Anda di halaman 1dari 39

DAFTAR ISI

SKENARIO 2 ……………………………………………………………………............... 4
LANGKAH I: KATA SULIT............................................................................................. 5
LANGKAH II: RUMUSAN MASALAH ..……………….............................................. 6
LANGKAH III: JAWABAN RUMUSAN MASALAH ……………………………........ 7
LANGKAH IV: PETA MASALAH ……………………………………………………. 10
LANGKAH V: TUJUAN PEMBELAJARAN (LEARNING OUTCOME) ……………. 11
LANGKAH VI: SELF DIRECTED LEARNING ………………….……………........... 12
LANGKAH VII: PEMBAHASAN LO, SOAP, DAN PETA KONSEP…………………... 13
7.1 Pembahasan LO ………………………………………………………….…........ 13
7.2 Peta Konsep …………………………………..……………….…….……........... 34
7.3 SOAP ........ ............................................................................................................ 35
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 37

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Faktor Risiko Kejang Demam........................................................................... 20

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan Kejang Demam dengan Penyakit Lain ............................................... 25

3
SKENARIO 2
“KASIHAN ANAKKU”

Seorang anak X berusia 2 tahun dengan BB 12 kg datang ke UGD dibawa oleh orang tuanya
dengan keluhan kejang. Menurut orang tuanya kejang sudah berlangsung selama 3 menit, berupa mata
melirik ke atas, tangan dan kaki kaku. Saat kejang anak tidak sadar. Saat tiba di UGD dokter
memasangkan oksigen kemudian memasukkan obat diazepam suppositoria (10 mg). Saat tiba di UGD
kejang sudah berhenti dan anak sadar. Dari riwayatnya diketahui bahwa anak menderita demam 6 jam
sebelum kejang. Tidak ada riwayat kejang sebelumnya.
Pemeriksaan fisik saat di UGD GCS 456, kaku kuduk (-), tetapi masih demam dengan suhu 39
C, RR 20 x/menit, N 120x/menit. Kemudian dilakukan pemasangan infus NaCl 500cc/24 jam, pemberian
paracetamol (iv) 120 mg serta dilakukan tepid sponge. Anak selanjutnya dirawat di RS untuk observasi
lebih lanjut, diberikan oksigen nasal 2 lpm. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap dalam batas normal,
GDA dan serum elektrolit juga dalam batas normal. Keluarga di berikan edukasi mengenai beberapa
kemungkinan diagnosis dan tatalaksana awal pada pasien.

4
LANGKAH I
KATA SULIT

1. Diazepam suppositoria
Obat benzodiazepine yg dapat mempengaruhi system saraf otak, memberikan efek penenang,
antikonvulsan, anxiolytic, sedative, muscle relaxan dan untuk anestesi pre-operasi.
Suppositoria= sediaan padat yang diberikan melalui rektal.
2. Tepid sponge
Teknik kompres hangat yang merupakan gabungan teknik kompres hangat dan blok pembuluh
darah besar superficial dengan teknik seka, dilakukan selama 10-15 menit. Teknik ini lebih efektif
dalam menurunkan demam daripada kompres hangat biasa.
3. Kaku kuduk
Rasa kaku di bagian belakang leher, mengindikasikan adanya meningitis.

5
LANGKAH II
RUMUSAN MASALAH

1. Apakah penyebab anak mengalami kejang?


2. Apakah penyebab anak mengalami kejang selama 3 menit dan tidak sadar?
3. Apakah penyebab saat kejang mata anak melirik keatas dan ekstremitasnya kaku?
4. Apakah tujuan dokter memberi oksigen dan diazepam suppositoria?
5. Apa hubungan riwayat demam 6 jam sebelum kejang dengan keluhan kejang yang ia rasakan?
6. Mengapa tidak ditemukan adanya kaku kuduk pada pemeriksaan fisik?
7. Apakah hubungan anak tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya dengan keluhan kejang yang ia
rasakan saat ini?
8. Mengapa dokter memasang infus NaCl ,memberi parasetamol dan melakukan tepid sponge?
9. Apakah edukasi yg dapat diberikan oleh dokter kepada keluarga pasien?
10. Apakah indikasi anak harus MRS dan diberi oksigen nasal?
11. Apakah kemungkinan diagnosis anak tersebut?
12. Mengapa pada pemeriksaan DL, GDA serta serum elektrolit ditemukan hasil dalam batas normal?
13. Apakah tatalaksana awal yang dapat dilakukan saat pasien mengalami kejang?
14. Apakah hubungan usia pasien dengan keluhan kejang yang ia alami?

6
LANGKAH III
JAWABAN RUMUSAN MASALAH

1. Apakah penyebab anak mengalami kejang?


- Factor risiko= menimgitis, infeksi bakteri&virus, ensefalitis.
- Infeksi-> demam : awitan kejang setiap anak beda-> perubahan keseimbangan membrane sel
neuron-> difusi ion Na K-> lepasnya muatan listrik berlebihan-> respon menyebar-> kejang
(neurotransmitter inhibisi gagal menghambat eksitasi).
- Infeksi-> Il1b -> eksitasi neuronal-> kejang.
- Demam-> metabolisme basal meningkat-> kebutuhan o2 meningkat-> metabolisme anaerob->
asam laktat-> gangguan keseimbangan.
2. Apakah penyebab anak mengalami kejang selama 3 menit dan tidak sadar?
- Kejang 3 menit= kejang demam simpleks (<15mnt, pada skenario merupakan kejang tonik).
- Anak tidak sadar akibat adanya eksitasi neuron yang berlebihan terus menerus dan dapat
menyebar ke formation reticularis di batang otak -> inti infralaminal thalamus(meneruskan ke
serebri kanan dan kiri) dan mesenfalon-> kehilangan kesadaran.
3. Apakah penyebab saat kejang mata anak melirik keatas dan ekstremitasnya kaku?
- Aktivitas listrik abnormal-> saraf di otot-> kontraksi relaksasi abnormal(klonik) atau
ekstremitas kaku (tonik).
- Mata melirik ke atas krn salah satu gejala kejang (potensial aksi tidak seimbang).
4. Apakah tujuan dokter memberi oksigen dan diazepam suppositoria?
- Diberi o2 karena pada saat demam-> meningkatkan metabolisme basal-> kebutuhan o2
meningkat-> hipoksia, dan pada saat kejang respirasi tidak efektif sehingga perlu diberi o2.
- Diazepam= antikonvulsan (antikejang) yg tidak memiliki efek samping seperti antikonvulsan
lainnya.
- Suppositoria= efek kerja obat lebih cepat drpd iv ataupun oral (dosis 10mg).
5. Apa hubungan riwayat demam 6 jam sebelum kejang dengan keluhan kejang yang ia rasakan?
- Demam-> metabolisme basal meningkat-> kebutuhan o2 meningkat-> metabolisme anaerob->
asam laktat-> gangguan keseimbangan transport Na-K( scenario tidak memiliki gangguan
elektrolit).
- Demam pd suhu 38,9 – 39,9 paling sering kejang.
- Kejang yg didahului demam dapat di dx sebagai kejang demam.
6. Mengapa tidak ditemukan adanya kaku kuduk pada pemeriksaan fisik serta bagaimana interpretasi
pemeriksaan fisik lainnya?

7
- Kaku kuduk positif menandakan adanya gangguan intracranial: meningitis, tumor otak,
meningismus. Sehingga apabila pada pemeriksaan tidak didapatkan adanya kaku kuduk dapat
menyigkirkan diagnosis sebagaimana yangtelah disebutkan.
- Nadi meningkat= normalnya 120x/mnt (kompensasi hipoksia).
- Suhu 39= demam.
7. Apakah hubungan anak tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya dengan keluhan kejang yang ia
rasakan saat ini?
- Menegakkan diagnosis kejang demam.
- Membedakan kejang demam simpleks atau kompleks (dlm 24 jam).
- Kejang demam awitan pertama (bukan kejang berulang).
- Jika kejang telah berulang berisiko epilepsy.
8. Mengapa dokter memasang infus NaCl ,memberi parasetamol dan melakukan tepid sponge?
- Parasetamol-> antipiretik.
- Tepid sponge-> menurunkan suhu tubuh (lebih efektif drpd antipiretik).
- Infus -> mengoreksi apakah benar kehilangan cairan, merangsang kerja saraf,mengganti cairan.
9. Apakah edukasi yg dapat diberikan oleh dokter kepada keluarga pasien?
- Menyediakan diazepam di rumah.
- Jangan membiarkan anak demam dalam waktu lama.
- Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.
- Memberitahukan cara penanganan kejang.
- Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
- Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi harus
diingat adanya efek samping obat.
10. Apakah indikasi anak harus MRS dan diberi oksigen nasal?
- Kejang demam kompleks.
- Hiperpireksia.
- Usia <6 bulan.
- Kejang demam pertama kali.
- Terdapat kelainan neurologis lain.
11. Apakah kemungkinan diagnosis anak tersebut?
- Wd : Kejang demam simpleks (didahului demam, durasi kejang <15 mnt, kejang tdk berulang
dlm 24 jam.

8
- Ddx : meningitis, ensefalitis, epilepsy, sinkop, gangguan metabolik (hipoglikemi) dan gangguan
elektrolit.
12. Mengapa pada pemeriksaan DL, GDA serta serum elektrolit ditemukan hasil dalam batas normal?
- Serum elektrolit : Bukan krn gangguan elektrolit.
- GDA : bukan gangguan metabolis.
- DL : bukan karena infeksi.
13. Apakah tatalaksana awal yang dapat dilakukan saat pasien mengalami kejang?
- Tetap tenang dan tidak panik saat anak kejang.
- Melonggarkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher untuk membebaskan jalan nafas.
- Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring untuk menghindari aspirasi. Bila terdapat muntahan
atau lendir di mulut atau hidung bisa dibersihkan.
- Jangan memasukkan benda apapun ke dalam mulut.
- Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
- Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
- Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan bila
kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
- Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu tubuh lebih
dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal, setelah
kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.
14. Apakah hubungan usia pasien dengan keluhan kejang yang ia alami?
- Perkembangan otak-> fase myelinisasi dan organisasi-> pada anak 2 tahun otak belum matang-
> reseptor asam glutamate lebih aktif dan inhibitor kurang aktif & crh meningkat(lebih
berpotensi kejang saat demam.
- Eksitasi lebih aktif karena pada saat fase organisasi.
- Usia 6 bulan – 5 tahun sering mengalami kejang demam.

9
LANGKAH IV
PETA MASALAH

10
LANGKAH V
LEARNING OUTCOME

1. Mengetahui Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam.


2. Mengetahui Epidemiologi Kejang Demam.
3. Mengetahui Faktor Resiko Kejang Demam.
4. Mengetahui Etiologi Kejang Demam.
5. Mengetahui Patofisiologi Kejang Demam.
6. Mengetahui Manifestasi Klinis Kejang Demam.
7. Mengetahui Diagnosis Banding Kejang Demam.
8. Mengetahui Tatalaksana Kejang Demam.
9. Mengetahui Komplikasi Kejang Demam.
10. Mengetahui Prognosis Kejang Demam.
11. Mengetahui KIE dan Pencegahan Kejang Demam.

11
LANGKAH VI
SELF DIRECTED LEARNING

12
LANGKAH VII
PEMBAHASAN LO, SOAP DAN PETA KONSEP

1. Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di
o
atas 38 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Pada tahun 1980 sebuah konferensi
konsensus (The Consensus Development Panel on Febrile Convulsions) yang diadakan oleh National
Institutes of Health mendefinisikan kejang demam sebagai kejadian kejang yang terjadi pada masa anak-
anak yang biasanya terjadi antara umur tiga bulan dan lima tahun yang dikaitkan dengan kenaikan suhu
tubuh tanpa adanya bukti infeksi SSP (Bahtera T et all, 2011).
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam. Bila demam disebabkan proses intrakranial, bukan disebut sebagai kejang demam. Kejang
disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Bila kejang demam didahului diare hebat, perlu dipikirkan kemungkinan bahwa kejang bukan
disebabkan demam melainkan karena gangguan metabolic misalnya hiponatremia, hipernatremia,
hipokalsemia, dan hipoglikemia (Bahtera T et all, 2011).
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstakramium. Menurut Consensus
Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya
terjadi antara umur 3 bulan sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur
kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan
epilepsi yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Bahtera T et all, 2011).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, dan
memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan
tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang
pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama satu episode demam.
Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau lebih serangan kejang (Bahtera T
et all, 2011).
Menurut Robert H et all (2000), kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
- Berlangsung singkat (< 15 menit)

13
- Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik. Kejang tonik yaitu serangan berupa
kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian
anggota tubuh.
- Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
- Berlangsung lama (> 15 menit).
- Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya melibatkan salah satu
bagian tubuh.
- Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
2. Epidemiologi Kejang Demam
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika serikat, Amerika selatan dan Eropa Barat.
Di Negara Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 80% dan mungkin mendekati 90% dari seluruh kejang
demam adalah kejang demam sederhana. Beberapa studi prospektif menunjukkan bahwa kira-kira 20%
kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua
kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki (Mansjoer, 2000).
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bankitan kejang demam pada
usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5%
anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang
demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi
pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi
pada usia 18 bulan (AAP, 1999)

3. Faktor Resiko Kejang Demam


Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor riwayat kejang
demam pada orangtua atau saudara kandung, faktor prenatal (usia ibu saat hamil, riwayat pre-eklampsi
pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir
rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir), faktor pasca natal (trauma kepala), jenis kelamin, dan
kadar natrium rendah (Staff Pengajar IKA FKUI, 2005).
Setelah kejang demam pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi
(kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih, resiko rekurensi meningkat
dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat
kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi (Behrman, et al., 2000).
Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun,
terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum

14
berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang
demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun.
Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan (Behrman, et al., 2000).
a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C aksila atau diatas
38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering
disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang
demam.Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan
kejang demam sebesar 80% (Graves, et al., 2012).
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme
seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan
metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan
mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat
mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi
normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut
mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate
ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap
ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke
dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan
benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut
akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membrane sel dalam
keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga
fungsi inhibisi terganggu (Fuadi, 2010).
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan
tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam
glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator.
Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak
(Fuadi, 2010).
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2) perkembangan prosensefali,
3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan
otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan

15
mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor
untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang
reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif, sedangkan GABA sebagai
inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi.
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi
untuk terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam (Fuadi, 2010).
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal
dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat
pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam
sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang
tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka resiko terjadinya kejang
demam hanya 9% (Fuadi, 2010).
d. Usia saat ibu hamil
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan.
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai konplikasi
dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan
prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut
dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia.
Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia dapat
menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia
pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9%
disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh
karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu
dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan
pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah (Fuadi, 2010).

16
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan lebih
tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering
terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama,
persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena
kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan
atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai
manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).
g. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu, seperti menelan
obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau
mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat
mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok
selama kehamilan meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada
saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan
berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea.
Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang (Fuadi, 2010).
h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah intrakranial.
Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia,
yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang.
Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat
menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada
derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang
biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam
bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala
sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan
peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).
i. Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan
perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat
mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat

17
menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat
menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya (Fuadi, 2010).
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga belum
berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom
gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah
ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka
kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar (Fuadi, 2010).
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan
plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat
dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan
neurologic (Fuadi, 2010).
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada
primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida,
kala I selama 7 jam dankala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko
terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan
hipoksia dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat
menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang sulit terutama
bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi premature dan cukup bulan karena
trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera
karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi
perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang
sebagai manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan
primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan
yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi
karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala
kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya

18
bersama-sama dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan
struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya (Fuadi, 2010).
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung
bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses
serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di
negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang
menyerang lobus temporalis. Kejang yang timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan
sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga
menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal.
Pada meningitis dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang. Dapat pula
cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar
neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu 2 -3 tahun kemudian
menimbulkan kejang (Fuadi, 2010).

19
Gambar 1. Faktor Risiko Kejang Demam
Sumber: Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, 2011.

4. Etiologi Kejang Demam


Menurut Lilihata et al (2014), penyebab terjadinya kejang demam:
1. Lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta).
2. Hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatnya pH otak sehingga terjadi kejang.
3. Diturunkan secara genetic sehingga eksitasi neuron terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic
masih belum jelas, namun beberapa studi menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu
seperti 19p dan 8q13- 21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan.

20
4. Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering disebabkan karena
infeksi saluran nafas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran
cerna.
Menurut Lumban Tobing (2005), etiologi kejang demam adalah:
1. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, otitis media,
pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran kemih.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme.
3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang ringan.
5. Patofisiologi Kejang Demam
Kejang demam terjadi pada anak kecil pada saat perkembangannya ketika ambang kejang
rendah. Ini adalah waktu ketika anak-anak rentan terhadap infeksi, yang sering terjadi seperti infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media, sindrom virus, mereka merespons dengan suhu yang lebih tinggi.
Penelitian pada hewan menunjukkan kemungkinan peran pirogen endogen, seperti interleukin 1beta,
yang meningkatkan rangsangan sel neuron, sehingga dapat menghubungkan demam dan aktivitas kejang
(Matsuko et al, 2006). Studi awal pada anak-anak tampaknya mendukung hipotesis bahwa jaringan
sitokin diaktifkan dan mungkin memiliki peran dalam patogenesis kejang demam, tetapi signifikansi
klinis dan patologis yang tepat dari pengamatan ini belum jelas (Tejani, 2018).
Mekanisme terjadinya kejang demam ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa NaK, sedangkan pada kejang
sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmitter
inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya adanya ketidakseimbangan
antara GABA dan glutamat akan menimbulkan kejang.
(Fuadi, 2010).
Infeksi virus adalah penyebab utama kejang demam. Literatur terbaru mendokumentasikan
keberadaan human herpes simplex virus 6 (HHSV-6) sebagai agen etiologi dalam roseola pada sekitar
20% dari sekelompok pasien yang mengalami kejang demam pertama. Shigella gastroenteritis juga telah
dikaitkan dengan kejang demam. Satu studi menunjukkan hubungan antara kejang demam berulang dan
influenza A (Millichap, 2006).
Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Pada penelitian kami batas
tinggi demam 390C sebagai rata-rata, dengan rentang suhu (38,9°C-39,9°C). Ketentuan tersebut

21
berdasarkan pada penelitian sebelumnya bahwa bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada
kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C yaitu 40%-56%, 20% suhu di atas 400C dan 11% 37°C-
38,9°C (Gonzales, 1997). Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang
kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme
seluler serta produksi ATP 19,20,21 Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat Celsius akan meningkatkan
metabolisme karbohidrat 10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan
peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen (Harimoto et al, 1993 dalam Fuadi, 2010). Pada demam
tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di
siklus Creb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksi
jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga
pada keadaan hipoksi akan kekurangan energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake
asam glutamat oleh sel g1ia (Gradnner dkk, 1995). Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+
ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin
meningkatkan ion Na+ masuk ke dalam sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam
keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi
terganggu (Fuadi, 2010).
Kejang demam cenderung terjadi dalam keluarga. Pada anak dengan kejang demam, risiko
kejang demam adalah 10% untuk saudara kandung dan hampir 50% untuk saudara kandung jika orang
tua memiliki kejang demam juga. Meskipun ada bukti yang jelas untuk dasar genetik kejang demam,
cara pewarisannya tidak jelas (Audenaer, 2006 dalam Tejani, 2018). Sementara kemungkinan pewarisan
poligenik, sejumlah kecil keluarga diidentifikasi dengan pola autosom dominan dominan kejang demam,
yang mengarah ke deskripsi "sifat kerentanan kejang demam" dengan pola pewarisan autosom dominan
dengan pengurangan penetrasi. Meskipun mekanisme molekuler yang tepat dari kejang demam belum
dipahami, mutasi yang mendasari telah ditemukan pada gen yang mengkode saluran natrium dan reseptor
asam gamma amino-butyric A (Tejani, 2018).
Mekanisme peranan fakrot riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama
disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi eksitabilitas ion-ion pada membran
sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara teoritis defek yang
diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut eksitabilitas neuron dapat
mencetuskan bangkitan kejang (Moulard B, 1999). Mutasi gen yang terjadi pada kanal-kanal akan
mengakibatkan timbulnya kerja ion yang berbeda dalam menjalankan perintah dari sistem saraf pusat
oleh karena adanya perbedaan interpretasi membaca sinyal. Gagalnya membaca sinyal akan

22
menyebabkan kanal-kanal tidak bekerja seperti biasanya. Sebagai contohnya mutasi gen kanl-kanal
Natrium berakibat kanal akan terbuka berulang-ulang dan menyebabkan perangsangan yang berat atau
memanjang sehingga timbul depolarisasi yang hebat dan timbul manifestasi klinis dalam bentuk kelainan
peroksismal (Gradnner dkk, 1995).
Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamat baik ionotropik maupun
metabotropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai inhibitor
kurang aktif, sehingga pada otak belum yang matang eksitasi lebih dominan dibanding inhibisi (Fuadi,
2010).Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi, berpotensi untuk terjadi
bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam (Chen, 2001). Mekanisme homeostasis pada otak belum
matang masih lemah, akan berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan umur, oleh
karena pada otak belum matang neural Na+/K+ATP ase masih kurang. Pada otak yang belum matang
regulasi ion Na+, K+, dan Ca++ belum sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca
depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron (Haglun, 1990 dalam Fuadi, 2010).

6. Manifestasi Klinis Kejang Demam


1. Anamnesis
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
b. Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca kejang,
penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala Infeski saluran napas akut/
ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dll)
c. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga,
d. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang dapat
menyebabkan hipoglikemia) (IDAI, 2009).
2. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah terdapat demam
b. Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque
c. Pemeriksaan nervus kranial
d. Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol , papil edema
e. Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll
f. Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis (IDAI, 2009).

23
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam atau
kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, urinalisis
dan biakan darah, urin atau feses.
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika yakin
bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pungsi lumbal
dianjurkan pada :
 Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan
 Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan
 Bayi usia > 18 bulan tidak rutin dilakukan
c. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan. EEG masih dapat
dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya : kejang demam kompleks pada
anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya :
 Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi
struktural di otak (mikrosefali, spastisitas)
 Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang,
UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil) (IDAI, 2009).
7. Diagnosis Banding Kejang Demam
Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak diantaranya disebabkan
oleh proses intrakranium yang berbahaya atau proses sitemik. Kondisi-kondisi ini harus dapat dibedakan
dengan segera dari kejang demam. Kejang demam khas ditandai dengan peningkatan suhu tubuh secara
cepat diikuti oleh kejang. Sedangkan proses infeksi intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah
kejang (Tanto, 2014).
Pada anak < 1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah meningitis. Pada
meningitis, bayi tampak letargi, ubun-ubun besar menonjol, dan pemeriksaan darah tepi menunjukkan
leukositosis. Pada keadaan ini pemeriksaan lumbal sangat diperlukan (Tanto, 2014).
Diagnosis banding lain adalah epilepsi. Epilepsi merupakan penyakit otak akibat peningkatan
kerentanan sel neuron terhadap kejadian kejang epileptik yang berdampak pada aspek neurobiologis,
psikologis, kognitif, dan sosial individu. Insiden tertinggi adalah kelompok usia < 2tahun, namun bisa
juga terjadi pada semua umur. Epilepsi dapat ditegakkan pada salah satu kondisi berikut (Tanto, 2014):
a. Terdapat minimal dua episode kejang tanpa diprovokasi

24
b. Terdapat satu episode kejang tanpa diprovokasi, namun risiko rekurensi dalam 10 tahun sama
dengan risiko rekurensi setelah dua episode kejang tanpa provokasi
c. Sindrom epilepsi berdasar pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)

Tabel 1. Perbedaan Kejang Demam dengan Penyakit Lain


Klinis/lab Kejang Ensefalitis Meningitis Meningitis Meningitis
demam herpes bakterial serosa serosa virus
simpleks tuberkulosa
Awitan Akut Akut Akut Kronik Akut
Demam < 7 hari < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari
Tipe kejang Fokal/umum Fokal/Umum Umum Umum Umum
Durasi Singkat-lama Singkat Singkat Singkat Lama > 15
menit
Kesadaran Somnolen Stupor-koma Apatis-stupor Somnolen- Sadar-apatis
stupor
Pemulihan Cepat Lama Cepat Lama Cepat
kesadaran
Meningeal - - ++/- ++/- +/-
sign
Tekanan Normal Sangat Meningkat Sangat Normal
intrakranial meningkat meningkat
Paresis - +++/- +/- +++ -
Pungsi lumbal Jernih, normal Jernih/normal/ Keruh/opalesen Jernih/xanto/ Jernih,normal
limfosit /segmenter/ limfosit/
limfosit segmen
Sumber: Aminulah dan Madiyono, 2002

8. Tatalaksana Kejang Demam


1. Penatalaksanaan saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg (IDAI, 2016).

25
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk
anak di atas usia 3 tahun (IDAI, 2016).
Apabila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Apabila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk membawa anak ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Apabila kejang
tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali
dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Apabila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal (IDAI, 2016).
Apabila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya (IDAI,
2016).
2. Penatalaksanaan saat Demam
a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik dapat mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A). Namun, dokter
neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari (IDAI, 2016).
b. Antikonvulsan
 Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Menurut IDAI (2016), obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Proflaksis intermiten diberikan pada kejang
demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral.
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun.
 Usia <6 bulan.
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius.
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.

26
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral setiap 8 jam
atau diazepam rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk
berat badan >12 kg) 3 kali sehari (setiap 8 jam), pada saat demam. Pemberian diazepam
ini dapat menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas,
serta sedasi (IDAI, 2016).
3. Pemberian Obat Antikonvulsan Rumat
a. Indikasi Pemberian Obat Antikonvulsan Rumat
Menurut IDAI (2016), berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu atau lebih
ciri sebagai berikut:
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
seperti: hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam > 4 kali per tahun
Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian
terapi proflaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil atau orangtua khawatir dapat
diberikan terapi antikonvulsan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal
atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organic (IDAI,
2016).
b. Jenis Obat Antikonvulsan Rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang (level of evidence I, derajat rekomendasi B). Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada
40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,
terutama anak yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan

27
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis (IDAI, 2016).
c. Lama Pengobatan Rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang
demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang
demam (IDAI, 2016).
4. Edukasi pada Orang tua
Menurut IDAI (2016), kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap
orangtua. Pada saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Oleh karena itu sebagai dokter kita harus memberikan edukasi kepada orang tua
pasien, yaitu:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
Berikut ini merupakan penanganan yang dapar dilakukan oleh orang tua ketika
anaknya mengalami kejang:
- Tetap tenang dan tidak panik.
- Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
- Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
- Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
- Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
- Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
- Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.
- Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan
diazepam rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat
kelumpuhan.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat proflaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

28
9. Komplikasi Kejang Demam
1. Kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun
fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami
kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi
menjadi kejang lama (IDAI,2016).
2. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah:
a. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
d. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
e. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama (IDAI,2016).
3. Epilepsi
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
a. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
d. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang
demam (IDAI, 2016).
4. Ensefalopaty
Ensefalopati merupakan komplikasi yang jarang pada kejang demam. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa mutasi missense pada saluran natrium SCN1A dan gen SCN2A dapat
mempengaruhi anak-anak terhadap kejang demam yang parah. Kejang demam, terutama jika

29
berulang, parah, dan berkepanjangan, dapat menyebabkan pergantian hippocampal persisten.
Sirkuit neuronal dalam keseimbangan antara respon rangsang dan penghambatan serta sclerosis
temporal mesial, yang mengarah ke epileptogenesis setelah kejang demam. Kejang demam yang
berkepanjangan juga dapat menyebabkan gangguan pada pematangan white matter otak, dengan
neuroplastisitas berikutnya dan reorganisasi mikrostruktur (Leung, Alexander KC et all. 2018)
5. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian pada
kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan normal
dilaporkan sama dengan populasi umum (IDAI, 2016).

10. Prognosis Kejang Demam


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik dan kadang sembuh sendiri. Secara umum
diyakini bahwa anak-anak dengan kejang demam sederhana tidak memiliki resiko tinggi untuk
perkembangan neurologis berikutnya, dan kecerdasan serta fungsi kognitif mereka tidak terpengaruh.
Sekitar sepertiga dari anak-anak yang mengalami kejang demam akan memiliki kekambuhan selama
masa kanak-kanak, tetapi kurang dari 10% akan memiliki ≥3 kekambuhan. Jika kekambuhan akan
terjadi, sekitar 75% kekambuhan akan terjadi dalam 1 tahun dan 90% akan terjadi dalam 2 tahun (IDAI,
2016 dan Leung, Alexander KC et all. 2018).

11. KIE dan Pencegahan Kejang Demam


KIE Kejang Demam
Edukasi ditujukan pada orangtua pasien. Orangtua pasien perlu diedukasi mengenai
beberapa hal diantaranya (IDAI, 2016)
1. Mengurangi kecemasan dengan
a. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik
b. Memberitahukan cara penanganan kejang, seperti
1. Tetap tenang dan tidak panik saat anak kejang
2. Melonggarkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher untuk
membebaskan jalan nafas
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring untuk menghindari aspirasi. Bila
terdapat muntahan atau lendir di mulut atau hidung bisa dibersihkan
4. Jangan memasukkan benda apapun ke dalam mulut
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang

30
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih,
suhu tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam
rektal, kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
d. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Pencegahan Kejang Demam
a. Pencegahan Primer
Yaitu upaya pencegahan sebelum anak yang beresiko mengalami kejang demam, berupa:
1. Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya untuk
meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Jika status gizi anak baik maka akan meningkatkan daya tahan tubuhnya
sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya
demam (Seinfeld, 2013).
2. Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih dan sehat maka
agen penyakit akan sulit berkembang biak dan anak dapat terhindar dari berbagai
penyakit infeksi (Seinfeld, 2013).
3. Mengukur derajat demam menggunakan thermometer, pengukuran suhu berguna
untuk menentukan pada suhu berapa kejang demam timbul (Soebandi, 2014)
4. Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak mengalami
demam segera kompres anak dengan air hangat pada dahi, ketiak, lipatan siku, dan
lipatan paha serta berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun tidak
ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya
kejang demam (Soebandi, 2014).
b. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami kejang demam.
Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada anak meliputi :
1. Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung

31
terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan
teratur, bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air
hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan kejang dilakukan dengan cara
memberikan obat antikejang kepada penderita. Obat yang diberikan adalah
diazepam dalam rute intravena maupun rektal (Lissauer, 2013)
2. Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut, otitis
media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Untuk mengobati penyakit
infeksi tersebut diberikan antibiotik yang adekuat. Kejang dengan suhu badan yang
tinggi juga dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh
sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada anak
penderita kejang demam berusia kurang dari 12 bulan (Lissauer, 2013)
Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,
seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan EEG
dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk
mengalami epilepsy (Lissauer, 2013)
3. Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
a. Profilaksis intermitten pada waktu demam (IDAI, 2016)
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera
diberikan pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan
obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang dapat
diberikan berupa diazepam, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.
b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (IDAI, 2016)
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah :
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau
gangguan perkembangan neurologis.
- Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada
orang tua atau saudara kandung.
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
neurologis sementara atau menetap. Kejang demam terjadi pada

32
bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2
bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk
mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah
timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang dapat diberikan berupa
fenobarbital dan asam valproat.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya kecacatan, kematian,
serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami
kematian meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita kejang demam
kompleks tidak segera mendapat penanganan yang tepat dan cepat akan berakibat pada
kerusakan sel saraf (neuron). Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu
mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah timbulnya
kecacatan bahkan kematian (Seinfeld, 2013).

33
PETA KONSEP

34
SOAP
S Identitas: An. X usia 2 tahun bb:12kg
KU : kejang selama 3 menit
RPS : mata melirik ke atas, ekstremitas kaku, tidak sadar saat kejang
RPD : demam 6 jam sebelum kejang, tidak pernah kejang sebelumnya
O - GCS 456 (dbn)
- kaku kuduk (-)
- masih demam : suhu 39 oC
- RR 20 x/menit (dbn)
- N 120x/menit (dbn)
A1 - Kejang demam
- Epilepsi
- Gangguan metabolik
- Gangguan elektrolit
P1 - DL dbn
- GDA dbn
- Serum elektrolit dbn
A2 Kejang Demam Simpleks
P2 PTx :
MRS
Non medikamentosa :
 Tepid sponge
 Oksigen nasal 2 Lpm
Medikamentosa :
 diazepam suppositoria 10mg
 IVFD NaCl 500cc/24jam
 Paracetamol iv 120mg

PEd:
 Meyakinkan ortu kalau prognosis sangat baik
 Edukasi tentang tatalaksana awal kejang demam
 Edukasi komplikasi dari kejang demam
 Konsumsi obat anti konvulsan sesuai anjuran dokter

35
PMo:
 Suhu tubuh
 Kejang yang berulang

36
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement, Subcommittee on Febrile


Seizures. Practice Parameter: Long-term Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures.
Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.
Aminulah, Asril dan Madiyono, Bambang. 2002. Hot Topik In Pediateric II: Kejang Pada Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Audenaert D, Van Broeckhoven C, De Jonghe P. 2006. Genes and loci involved in febrile seizures and
related epilepsy syndromes. Hum Mutat. 2006 May. 27(5):391-401. [Medline]. Dalam: Tejani.
2018. Febrile Seizure.
Bahtera T., Alifiani HP., Tun-Paksi S. 2011, Kejang Demam, Dalam: Dadiyanto DW., Muryawan, M.H,
S., Anindita, Ilmu Kesehatan Anak, FK UNDIP, Semarang, h.134-140.
Behrman. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta: EGC.
Chen Y, Beder RA, Baram TZ. 2001. Novel and transient populations of corticotrophin releasing
hormone expressing neurons in developing hippocampus suggest unique functional roles: A
quantitative spatiotemporal analysis. J Neurosc In Press.
Fuadi dkk. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Fuadi. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Semarang. Universitas Diponegoro.
Gonzalez Del Rey JA. Febril seizures. Dalam: Barken RM, penyunting. Pediatric Emergency Medicine.
Edisi ke-2. St Louis: Mosby; 1997.h.1017-9.
Gradnner D K. 1995. Membran: Struktur, Susunan & Fungsinya. Dalam: Ronardi D H, Oswari J,
penyunting. Biokimia Harper (alih bahasa) cetakan ke 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Graves RC, Oehler K, Tingle LE. 2012. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and Prognosis. American
Family Physician. 85(2):149-53.
Haglun M M, Schwartzkroin P A. 1990. Role of Na-K pump potassium regulation IPSPs in seizures and
spreading depression in immature rabbit hippocampal slices. J Neurophysiol. Dalam: Fuadi.
2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Harimoto T, Nagao H, Yoshimatsu M, Yoshida K, Matsuda H. Pathogenic role of glutamate
inhyperthermia-induced seizures. Epilepsia 1993; 34: 447-52. Dalam: Fuadi. 2010. Faktor Risiko
Bangkitan Kejang Demam pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas
Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.
IDAI. 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia.

37
Leung, Alexander KC et all. 2018. Febrile seizures: an overview. Drugs in Context. Dapat diakses
di https://www.researchgate.net/publication/326425108_Febrile_seizures_An_overview.
Lilihata,G.,Handriastuti,S., 2014, Epilepsi, dalam Tanto,C.,Liwang,F., Hanifati,S.,
Pradipta,E.A.61(eds.). Kapita Selekta Kedokteran edisi IV.Jakarta: Media Aesculapius. pp. 98-102.
Lissauer, Tom., dan Fanaroff, Avroy., 2013. Selayang Neonatologi Edisi 2. Jakarta: PT Indeks.
Lumbantobing SM. 2005. Kejang Demam (Febrile Convulsions). Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Mansjoer, A; Suprohaita; Wardhan, W.I; Setiowulan, W. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi
Ketiga. Media Aesculapius. FK UI. Jakarta: 2000; Hal 434-437.
Matsuo M, Sasaki K, Ichimaru T, Nakazato S, Hamasaki Y. 2006. Increased IL-1beta production from
dsRNA-stimulated leukocytes in febrile seizures. Pediatr Neurol. 2006 Aug. 35(2):102-
6. [Medline].
Millichap JG, Millichap JJ. 2006. Role of viral infections in the etiology of febrile seizures. Pediatri
Neurol. 2006 Sep. 35(3):165-72. [Medline]. Dalam: Tejani. 2018. Febrile Seizure.
Moulard B. 1999. Identification of New Locus for General Epilepsy with Febrile Seizures Plus (GEFS+).
Am J Hum Genet. Dalam: Fuadi. 2010. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Pudjiadi, A.H., Hegar, B., Handryastuti, S., Idris, N.S., Gandaputra, E.P. and Harmoniati, E.D., 2009.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Robert H., Haslam, A. 2000, Kejang-Kejang Pada Masa Anak, Dalam : Waldo, E., Nelson, MD., dkk,
Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Vol 3, EGC, Jakarta, hal.2059-2063.
Seinfeld, S.D.O., Pellock, J.M.. 2013. Recent Research on Febrile Seizures: A Review. Journal
Neurophysical.
Soebandi, Amanda. 2014. Kejang Demam: Tidak Seseram yang Dibayangkan. Artikel: Keluhan Anak
(Online) diakses di http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/kejang-demam-tidak-
seseram-yang-dibayangkan pada 14 Maret 2019 10:19
Staf Pengajar IKA FKUI. 2005. Kejang Demam. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian IKA
FKUI : 847-8.
Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius
Tejani, Nooruddin R. 2018. Febrile Seizure. Department of Emergency Medicine, SUNY Health
Sciences Center Brooklyn; Director, Pediatric Emergency Medicine, Downstate Medical Center.
[Medscape].
Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI, 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

38
39

Anda mungkin juga menyukai