Anda di halaman 1dari 21

1

WAWASAN PENDIDIKAN
Filsavat Positivisme, Progrisvisme, Humanistik, Pancasila dalam pendidikan

Oleh Kelompok 1 :
Arif Suryanto (1815051042)
Gede Budi Setiawan (1815051083)
Gede Kesuma Yudha (1815051045)
M. Rizal Adrian Awi (1815051046)
Ni Komang Megawati (1815051006)

PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKUTAS TEKNIK DAN KEJURUAN
UNVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2018

1
2

KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahma dan
hidayahnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang kami buat diharapkan dapat
menjadi panduan dalam mempelajari Wawasan Pendidikan Dalam proses pembuatan makalah
ini kamipun sangat berterimakasih atas bantuan dari semua pihak yang telah membantu dan
membimbing kami dalam pembuatan makalah ini, dan tidak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada :
dan Teman-teman sejawan yang telah membantu kami untuk menyelesaikan Makalah tentang
pancasila sebagai sumber dari segala sumber hokum dalam mempelajari mata kuliah
Pendidikan Pancasila.
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. sehingga kami
mengharapkan saran dan keritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
semoga makalah ini dapat bermafaat bagi pembaca khususnya dalam mempelajari Wawasan
pendidikan

Singaraja 31, Maret 2019

( Penulis)

2
3

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iii
BAB I PPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Positivisme.....................................................................................................................5
2.2 Progrisvisme..................................................................................................................7
2.3 Humanistik...................................................................................................................12
2.4 Pancasila......................................................................................................................14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................20
3.2 Saran............................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA

3
4

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari filsavat Positivisme dalam pendidikan
2. Apa pengertian dari filsavat Progrisvisme dalam pendidikan
3. Apa pengertian dari filsavat Humanistik dalam pendidikan
4. Apa pengertian dari filsavat Pancasila dalam pendidikan

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah tentang filsafat pendidikan, yakni mahasiswa dapat
menjelaskan beberapa diantaranya, yaitu untuk mengetahui filsafat Apa itu Positivisme,
Progrisvisme, Humanistik, Pancasila dalam pendidikan

4
5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Positivisme

Pengertian Filsafat Positivisme


Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan
positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan.
Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang
pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa
pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang
maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik
dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia
tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah
mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Ajaran positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern.
Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain
bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi
diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga
pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting dari aliran
positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert
Spencer (1820-1903).
Dalam perkembangannya aliran ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana
statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah
urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode
positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Filsafat positivisme terhadap pendidikan Indonesia
Bila dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu
membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak
hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual.
Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir,
berolah raga, dan berolah rasa.
Filsafat Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini mengarah kepada hal yang baik, baik
dari segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi
pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan
itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan

5
6

mewujudkan generasi kreativ yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar
menjadi lebih baik dan berdaya saing.
Pengertian Filsafat Post Positivsme
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya
dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab
Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak
mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu
berubah.
Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme
yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang
ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu
realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis
pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode
triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat
dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya
bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil
observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul
mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara
mendalam.
Asumsi Dasar Post-Positivsme
1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-
bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase
objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan
dan senantiasa berubah.
5. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7. Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai
ekspresi dari sebuah keputusan.
Filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia
Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme adalah suatu pergerakan ide yang
menggantikan ide-ide positivime. Post positivisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan
kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang
pendidikan. Filsafat Pospositivisme mengarahkan agar pendidikan tidak hanya dari kejadian

6
7

atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris atau dapat dilihat melainkan menggabungkan
antara yang dilihat dan dirasakan. Contoh: pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan
baik dan memberikan dampak yang positip, dilihat bukan hanya dari materi dalam
pembelajaran melainkan ada juga dari perilaku dari guru, keluarga, dan lingkungan serta emosi
anak.
2.2 Progrisvisme
Pengertian Progresivisme
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya bergerak
maju. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata progresif diartikan
sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang; dan bertingkat-tingkat naik.
Dengan demikian, secara singkat progresif dapat dimaknai sebagai suatu gerakan perubahan
menuju perbaikan. Sering pula istilah progresivisme dikaitkan dengan kata
progres, yaitu kemajuan. Artinya progesivisme merupakan salah satu aliran yang menghendaki
suatu kemajuan, yang mana kemajuan ini akan membawa sebuah perubahan. Pendapat lain
menyebutkan bahwa progresivisme sebuah aliran yang mengingikan kemajuan-kemajuan
secara cepat Menurut Gutek (1974:138) progresivisme modern menekankan pada konsep
‘progress’; yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan
dan menyempurnakan
lingkungannya dengan menerapkan kecerdasan yang dimilikinya dan metode ilmiah untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul baik dalam kehidupan personal manusia itu sendiri
maupun kehidupan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan akan dapat berhasil manakala mampu
melibatkan secara aktif peserta didik dalam
pembelajaran, sehingga mereka mendapatkan banyak pengalaman untuk bekal
kehidupannya. Senadadengan itu, Muhmidayeli menjelaskan bahwa progresivisme
merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya
pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi beragam
aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara menyeluruh,
sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah, seperti
penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan,
dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk
pemecahan masalah yang tengah dihadapi.

Progresivisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan modern.


Menurut John S. Brubacher sebagaimana dikutip Jalaludin dan Abdullah Idi (2012:82) aliran
progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William
James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952) yang menitik beratkan pada segi manfaat
bagi hidup praktis. Artinya, kedua aliran ini

sama-sama menekankan pada pemaksimalan potensi manusia dalam upaya menghadapi


berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Di samping itu, kesamaan ini di dasarkan pada
keyakinan pragmatisme bahwa akal manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak
pasif dan tidak begitu saja menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannnya
secara empiris (Uyoh Sahdullah, 2003:120).

7
8

Berkaitan dengan pengertian tersebut, progresivisme selalu dihubungkan dengan istilah


the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan
bersikap terbuka, sering ingin mengetahui dan menyelidiki demi pengembangan pengelaman
(Djumransjah, 2006:176). Maksudnya aliran progresivisme sangat menghargai kemampuan-
kemampuan seseorang dalam upaya pemecahan masalah melalui pengamalaman yang dimiliki
oleh masing-masing individu.
Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme sering pula dinamakan sebagai
instrumentalisme, eksperimentalisme, dan environmentalisme (Jalaluddin dan Abdullah Idi,
2012:78). Dinamakan instrumentalisme, karena aliran progresivisme beranggapan bahwa
kemampuan inteligensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, dan untuk
mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini
menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori.
Kemudian, dinamakan environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
mempengaruhi pembinaan kepribadian. Selain itu, ada pula yang menyebutnya sebagai aliran
naturalisme, yaitu sebuah pandangan yang menyatakan bahwa kenyataan yang sebenarnya
adalam alam semesta ini, buka kenyataan spiritual dan superanatural (Djumransjah, 2006:176).
Sejarah Progresivisme
Awal mula lahirnya aliran progresivisme ialah dilatar belakangi ketidak puasan
terhadap pelaksanaan pendidikan yang sangat tradisional, cenderung otoriter dan peserta didik
hanya dijadikan sebagai objek pembelajaran. Menurut Gutek (1974:139) Aliran ini berakar dari
semangat pembaharuan sosial pada awal abad ke 20 yakni gerakan pembaharuan politik
Amerika. Adapun aliran progresif pendidikan Amerika mengacu pada pembaharuan
pendidikan di Eropa barat.
Pendapat lain menyebutkan bahwa aliran progresivisme secara historis telah muncul pada
abad ke-19, namun perkembangannya secara pesat baru terlihat pada awal abad ke-20,
khususnya di negara Amerika Serikat (Muhmidayeli). Kedua pendapat tersebut meskipun
sedikit berbeda pandangan, namun dapat ditarik benang merahnya yaitu perkembangan
aliran progresivisme ini secara pesat terjadi pada abad ke-20.
Menurut sejarah munculnya aliran progresivisme ini sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh
filsafat pragmatisme sebagaima telah disebutkan di atas, seperti Charles S. Peirce, William
James dan John Dewey, serta aliran ekspereimentalisme Francis Bacom. Selain itu, adalah
John Locke yang merupakan tokoh filsafat kebebasan politik dan J.J. Rousseu dengan
ajarannya tentang kebaikan manusia telah

dibawa sejak lahir (Muhmidayeli, 2011:152).

Adapun pemikiran-pemikiran yang berpengaruh terhadap perkembangan aliran progresivisme


adalah pemikiran Johan Heinrich Pestalozzi, Sigmund Freud, dan John Dewey (Gutek,
1974:139). Pemikiran ketiga tokoh tersebut merupakan inspirasi bagi aliran progresivisme.
Johann Heinrich Pestalozzi, seorang pembaharu pendidikan Swiss pada abad 19, menyatakan
bahwa pendidikan seharusnya lebih dari pembelajaran buku, dimana merangkul kesuluruhan
bagian pada anak-emosi, kecerdasan, dan tubuh anak. Pendidikan lama, menurut Pestalozzi,
seharusnya dilakukan di sebuah lingkungan yang terikat secara emosional dengan anak dan

8
9

memberi keamanan pada anak. Pendidikan tersebut seharusnya juga dimulai di lingkungan
anak sejak dini dan melibatkan indera anak pada benda-benda di sekililingnya.
Pengaruh pemikiran Sigmund Freud terhadap pendidik progresif ialah melalui kajian kasus
Histeria (gangguan pada syaraf), Freud mengusut pada asal usul penyakit mental ini dari masa
kanak-kanak. Orang tua yang otoriter dan lingkungan tempat tinggal anak sangat memengaruhi
kasus tersebut. Kekerasan/penindasan, khususnya pada masalah seksual dapat menjadi
penyebab penyakit syaraf yang dapat menganggu perkembangan anak bahkan sampai mereka
dewassa.
Adapun pengaruh pemikiran John Dewey dan para pengikutnya ialah didasarkan pada
penjelasannya yang menyatakan bahwa pendidikan progresif merupakan sebuah gerakan yang
tepat sebagai perkumpulan para penentang paham tradisionalisme. Kebanyakan dari mereka
terinspirasi pada paham naturalis Eropa seperti Rousseau dan Pestalozzi, dari teori
psikoanalisis Freudian dan neo-Freudian,serta penganut aliran sosial politik Amerika dan juga
paham John Dewey instrumentalisme pragmatik.

Implementasi aliran progresivisme dalam pendidikan di indonesia


Makna Pendidikan Progresivisme
Dalam pandangan progresivisme pendidikan merupakan suatu sarana atau alat yang
dipersiapkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik supaya tetap survive terhadap
semua tantangan kehidupannya yang secra praktis akan senantiasa mengalami kemajuan
(Muhmidayeli, 2011:156). Selain itu, proses pendidikan dilaksanakan berdasarkan pada asas
pragmatis. Artinya, pendidikan harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi peserta didik,
terutama dalam menghadapi persoalan yang ada di lingkungan masyarakat.
pendidikan progresif menekankan pada beberapa hal;
1. pendidikan progresif hendaknya memberikan kebebasan yang mendorong anak untuk
berkembang dan tumbuh secara alami melalui kegiatan yang dapat menanamkan
inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi diri anak
2. segala jenis pengajaran hendaknya mengacu pada minat anak, yang dirangsang melalui
kontak dengan dunia nyata
3. pengajar progresif berperan sebagai pembimbing anak yang diarahkan sebagai
pengendali kegiatan penelitian bukan sekedar melatih ataupun memberikan banyak
tugas
4. prestasi peserta didik diukur dari segi mental, fisik, moral dan juga perkembangan
sosialnya
5. dalam memenuhi kebutuhan anak dalam fase perkembangan dan pertumbuhannya
mutlak diperlukan kerjasama antara guru, sekolah, rumah, dan keluarga anak tersebut
6. sekolah progresif yang sesungguhnya
berperan sebagai laboratorium ynag berisi gagasan pendidikan inovatif dan latihan-
latihan.Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis dan
sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-
daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang
9
10

berpangaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme. Dari segi
sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus
dibimbingnya. Di samping itu, progresivisme memandang pendidikan sebagai suatu proses
perkembangan, sehingga seorang pendidik harus selalu siap untuk memodifikasi berbagai
metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai
perubahan-perubahan yang menjadi kencenderungan dalam suatu masyarakat (Muhmidayeli,
2012:156). Dalam konteks ini, pendidikan harus lebih dipusatkan pada peserta didik,
dibandingkan berpusat pada pendidik maupun bahan ajar. Karena peserta didik merupakan
subjek belajar yang dituntut untuk mampu menghadapi berbagai persoalan kehidupan di masa
mendatang. Oleh karena itu, menurut Ahmad Ma’ruf (2012) ada beberapa prinsip pendidikan
yang ditekankan dalam aliran progresivisme, di antaranya:
a. Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak.
b. Subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
c. Peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing atau pengarah.
d. Sekolah harus kooperatif dan demokratis.
e. Aktifitas lebih fokus pada pemecahan masalah, buka untuk pengajaraan materi kajian.
f. Bila dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia saat ini, maka progresivisme memiliki
andil yang cukup besar, terutama dalam pemahaman dan pelaksanaan pendidikan yang
sesungguhnya. Di mana
pendidikan sudah seharusnya diselenggarakan dengan memperhatikan berbagai kemampuan
yang dimiliki oleh peserta didik, serta berupaya untuk
mempersiapkan peserta didik supaya mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadi di lingkungan sosialnya.
Hal tersebut senada dengan pengertian pendidikan di Indonesia, yakni usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pengertian ini, pendidikan tidak hanya
dimaknai sebagai transfer pengetahuan. Pendidikan berarti proses pengembangan berbagai
macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional, bakat-
bakat, talenta, kemampuan fisik dan daya-daya seni. Dengan demikian dapat
dipahami,bahwa aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan di Indonesia. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh
rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Tujuan Pendidikan Progresivisme Berkaitan dengan tujuan pendidikan, maka aliran
progresivisme lebih menekankan pada memberikan pengalaman empiris kepada peserta didik,
sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat (Muhmidayeli, 2012:156).
Maksudnya pendidikan dimaksudkan untuk memberikan banyak pengalaman kepada peserta
didik dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi di lingkungan sehari-hari. Dalam hal ini,
pengalaman yang dipelajari harus bersifat riil atau sesuai dengan kehidupan nyata. Oleh

10
11

karenanya, seorang pendidik harus dapat melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan
problem-problem yang ada dalam kehidupan.
Sejalan dengan itu, tujuan pendidikan progresivisme harus mampu memberikan keterampilan
dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda dalam
proses perubahan secara terus menerus.Yang dimakssud dengan alat-alat adalah keterampilan
pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan,
menganalisis, dan memecahkan masalah.Pendidikan bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan
sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berada dalam proses perubahan.
Menurut Barnadib, sebagaimana dikutip Jalaluddin dan Abdullah Idi (2011:89) progresivisme
menghendaki pendidikan yang progres. Dalam hal ini, tujuan pendidikan hendaklah diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus. Pendidikan bukan hanya menyampaikan
pengetahuan kepada anak didik, melainkan yang terpenting melatih kemampuan berpikir
secara ilmiah.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, maka tujuan pendidikan menurut progresivisme ini
sangat senada dengan tujuan pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Menurut Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis sertabertanggungjawab. Jadi
berdasarkan pengertian ini, maka aliran progresivisme sangat sejalan dengan tujuan pendidikan
yang ada di Indonesia.

Peran Guru dalam Pandangan Progresivisme


Dalam pandangan progresivisme terdapat perbedaan antara peran guru dan siswa dalam
kegiatan pembelajaran. Karena prinsip pembelajaran progresivis memenghendaki
pembelajaran yang dipusatkan pada siswa. Adapun peran guru menurut aliran progresivisme
ialah berperan sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengarah bagi siswa. Menurut Gutek
(1974:146) pendidikan progresif mencari guru yang memang berbeda dari guru di pendidikan
tradisional dalam hal watak, pelatihan, dan teknik pengajarannya. Karena kelas/pendidikan
progresif berorientasi pada kegiatan yang bertujuan, pendidik progresif sangat perlu
mengetahui bagaimana cara mendorong untuk dapat berpendapat, berencana, dan
menyelesaikan proyek mereka. Selain itu, guru juga perlu mengetahui bagaimana tahapan kerja
kelompok karena pola dasar pengajaran progresif berpusat pada partisipasi kelompok. Aliran
progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas guru sebagai pembimbing aktivitas anak
didik/siswa dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai
Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan
hak-hak alamiah anak didik/siswa secara keseluruhan.

11
12

2.3 Humanistik
Pengertian Pendidikan Humanistik
Wacana tentang kemanusiaan dari waktu ke waktu tidak pernah alpha mengikuti
zamannya dan selalu saja menjadi sajian penting dalam sebuah pembahasan. Apalagi jika
pembahsasan itu dikaitkan dengan pendidikan, maka humanisme menjadi wacana tak pernah
terlewatkan. Betapa tidak, sebab jika membahas perihal masalah pendidikan pada hakikatnya
adalah membicarakan tentang diri kita sendiri sebagai manusia. Yaitu tentang manusia baik
sebagai objek maupun subjek pendidikan.
Keterkaitan antara pendidikan dengan kemanusiaan itu tercover dalam sebuah tipologi
pendidikan yang disebut-sebut dengan pendidikan humanistik, Disebut demikian sebab
pendidikan yang demikian itu menaruh sebuah harapan dapat membina manusia baik sebagai
subjek maupun objek pendidikan menjadi makhluk pendidikan yang potensial. Pendidikan
humanistik sebagai model pendidikan yang menghargai nilai kemanusiaan berusaha
menempatkan posisi manusia dengan baik sebagai makhluk multidimensional yang dibekali
sejuta potensi, potensi itu sangat mungkin untuk bisa dikembangkan lebih jauh.
Pendidikan humanistik sebagai model pendidikan yang menghargai nilai kemanusiaan
berusaha menempatkan posisi manusia dengan baik sebagai makhluk multidimensional yang
dibekali sejuta potensi, potensi itu sangat mungkin untuk bisa dikembangkan lebih jauh.
Gagasan tentang pendidikan humanistik mengambil dari sebuah faham filsafat, yaitu
humanisme. Secara etimologis humanisme berasal dari bahasa Latin “Humanitas” yang artinya
pendidikan manusia. Istilah ini kemudian mengalami berbagai bentuk turunan. Pertama, kata
humanismus yang digunakan untuk menunjuk sebuah proses pembelajaran yang menekankan
pada studi karya-karya klasik berbahasa Latin dan Yunani di sekolah menengah. Kedua,
humanista yang digunakan untuk menunjuk para profesor humanisme Italia. Ketiga,
humanisties yang digunakan untuk menunjuk pendidikan liberal art yang menggunakan karya-
karya penulis Romawi klasik. Sedangkan Secara terminologis, humanisme adalah aliran
filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan
kesempurnaan manusia. Sebagaimana Edword menyebutkan definisi tentang humanisme yaitu
“Humanism is a devotion to the humanities or literary culture”, Humanisme dapat diartikan
sebagai kesetiaan kepada manusia atau kebudayaan.
Persoalan dalam humanisme adalah mengenai apa itu manusia dan bagaimana kita
menempatkan manusia di tengah alam semesta. Humanisme memandang bahwa manusia
adalah makhluk yang paling mulia. Dengan segala kemampuan akal budinya, manusia sadar
akan eksistensinya di dunia dan mampu mencari kebenaran-kebenaran hidup demi
kelangsungan
kehidupannya. Paham ini menunjuk pada proyek membangun kehidupan manusia dan
masyarakat menurut tatanan dan aturan akal budi.

12
13

Orientasi Pendidikan Humanistik


Wawasan humanisme dalam pendidikan mengusung prinsip pemberdayaan tiap
manusia sebagai individu yang bebas untuk mengembangkan potensinya. Itu artinya
pendidikan diadakan untuk mengelola dan mengembangkan diri manusia agar menjadi
manusia yang utuh sesuai kodrat fitrah yang dimilikinya, setidaknya ada dua karakter utama
orientasi pendidikan yang berkembang sejak abad pertengahan hingga kini.
Pertama, orientasi mencari kebenaran. Pendidikan dilakukan untuk mencari kebenaran sejati.
ini merupakan orientasi pendidikan skolastik. Kedua, Orientasi pengabdian masyarakat,
pendidikan diposisikan sebagai upaya penyejahteraan masyarakat. Pengabdian masyarakat
juga bisa berarti pendidikan dilakukan hanya untuk kepentingan manusia, inilah akar visi
humanisme yang tersirat dalam paradigma pendidikan ini. Pendidikan yang memang
dibutuhkan agar manusia menjadi cakap dan mandiri untuk mengatasi masalah-masalah baik
masalah pribadi maupun sosial.
Pendidikan humanis ini berupaya membentuk keselarasan jiwa dan badan untuk
mencapai keutamaan. Kesempurnaan jiwa dan badan akan terbentuk dengan memperlihatkan
dua aspek penting, Intelektualitas dan Spiritualitas. Dengan kata lain seluruh upaya pendidikan
diarahkan pada pengembangan kepribadian yang mencakup olah pikir, olah karsa dan olah
cipta, demikian adalah pola pengembangan individual manusia. Namun demikian tidak
melupakan peran manusia sebagai bagian integral masyarakat, seorang individu akan selalu
terikat dengan hubungan interpersonal dengan individu lainnya, untuk itulah pendidikan
humanistik tidak bisa mengesampingkan dimensi sosial manusia. Bagaimanapun manusia
sebagai makhluk sosial akan selalu berhadapan, berurusan dan saling membutuhkan dengan
manusia lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung pertemuan itu akan senantiasa
menjumpai masalah karena manusia sebagai makhluk sosial mestilah membutuhkan bantuan
dari manusia lainnya.
Humanisme sebagai Paradigma Pendidikan Humanistik
Mengartikan pendidikan humanistik, atau pendidikan berwawasan kemanusiaan tidak bisa
hanya disebutkan dalam satu definisi, sebab dalam konteks pendidikan humanis itu sendiri
dapat melahirkan beberapa kemungkinan karena dalam konsepnya memang ada beberapa
tipologi humanisme, seperti tipologi humanisme rasional, humanisme relijius, humanisme
literer dll. akan tetapi setiap wacana humanisme manapun akan selalu berkaitan dengan awal
mula muncul tema kemanusiaan itu sendiri :

a. Humanisme Rasional/ Sekuler


Humanisme sekuler didefinisikan sebagai cabang humanisme yang menolak keyakinan
agama theistik dan keyakinan pada keberadaan supra natural. Humanisme sekuler memiliki
kepedulian utama pada pemenuhan diri, perkembangan individu dan umat manusia dan
kreatvitas. Prinsip humanisme sekuler adalah tidak menerima begitu saja dogma dan ideologi
serta tradisi yang sudah ada, tapi ditimbang dulu baik dan buruknya, humanisme sekuler
berkomitmen untuk mencari jawaban pertanyaan sebagai kebenaran objektif dan solusi
masalah kemanusiaan bukan lewat mistik dan keyakinan, tapi melalui nalar ritis dan ilmiah.

13
14

Salah seorang filsuf ternama yang dikenal sebagai bapak rasionalisme adalah Rede Descartes
(1596-1650) dalam kajian filsafat dikenal sebagai pendiri filsafat modern. Ia adalah filsafat
pertama yang menolak tradisi skolastik dan tidak menerima fondasi para pendahulunya. Hal
ini dilakukan berdasarkan pada sebuah keinginan untuk membangun sebuah filsafat yang
benar-benar baru.
Dalam berfilsafat Descartes menggunakan metode skeptisisme dengan meragukan apapun
yang mengitarinya dan apa saja yang dapat diragukan. Ia meragukan segala ilmu dan hasilnya
seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya dan bahkan adanya Tuhan. Namun keraguan
Descartes adalah keraguan metodis yang dipakai sebagai alat menguji penalaran dan pemikiran
untuk mendapatkan kepastian. Dengan keraguannya itu ia gunakan untuk menemukan
kebenaran hingga ia sendiri benar-benar yakin pada apa yang ditemukannya sendiri. Ia
mengatakan “andaikata kita membaca setiap kata dari kata-kata Aristoteles dan Plato tanpa
kepastian pendapat kita sendiri, maka kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat;
pengertian historis kita mungkin bertambah, namun pemahaman kita tidak.”
b. Humanisme Religius
Kepastian akal dalam membuktikan sebuah kebenaran mungkin terbatas, sebab dalam
praktiknya masih banyak hal diluar jangkaun logis yang ternyata dapat dibenarkan
kebenarannya, mungkin benar oleh Hume kebenaran sebuah eksistensi dipastikan dengan
kausalitas, namun diluar kausalitas ada juga hal yang dapat dibuktikan kebenarannya, seperti
halnya agama. Menurut Hume, tiada bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Allah
itu ada, dan bahwa ia menyelenggarakan dunia, juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat
mati. Namun kenyataannya agama masih saja dianut dan dipercaya kebenarannya.
Dalam praktiknya setiap pemeluk agama mengikut kepercayaan yang menjadikan dia dapat
menganggap pasti apa yang oleh akalnya tidak dapat dibuktikan. Banyak sekali keyakinan
keagamaan yang merupakan hasil khayalan dan tidak ada gunanya bagi hidup. Agama bukan
disebabkan penyelewengan wahyu yang asali, yaitu monoteisme, bukan pula penyelewengan
dari monoteisme ke politeisme. Agama juga bukan disebabkan karena orang memandang
kepada alam semesta serta menyelidiki sebab-sebabnya. Akan tetapi agama berasal dari
pengharapan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya.

2.4 Pancasila
Pengertian Filsafat Pancasila
Filsafat berasal dari kata Philosophy yang secara epistimologis berasal dari philos atau
phileinyang artinya cintadan shopia yang berarti hikmat atau kebijaksanaan. Secara
epistimologis bermakna cinta kepada hikmat atau kebijaksanaan (wisdom) (Sutrisno, 2006:16).
Pancasila juga merupakan sebuah filsafat karena pancasila merupakan acuan intelektual
kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha usaha keilmuan dapat terbangun ke dalam
sistem filsafat yang kredibel.

14
15

Menurut Abdulgani (Ruyadi, 2003:16), Pancasila merupakan filsafat negara yang lahir sebagai
collective ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
hasil perenungan jiwa yang dalam, yang kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang
tepat. Sedangkan Notonagoro (Ruyadi, 2003:16) menyatakan, Filsafat Pancasila memberi
pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakekat dari Pancasila. Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat, memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis
tersendiri, yang membedakannya dengan sistem filsafat lain. Secara ontologis, kajian Pancasila
sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila-sila
Pancasila. Notonagoro (Ganeswara, 2007:7) menyatakan bahwa hakekat dasar ontologis
Pancasila adalah manusia, sebab manusia merupakan subjek hukum pokok dari Pancasila.
Selanjutnya hakekat manusia itu adalah semua kompleksitas makhluk hidup baik sebagai
makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial.
Secara lebih lanjut hal ini bisa dijelaskan, bahwa yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang
berkeadilan sosial adalah manusia. Kajian epistemologis filsafat Pancasila, dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencari hakekat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Menurut
Titus (Kaelan, 2007:15) terdapat tiga persoalan mendasar dalam epistemologi yaitu :
(1) tentang sumber pengetahuan manusia;
(2) tentang teori kebenaran pengetahuan manusia ;dan
(3) tentang watak pengetahuan manusia.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana diketahui bahwa Pancasila digali dari
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri serta dirumuskan secara bersama-sama oleh “The
Founding Fathers” kita. Jadi bangsa Indonesia merupakan Kausa Materialis-nya Pancasila.
Selanjutnya, Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat
formal logis, baik dalam arti susunan sila-silanya maupun isi arti dari sila-silanya. Susunan
sila-sila Pancasila bersifat hierarkhis piramidal. Selanjutnya, sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologinya yaitu nilai- nilai yang
terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan.

Peran Filsafat Pancasila terhadap Pendidikan di Indonesia


Pendidikan dilakukan oleh manusia melalui kegiatan pembelajaran. Dalam praktik
pendidikan yang universal banyak ditemukan beragam komunitas dari manusia yang
memberikan makna yang beragam dari pendidikan. Di Indonesia pendidikan di tekankan
pada penguasaan landasan terbentuknya masyarakat meritorik, artinya memberikan waktu
jam pelajaran yang luas dalam penguasaan mata pelajaran tertentu.
Pendidikan berdasarkan terminologi merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi. Istilah ini
berasal dari bahasa Yunani yaitu Paidos dan agoo. Paidos artinya budak dan agoo artinya
membimbing. Pedagogie dapat diartikan sebagai bdak yang mengantarkan anak majikan
untuk belajar. (Jumali, dkk, 2004: 19)menjelaskan bahwa hakikat pendidikan adalah kegiatan
yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan

15
16

memproses peserta didik menjadi lebih lebih bertambah pengetahuan, skill, dan nilai
kepribadiannya dalam suatu keteraturan kalender akademik.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada
Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui
penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan jenis pendidikan. Ada dua
pandanagan yang menurut (Jumali, dkk , 2004:54), perlu dipertimbangkan dalam menetukan
landasan filosofis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, pandangan tentang manusia
Indonesia. Filosofis pendidikan nasional memandang bahwa manusia Indonesia sebagai:
a. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya
b. Makhluk individu dengan segalahal dan kewajibannya
c. Makhluk sosial dengan segala tanggung jawab hidup dalam masyarakat yang
pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi
kemajuan Negara

Kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang


dengan segala tantangannya.
Kedua, Pandangantentang pendidikan nasional itu sendiri. Dalam pandangan filosofis
pendidikan nasional dipandang sebagai pranata sosila yang selalu berinteraksi dengan
kelembagaan sosial lainnya dalam masyarakat.
Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan
(emosional) menuju ke arah tabiat manusia, maka filsafat juga diartikan sebagai teori umum
pendidikan. Brubachen berpendapat bahwa filsafat pendidikan adalah seperti menaruh sebuah
kereta di depan seekor kuda dan filsafat dipandang sebagai bunga, bukan sebagai akar tunggal
pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan
karena memiliki kaitan dengan filsafat umum, meskipun kaitan tersebut tidak penting, yang
terjadi adalah suatu keterpaduan antara pandangan filosofi dengan filsafat pendidikan, karena
filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan secara umum ( Arifin, 1993 ).
Pendidikan merupakan usaha sadar yang sengaja dan terencana untuk membantu
perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfat bagi kepentingan hidupnya
sebagai individu dan sebagai warga masyarakat. Pendidikan dipandang mempunyai peranan
yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak. Dalam sejarah
pendidikan dapat dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai perkembangan manusia
dan hasil pendidikan, seperti :
1. Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada
pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidpnya. Pengalaman itu diperolehnya
di luar dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya, John Locke berpendapat
bahwa anak yang dilahirkan di dunia ini bagaikan kertas kosong atau sebagai meja
berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan diatasnya.
2. Nativisme, teori yang dianut oleh Schopenhauer yang berpendapat bahwa bayi lahir
dengan pembawan baik dan pembawan yang buruk. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu
ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini
berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan
berhubungan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran nativisme
merupakan aliran Pesimisme dalam pendidikan, berhasil tidaknya perkembangan anak
tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimilikinya.
3. Naturalisme, dipelopori oleh J.J Rousseau, ia berpendapat bahwa semua anak yang baru
lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anakpun lahir dengan
pembawaan buruk. Aliran ini berpendapat bahwa pendidik hanya wajib membiarkan
pertumbuhan anak didik saja dengan sendirinya, diserahkan saja selanjutnya kepada
alam ( negativisme ). Pendidikan tidak diperlukan, yang dilaksanakan adalah

16
17

menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik tidak rusak oleh tangan
manusia melalui proses pendidikan.
4. Konvergensi, dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa anak dilahirkan
dengan pembawaan baik dan buruk. Hasil pendidikan itu bergantung dari pembawaan
dan lingkungan. Pendidikan diartikan sebagai penolong yang diberikan kepada
lingkugan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah
berkembangnya pembawan yang buruk.
Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk
menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa. Indonesia adalah negara yang
berdasarkan padaPancasila dan Undang- Undang dasar 1945 yang di dalamnya diatur bahwa
pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran
nasional. Aristoteles mengatakan, bahwa tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya
suatu negara (Rapar, 1988). Demikian juga dengan Indonesia. Pendidikan selain sebagai sarana
tranfer ilmu pengetahuan, sosial budaya juga merupakan sarana untuk mewariskan ideologi
bangsa kepada generasi selanjutnya.
Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi suatu bangsa yang
dianutnya. Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi
dalam hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Filsafat adalah berfikir secara
mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, filsafat pendidikan adalah
pemikiran yang mendalam tentang pendidikan berdasarkan filsafat, apabila kita hubungkan
fungsi Pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat pendidikan, bahwa Pancasila
pandangan hidup bangsa yang menjiwai dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya sistem
pendidikan nasional Indonesia wajarapabila dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas
Pancasila. Cita dan karsa bangsa Indonesia diusahakan secara melembaga dalam sistem
pendidikan nasioanl yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan
folosofi tertentu, inilah dasar pikiran mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan
tuntutan nasioanl dan sistem filsafat pendidikan Pancasila adalah sub sistem dari sistem negara
Pnacasila. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi bangsa,
khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang ada padaakhirnya
menentukan eksistensi dan martabat bangsa, maka sistem pendidikan nasional
dan filsafat pendidikan pancasila seyogyanya terbina secar optimal supaya terjamin tegaknya
martabat dan kepribadian bangsa. Filsafat pendidikan Pancasila merupakan aspek rohaniah
atau spiritual sistem pendidikan nasional, tiada sistem pendidikan nasioanal tanpa filsafat
pendidikan.

Pelaksanaan Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Berkarakter di Negara Indonesia


Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana

17
18

mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang
tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter
mulia.

Dari pengertian di atas dapat dimaknai bahwa pendidikan karakter merupakan suatu proses
penanaman perilaku yang didasarkan pada budi pekerti yang baik sesuai dengan kepribadian
luhur bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Menurut T. Ramli (2003),
pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik,
warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa,
secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi
muda.

Pancasila sebagai sistem filsafat bisa dilihat dari pendekatan ontologis, epistemologis,
maupun aksiologis. Diktat “Filsafat Pancasila” (Danumihardja, 2011) menyebutkan secara
ontologis berdasar pada pemikiran tentang negara, bangsa, masyarakat, dan manusia. Secara
epistemologis berdasar sebagai suatu pengetahuan intern struktur logis dan konsisten
implementasinya. Secara aksiologis bedasar pada yang terkandung di dalamnya, hirarki dan
struktur nilai, di dalamnya konsep etika yang terkandung. Dasar ontologis Pancasila sebagai
sistem filsafat bisa diinterpretasi bahwa adanya negara perlu dukungan warga negara. Kualitas
negara sangat bergantung pada kualitas warga negara. Kualitas warga negara sangat erat
berkaitan dengan pendidikan. Hubungan ini juga menjadi timbal-balik, karena landasan
pendidikan haruslah mengacu pada landasan negara. Esensi landasan negara harus benar-benar
memperkuat landasan pendidikan untuk mencapai tujuan bersama adanya keserasian hubungan
antara negara dengan warga negara.
Demokrasi Pancasila menegaskan pengakuan atas harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk masyarakat, negara dan masyarakat bangsa ( Arbi, 1998 ). Orientasi hidup kita adalah
hidup kemanusiaan yang mempunyai ciri - ciri tertentu. Ciri - ciri kemanusiaan yang kelihatan
dari Pancasila ialah integral, etis dan religius ( Soeyatni Poeposwardoyo, 1989 ). Filsafat
pendidikan Pancasila mengimplikasikan ciri-ciri tersebut.
1. Integral
Kemanusiaan yang diajarkan oleh Pancasila adalah kemanusiaan yang integral, yakni
mengakui manusia seutuhnya. Manusia diakui sebagai suatu keutuhan jiwa dan raga, keutuhan
antara manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kedua hal itu sebenarnya adalah dua sisi
dari satu realitas tentang manusia. Hakekat manusia yang seperti inilah yang merupakan
hakekat subjek didik.

18
19

2. Etis
Pancasila Merupakan Kualifikasi etis. Pancasila mengakui keunikan subjektivitas
manusia, ini berarti menjungjung tinggi kebebasan, namun tidak dari segalanya seperti
liberalisme. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
3. Religius
Sila pertama pancasila menegaskan bahwa religius melekat pada hakekat manusia,
maka pandangan kemanusiaan Pancasila adalah faham kemanusiaan religius. Religius
menunjukan kecendrungan dasar dan potensi itu. Pancasila mengakui Tuhan sebagai pencipta
serta sumberkeberadaan dan menghargai religius dalam masyarakat sebagai yang bermakna.
Kebebasan agama adalah satu hak yang paling asasi diantara hak - hak asasi manusia, karena
kebebasan agama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan. Hak kebebasan agama bukan pemberian negara atau pemberian perorangan atau
golongan. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak memaksa
setiap manusia untuk memeluk agama tertentu. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat
dimakanai bahwa pendidkan karakter di Indonesia merupakan hasil dari penerapan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat dimakanai bahwa pendidkan karakter di
Indonesia merupakan hasil dari penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila adalah falsafah yang merupakan pedoman berperilaku bagi bangsa Indonesia
yang sesuai dengan kultur kita bangsa Indonesia yang memeiliki adat ketimuran. Pendidikan
karakter memang seharusnya diambil dari nilai-nilai yag terkandung dalam Pancasila. Agar
tercipta manusia Indonesia yang cerdas, berperilaku baik, mampu hidup secara individu dan
sosial, memenuhi hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik serta beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semuanya telah mencakup filsafat pendidikan
Pancasila yang mempunyai ciri yaitu integral, etis dan reigius.
Seorang pendidik haruslah sadar akan pentingnya pendidikan karakter. Salah satu cara untuk
menerapkan pendidikan karakter adalah dengan melaksanakan nilai-nilai Pancasila. Dibawah
ini ada beberapa point yang harus dilakukan oleh pendidik dalam melaksanakan nilai-nilai
pancasila.

1. Harus memahami nilai-nilai pancasila tersebut


2. Menjadikan pancasila sebagai aturan hukum dalam kehidupan setelah alquran dan
sunnah.
3. Memberikan contoh pelaksanaan nilai-nilai pendidikan kepada peserta didik
dengan baik.
Dengan melaksanakan tiga point diatas, diharapkan cita-cita bangsa yang ingin
melaksanakan pendidikan berkarakter sesuai falsafah pancasila akan terwujud. Karena
bagaimanapun juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang setiap
waktu, sehingga tidak mungkin rasanya menghambat perkembangan itu, sehingga satu-satunya
jalan dalam menerapkan pendidikan berkarakter adalah dengan melaksanakan point-point
diatas.
19
20

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.1 Saran

20
21

21

Anda mungkin juga menyukai