksud satu wadah tersebut. Oleh karena itu, muncul penafsiran
yang berbedabeda tentang ketentuan satu wadah ini.
Departemen Hukum Dan hak Asasi Manusia yang membawahi bidang kenotariatan
terlihat seolah-olah menganggap INI sebagai satu-satunya organisasi notaris. Hal ini
terlihat dari berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kenotariatan, pihak
departemen selalu bekerjasama dengan INI. Sebagian orang berpendapat bahwa setelah
muncul Undang-Undang Jabatan Notaris, departemen mendukung INI sebagai satu-
satunya organisasi notaris yang dimaksud dalam undang-undang. Hal ini akhirnya
berujung pada suatu permohonan kepada Mahkamah Konstitusi yang berisikan
permohonan untuk melakukan pengkajian Undang-Undang jabatan Notaris terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu hal yang dipermasalahkan dalam suart
permohonan tersebut adalah ketentuan mengenai organisasi notaris, setelah itu juga ada
gugatan kepada Mahkamah Agung yang meminta uji materiil terhadap Surat Edaran dan
Keputusan Menteri Kehakiman yang dianggap berpihak pada INI, serta uji materiil
terhadap pengesahan perubahan anggaran dasar INI tahun 1995. Kedua gugatan kepada
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tersebut antara lain membahas hal yang
berhubungan dengan organisasi notaris dan saat ini telah diputus oleh kedua badan
peradilan tersebut.
Sebelum membuat suatu analisis tentang ketentuan satu wadah yang dimaksud dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris, maka terlebih dahulu perlu melihat bagaimana
peranan organisasi notaris dalam pelaksanaan jabatan notaris, keberadaan beberapa
organisasi beranggotakan notaris, yaitu INI, HNI, ANI dan Pemori, serta Putusan
Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung yang didalamnya dapat dilihat
bagaimana pendapat-pendapat badan peradilan mengenai permohonan yang diajukan
tersebut, terutama pendapat pengadilan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
ketentuan mengenai organisasi notaris.
Peranan Organisasi dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris
Organisasi notaris memegang peranan penting dalam pelaksanaan jabatan notaris di
Indonesia. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa notaris Indonesia termasuk
dalam golongan notaris latin. Hal tersebut dikarenakan Indonesia menganut system
hukum Eropa Kontinental, yang menempatkan alat bukti tertulis sebagai alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian tertinggi, terkuat dan terpenuh. Akta otentik yang
merupakan produk dari notaris merupakan alat bukti yang sempurna, yang tidak dapat
disangkal sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, bagi profesi notaris
tentunya diperlukan suatu wadah yang bekerja untuk kemajuan profesi notaris ini agar
dapat memantau pelaksanaan profesi tersebut, terutama karena profesi notaris
berhubungan langsung dengan masyarakat umum.
Keberadaan organisasi notaris di Indonesia dimulai sejak tahun 1908. Pada waktu ini
Indonesia bahkan belum merdeka dan masih dibawah pemerintahan Belanda, namun
Indonesia (ketika itu Hindia Belanda), telah mengenal profesi notaris yang masih
dipegang oleh orang-orang berkebangsaan Belanda. Dalam perkembangan kemudian,
setelah Indonesia dinyatakan merdeka dan telah menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, organisasi notaris tersebut berubah sehingga semua anggotanya merupakan
notaris-notaris yang berkebangsaan Indonesia dan pada tahun 1958 anggaran dasarnya
diubah sehingga namanya pun berubah menjadi Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang kita
kenal hingga sekarang ini.
Organisasi notaris banyak melakukan kegiatan yang bertujuan untuk kemajuan profesi
notaris. Berbagai konferensi, pertemuan ilmiah maupun kongres diadakan sebagai ajang
pertemuan para notaris yang diharapkan dapat berfungsi sebagai tempat untuk saling
bertukar pikiran sesama rekan notaris. Selain itu, organisasi notaris banyak melakukan
hubungan keluar organisasi itu sendiri, yang ditujukan untuk perkembangan profesi
notaris sebagai contoh, hubungan dengan departemen yang membawahi bidang
kenotariatan. Dengan kata lain, saat ini peranan organisasi notaris tidak dapat diabaikan
dalam pelaksanaan jabatan notaris pada khususnya dan dunia kenotariatan pada
umumnya.
Ada berbagai kegiatan organisasi notaris yang secara nyata telah membawa banyak
kemajuan bagi pelaksanaan jabatan notaris Penyelenggaraan konferensi di daerah dan
wilayah, penyelenggaraan kongres di tingkat nasional, penyelenggaraan temu ilmiah
adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh organisasi notaris. Selain kegiatan rutin yang
dilakukan oleh organisasi notaris, masih ada berbagai kegiatan yang dilakukan,
krgiatan-kegiatan mana tentunya berhubungan dengan pelaksanaan jabatan notaris.
Kegiatan yang dilakukan selain kegiatan rutin misalnya adalah penyelenggaraan
kerjasama dengan instansiinstansi terkait dengan jabatan notaris. Instansi-instansi yang
pernah menyelenggarakan kerjasama dengan organisasi notaris hingga saat ini adalah
Kepolisian Republik Indonesia, perbankan syariah, badan pasar modal dan badan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan kenotariatan. Penyelenggaraan
kerjasama antara organisasi notaris dan berbagai instansi tersebut biasanya dituangkan
dalam suatu Memorandum of Understanding (MoU).
Penyelenggaraan berbagai kerja sama antara organisasi notaris dengan beberapa instansi
memang dilakukan untuk kemajuan jabatan notaris serta perlindungan bagi profesi
tersebut. Kerjasama dengan Departemen Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah
diadakan untuk menyelenggarakan pembuatan akta koperasi oleh notaris. Kerjasama
dengan badan pendidikan diadakan agar organisasi turut serta dalam memberi masukan
mengenai kurikulum pendidikan kenotariatan dapat mencetak calon-calon notaris yang
baik dan siap menghadapi berbagai persoalan hokum yang berkaitan dengan pekerjaan
seorang notaris.
Kerjasama dengan Kepolisian republik Indonesia diadakan untuk melindungi jabatan
notaris yang dalam pekerjaan sehari-harinya banyak menghadapi persoalan hukum yang
akhirnya berkaitan dengan perkara pidana. Untuk itu dibutuhkan saling memahami
tugas dan kewenangannya masing-masing antara polisi sebagai petugas hukum dengan
notaris meliputi pemanggilan dan pemeriksaan seorang notaris oleh penyidik. Semua
kerjasama tersebut telah dilakukan oleh orrganisasi notaris dan bahkan ada yang telah
diperbaharui setelah berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris. Hal mana
memperlihatkan bahwa organisasi notaris benar-benar melaksanakan kegiatan untuk
perlindungan dan kemajuan jabatan notaris.
Selain berbagai kegiatan rutin serta kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh organisasi
notaris dengan berbagai instansi, tidak kalah pentingnya adalah bagaimana organisasi
notaris berhubungan dengan departemen yang membawahi bidang kenotariatan, yaitu
pada saat ini adalah Departemen Hukum Dan hak Asasi Manusia Repulik Indonesia.
Bidang kenotariatan berada dibawah Direktorat Jenderal Administrasi hukum Umum
(Ditjen AHU). Hubungan antara Ditjen AHU, khususnya sub bidang kenotariatan,
dengan organisasi notaris sangat erat.
Sebagai instansi yang mengangkat, membina dan memberhentikan notaris, maka sub
bidang kenotariatan Ditjen AHU membutuhkan peranan organisasi notaris dalam
melaksanakan kewenangannya tersebut. Pengangkatan notaris misalnya, membutuhkan
adanya surat rekomendasi dari organisasi notaris. Selain itu, dalam membentuk Majelis
Pengawas notaris, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia menunjuk anggota
organisasi notaris, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
Hubungan lainnya antara Departemen Hukum.
Dan Hak Asasi Manusia dengan organisasi notaris adalah ketika akan dibuat suatu
kebijakan atas peraturan yang berkaitan dengan notaris. Dalam pembuatan suatu
peraturan yang berkaitan dengan notaris, misalnya dalam bentuk peraturan menteri
maka Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia selalu meminta adanya perwakilan
dari organisasi notaris sebagai anggota tim. Hal ini dimaksudkan agar ada keterlibatan
dari orang-orang yang menjalankan jabatan notaris itu sendiri.
Peranan lainnya dari organisasi notaris adalah adanya kode etik notaris yang dibuat dan
pelaksanaannya diawasi oleh organisasi notaris. Kode etik yang mengatur perilaku dan
garis besar hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan oleh seorang notaris dalam
melaksanakan jabatannya diharapkan pada akhirnya membawa manfaat bagi masyarakat
umum pengguna jasa notaris. Pada saat ini kode etik notaris telah terbentuk dan bahkan
ujian kode etik notaris merupakan salah satu syarat bagi mereka yang ingin diangkat
menjadi notaris. Ujian kode etik notaris diadakan setiap tahun oleh organisasi notaris
dan diikuti oleh mereka yaitu telah lulus program pendidikan kenotariatan.
Berbagai kegiatan dan peranan organisasi notaris dalam pelaksanaan jabatan notaris
membuktikan bahwa keberadaan organisasi notaris diperlukan. Organisasi notaris
merupakan fasilitator bagi perlindungan dan kemajuan jabatan notaris serta pengawasan
kode etik. Pada akhirnya, keberadaan organisasi notaris juga turut berperan dalam
melindungi masyarakat umum yang menggunakan jasa notaris.

6. Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah


suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.

Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan


kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
Notaris. ( Oleh karena yang diawasi adalah Notaris maka disebut juga
sebagai Majelis Pengawas Notaris ).
Badan ini dibentuk oleh Menteri guna mendelegasikan kewajibannya untuk
mengawasi (sekaligus membina) Notaris yang meliputi perilaku dan
pelaksanaan jabatan Notaris (lihat pasal 67 UU JN juncto pasal 1 ayat 1
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).
Dalam melaksanakan tugas kewajibannya Badan tersebut secara fungsional
dibagi menjadi 3 bagian secara hirarki sesuai dengan pembagian suatu
wilayah administratif ( Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat ) yaitu : Majelis
Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat.
(Pasal 68 UU JN )

Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.39- PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur
mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :
1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang :
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan Surat-Surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
Penyimpanan Notaris;
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.
2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau Surat-Surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan,
Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak
dipunyai oleh MPW maupun MPR. Subtansi Pasal 66 UUJN imperatif
dilakukan oleh pentidik, penuntut umum atau hakim.
Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau
meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim, artinya MPD harus menempatkan
akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau
keterangan pars pihak, bukan menempatkan subjek Notaris sebagai objek
pemeriksaan, sehingga tata cara atau prosedur pembuatan akta harus
dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut. Dengan demikian diperlukan
anggota MPD, baik dari unsur Notaris, pemerintahan, dan akademis yang
memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun substansinya. Tanpa ada
izin dari MPD penyidik, penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil
atau meminta Notaris dalam suatu perkara pidana.
Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan
Notaris;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap
perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris
yang bersangkutan;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat
serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima)
tahun atau lebih;
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara
Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelang-
garan Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang--
undang ini;
h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan g kepada Majelis
Pengawasan Wilayah.
Kemudian Pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :
a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris
dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah
Surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal
pemeriksaan terakhir;
b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada
Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris
yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain
dari Notaris dan merahasiakannya;
e. Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu
30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan,
Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi
Notaris.
f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Wewenang MPD yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan
rapat MPD diatur dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10Tahun 2004, yang
berkaitan dengan :
a. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris
yang diangkat sebagai pejabat negara;
b. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang Protokol Notaris
yang meninggal dunia;
c. Memberikan persetujuan atas permintaan penyidik, penuntut umum atau
hakim untuk proses peradilan;
d. Menyerahkan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
e. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan
akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.

2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)


Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004.
Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang
berkaitan dengan:
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis
Pengawas Wilayah;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas
laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu)
tahun;
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah
yang memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa:
1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam)
bulan; atau
2) Pemberhentian dengan tidak hormat.
f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.
Wewenang MPW menurut pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,
berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW, yaitu:
1) Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil
perneriksaan Majelis Pemeriksa Daerah;
2) Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap
hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
3) Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan
Terlapor untuk didengar keterangannya;
4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak berkas diterima.

Dalam angka 2 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, mengenai Tugas
Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan
sanksi yang tersebut dalam Pasal 73, 85 UUJN, dan Pasal 26 Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Kemudian angka 2 butir 2 Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10
Tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan MPW, yaitu:
1) Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi
pemberhentian dengan hormat;
2) Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh
Majelis Pengawas Daerah.
3) Mencatat izin cuti yang cliberikan dalam sertifikat cuti;
4) Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur
pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas
laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas
Pusat;
5) Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat, yaitu:
a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus
dan Februari;
b. Laporan insidentil paling lambat 15 (lima betas) hari setelah putusan
Majelis Pemeriksa.

3. Majelis Pengawas Pusat (MPP)


Wewenang MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004.
Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan
dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan
penolakan cuti;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan hormat
kepada Menteri
Selanjutnya wewenang MPP diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10
Tahun 2004, yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari
MPW:
(1).Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas
putusan Majelis Pemeriksa Wilayah;
(2). Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap
berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kalender sejak berkas diterima;
(3).Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor
untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya;
(4). Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender sejak berkas diterima;
(5).Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan
dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk
menjatuhkan/ putusan;
(6). Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh
Ketua Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat;
(7). Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan
salinannya disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas
Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, dan Pengurus Pusat Ikatan
Notari Indonesia, dalamjangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.
Mengenai kewenangan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah, dan Pusat)
ini, ada satu kewenangan Majelis Pengawas yang perlu untuk diluruskan sesuai
aturan hukum yang berlaku, yaitu atas laporan Majelis Pemeri ksa jika menemu-
kan suatu tindak pidana dalam melakukan pemeriksaan terhadap Notaris, maka
Majelis Pengawas akan melaporkannya kepada pihak yang berwenang. (Pasal 32
ayat [1] dan [2] Peraturan Menteri). Subtansi pasal ini telah menempatkan
Majelis Pengawas Notaris sebagai pelapor tindak pidana.
Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh
"seorang" karena "hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang" kepada
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana. Berdasarkan isi pasal tersebut, bahwa syarat untuk menjadi
pelapor, yaitu:
1. Seorang (satu orang/perseorangan), dan
2. Ada hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang.

Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat [11 Peraturan


Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004), dengan parameter seperti ini dikaitkan dengan
Pasal 1 angka 24 (KUHAP), bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek
hukum berupa orang, bukan majelis atau badan.

7. Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini.
Penjelasan mengenai akta terdapat dalam Pasal 1868 KUHPer. Berikut isi
pasalnya:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”
Herlien Budiono dalam bukunya Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris (hal. vii)
mengatakan bahwa Pasal 1868 KUH Perdata tidak menjelaskan tentang siapa
yang dimaksud dengan pegawai/pejabat umum dan bagaimana bentuk akta
otentik. Tetapi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(“UU 2/2014”) menunjuk notaris sebagai pejabat umum serta memberi dasar dan
tata cara pembuatan akta otentik.
Meski tidak dijelaskan mengenai siapa yang membuat akta tersebut,
penjelasannya terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
yang tertulis:
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,
menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”
Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Syarat Akta Notaris yang Autentik
Untuk menjadi sebuah akta autentein yang diakui oleh hukum, akta yang dibuat
notaris harus lah mengikuti syarat-syarat yang mengikat pembuatan akta
tersebut. Syarat-syarat dalam akta notaris tersebut adalah sebagai berikut :
a. Adanya identitas pihak-pihak yang terkait dengan akta yang dibuat
notaris.
b. Adanya saksi dengan jumlah dua orang yang menyaksikan pembuatan
akta.
c. Mencantumkan tanda tangan pihak-pihak yang terkait.
d. Mencantumkan tempat dan tanggal dibuatnya akta notaris.
e. Mengikuti aturan pembuatan akta notaris yang berlaku.

Syarat-syarat akta notaris yang autentik harus lah memenuhi syarat formil dan
syarat materil.
Syarat-syarat materil akta notaris, diantaranya sebagai berikut :
a. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
b. Memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
c. Asas ini memiliki arti orang yang sudah dewasa dan memiliki pemikiran
yang sehat.
d. Terdapat suatu obyek dalam suatu perjanjian harus lah memuat sesuatu
hal/tindakan ataupun barang yang jelas.
e. Terdapat kausa yang halal.
Dalam Pasal 1335 KUHPer, suatu perjanjian yang tidak bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku.
Macam-Macam Akta Notaris
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU 2/2014, Akta Notaris adalah akta autentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang. Sehingga, ada 2 (dua) macam/golongan akta
notaris, yaitu:
1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas atau akta pejabat)
Yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian secara otentik dari notaris
mengenai suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau
disaksikan oleh notaris. Misalnya akta berita acara/risalah rapat RUPS suatu
perseroan terbatas, akta pencatatan budel, dan lain-lain.
2. Akta yang dibuat di hadapan notaris (akta partij)
Yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris memuat uraian dari apa yang
diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada notaris,
misalnya perjanjian kredit, dan sebagainya.

Prosedur Pembuatan akta Notaris


Prosedur penysunan akta yang dibuat notaris harus sesuai dengan aturan.

Prosedur penyusunan yang tepat adalah sebagai berikut :


1) Mengunakan kertas putih yang berukuran ½ halaman A3 dengan berat
kertas kurang lebih 80 gr (gram).
2) Menggunakan font courier new untuk komputer/huruf pica untuk mesin
ketik.
3) Hanya terdiri 30 baris per halaman dengan batas tulisan atas 2 cm dan
bawah 3 cm.
4) Menyediakan tempat untuk renvoi dan jarak tulisan hanya 7 cm dari tepi
kiri kertas.
5) Penggunaan font tersebut sudah menjadi aturan yang baku sehingga tidak
dapat diganti dengan jenis font lainnya meskipun jenis font sekarang ini
sudah semakin banyak.
Isi akta yang dibuat notaris harus lah disusun dalam sistematika yang sesuai
agar legal di mata hukum sebagai dokumen autentik. Isi akta yang dibuat notaris
sendiri harus mencakup segala hal yang ingin diperkarakan oleh pemohon.
Selain itu, juga perlu mencakup berbagai keperluan (identitas dan sebagainya)
yang berkaitan dengan pihak-pihak yang terkait dalam akta yang dibuat notaris.

Sistematika Membuat Akta Notaris


Susunan/sistematika pembuatan akta telah diatur dalam aturan perundang-
undangan. Sistematika/syarat formil yang sesuai dengan aturan perundang-
undangan adalah sebagai berikut.

Setiap akta terdiri dari:


1. Awalan akta/kepala akta
2. Badan akta
3. Akhiran/penutup akta
4. Awalan akta/kepala akta
5. Judul akta
6. Nomor akta
7. Jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun
8. Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris
9. Selain itu juga beberapa hak lainnya, seperti :
a. Badan akta
b. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal pemohon daa/atau
orang yang diwakili
c. Keterangan mengenai kedudukan yang bertindak sebagai
pemohon
d. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan pihak yang
memiliki kepentingan
e. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal setiap saksi
f. Akhiran/penutup akta
g. Penjelasan tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf m/Pasal 16 ayat (7)
h. Penjelasan tentang penandatanganan dan tempat/penerjemahan
akta (jika ada)
i. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari setiap saksi
j. Penjelasan mengenai ada tidaknya perubahan yang terjadi dalam
pembuatan akta, baik berupa penambahan, pencoretan, dan
penggantian serta jumlah perubahannya.
k. Dalam akta pengangkatan notaris pengganti, notaris pengganti
khusus maupun pejabat sementara notaris, selain memuat
ketentuan seperti yang dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), akta tersebut juga wajib memuat nomor dan tanggal
pengangkatan serta pejabat yang mengangkatnya.

8. Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para
penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol
Notaris.
Minuta Akta merupakan asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para
penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol
Notaris. Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, yang pada intinya menyatakan bahwa:
"Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur,
saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang
terkait dalam perbuatan hukum danm membuat Akta dalam bentuk Minuta
Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris"

Kewajiban menyimpan Minuta Akta tidak berlaku dalam hal Notaris


mengeluarkan Akta in originali. Akta in originali tersebut yaitu meliputi Akta
pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun, Akta penawaran pembayaran
tunai, Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga, Akta kuasa, Akta keterangan kepemilikan.

Akta in originali sebagaimana dimaksud diatas dibuat lebih dari 1 (satu)


rangkap dan ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata "BERLAKU SEBAGAI SATU
DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA".

Kewajiban Notaris Menyimpan Minuta Akta


Menyimpan minuta akta adalah salah satu kewajiban Notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (“UU 2/2014”), sebagai berikut:
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak,


dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap
pada Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya
dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta
sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi
buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan
jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta
tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf
i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat
daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima)
hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri
oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang
saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan,
dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,
dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
Tetapi, terhadap kewajiban menyimpan minuta akta tersebut ada
pengecualiannya, yaitu kewajiban menyimpan minuta akta tidak berlaku, dalam
hal Notaris mengeluarkan akta in originali. Akta in originali meliputi :
1. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
2. Akta penawaran pembayaran tunai;
3. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
4. Akta kuasa;
5. Akta keterangan kepemilikan; dan
6. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Jadi pada dasarnya, menyimpan minuta akta itu adalah kewajiban Notaris,
sehingga Notaris seharusnya menyimpan sendiri Protokol Notaris (yang berisi
minuta akta) dan tidak membiarkan Protokol Notaris dipegang oleh pegawainya.
Ini karena Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip
negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
Jika Minuta Akta Hilang oleh Notaris
Jika minuta akta tersebut hilang, dapat dikatakan Notaris tidak menjalankan
kewajibannya menyimpan minuta akta dengan benar. Notaris yang tidak
melaksanakan kewajibannya yang terdapat dalam huruf a hingga huruf l
sebagaimana disebutkan di atas dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris.
Dalam kewenangannya membuat akta otentik dapat dilihat dari :
a. Akta yang dibuatnya
b. Untuk siapa akta itu dibuat
c. Tempat kedudukan
d. Waktu

Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai
Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan,
atau diberhentikan sementara.

Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk
menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan
menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai Notaris khusus untuk
membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat penetapannya sebagai
Notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya seorang
Notaris, sedangkan Notaris yang bersangkutan menurut ketentuan Undang-Undang ini
tidak boleh membuat akta dimaksud.
Penghadap
Ada 3 macam penghadap :
a. Menghadap sendiri, jika seseorang bertindak atas namanya sendiri dalam
melakukan perbuatan hukum
b. Menghadap berdasarkan kuasa, jika seorang bertindak berdasarkan kuasa
c. Menghadap berdasarkan kedudukan atau jabatannya, jika seseorang bertindak
dengan jabatan atau kedudukannya
Saksi
Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi,
kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. Saksi harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus
ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai
dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
Saksi harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan
tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. Pengenalan atau
pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.
Protokol Notaris
Dalam Penjelasan Pasal 62 UUJN, disebutkan bahwa Protokol Notaris terdiri atas:
1. Minuta Akta;
Minuta akta adalah asli akta Notaris, dimana di dalam minuta akta ini terdiri dari
(dilekatkan) data-data diri para penghadap dan dokumen lain yang diperlukan
untuk pembuatan akta tersebut. Setiap bulannya minuta akta harus selalu dijilid
menjadi satu buku yang memuat tidak lebih dari 50 akta. Pada sampul setiap
buku tersebut dicatat jumlah minuta akta, bulan dan tahun pembuatannya.

2. Buku daftar akta atau Repertorium;


Dalam Repertorium ini, setiap hari Notaris mencatat semua akta yang dibuat
oleh atau dihadapannya baik dalam bentuk minuta akta maupun Originali
dengan mencantumkan nomor urut, nomor bulanan, tanggal, sifat akta dan nama
para penghadap.

3. Buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan di


hadapan Notaris atau akta di bawah tangan yang didaftar;Notaris wajib mencatat
surat-surat di bawah tangan, baik yang disahkan maupun yang dibukukan
dengan mencantumkan nomor urut, tanggal, sifat surat dan nama semua pihak.

4. Buku daftar nama penghadap atau Klapper;


Notaris wajib membuat daftar Klapper yang disusun menurut abjad dan
dikerjakan setiap bulan, dimana dicantumkan nama semua orang/pihak yang
menghadap, sifat dan nomor akta.

5. Buku daftar protes;


Setiap bulan Notaris menyampaikan Daftar Akta Protes dan apabila tidak ada,
maka tetap wajib dibuat dengan tulisan “NIHIL”.

6. Buku daftar wasiat; dan


Notaris wajib mencatat akta-akta wasiat yang dibuatnya dalam Buku Daftar
Wasiat. Selain itu, paling lambat pada tanggal 5 setiap bulannya, Notaris wajib
membuat dan melaporkan daftar wasiat atas wasiat-wasiat yang dibuat pada
bulan sebelumnya. Apabila tidak ada wasiat yang dibuat, maka Buku Daftar
Wasiat tetap harus dibuat dan dilaporkan dengan tulisan “NIHIL”.

7. Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris


berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah
Buku Daftar Perseroan Terbatas, yang mencatat kapan Pendiriannya dan dengan
akta nomor dan tanggal berapa, Perubahan Anggaran Dasar atau Perubahan
susunan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pemegang Sahamnya.
Di samping Buku Daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris yang telah disebutkan
di atas, seorang Notaris yang baik seyogyanya mengadministrasikan dan membuat tata
kearsipan terhadap hal-hal sebagai berikut:

a. Buku Daftar Akta Harian ;


b. Map khusus yang berisikan minuta-minuta akta sebelum dijilid menjadi Buku
setiap bulannya
c. File Arsip Warkah Akta ;
d. File Arsip yang berisikan copy Surat Di Bawah Tangan Yang Disahkan ;
e. File Arsip yang berisikan copy Surat Di Bawah Tangan Yang Dibukukan ;
f. File Arsip yang berisikan copy Daftar Protes ;
g. File Arsip Copy Collatione (yaitu copy dari surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan) ;
h. File Arsip Laporan Bulanan Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD)
yang dilampiri dengan tanda terima dari MPD ;
i. File Arsip yang berisikan Laporan Wasiat kepada Direktur Perdata cq Balai
Harta Peninggalan Sub Direktorat Wasiat;
j. File Arsip yang berisikan tanda terima salinan Akta;
k. Buku Surat Masuk dan Surat Keluar Notaris ;
l. File Arsip Surat Masuk Notaris ;
m. File Arsip copy Surat Keluar Notaris ;
n. Buku Daftar tentang Badan Hukum Sosial dan Badan Usaha yang bukan badan
hukum yang dibuat di kantornya.
Setiap bulan, selambat-lambatnya tanggal 15, Notaris wajib menyampaikan secara
tertulis salinan yang telah disahkannya dari daftar Akta dan daftar lain yang dibuat pada
bulan sebelumnya kepada Majelis Pengawas Daerah (= Laporan Bulanan).
Sedangkan untuk protokol PPAT dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu
kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari
daftar akta, asli akta, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat
lainnya.
Warkah pendukung akta merupakan dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta
PPAT. Berbeda dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku
klapper yang berisikan nama, alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta,
nomor dan tanggal akta dibuat.
Daftra akta PPAT merupakan daftar akta yang dibuat oleh PPAT dengan mencantumkan
nomor urut, nomor bulanan, tanggal, sifat akta dan nama para penghadap.
Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada
penerima hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik;
– Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh
Pejabat yang berwenang;
– Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;
– Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan;
– Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan
Kegunaan dari semua proses dalam membuat suatu protokol tersebut terkait dengan tata
kearsipan yang baik akan merupakan sumber informasi dan sumber dokumentasi, serta
sumber ingatan dari PPAT dan para karyawannya dalam melaksanakan tugas.
Pendokumentasian/tata kearsipan ini merupakan bagian yang penting dari administrasi
kantor Notaris. Setiap akta yang dibuat oleh PPAT harus tertata dengan seksama, rapi
dan tidak asal-asalan, karena akta-akta tersebut termasuk dalam Protokol PPAT yang
merupakan Arsip Negara yang wajib disimpan dan dipelihara oleh PPAT dengan penuh
tanggung jawab.

9. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian
bawah salinan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai SALINAN yang sama
bunyinya"
Berdasarkan pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kewenangan
Notaris yaitu membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, memberikan
salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Salinan, Kutipan dan Grosse (selanjutnya hanya disebut salinan) akta notaris biasanya
disampul menggunakan kertas khusus yang dipersiapkan untuk itu. Tujuannya untuk
menjamin salinan akta tetap bersih, awet dan rapi. Bentuk sampul salinan akta notaris
sampai saat ini masih belum ada keseragaman. Para notaris berbeda dalam menentukan
bentuknya. Mulai dari warna latar, warna, bentuk dan ukuran tulisan, ada yang
menggunakan lambang burung garuda dan ada yang tidak, keterangan-keterangan yang
dimuat, bahkan sampul salinan akta notaris juga memuat keterangan mengenai jabatan
pejabat pembuat akta tanah beserta nomor surat keputusan pengangkatannya, padahal
antara notaris dan pejabat pembuat akta tanah merupakan jabatan yang berbeda. Hal ini
berlangsung terus menerus dan seolah-olah diwariskan dari notaris terdahulu.
Bentuk salinan akta notaris memang belum ada pengaturannya dalam peraturan
perundang-undangan, namun bukan berarti para notaris dibenarkan bersikap tak acuh
dengan keadaan tersebut, karena berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah
masyarakat. Potensi stigma disparitas finansial diantara notaris akibat penilaian
masyarakat terhadap kualitas sampul salinan akta notaris sehingga memicu polemik
diantara notaris. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, potensi stigma masyarakat
bahwa kekuatan pembuktian akta autentik dinilai dari kualitas sampul salinan akta
notaris. Hal-hal ini tidak boleh terus menerus berlangsung.
Berbeda halnya dengan sampul salinan akta notaris, untuk sampul salinan akta pejabat
pembuat akta tanah (selanjutnya disingkat PPAT) diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya hanya
dsingkat Perkaban). Dalam Perkaban di bagian lampiran masing-masing akta peralihan
hak atas tanah, dituliskan spesifikasi sampul akta yaitu :
1. Jenis kertas sampul adalah jenis kertas karton (contoh : BW/BC/TIK), 150 s/d
250 gr;
2. Ukuran kertas sampul 29,7 cm x 42 cm (A3);
3. Sampul berwarna putih;
4. Sampul depan diberikan kop PPAT dan ditulis judul masing-masing akta
peralihan hak atas tanah;
5. Penulisan judul akta dengan huruf Bookman Old Style, ukuran 28 dan warna
hitam; dan
6. Tinta yang dipergunakan berwarna hitam dan tidak mudah luntur.

Dalam sistem hukum civil law, ajaran legisme sangat dominan, dimana penerapan suatu
aturan hukum harus terlebih dahulu dibuat dalam bentuk hukum tertulis. Apabila
terdapat suatu hal yang ingin diatur, namun belum dibuat dalam bentuk hukum tertulis,
maka dalam persepektif hukum positif hal itu tidak memiliki kekuatan mengikat
sehingga tidak dapat dipaksakan. Sistem hukum dan ajaran yang dianut di Indonesia ini
rentan terjadi kekosongan hukum, karena hukum tertulis yang ada, tidak dapat
mengikuti perkembangan perbuatan dan peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat.
Sebagai solusi dari kekosongan hukum, para iuris melakukan penemuan hukum.
Terdapat beberapa doktrin mengenai penemuan hukum. Penulis menganut paham yang
membagi penemuan hukum menjadi 2 metode yaitu :
A. Penafsiran hukum;
B. Konstruksi hukum.

Penafsiran hukum terbagi menjadi 5 metode yaitu:


1) Penafsiran otentik;
2) Penafsiran gramatikal;
3) Penafsiran sosiologis/teleologis;
4) Penafsiran sistematis;
5) Penafsiran historis.

Konstruksi hukum terbagi menjadi 3 metode yaitu :


1) Analogi;
2) Penghalusan hukum;
3) Argumentum a contrario.

Untuk menjawab kekosongan hukum mengenai peraturan bentuk sampul akta notaris,
penulis akan menganalisa menggunakan metode konstruksi analogis yaitu menerapkan
suatu peraturan yang mengatur suatu perbuatan tertentu untuk diterapkan layaknya
mengatur pula suatu perbuatan lain yang sesungguhnya tidak ada peraturannya. Metode
penemuan hukum analogis ini dilarang untuk diterapkan pada ranah hukum pidana,
namun tidak dilarang pada ranah hukum lainnya. Oleh karena itu, tidak dilarang
penggunaannya untuk menjawab kekosongan hukum peraturan sampul akta notaris.

10. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari Akta
dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai
KUTIPAN".
11. Grosse Akta adalah salah satu salinan Akta untuk pengakuan utang dengan
kepala Akta "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
Grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan hutang dengan kepala
akta “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
yang mempunyai kekuatan eksekutorial (Pasal 1 ayat (11) UUJN)
Kekuatan eksekutorial artinya pelaksanaan ekskusi terhadap jaminan debitur dapt
dilaksanakan tanpa adanya putusan hakim. Yang berhak mengeluarkan grosse akta
adalah notaris yang membuatnya, notaris pengganti/pemegang prtokol notaris yang
sah. Notaris yang mengeluarkan Grosse Akta membuat catatan pada minuta akta
mengenai penerima Grosse Akta dan tanggal pengeluaran dan catatan tersebut
ditandatangani oleh Notaris.
Grosse Akta pada bagian kepala akta memuat frasa "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dan pada bagian akhir
atau penutup akta memuat frasa "diberikan sebagai grosse pertama", dengan
menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan
serta tanggal pengeluarannya.
Grosse Akta kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang
sebagaimana dimaksud berdasarkan penetapan pengadilan. (pasal 55 UUJN)
Jadi, akta perjanjian kredit tidak dapat dikeluarkan grosse-nya oleh notaris. Yang
dapat dikeluarkan grosse aktanya adalah akta pengakuan hutang.
Akta pengakuan hutang memuat pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang
tertentu dari debitur kepada kreditur. Akta pengakuan hutang berbeda dengan
perjanjian kredit. Isi dari akta pengakuan hutang adalah:
1. Isi akta pengakuan hutang adalah pengakuan hutang saja. Sedangkan,
perjanjian kredit isinya tidak hanya itu, melainkan juga hak dan kewajiban
debitur dan kreditur, bunga, janji-janji, kuasa, dan sebagainya.
2. Akta pengakuan hutang merupakan pernyataan sepihak. Sedangkan,
perjanjian kredit merupakan perjanjian antara para pihak, yaitu kreditur dan
debitur.
3. Dalam akta pengakuan hutang jumlah utang debitur berupa sejumlah uang
harus ditentukan secara tegas dan pasti. Sedangkan, dalam perjanjian kredit
jumlah utang belum jelas dan pasti, karena adanya bunga, denda, biaya-biaya
lain, dan sebagainya.
Akta pengakuan hutang murni isinya pengakuan hutang sejumlah uang dan tidak
mengandung bunga, janji-janji, dan sebagainya seperti perjanjian kredit.

12. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada
suatu Kabupaten/Kota.
13. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang
harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.

Anda mungkin juga menyukai