Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung berfungsi untuk mengatur kelembaban, menghangatkan dan menyaring udara
yang dihirup, itulah sebabnya dibutuhkan aliran darah yang cukup banyak. Mukosa nasal
mengandung banyak pembuluh darah yang berasal dari sistem karotis internal dan
eksternal. Cabang pertama arteri karotis interna adalah arteri olfaktorius yang akan
mengalirkan darah ke arteri etmoid anterior dan posterior. Arteri karotis eksterna akan
memberi aliran darah ke hidung melalui arteri maksilaris interna dan arteri fasialis.
Terdapat dua pleksus di daerah hidung yang memegang peranan terhadap terjadinya
epistaksis yaitu pleksus kiesselbach pleksus woodruff.
Epistaksis berasal dari kata Yunani yang berarti perdarahan hidung. Epistaksis
merupakan masalah klinis yang sering dihadapi dan dapat merupakan keadaan yang ringan
tanpa masalah berarti, namun dapat pula merupakan suatu keadaan gawat darurat bila hal
ini terjadi secara sistemik. Sebagian besar penyebab epistaksis pada anak-anak adalah
idiopatik dan trauma, sedangkan pada orang dewasa epistaksis disebabkan oleh trauma dan
hipertensi. Angka kejadian epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80
tahun, serta sering dijumpai pada musim dingin dengan tingkat kelembaban udara yang
rendah. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis
posterior sering pada orang tua dengan riwatyat hipertensi atau arterosklerosis. Di Amerika
Serikat angka kejadian berkisar antara 5 – 14%. Pada umumnya mereka mengalami
epistaksis 1 kali per-tahun dan ternyata hanya 6 -10% yang mencari pertolongan ke dokter
serta hanya 10% di antaranya dirujuk ke dokter spesialis THT.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Oleh karena itu, kami
membuat makalah dan video edukasi untuk masyarakat Indonesia agar lebih memahami
tentang epistaksis dan bagaimana penanganan yang tepat.

1.2 Rumusan Makalah


1.2.1 Apa definisi dari epistaksis ?
1.2.2 Bagaimana epidemiologi dari epistaksis ?
1.2.3 Apa faktor risiko dari epistaksis ?
1.2.4 Bagaimana etiologi dan patofisiologi dari epistaksis ?
1.2.5 Bagaimana tanda dan gejala dari epistkasis ?
1.2.6 Bagaimana tatalaksana awal dan pencegahan dari epistaksis ?

1.3 Tujuan Makalah


1.3.1 Untuk mengetahui definisi epistaksis.
1.3.2 Untuk mengetahui epidemiologi dari epistaksis.
1.3.3 Untuk mengetahui faktor risiko dari epistaksis.
1.3.4 Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi dari epistaksis.
1.3.5 Untuk mengetahui tanda dan gejala dari epistkasis.
1.3.6 Untuk mengetahui tatalaksana awal dan pencegahan dari epistaksis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epistaksis


Epistaksis atau sering disebut juga mimisan yaitu satu keadaan pendarahan dari hidung
yang keluar melalui lubang hidung akibat adanya kelainan lokal pada rongga hidung
ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Epistaksis seringkali
merupakan gejala atau manifestasi dari penyakit lain. Dengan kata lain epistaksis bukan
merupakan suatu penyakit. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari baik pada anak maupun
pada usia lanjut dan 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (spontan) atau dengan tindakan
sederhana yang dilakukan oleh pasien sendiri dengan cara menekan hidungnya tanpa
memerlukan bantuan medis (Nuty & Endang, 2008).

2.2 Epidemiologi Epistaksis


Angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 5 – 14%. Pada umumnya mereka
mengalami epistaksis 1 kali per-tahun dan ternyata hanya 6 -10% yang mencari
pertolongan ke dokter serta hanya 10% di antaranya dirujuk ke dokter spesialis THT.
Penelitian Paranjothy dkk pada tahun 1999- 2004 mendapatkan angka kejadian epistaksis
pada bayi sebesar 19 kasus per 100.000 bayi. Penelitian prospektif di Inggris pada tahun
2009 mendapatkan angka kejadian epistaksis pada bayi (Trihono dkk, 2012).
Di Jerman, data yang akurat hanya diperoleh dari departemen kedaruratan rumah
sakit. Sebuah penelitian retrospektif menunjukkan insidensi epistaksis sebanyak
121/100000 pasien dirawat pada dua departemen kedaruratan di Thuringia Timur.
Berdasarkan studi retrospektif dari Inggris, 1 dari 2 dari keseluruhan 200 jumlah
kunjungan ke rumah sakit mengalami epistaksis, 5% pasien diharuskan rawat inap. Tahun
2015 di Jerman, total 19841 pasien (11733 laki-laki dan 8108 wanita) mendapat rawat inap
untuk epistaksis. Rata-rata waktu rawat inap adalah 3,6 hari. Dari keseluruhan pasien rawat
inap, 71% berusia ≥65 tahun, 18% berusia 45-65 tahun, 5% berusia 15-45 tahun, dan 6%
pasien berusia <15 tahun (Beck et al, 2018)

2.3 Faktor Risiko Epistaksis


a. Trauma, misalnya: manipulasi digitale, fraktur nasal, corpus alienum pada hidung,
iatrogenic (pemasangan NGT, operasi).
b. Adanya penyakit di hidung yang mendasari, misalnya: rinosinusitis, rinitis alergi.
c. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam
berdarah dengue.
d. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin,
tiklodipin, semprot hidung kortikosteroid. Berdasarkan Beck et al (2018), beberapa
obat-obatan yang dapat berpengaruh terhadap timbulnya epistaksis pada pasien
antara lain Phenprocoumon, Dabigatran, Rivaroxiban, Fondaparinux, Clopidogrel,
Acetylsalicylic acid, Glucocorticoid nasal sprays, Phosphodiesterase-5 inhibitors.
e. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau
nasofaring, Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
f. Kelainan hematologis, misalnya: trombositopenia, hemophilia A dan B, Von
Willebrand disease, gagal hati.
g. Kelainan kongenital, misalnya: hereditary hemorrhagic telangiectasia / Osler's
disease.
h. Adanya deviasi septum.
i. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara
rendah, atau lingkungan dengan udara yang sangat kering.
j. Kebiasaan
(IDI, 2014)

2.4 Etiologi Epistaksis


Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di
belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis
(Maron, 1993).
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas
disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung
atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara & lingkungan.
Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital (Nuty & Endang,
2008).
1. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain :
a. Trauma (Nuty & Endang, 2008).
b. Obat semprot hidung (nasal spray). (Pope & Hobbs, 2005).
c. Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti
d. dekongestan topikal dan kokain (Pope & Hobbs, 2005).
e. Kelainan vaskular. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s granulomatosis
(kelainan yang didapat) (Pope & Hobbs, 2005).
f. Faktor Lingkungan, angka kejadian epistaksis ditemukan meningkat selama bulan
musim kemarau, seringkali dihubungkan dengan perubahan temperatur dan
kelembaban. Insiden epistaksis juga terkait ke irama sirkadian, dengan peningkatan
di pagi hari dan akhir sore hari (Middleton, 2004).

2. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis
pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan
kekakuan pembuluh darah (Nwaorgu, 2004). Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik
antara lain
a. Usia. Epistaksis dapat terjadi di semua kelompok umur, tapi paling dominan
berpengaruh pada orang tua (50-80 tahun) dan anak-anak (2-10 tahun) (Mulla, et
al., 2012).
b. Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan
kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada
mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat (Nwaorgu, 2004).
c. Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
antiplatelets (aspirin, clopidogrel) (Pope & Hobbs, 2005).
d. Kurangnya faktor koagulasi (trombositopenia,koagulopati kongenital/di dapat,
defisiensi vitamin A, D, E, C, atau K, penyakit liver, gagal ginjal, malnutrisi,
polisitemia vera, multipel mieloma, leukemia) (Wormald, 2006).
e. Penyakit kardiovaskular (congestive heart failure, stenosis katup miral) (Wormald,
2006).
f. Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis (Jeffrey, 2012).
g. Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol (Pope & Hobbs,2005).
h. Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau hormon
mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism,
kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism (Idham & Sanjaya,
2005).
Kelainan sistemik yang paling sering berhubungan dengan epistaksis adalah
hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan epistaksis dipikirkan bahwa
bertambahnya usia menginduksi terjadinya fibrosis pada tunica media. Hal ini bisa
menyebabkan gangguan vasokonstriksi yang adekuat pada pembuluh darah apabila
terjadi ruptur (Massick, et al., 2005).
3. Idiopatik (10% kasus)
Penyebab epistaksis anterior biasanya bersifat lokal, sedangkan epistaksis posterior
bersifat sistemik.

2.5. Patofisiologi Epistaksis


Perdarahan umumnya disebabkan oleh erosi mukosa dan pembuluh drh yang terpajan
langsung dengan agen pencetus. Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach, pada
septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahn vena/ kapiler tersebut
mengakibatkan perembesan terus menerus, bukan perdarahan masif seperti perdarahan
arteri. merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Perdarahan dapat
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana (Gifford,
2008).

Gambar 1. Epistaksis anterior


(Sumber: )
Sedangkan epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Jumlah perdarahan lebih masif dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan gangguan jalan nafas, asprasi darah, serta perdarahan sulit dikontrol. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular (Douglas, 2007).
Gambar 2. Epistaksis posterior
(Sumber: )
Berikut ini adalah dampak dari etiologi epistaksis sampai menimbulkan perdarahan
a. Trauma menyebabkan ulserasi mukosa sehingga terjadi perdarahan
b. Udara kering dengan kelembaban yang rendah dan obat-obatan topikal hidung
dapat mengiritasi mukosa
c. Kelainan septum menyebabkan gangguan aliran udara normal pada hidung
sehingga menimbulkan kekeringan dan terjadilah epistaksis
d. Bakteri, virus, maupun alergen akan menimbulkan respon inflamasi pada hidung
e. Arterosklerosis biasanya menjadi penyebab epistaksis pada orang tua. Kelemahan
pembuluh darah mengakibatkan malformasi arteri dan vena yang mudah pecah.

2.6 Gejala dan Tanda Epistaksis


Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau
pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis
timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek
krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting
mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol
terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan.
Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan
atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa
aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan
senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna
(Soetjipto dkk, 2012).

2.7 Tatalaksana Awal Epistaksis


Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah memperbaiki keadaan umum, mencari
sumber perdarahan, menghentikan perdarahan dan mencari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan.
a. Usahakan penderita dalam keadaan duduk, bila kondisi lemah dapat dibaringkan
dengan meletakkan bantal di belakang punggung. Miringkan kepala ke depan
agar mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini untuk mencegah rasa
mual dan obstruksi jalan nafas.
b. Pegang tisu atau handuk menutupi hidung. Hal yang harus dilakukan adalah
memastikan anda memencet bagian tengah antara kedua lubang hidung (pencet selama
10 menit) (metode trotter).
c. Ambil tisu atau handuk dan tempelkan pada hidung untuk mencegah darah muncrat
kemana-mana. Selama pemencetan sebaiknya bernafas melalui mulut. Perdarahan
ringan biasanya akan berhenti dengan cara ini. Lakukan hal yang sama jika terjadi
perdarahan berulang.
d. Beri kompres dingin di serah sekitar hidung. Kompres dingin membantu mengerutkan
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berkurang.
e. Periksa darah yang mengalir. Setelah 10 menit, lepaskan tangan anda dari hidung dan
lihat apakah hidung anda masih berdarah. Jika darah masih mengalir lanjutkan
memencet hidung anda selama 10 menit berikutnya.
Jika hanya mimisan biasa, biasanyaakan berhenti dengan sendirinya. Jika setelah 10
menit mimisan masih berlanjut sebaiknya hubungi dokter terdekat (Munir, 2006).

2.8 Pencegahan dan KIE Epistaksis


Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain (Schlosser, 2009) :
a. Jangan mengkorek-korek hidung.
b. Jangan membuang ingus keras-keras.
a. Hindari merokok, asap rokok atau bahan kimia lain. Merokok menyebabkan hidung
menjadi kering dan menyebabkan iritasi.
b. Gunakan tetes hidung NaCl atau air garam steril untuk membasahi hidung.
c. Hindari benturan pada hidung
d. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
e. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 – 0,6 cm ke dalam hidung. d. Hindari meniup melalui hidung
terlalu keras.
f. Bersin melalui mulut.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Epistaksis atau mimisan merupakan perdarahan pada hidung dan keluar melalui lubang
hidung akibat adanya kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang
terjadi di tempat lain dari tubuh. Di Amerika Serikat angka kejadian berkisar antara 5 –
14%. Pada umumnya mereka mengalami epistaksis 1 kali per-tahun dan ternyata hanya 6
-10% yang mencari pertolongan ke dokter serta hanya 10% di antaranya dirujuk ke dokter
spesialis THT. Ada beberapa keadaan menjdai faktor risiko dari epistaksis adalah trauma,
penyakit yang mendasari (rinitis alergi, rinosinusitis), penyakit sistemik, riwayat
penggunaan obat-obatan, tumor, kelainan kongenital, deviasi septum, dan kebiaasan.
Faktor lokal dan faktor sistemik merupakan etiologi dari epistaksis diawali oleh
pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. 80% perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbac yang menyebabkan epistaksis anterior. Sedangkan
epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Penanganan awal dari epistaksis yaitu mengusahakan penderi duduk atau meletakkan
bantal di belakang punggung kemudian kepala dimiringkan agar tidak terjadi obstruksi
jalan nafas setelah itu hidung dipencet dibagian tengah antar kedua luabng hidung sambil
memegang tisu atau handuk. Selama memencet hidung diusahakan bernafas melalui mulut.
Kemudian penderita diberikan kompres air dingin kemudian evaluasi tiap 10 menit untuk
mengetahui darah masih mengalir atau tidak.
Agar tidak terjadi epistaksis berulang, maka penderita memerlukan beberapa hal yang
harus dilakukan seperti menghindari mengkorek-korek hidung, membatasi obat apirin atau
ibuprofen, menggunakan tetes hidung NaCl atau air garam steril untuk membasai hidung,
menghindari benturan pada hidung, dan konsultasikan kepada dokter apabila epistaksis
terus berulang.

3.2 Kritik dan Saran


Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber -
sumber yang lebih banyak dan dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Douglas R, Wormald PJ. 2007. Update on epistaxis. Curr Opin Otolryngol Head and Neck
Surg.
Gifford TO, Orlandi RR. 2008. Epistaxis. Otolaryngol Clin Nort Am.
Idham, I., Sanjaya, W. (2005). Angiotensin-II dan Remodelling Vaskular. Cermin Dunia
Kedokteran
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer edisi Revisi. Jakarta: PB IDI.
Jeffrey, D. Suhh, MD. (2012). Article of American Rhinologic society. United states of
America.
Maron, A.G.D. (1993). (eds). Otorhinolaryngology Including Oral Medicine and Surgery.
Vol. 4 Baltimore, University Park Press.
Massick, Douglas, Evan, J.Tobin. (2005). : Epistaxis and Nasal Trauma. Otolaryngology-
Head and Neck Surgery vol. 2, 4th ed., Edited by Cummings, Fredrckson,
Harker, Krause, & Schuller, Mosby Year Book, St.Louis, Missouri
Middleton, P. (2004). Epistaxis. Emerg Med Australas
Mulla, O., Prowse, S., Sanders, T., Nix, P. (2012). Epistaxis. BMJ;344:e1097.
Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara.
Jakarta: EGC.
Nuty, W.N., Endang, M. (2008). Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI.
Nwaorgu, O.G.B. (2004). Epistaxis: An Overview. Annals of Ibadan Postgraduate
Medicine.
Pope, L.E.R., Hobbs, C.G.L. (2005). Epistaxis: An Update on Current Management.
Postgrad Med J\
Rafael Beck, Martin Sorge, Antonius Schneider, Andreas Dietz. Current Approaches to
Epistaxis Treatment in Primary and Secondary Care. Dtsch Arztebl Int,
2018; 115: 12–22.
Schlosser RJ. 2009. Epistaxis. London: New England Journal of Medicine
Soetjipto, Damayanti dan Retno S Wardani. Epistaksis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I 32 (ed).
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012:
131-5.
Trihono, Partini P., Windiastuti, Endang, Pramita Gayatri. 2012. Kegawatan pada Bayi dan
Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Wormald, Peter-John. (2006). Epistaxis. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed.,
Edited by Bailey, B.J., Lippincott-Raven, Philadelphia-New York

Anda mungkin juga menyukai