1. Waxing
Waxing adalah cara pembuatan pola malam (wax pattern). Pola malam dibuat dengan tujuan
untuk:
a. Mendapatkan suatu restorasi atau rehabilitasi gigi sesuai dengan ukuran dan bentuk
gigi yang direstorasi atau direhabilitasi.
b. Mendapatkan adaptasi yang baik dengan gigi yang direstorasi atau direhabilitasi.
c. Mendapatkan hubungan yang baik dengan gigi tetangganya maupun gigi
antagonisnya.
d. Mendapatkan bentuk anatomi yang baik sesuai dengan bentuk restorasi gigi atau
rehabilitasi gigi (Anusavice, 2003).
Wax pattern berguna untuk membentuk ruang cetak (mould space) di dalam bahan invesmen
setelah malam dan pola malam (di dalam invesn) dihilangkan (wax elimination).
Cara pembuatan pola malam ada 3 cara :
1. Cara langsung (direct)
Cara langsung ini dibuat seluruhnya di dalam mulut pasien, sehingga tidak
memerlukan die.
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung ini pola malam dibuat seluruhnya pada die, sehingga
pembuatannya diluar mulut pasien.
3. Cara langsung tidak langsung
Pada cara ini mula-mula sebagian pola malam dibuat di mulut pasien untuk
mendapatkan oklusi yang baik, kemudian ditransfer ke die, dan dibuat pola malam
sampai selesai, sehingga cara ini dibutuhkan die (Anusavice, 2003).
2. Spruing
Spruing adalah cara pembuatan sprue pin. Kegunaan sprue pin untuk :
Pembentukan Sprue di dalam invesmen.
Pegangan pola malam pada waktu investing.
Pembuatan sprue pin dapat dibuat dan bahan :
a. Logam
Sprue pin yang terbuat dan logam, maka sebelum dilakukan preheating sprue pin
diambil lebih dahulu. Untuk memudahkan pengambilan, sprue pin logam dilapisi
dengan malam. Keuntungan Sprue pin yang terbuat dan logam apabila dilekatkan
pada pola malam, maka pegangannya lebih erat dan kuat. Kerugiannya Sprue pin dan
logam apabila tidak dilapisi malam, maka akan sukar dikeluarkan atau dilepaskan dan
pola malam sesudah investing (Anusavice, 2003).
b. Inlay casting wax seluruhnya Sprue pin yang terbuat seluruhnya dan malam inlal
(inlay casting wax) maka pada wax elimination tidak perlu diambil karena sprue pin
akan hilang bersama - sama dengan pola malamnya. Keuntungannya:
Pada wax elimination sprue pin akan menguap bersama – sama dengan pola
malamnya, sehingga tidak meninggalkan malam sedikitpun dalam mould
space.
Perlekatannya dengan pola malam kuat dan tidak mudah lepas. Kerugiannya :
Mudah patah, karena malam inlai apabila sudah keras bersitat getas
(Anusavice, 2003).
c. Plastik / resin
Sprue pin yang terbuat seluruhnya dan malam inlai (inlay casting wax) maka pada
wax elimination tidak perlu diambil karena sprue pin akan hilang bersama - sama
dengan pola malamnya. Kerugiannya:
Sukar dilepaskan dan pola malam sesudah investing dan dibiarkan tidak
diambil pada waktu wax elimination.
Bahan plastik / resin apabila dipanasi akan memuat lebih besar, sehingga akan
merusak dinding invesmennya.
Suhu cair plastik Iebih besar daripada malam, sehingga pada waktu wax
elimination malam pola sudah mencair dan menguap, tetapi plastik / resin
belum cair atau menguap, akibatnya ada sisa plastik di dalam sprue dan ini
akan menyumbat aliran logam cair (Anusavice, 2003).
Diameter sprue pin
Diameter sprue pin tidak ada ketentuan yang pasti, tergantung dan; pertama, besarnya pola
malam yang dibuat dan yang kedua, jenis casting machine yang digunakan untuk casting.
Sebagai standar diameter sprue pin sebagai berikut:
a. Untuk inlai yang kecil ± 1,3 mm
b. Untuk inlai yang besar ± I ,b mm
c. Untuk mahkota penuh ± 1,6 mm
d. Untuk inlai yang paling besar ± 2,6 mm
Menurut Skinner (1960) dan Peyton and Craig Menurut Skinner (1960) dan F’eyton and
Craig. (1971) menyatakan bahwa diameter sprue pin, menurut Brown adalah gauge no. 10
atau 0,259 cm, sedangkan menurut Sharpe adalah gauge no. 16 atau 0,129 cm (Anusavice,
2003).
Pembuatan Sprue pin yang berhubungan dengan casting machine yang digunakan
Apabila menggunakan chorizontal casting macnine pada casting, maka sprue pin diameternya
harus besar dan pendek, sebab pelelehan logam dilakukan pada fire clay. Apabila
menggunakan hand casting sistem (slinger aparat) yang gerakannya vertikal maka diameter
sprue pin kecil dan panjang serta ditambah reservoir former / reservoir former karena
pelelehan logam dilakukan pada sprue hold (crucible). Pada sprue pin tidak harus ditambah /
dibuat reservoir modul. Untuk sprue pin yang diameternya besar tidak perlu ditambah
reservoir modul, tetapi sprue pin yang diameternya kecil perlu ditambah reservoir modul.
Ukuran panjang sprue pin juga tidak ada ketentuan yang pasti, karena tergantung dan besar
kecilnya dan bentuknya pola malam (Anusavice, 2003).
3. Investing
Investing adalah cara untuk menanam pola malam dalam bahan invesmen. Yang perlu
diperhatikan pada investing:
a. Letak pola malam di dalam casting ring. Pola malam letaknya harus ditengah – tengah
agar jarak antar pola malam dan dinding – dinding casting ring sama.
b. Jarak pola malam dan dasar casting ring terletak antara (6 - 8 mm)
c. Perbandingan antara air dan puder (w/p ratio) harus tepat (Anusavice, 2003).
6. Pickling
Pickling adalah suatu cara penghilangan / pembersihan oksidasi yang terjadi pada permukaan
logam cur yang mengandung logam mulia dengan larutan pickling.
Larutan pickling ada 2 jenis:
1. Larutan asam hidro chlorida (HCl)
2. Larutan asam sulfat (H2SO4)
Cara pickling:
Hasil casting logam aloy yang mengandung dasar logam mulia warnanya hitam diikat dengan
benang dan dipanasi dahulu. Sebelumnya sudah dipersiapkan dahulu salah satu larutan
pickling yang sudah diencerkan. Sesudah panas, hasil cor dimasukkan ke dalam larutan
pickling sebentar sarnpai warna hilang dan warna semula muncul. Oleh karena larutan
pickling ini sangat toksis, maka untuk menetralisir, hasil cur dimasukkan ke dalam larutan
sodium bicarbonat (Anusavice, 2003).
Bahan khas mengandung 35-65% kobalt, 25-35% kromium, nikel 0-30%, sedikit
molibdenum dan jumlah jejak elemen lainnya seperti berilium, silikon dan karbon. Kobalt
dan nikel adalah logam keras dan kuat. Tujuan utama kromium adalah untuk lebih
mengeraskan alloy dengan larutan pengerasan dan juga untuk memberikan ketahanan
terhadap korosi oleh efek pasivasi. Kromium yang terpapar pada permukaan alloy dengan
cepat menjadi teroksidasi untuk membentuk lapisan permukaan oksida kromik tipis yang
pasif yang mencegah serangan lebih lanjut pada sebagian besar alloy. Konsentrasi unsur
minor memiliki efek lebih besar pada sifat fisik alloy daripada konsentrasi kobalt-kromium-
nikel relatif. Elemen minor umumnya ditambahkan untuk memperbaiki karakteristik
pengecoran dan penanganan dan memodifikasi sifat mekanik (McCabe et al., 2008).
Sebagai contoh, silikon menanamkan sifat pengecoran yang baik ke alloy nikel dan
meningkatkan daktilitasnya. Demikian pula, molibdenum dan berilium ditambahkan untuk
memperbaiki struktur butiran dan memperbaiki perilaku alloy logam dasar selama
pengecoran. Karbon mempengaruhi kekerasan, kekuatan dan keuletan alloy dan konsentrasi
karbon yang tepat adalah salah satu faktor utama yang mengendalikan sifat alloy. Karbon
membentuk karbida dengan komponen dan konsentrasinya tergantung pada jumlah yang
ditambahkan oleh produsen dan yang mungkin secara tidak sengaja diperkenalkan saat
pengecoran jika alloy dilelehkan dengan obor oxyacetylene. Kehadiran karbon terlalu banyak
menghasilkan alloy yang rapuh dengan daktilitas yang sangat rendah dan meningkatnya
fraktur. Selama kristalisasi, karbida diendapkan di daerah interdendritik yang membentuk
batas butir. Biji-bijian umumnya jauh lebih besar daripada yang dihasilkan pada pengecoran
alloy emas dan mungkin saja karbida yang diendapkan membentuk fasa kontinu sepanjang
alloy. Jika ini terjadi, alloy menjadi sangat keras dan rapuh karena fase karbida bertindak
sebagai penghalang untuk tergelincir. Fase karbida yang tidak kontinyu lebih disukai karena
memungkinkan beberapa slip dan mengurangi kerapuhan. Apakah fase karbida kontinyu atau
terputus-putus terbentuk tergantung pada jumlah karbon yang ada dan pada teknik
pengecoran. Suhu leleh yang tinggi selama casting mendukung fase karbida yang tidak
kontinyu namun ada batas yang dapat digunakan untuk keuntungan apapun karena
penggunaan suhu pengecoran yang sangat tinggi dapat menyebabkan interaksi antara alloy
dengan cetakan/mould (McCabe et al., 2008).
Biokompatibilitas
Paduan pengecoran logam dasar mengandung beberapa komponen yang dianggap racun atau
diketahui menyebabkan reaksi alergi pada beberapa orang. Penggunaan paladium pada
aplikasi dental dan non-dental memiliki pengaruh risiko kepekaan pasien, karena dosis yang
sangat rendah cukup untuk menyebabkan reaksi alergi pada individu yang rentan. Telah
disarankan bahwa pasien yang memiliki alergi terhadap nikel harus diberitahu bahwa paparan
paladium mengandung alloy dapat menyebabkan alergi paladium, meskipun risikonya relatif
rendah. Nikel menyebabkan risiko alergi dermatitis kontak. Campuran logam nikel bebas
nikel tersedia dan kemungkinan untuk mendapatkan penggunaan yang cukup luas sebagai
alternatif untuk pasien-pasien yang diketahui atau diduga alergi nikel. Standar untuk paduan
logam dasar ini memberi penekanan yang cukup besar pada komposisi dan hubungan
komposisi terhadap bahaya biologis yang potensial. Pabrik diharuskan untuk menempatkan
peringatan pada kemasan bahan yang berkaitan dengan komposisi lebih dari 1% nikel atau
unsur berbahaya lainnya dalam paduan Co / Cr (ISO 6871-1: 1996) atau peringatan bahwa
alloy mengandung paduan nikel atau Ni / Cr (ISO 6871-2: 1996) dan dalam kasus terakhir
peringatan lebih lanjut jika paduan mengandung lebih dari 0,02% berilium atau unsur
berbahaya lainnya. ISO 6871-2: 1996 juga menguraikan pedoman penanganan paduan yang
mengandung berilium, termasuk kebutuhan akan ventilasi yang memadai dan penggunaan
pakaian dan peralatan pelindung. Perubahan ISO 6871 (bagian 1 dan 2) sekarang membatasi
tingkat berilium yang diijinkan menjadi kurang dari 0,02%. Titanium dan paduan logam ini
dengan, misalnya, vanadium diketahui memiliki biokompatibilitas yang menguntungkan dan
cenderung menjadi lebih banyak digunakan untuk aplikasi dental di masa depan (Mc Cabe et
al., 2008).
Daftar Pustaka
Anusavice, K.J., 2003, Phillips' Science on Dental Materials., 11 th ed., Saunders,. Elsevier
Science
John F. McCabe; Angus W.G. 2008. Applied Dental Materials Ninth Edition. United
Kingdom: Backwell Publishing