Epista Ks Is
Epista Ks Is
PENDAHULUAN
2. Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis
pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan
kekakuan pembuluh darah (Nwaorgu, 2004). Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik
antara lain
a. Usia. Epistaksis dapat terjadi di semua kelompok umur, tapi paling dominan
berpengaruh pada orang tua (50-80 tahun) dan anak-anak (2-10 tahun) (Mulla, et
al., 2012).
b. Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan
kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada
mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat (Nwaorgu, 2004).
c. Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan
antiplatelets (aspirin, clopidogrel) (Pope & Hobbs, 2005).
d. Kurangnya faktor koagulasi (trombositopenia,koagulopati kongenital/di dapat,
defisiensi vitamin A, D, E, C, atau K, penyakit liver, gagal ginjal, malnutrisi,
polisitemia vera, multipel mieloma, leukemia) (Wormald, 2006).
e. Penyakit kardiovaskular (congestive heart failure, stenosis katup miral) (Wormald,
2006).
f. Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis (Jeffrey, 2012).
g. Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol (Pope & Hobbs,2005).
h. Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau hormon
mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism,
kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism (Idham & Sanjaya,
2005).
Kelainan sistemik yang paling sering berhubungan dengan epistaksis adalah
hipertensi. Pada pasien dengan hipertensi dan epistaksis dipikirkan bahwa
bertambahnya usia menginduksi terjadinya fibrosis pada tunica media. Hal ini bisa
menyebabkan gangguan vasokonstriksi yang adekuat pada pembuluh darah apabila
terjadi ruptur (Massick, et al., 2005).
3. Idiopatik (10% kasus)
Penyebab epistaksis anterior biasanya bersifat lokal, sedangkan epistaksis posterior
bersifat sistemik.
3.1 Kesimpulan
Epistaksis atau mimisan merupakan perdarahan pada hidung dan keluar melalui lubang
hidung akibat adanya kelainan lokal pada rongga hidung ataupun karena kelainan yang
terjadi di tempat lain dari tubuh. Di Amerika Serikat angka kejadian berkisar antara 5 –
14%. Pada umumnya mereka mengalami epistaksis 1 kali per-tahun dan ternyata hanya 6
-10% yang mencari pertolongan ke dokter serta hanya 10% di antaranya dirujuk ke dokter
spesialis THT. Ada beberapa keadaan menjdai faktor risiko dari epistaksis adalah trauma,
penyakit yang mendasari (rinitis alergi, rinosinusitis), penyakit sistemik, riwayat
penggunaan obat-obatan, tumor, kelainan kongenital, deviasi septum, dan kebiaasan.
Faktor lokal dan faktor sistemik merupakan etiologi dari epistaksis diawali oleh
pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. 80% perdarahan berasal dari
pembuluh darah Pleksus Kiesselbac yang menyebabkan epistaksis anterior. Sedangkan
epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Penanganan awal dari epistaksis yaitu mengusahakan penderi duduk atau meletakkan
bantal di belakang punggung kemudian kepala dimiringkan agar tidak terjadi obstruksi
jalan nafas setelah itu hidung dipencet dibagian tengah antar kedua luabng hidung sambil
memegang tisu atau handuk. Selama memencet hidung diusahakan bernafas melalui mulut.
Kemudian penderita diberikan kompres air dingin kemudian evaluasi tiap 10 menit untuk
mengetahui darah masih mengalir atau tidak.
Agar tidak terjadi epistaksis berulang, maka penderita memerlukan beberapa hal yang
harus dilakukan seperti menghindari mengkorek-korek hidung, membatasi obat apirin atau
ibuprofen, menggunakan tetes hidung NaCl atau air garam steril untuk membasai hidung,
menghindari benturan pada hidung, dan konsultasikan kepada dokter apabila epistaksis
terus berulang.
Douglas R, Wormald PJ. 2007. Update on epistaxis. Curr Opin Otolryngol Head and Neck
Surg.
Gifford TO, Orlandi RR. 2008. Epistaxis. Otolaryngol Clin Nort Am.
Idham, I., Sanjaya, W. (2005). Angiotensin-II dan Remodelling Vaskular. Cermin Dunia
Kedokteran
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer edisi Revisi. Jakarta: PB IDI.
Jeffrey, D. Suhh, MD. (2012). Article of American Rhinologic society. United states of
America.
Maron, A.G.D. (1993). (eds). Otorhinolaryngology Including Oral Medicine and Surgery.
Vol. 4 Baltimore, University Park Press.
Massick, Douglas, Evan, J.Tobin. (2005). : Epistaxis and Nasal Trauma. Otolaryngology-
Head and Neck Surgery vol. 2, 4th ed., Edited by Cummings, Fredrckson,
Harker, Krause, & Schuller, Mosby Year Book, St.Louis, Missouri
Middleton, P. (2004). Epistaxis. Emerg Med Australas
Mulla, O., Prowse, S., Sanders, T., Nix, P. (2012). Epistaxis. BMJ;344:e1097.
Munir D, Haryono Y, Rambe AYM. 2006. Epistaksis. Majalah Kedokteran Nusantara.
Jakarta: EGC.
Nuty, W.N., Endang, M. (2008). Perdarahan hidung dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI.
Nwaorgu, O.G.B. (2004). Epistaxis: An Overview. Annals of Ibadan Postgraduate
Medicine.
Pope, L.E.R., Hobbs, C.G.L. (2005). Epistaxis: An Update on Current Management.
Postgrad Med J\
Rafael Beck, Martin Sorge, Antonius Schneider, Andreas Dietz. Current Approaches to
Epistaxis Treatment in Primary and Secondary Care. Dtsch Arztebl Int,
2018; 115: 12–22.
Schlosser RJ. 2009. Epistaxis. London: New England Journal of Medicine
Soetjipto, Damayanti dan Retno S Wardani. Epistaksis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I 32 (ed).
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012:
131-5.
Trihono, Partini P., Windiastuti, Endang, Pramita Gayatri. 2012. Kegawatan pada Bayi dan
Anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
Wormald, Peter-John. (2006). Epistaxis. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed.,
Edited by Bailey, B.J., Lippincott-Raven, Philadelphia-New York