D 04 PDF
D 04 PDF
ISSN : 1411-4216
Abstrak
Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai
potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas.
Tanaman sorgum memiliki potensi sebagai bahan berpati dan bergula, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuat bioetanol. Untuk mengubah sorgum menjadi
bioetanol, dilakukan melalui proses fermentasi anaerob dengan menggunakan Saccharomyces
cerevisiae Laju pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi akan mengalami fase
pertumbuhan, fase statis dan fase kematian. Berdasarkan pengamatan terhadap jumlah koloni dan
pH cairan fermentasi yang telah dilakukan selama 72 jam, diperoleh hasil bahwa waktu kerja
optimal Saccharomyces cerevisiae (khamir) adalah pada jam ke-24 sampai jam ke-72. Setelah
jam ke-72 proses fermentasi telah selesai dilakukan karena khamir telah mati, sehingga apabila
proses fermentasi dilanjutkan tidak akan berjalan efektif. Pergerakan laju pertumbuhan tersebut
dipengaruhi oleh terbentuknya bioetanol hasil fermentasi yang menghambat Saccharomyces
cerevisiae. Hal ini juga dapat diindikasikan oleh tingkat keasaman larutan fermentasi yang
semakin menurun karena selama proses fermentasi terbentuk senyawa-senyawa asam.
Kata kunci : sorgum, Saccharomyces cerevisiae, laju pertumbuhan, jumlah koloni, pH,
bioetanol
1. Pendahuluan
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak
atau lainnya, melalui kegiatan biokatalis dan dikenal sebagai enzim yang dihasilkan oleh jenis mikroorganisme
spesifik (Prescott dan Dunn, 1981). Fermentasi anaerob adalah fermentasi yang tidak memerlukan oksigen,
sedangkan fermentasi aerob adalah fermentasi yang memerlukan oksigen (Wanto dan Soebagyo, 1980).
Fermentasi mempunyai pengertian aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan baku menjadi produk
yang bernilai tinggi, seperti asam – asam organik, protein sel tunggal, antibiotika, dan biopolymer (Nurhayani
dkk., 2000 ).
Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia, dan efisien penggunaannya.
Usaha selalu dilakukan untuk menemukan substrat baru yang lebih murah dan lebih baik, tetapi kadang – kadang
timbul masalah baru dalam hal cara penyimpanan, kemudahan untuk disterilisasi atau komposisi yang berbeda
(Fardias, 1988). Khamir seperti pula mikroorganisme yang lain memerlukan medium dan lingkungan yang
sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakkannya. Beberapa unsur merupakan dasar kehidupan, seperti
karbon, hidrogen, oksigen. fosfor, potassium, zat besi, dan magnesium. Unsur karbon terutama diperoleh dari
gula, sebagai sumber unsur nitrogen dapat digunakan amonia, garam amonium, peptida, nitrat, urea dan
senyawa-senyawa ini tergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir,
terutama dalam pembentukan alkohol dari gula, contohnya dalam pembentukan heksosa dan triosa fosfat
(Prescott dan Dunn, 1981).
Menurut Sastramihardja (1985), bahan baku yang dapat digunakan dalam pembuatan alkohol secara
fermentasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu bahan bergula seperti gula tebu, gula bit, tetes dan cairan
buah-buahan; bahan pati yang terdiri dari bahan-bahan seperti padi-padian dan kentang; serta bahan selulosa
seperti kayu. Salah satu bahan baku fermentasi yang masuk kategori bahan berpati adalah sorgum (Sorghum
1
Korespondensi : dna_tqim@yahoo.com, satr002@lipi.go.id
bicolor L.) dengan kadar pati 72 % (Wright, 1993). Tahapan-tahapan proses perubahan pati menjadi alkohol
adalah hidratasi pati, gelatinisasi pati, hidrolisis pati dan fermentasi. Tahap hidratasi pati dilakukan dengan
menggiling bahan baku menjadi tepung, kemudian diberi air sehingga terjadi dispersi. Tahap selanjutnya adalah
gelatinisasi pati yang ditentukan oleh tipe dari pati, hubungan antara suhu dan waktu, ukuran-ukuran partikel dan
konsentrasi bubur. Tahap ketiga adalah hidrolisis pati yang merupakan tahap konversi pati untuk menghasilkan
maltosa dan dekstrin yang tidak terfermentasi terjadi karena hidrolisis enzimatis. Reaksi ini akan mencapai
keseimbangan bila telah tercapai rasio antara maltose-dekstrin yang dikendalikan oleh komposisi kimia dari pati.
Komposisi kimia pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa sebagai polimer dari glukosa yang merupakan
rantai lurus dan secara kuantitatif dapat dihidrolisis menghasilkan maltosa, sedangkan amilopektin terhidrolosis
sebagian. Tahap terakhir adalah konversi gula menjadi alkohol dengan cara fermentasi. Gula sangat disukai oleh
hampir semua makhluk hidup sebagai sumber energi. Khamir dapat memfermentasi glukosa, mannosa dan
galaktosa dan tidak dapat memecah pentosa. Disakarida seperti sukrosa dan maltosa difermentasi dengan cepat
oleh khamir karena mempunyai enzim sukrase atau invertase dan maltase untuk mengubah maltosa menjadi
heksosa (Hidayat, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sorgum merupakan salah satu bahan baku potensial untuk produksi
bioetanol. Dalam proses perubahan pati menjadi alkohol melalui beberapa tahap dengan bantuan enzim, substrat
dan khamir (Saccharomyces cerevisiae). Peran khamir (Saccharomyces cerevisiae) sebagai pengubah gula
menjadi alkohol pada tahap akhir fermentasi sangat penting karena proses optimasi fermentasi tersebut sangat
bergantung pada peranan dan kondisi khamir tersebut selama fermentasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada proses fermentasi
pembentukan bioetanol dari biji sorgum.
asam asetat yang bersifat racun (Prescott dan Dunn, 1981). Sedangkan Frazier dan Westhoff (1978) menyatakan
bahwa suhu optimal pertumbuhan khamir pada fermentasi antara 25 - 30°C. Selama tiga hari telah dilakukan
pengamatan jumlah koloni dan pengamatan kadar pH larutan fermentasi setiap 24 jam. Hasil perhitungan jumlah
koloni Saccharomyces cerevisiae seperti pada tabel 1 dan pengamatan pertumbuhan koloninya seperti pada
gambar 1.
Keterangan :
- : tidak dilakukan perhitungan
tbud : terlalu banyak untuk dihitung
A : fermentasi selama 3 hari
B : fermentasi selama 2 hari
C : fermentasi selama 1 hari
1 : ulangan ke-1
2 : ulangan ke-2
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. Gambar Pertumbuhan Koloni Saccharomyces cerevisiae dalam Proses Fermentasi Biji Sorgum
Menjadi Bioetanol : (a) 0 jam; (b) 24 jam; (c) 48 jam; (d) 72 jam
Metode pengamatan dan perhitungan koloni pada tabel 1 dan gambar 1 tersebut dihitung dengan metode
SPC, perhitungan berdasarkan atas cawan yang memiliki koloni dengan jumlah 30-300 koloni, > 300 = TNTC
(Too Numerous To Count) atau TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung), < 30 = TFTC (Too Few To Count),
sehingga memenuhi standar yang digunakan. Kecepatan pertumbuhan sel pada jam ke-0 sampai ke-24 lebih
rendah dari jam-jam berikutnya. Hal ini disebabkan karena mikroba masih dalam fase adaptasi (fase lag) dimana
sel masih beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Pada fase ini mikroba merombak substrat menjadi nutrisi
untuk pertumbuhannya. Pada jam berikutnya yaitu memasuki jam ke-24 sampi jam ke-48 terlihat adanya
percepatan pertambahan sel mikroba. Hal ini menandakan bahwa telah memasuki fase pertumbuhan
eksponensial (fase log). Kavanagh (2005) menyebutkan bahwa pada fase ini Saccharomyces cerevisiae
bereproduksi dengan membentuk tunas. Setelah jam ke-48, sel khamir memasuki fase kematian yaitu ditandai
dengan jumlahnya yang mulai menurun, hal ini karena metabolit primer (bioetanol) yang dihasilkan bersifat
racun bagi khamir.
(a) (b)
Secara grafik hasil pengamatan pertumbuhan khamir tersebut dapat digambarkan seperti pada gambar 2
(a). Berdasarkan hasil pengamatan pada gambar 2 (a) jika dibandingkan dengan pendapat Fardias (1988) pada
gambar 2 (b), terdapat perbedaan pada adanya fase stationer. Dalam gambar 2 (a), fase stationer kurang terlihat
karena pengamatan yang dilakukan pada periode waktu yang terlalu lama (per 24 jam) sehingga fase stationer
kurang terlihat. Akan tetapi fase stationer tersebut dapat diperkirakan ada pada waktu sebelum dan sesudah 48
jam, karena pada fase waktu 24-48 jam khamir mengalami fase eksponensial sedangkan pada fase waktu 48-72
jam khamir mengalami fase kematian. Sehingga, berdasarkan estimasi tersebut, hasil pengamatan dapat
dikatakan serupa dengan hasil pada gambar 2 (b). Selain itu berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui
bahwa waktu kerja optimal khamir adalah pada jam ke-24 sampai jam ke-72. Setelah jam ke-72 dapat
disimpulkan bahwa proses fermentasi telah selesai dilakukan karena khamir telah mati, sehingga apabila proses
fermentasi dilanjutkan tidak akan berjalan efektif.
Tabel 2. Hasil Pengamatan pH larutan dalam Proses Fermentasi Biji Sorgum Menjadi Bioetanol
Sampel pH
0 24 48 72
A1 5 5.5 - -
A2 5.5 5 - -
B1 5.5 - 4 -
B2 5.5 - 4 -
C1 5.5 - - 4
C2 5 - - 3.5
Selain dilakukan pengamatan koloni, juga dilakukan pengamatan pH dengan hasil pengamatan seperti
pada tabel 2. Berdasarkan tabel 2, nilai pH selama proses fermentasi 72 jam semakin menurun. Hal ini terlihat
pada waktu ke 72 jam dimana nilai pH mencapai 3,5 (asam). Selama berlangsungnya proses fermentasi, pH
media cenderung mengalami perubahan, Perubahan pH disebabkan oleh adanya asam-asam organik seperti asam
laktat, asetat dan piruvat yang terbentuk selama proses fermentasi (Said, 1987). Menurut Reed dan Peppler
(1973), asam-asam yang terbentuk seperti asam asetat, asam piruvat, dan asam laktat dapat menurunkan pH,
sedangkan asam-asam lainnya seperti asam butirat dan asam lemak lainnya hanya sedikit berpengaruh dalam
penurunan pH cairan. Kecenderungan media fermentasi semakin asam disebabkan amonia yang digunakan sel
khamir sebagai sumber nitrogen diubah menjadi NH4 +. Molekul NH4+ akan menggabungkan diri ke dalam sel
sebagai R-NH3. Dalam proses ini H+ ditinggalkan dalam media, sehingga semakin lama waktu fermentasi
semakin rendah pH media (Judoamidjojo dkk., 1989). Derajat keasaman akan mempengaruhi kecepatan
fermentasi, pH yang optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4-4,5 (Budiyanto, 2003).
Berdasarkan hasil pengamatan pH tersebut, dapat pula diketahui bahwa setelah 72 jam fermentasi mulai
berjalan kurang efektif yang disebabkan oleh tingkat keasaman larutan fermentasi yang semakin menurun.
Prescott dan Dunn (1981) menyatakan, pH pertumbuhan khamir yang baik antara 3,0 - 6,0. Perubahan pH dapat
mempengaruhi pembentukan hasil samping. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan khamir juga tergantung pada
konsentrasi gula. Frazier dan Westhoff (1978), menyatakan bahwa pH akan mempengaruhi kecepatan
fermentasi, pH optimal untuk pertumbuhan khamir adalah 4,0 - 4,5. Oleh karena itu, indikator pH/tingkat
keasaman dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu optimal dan berakhirnya proses fermentasi bioetanol
dengan bahan baku biji sorgum.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa waktu kerja optimal Saccharomyces cerevisiae
(khamir) adalah pada jam ke-24 sampai jam ke-72. Setelah jam ke-72 proses fermentasi telah selesai dilakukan
karena khamir telah mati, sehingga apabila proses fermentasi dilanjutkan tidak akan berjalan efektif. Hal ini juga
dapat diindikasikan oleh tingkat keasaman larutan fermentasi yang semakin menurun karena selama proses
fermentasi terbentuk senyawa-senyawa asam.
Daftar Pustaka
Budiyanto, M. A. K. 2003. Mikrobiologi Terapan. Malang: UMM Press.
Fardias, Srikandi, 1988, Fisiologi Fermentasi, Lembaga Sumber Daya Informasi-IPB, Bogor.
Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata Mc Graw - Hill Book Pub!. Co. Ltd., New
Delhi.
Hidayat, N., 2007. Mikrobiologi Industri. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
Judoamidjojo, R.M., E.G. Sa’id, dan L.Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Dirjen Dikti, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Kavanagh, Kevin, 2005, Fungi Biology and Applications, John Willey & Sons Ltd, England.
Nurhayani H.Muhiddin, Nuryati J dan I Nyoman P Aryantha, 2000., Kapang dan perubahan gula menjadi
alkohol oleh kerja khamir. Rajawali- Press, Jakarta.
Prescott, S. C. dan C. G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. Mc Graw - Hill Book Co. Ltd., New York.
Reed, G. dan H. J. Peppler. 1973. Yeast Technology. AVI Publishing Company Inc .WestpOlt, Connecticut.
Said, E. G. 1987. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Mediyata111a Sarana Perkasa, Jakarta.
Sastramihardja, U., 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum. ITB-Press, Bandung.
Wanto, E. P. dan A. Soebagyo. 1980. Dasar-dasar Mikrobiologi Industri. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Jakarta.
Wright, A.F. 1993. Animal Feeds: Combining the Best of Both Worlds. World Agriculture. Sterling Pub. Group
PLC, Hongkong.