Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PRAKTIKUM KOMUNIKASI KESEHATAN

BLOK XI KESEHATAN LINGKUNGAN, DEMOGRAFI DAN GIZI


MASYARAKAT
DIABETES MELLITUS

Disusun Oleh :
Ria Inawati 161610101053
Pintan Qorina D. 161610101102
Dinda Virgatha Dea 161610101115

Dosen Pembimbing: Dr. Drg. Ari Tri Wanadyo Handayani, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2107
BAB I
PENDAHULUAN

Seiring dengan berjalannya waktu, pola perubahan cara hidup tentu tidak
dapat dipungkiri. Salah satu perubahan cara hidup yang paling mudah kita
temukan adalah perubahan pola makan. Pola makan di kota - kota telah bergeser
dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari
sayuran, ke pola makan kebarat - baratan, dengan komposisi makanan yang
terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit
serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap saji
yang sangat digemari terutama oleh anak - anak dan remaja.
Perubahan cara hidup yang salah satunya terjadi pada pola makan yang
berubah tentu mempunyai hubungan dengan perubahan pola penyakit. Ada
beberapa penyakit yang prevalensinya turun namun ada juga penyakit yang
prevalensinya semakin meningkat, salah satunya penyakit menahun yang
disebabkan oleh penyakit degeneratif yaitu diabetes melitus.
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Ada tiga keluhan khas dari penderita diabetes melitus yaitu
poliuria, polidipsia, dan polifagia.
Kasus diabetes melitus terus meningkat seiring berkembangnya zaman.
Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada
abad ke 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada
tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta
orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah
tersebut akan meningkat menjadi 300 juta orang. Ada beberapa manifestasi oral
yang ditemukan pada penderita diabetes melitus, antara lain gingivitis,
periodontitis, karies gigi, xerostomia, dll.
BAB II
ISI

2.1. DEFINISI
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang
bersifat kronis akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau
tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin secara efektif (Kemenkes RI,
2013). Menurut WHO, 2017, Diabetes Melitus adalah kenaikan
hiperglikemia yang meningkatkan resiko kerusakan mikrovaskuler
(retinopati, nefropati, neuropati).
Menurut WHO, 2017, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 3
yaitu Diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan diabetes gestasional. Menurut
ADA, 1997, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu Diabetes
tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes lain – lain dan diabetes gestasional.

2.2. KLASIFIKASI DIABETES


DIABETES MELLITUS TIPE I

Diabetes melitus tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas
(reaksi autoimun). Sel β pancreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang
menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh.
Bila kerusakan sel β pancreas telah mencapai 80 - 90% maka gejala DM mulai
muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa.
Sebagian besar penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses autoimun
dan sebagian kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya
juga disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini ditemukan insulinopenia
tanpa adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1
sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun dan diabetes melitus
tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 % dari seluruh kasus DM yang ada
(John,2006).

2.2.1.
a.) Etiologi
Autoimunitas merupakan keadaan dimana autoantibodi akan menyerang
autoantigen sehingga akan terjadi kerusakan pada organ tubuh. Dalam keadaan
yang normal, sistem imun memiliki sifat self – tolerance terhadap autoanitgen,
sehingga tidak dapat menyerangnya. Tetapi pada kasus autoimunitas, sifat self –
tolerance ini tidak terbentuk, sehingga semua yang ada dalam tubuh disebut
antigen bagi anitobidi sehingga akan diserang. Hal tersebut juga bisa terjadi pada
sel beta pankreas.
b.) Faktor Predisposisi
1. Genetik
Apabila seseorang memiliki gen HLA (histocompatibility leukocyte
antigens) terdapat pada kromosom 6 maka akan lebih beresiko terkena DM
tipe 1. Selain itu, penyakit tersbeut dapat diturunkan kepada anaknya.
2. Epigenetik
Epigenetik merupakan perubahan fenotip sehingga yang seharusnya
diekspresikan protein yang membentuk insulin, tetapi tidak terbentuk.
Sehingga insulin juga tidak terbentuk maka akan memperburuk penyakit
DM tipe 1.
3. Lingkungan (virus dan bakteri)
Adanya virus dapat merusak DNA atau RNA sel sehingga akan merusak
susunan protein untuk pembentuk insulin. Selain itu, virus dan bakteri
akan menyebabkan respon imunitas semakin tinggi sehingga
memperburuk keadaan dari DM tipe 1.
4. Usia
Semakin tinggi usia seseorang, maka akan semakin turun kondisi imunitas
seseorang. Hal tersebut adalah fisiologis. Kondisi imun seseorang yang
turun akan lebih mudah mikroorganisme untuk melakukan infeksi dalam
tubuh.
c.) Patogenesis
Sel B limfosit akan mensekresikan autoantibodi IAA (Insulin
autoantibodi), ICA (Islet cell autoantibody), dan GADA(autoantibody to glutamic
acid decarboxylate). Sekresi zat tersebut akan menyebabkan sel imun teraktivasi
sehingga akan menyerang sel beta pankreas. Selain itu, autoantibodi akan
menyerang insulin yang dihasilkan dengan cara insulin diikatkan dengan reseptor
dari IAA sehingga mencegah ikatan ke reseptor membran sel. Adanya ICA akan
menyebabkan limfosit T sitotoksis memfagositosis sel beta pankreas.

2.2.2. DIABETES MELLITUS TIPE II


Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan
atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin). Pada penderita DM tipe ini terjadi
hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam
jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin
(reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam
darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan
sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi
terhadap adanya glukosa.Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu
gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan
mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
a.) Etiologi
Diabetes Mellitus tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β gangguan
sekresi insulin dan resisten insulin (Menurunnya sensitivitas jaringan terhadap
insulin) merupakan 2 faktor genetik utama etiologi DMT2.Resisten insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.(Smeltzer dan
Bare , 2002)
Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya
terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa. (Smeltzer dan Bare , 2002)
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.(Smeltzer dan
Bare , 2002)
Resistensi insulin adalah penurunan kemampuan insulin untuk berkerja efektif
pada jaringantarget, terutama otot, hati dan lemak, ini adalah gambaran penting
DM tipe 2.Resistensi insulin menunjukkan adanya gangguan respon biologis
terhadap insulin baik yang diberikaneksogen atau insulin endogen. Resistensi
insulin dimanifestasikan penurunan stimulasi oleh insulin untuk transportasi dan
metabolisme glukosa dalam sellemak dan otot rangka oleh gangguan penekanan
keluaran glukosa hati. Sensitivitas insulin dipengaruhi oleh sejumlah faktor
termasuk usia, berat badan, etnis, lemak tubuh (terutama abdomen), aktivitas fisik,
dan obat-obatan. Dan hal ini merupakan hasil kombinasiketerlibatan genetik
dengan obesitas.(Smeltzer dan Bare , 2002)
Diabetes tipe 2 memiliki resistensi insulin bahkan pada saat mereka tidak
obesitas,halini menunjukan kuatnya komponen genetik dalam pengembangan resi
stensi insulin. Resistensi insulin ditemukan pada pasien dengan DMT 2,
dan resistensi telah terjadi bertahun-tahun sebelum timbulnya diabetes.Resistensi
insulin tidak hanya terjadi pada DM tipe 2, pada obesitas dan
kehamilan,sensitifitas jaringan terhadap insulin juga menurun (bahkan ketika
tidak ada penyakit DM), dan kadar insulin dalam serum dapat meningkat untuk
mengkompensasi resistensi insulin.Resistensi insulin mengganggu penggunaan
glukosa oleh jaringan sensitif terhadap insulin dan meningkatkan pengeluaran
glukosa hati; kedua efek tersebut menyebabkan terjadinya
hyperglycemia.Peningkatanpengeluaran glukosa hepatik utamanya akan
menyebabkan peningkatan kadar glukosa puasa. Sedangkan penurunan
penggunaan glukosa di perifer akan menyebabkan hiperglikemia postprandial.
Pada otot rangka ada terjadi penurunan lebih besar dalam penggunaan glukosa
nonoxidativ (formasi glikogen) dibandingkan gangguan metabolisme glukosa
oksidativ melalui glikolisis.Metabolisme glukosa pada jaringan tidak tergantung
insulin tidak terganggu pada DM tipe 2. Dasar-dasar molekuler untuk resistensi
insulin masih belum jelas.Penurunan jumlah reseptor insulin dan aktivitas tyrosine
kinase pada otot rangka berkurang.Tetapi perubahan ini akibat sekunder dari
hiperinsulinemia bukan merupakankerusakan primer. Yang diyakini sebagai
penyebab utama dari resistensi insulin adalah adanya gangguan pada sinyal post
reseptor yang diberikan insulin. Patogenesis resistensi insulin difokuskan pada
defek sinyal Proinsulin-3-kinase, yang akan mengurangi translokasi GLUT4 ke
membran plasma.Seperti diketahui, ikatan insulin dan reseptornya menyebabkan
translokasi GLUT4 terhadap sel membrane yang akan memfasilitasi pengambilan
glukosa oleh sel. pengurangansintesis dan translokasi GLUT4otot dan sel-
sel lemak menjadi penyebab dasar dari insulin resisten yang terdapat pada
obesitas dan juga pada DM tipe 2. Polimorfisme pada IRS-1 (Insuline Reseptor
Substrat) dapat berhubungan dengan intoleransi glukosa, peningkatan
kemungkinan polimorfisme pada molekul post reseptor merupakankombinasi
untuk menciptakan keadaan resistensi insulin.Sebagian besar penderita diabetes
melitus tipe 2 memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi dengan penyebab
yang multifaktorial, beberapa dari hal tersebut adalah faktor genetik, asupan
makanan yang berlebihan, dan aktifitas fisik yag kurang. Ketidakseimbangan
antara asupan dan pengeluaran energi akanmenyebabkan peningkatan konsentrasi
asam lemak (FFA) di dalam darah.(Smeltzer dan Bare , 2002).
Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di otot
dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin di otot rangka dan hati
yang merangsang terjadinya hiperinsulinemia, peningkatan produksi glukosa dari
hati, dan gangguan fungsi sel beta pankreas. Karena adanya penurunan regulasi
insulin, resistensi insulin akan semakin meningkat.(Smeltzer dan Bare , 2002).
Pada keadaan obesitas, terjadi suatu mekanisme perubahan metabolik yang
belum jelas dimengerti, yang mana terjadi perubahan sensitivitas jaringan adiposa
terhadap insulin untuk menyesuaikan berat badan, selera makan,dan pengeluaran
energi.(Smeltzer dan Bare , 2002).

b.) Faktor Predisposisi


Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer &
Bare, 2002) antara lain:
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan
insulin dengan baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang
secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan
pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak
peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-
manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini
mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya.Tetapi
gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit
DM tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat
mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).Obesitas bukan
karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan
jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah
yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM
tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.
c.) Patogenesis
Secara patofisiologi, DM tipe 2 ini bisa disebabkan karena dua hal yaitu :
(1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin. Peristiwa tersebut
dinamakan resistensi insulin,
(2) Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai
respon terhadap beban glukosa.
Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan kegemukan. Sebagai
kompensasi, sel β pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak
sehingga kadar insulin meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang
tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri
(self regulation) dengan menurunkan jumlah reseptor atau down regulation.Hal
ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Di lain pihak, kondisi
hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi reseptor insulin pada
tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi
pengangkut glukosa dn aktivasi glikogen sintase. Kejadian ini mengakibatkan
terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada permulaan proses
terjadinya DM tipe 2. Hal tersebut mngindikasikan telah terjadi defek pada
reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan
produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan
peningkatan kadar gula darah (hiperglikemik) (Nugroho, 2006).
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena lemahnya kemampuan pankreas
dalam mensekresikan insulin yang dikombinasikan dengan lemahnya aksi insulin,
sehingga menyebabkan penurunan sensitivitas insulin. Penurunan sensitivitas
insulin terjadi pada permukaan sel tubuh yang dinamakan reseptor insulin;
reseptor insulin akan memberikan sinyal pada pengangkut glukosa untuk
memungkinkan lewatnya glukosa yang dibawa oleh hormon insulin masuk ke
dalam sel. Di dalam mitokondria, glukosa tersebut akan digunakan untuk
menghasilkan energi yang diperlukan dalam pelaksanaan fungsi setiap sel tubuh
(Hartono dalam Fachreza, 2009).
Insulin yang diproduksi pada sel β pankreas akan menempati reseptornya,
yang kemudian memberikan sinyal transduksi pada pengangkut glukosa untuk
dapat melakukan penyerapan glukosa, sehingga glukosa yang beredar dalam darah
akan masuk ke dalam sel. Penurunan sensitivitas insulin pada penderita DM tipe 2
dapat disebabkan oleh kerusakan sinyal transduksi (Rimbawan dan Siagian dalam
Fachreza, 2009). Sinyal transduksi atau disebut juga sinyal sel (cell signalling)
merupakan suatu proses komunikasi yang meliputi konsep tentang tanggapan sel
terhadap rangsangan dari sekelilingnya yang disusul dengan timbulnya reaksi di
dalam sel. Kerusakan sinyal transduksi pada DM tipe 2 dapat dimulai dari insulin
abnormal sampai kerusakan pada reseptor insulin pengangkut glukosa. Reseptor
insulin ini merupakan reseptor tirosin kinase (RTK) yang terdiri dari 2 subunit α
dan 2 subunit β. Subunit α terdapat di bagian luar membran sel yang mampu
berikatan dengan hormon insulin, sedangkan subunit β merupakan bagian
transmembran yang meneruskan sinyal ke dalam sel. Kerusakan sinyal transduksi
ini dapat disebabkan oleh terjadinya disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria
ini terjadi akibat adanya akumulasi mutasi-mutasi pada daerah D-loop mtDNA
yang di luar ambang batas toleransi. Seperti diketahui bahwa D-loop merupakan
titik awal untuk proses replikasi dan transkripsi yang terjadi pada mtDNA.
Adanya mutasi-mutasi di daerah D-loop mtDNA dapat mengubah ikatan DNA
pada daerah tersebut, sehingga dapat mempengaruhi interaksi antara protein-
protein pengontrol transkripsi dan replikasi dengan rantai DNA sendiri. Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam proses replikasi maupun
transkripsi (Poulton, 2002)
Seiring dengan kejadian tersebut, pada permulaan DM tipe 2 terjadi
peningkatan kadar glukosa dibanding normal, namun masih diiringi dengan
sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut menyebabkan
reseptor insulin harus mengalami adaptasi sehingga responnya untuk mensekresi
insulin menjadi kurang sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada
defisiensi insulin. Pada DM tipe 2 akhir telah terjadi penurunan kadar insulin
akibat penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin, dan
diiringi dengan peningkatan kadar glukosa dibandingkan normal (Nugroho, 2006)
Gejala diabetes mellitus tipe 2 muncul secara perlahan-lahan sampai menjadi
gangguan yang jelas. Pada tahap permulaannya terdapat gejala-gejala berikut
ini(Maulana, Mirza: 2008):
1. Cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit
2. Sering buang air kecil
3. Terus-menerus lapar dan haus
4. Kelelahan berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya
5. Mudah sakit berkepanjangan
6. Biasanya terjadi pada mereka yang berusia diatas 40 tahun

2.3. MANIFESTASI RONGGA MULUT


A. Xerostomia
Neuropati diabetik terjadi banyak faktor yaitu vaskular, metabolik dan
mekanik.Sedangkan faktor kausatif utamanya adalah gangguan metabolik jaringan
saraf.Pada diabetes mellitus, glukosa yang berlebihan diubah oleh aldose
reduktase menjadi sorbitol.Sehingga terdapat banyak akumulasi sorbitol terutama
pada neuron, lensa mata, pembuluh darah dan eritrosit.Sorbitol ini bersifat
higroskopik sehingga menarik air dan meningkatkan tekanan osmotik dalam sel
saraf.Tekanan osmotik ini mampu menyebabkan rusaknya saraf.Penumpukan
sorbitol dan fruktosa dalam sel juga menyebabkan rendahnya
mioinositol.Gangguan ini menyebabkan fungsi ATP-ase juga terganggu, padahal
ATP-ase berperan penting dalam konduksi sel saraf.Kedua faktor ini
menyebabkan gangguan pada sel Schwann dan akson sehingga menyebabkan
demielinisasi dan degenerasi akson.
Adanya komplikasi neuropati ini pada penderita diabetes mellitus,
menyebabkan gangguan saraf termasuk inervasi ke kelenjar saliva. Padahal
kelenjar saliva terutama dikontrol oleh sinyal saraf simpatis dan parasimpatis.
(Rina dan Agung, 2012).
Mekanisme lainnya yang mungkin terjadi adalah terjadinya diuresis pada
penderita diabetes melitus.Ini menyebabkan terjadinya poliurin mengakibatkan
dehidrasi dan berpengaruh terhadap turunnya sekresi saliva oleh glandula saliva.
Kemungkinan lain yang menyebakan xerostomia pada penderita DM adalah
penggunaan beberapa obat yang memengaruhi produksi saliva. (Rina dan Agung,
2012).
B. Karies
Karies merupakan proses demineralisasi yang menyebabkan kerusakan
jaringan keras gigi, hal ini terjadi oleh karena asam yang ada dalam karbohidrat
melalui perantara mikroorganisme yang ada dalam saliva. Seseorang dengan
diabetes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena karies karena tingginya
kadar glukosa dalam saliva. (Norma et al, 2011)
Tingginya kejadian karies pada penderita diabetes mellitus dikarenakan
ketidakmampuan dalam pengendalian glukosa darah yang mengakibatkan
tingginya kadar glukosa dalam saliva. (Miller et al, 2003)
Seseorang dengan diabetes dapat mengalami keadaan yang disebut
hyposalivasi dan gangguan fungsi saliva, dimana saliva tersebut memiliki
komponen-komponen yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
kariogenik.Sehingga penurunan produksi saliva dapat meningkatkan resistensi
bakteri penyebab karies. Tingginya kadar glukosa darah pada penderita diabetes
berhubungan dengan tingginya kadar glukosa dalam saliva55. Saliva dengan
kadar glukosa yang tinggi dapat meningkatkan produksi asam melalui proses
fermentasi oleh bakteri di dalam mulut, kemudian terjadi proses demineralisasi
yang menghasilkan karies gigi. (Maricelle, 2009)

C. Periodontitis
Dari seluruh komplikasi Diabetes Melitus, Periodontitis merupakan
komplikasi nomor enam terbesar di antara berbagai macam penyakit dan Diabetes
Melitus adalah komplikasi nomor satu terbesar khusus di rongga mulut.Hampir
sekitar 80% pasien Diabetes Melitus gusinya bermasalah.Periodontitis ialah
radang pada jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang). Tanda-tanda periodontitis
antara lain pasien mengeluh gusinya mudah berdarah, warna gusi menjadi
mengkilat, tekstur kulit jeruknya (stippling) hilang, kantong gusi menjadi dalam,
dan ada kerusakan tulang di sekitar gigi, pasien mengeluh giginya goyah sehingga
mudahlepas.Penyakit periodontal diawali dengan plak gigi.Pada penderita
diabetes melitus terjadi perubahan respon jaringan periodontal terhadap iritasi
lokal.Diabetes Melitus pada dasarrnya terjadi pada semua pembuluh darah
diseluruh bagian tubuh (Angiopati Diabetik). Penyebab terjadinya komplikasi
diabetes melitus pada rongga mulut antara lain karena adanya mikroangiopati
pada sistem vaskuler jaringan periodontal. Akumulasi AGE pada jaringan
periodontal juga cenderung berperan dalam meningkatkan peradangan periodontal
pada individu dengan diabetes.Secara singkat hubungan Advance Glycation End
Product (AGEs) dengan diabetes melitus adalah AGEs biasanya terjadi pada
penderita diabetes melitus karena kondisi hiperglikemia (kadar gula darah yang
tinggi)sehingga terjadi proses glikosilasi (pengikatan gula) terhadap protein dan
lemak, akibatnya terjadi proses oksidasi dan terbentuk radikal bebas.AGE ke
reseptornya (RAGE) menghasilkan produksi mediator inflamasi yang diregulasi
seperti IL-1β, TNF-α dan IL-6. Pembentukan AGE menghasilkan produksi ROS
atau radikal bebas tadi sehingga meningkatkan stres oksidan.Radikal bebas ini
yang dapat merusak pembuluh darah kecil (microvascular) maupun pembuluh
darah besar (macrovascular), dan juga sel-sel tubuh.Hal ini menyebabkan
terjadinya gangguan penyebaran oksigen, nutrisi maupun pembuangan sisa
metabolisme yang mengakibatkan penurunan resistensi jaringan sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. (Preshaw et al, 2012).
AGE juga menyebabkan defek PMNyang berpotensi meningkatkan
kerusakan jaringan lokal secara signifikan pada periodontitis. Selanjutnya, AGE
memiliki efek yang merugikan pada metabolisme tulang, yang menyebabkan
penurunan produksi matriks ekstraselular dengan melepas mariks mettaloprotease
yang dapat mereasorbsi tulang sehingga pada penderita diabetes mellitus gigi
menjadi goyang. (Preshaw et al, 2012).

D. Dry Socket
Pada umumnya, darah di area pencabutan gigi akan membeku sehingga
menutup dan melindungi saraf dan tulang di di bawahnya. Darah beku tersebut
juga membantu pertumbuhan tulang baru dan jaringan lunak di sekitarnya.Hal ini
paling umum terjadi setelah ekstraksi gigi mandibula karena berkurangnya suplai
darah ke mandibula yang disebabkan oleh aterosklerosis yang disebabkan oleh
diabetes jangka panjang.Pada saat bekuan darah ini copot atau terlepas sebelum
luka pulih, maka akan meninggalkan rongga kosong di tempat pencabutan. Inilah
yang disebut dengan dry socket. Tulang dan saraf yang tidak terlindungi dapat
mengakibatkan rasa sakit di gigi hingga saraf terkait pada wajah.Penggunaan
epinefrin dalam anestesi lokal selanjutnya mengurangi suplai darah ke daerah
tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan soket kering.(Devlin et al, 1996).

E. Oral Kandidiasis
Glukosa layaknya molekul kecil yang mampu bergerak secara mudah
didalam membran pembuluh darah, yang dapat keluar dari plasma darah menuju
ke cairan gingiva melalui sulkus gingiva, selanjutnya mencapai saliva.
Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien DM mampu menyebabkan kadar
glukosa pada saliva menjadi lebih tinggi, yang berdampak pada kehilangan
homeostatis dan kerentanan yang lebih besar untuk terjadinya penyakit dalam
rongga mulut. Pada pasien DM yang mengalami peningkatan kadar glukosa darah
akan menunjukkan perubahan kondisi rongga mulut, misalnya adalah kandidiasis
oral. (Sumintarti dan Rahman, 2ffar015).

F. Sindrom Grinspan
Bila diabetes mellitus dikaitkan dengan lichen planus dan hipertensi, maka
dikenal dengan grinspan syndrome. Biasanya terjadi akibat obat diabetes dan
hipertensi.Pasien yang memakai sulphonylureas lebih rentan menderita sindrom
ini. (Maulana, 2008)

2.4. PERAWATAN DIABETES MELLITUS


Di Indonesia, dalam rangka pengendalian penyakit DM, pemerintah melalui
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1575 tahun 2005, telah dibentuk
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang mempunyai tugas pokok
memandirikan masyarakat untuk hidup sehat melalui pengendalian faktor risiko
penyakit tidak menular, khususnya penyakit DM. Oleh karena itu, program
Pengendalian Diabetes Melitus dilaksanakan dengan prioritas upaya preventif dan
promotif, dengan tidak mengabaikan upaya kuratif, serta dilaksanakan secara
terintegrasi dan menyeluruh antara Pemerintah, Masyarakat dan Swasta termasuk
perguruan tinggi dan profesi.
Beberapa hal penting yang sangat perlu diperhatikan antara lain:
1. Perencanaan pola makan dan diet yang tepat
Diet yang baik untuk para diabetisi adalah diet yang seimbang, jadwal makan
yang teratur serta jenis makanan yang dimakan bervariasi yang kaya nutrisi dan
rendah karbohidrat. Diet perlu dilakukan dengan mengurangi asupan karbohidrat
(berbagai jenis gula dan tepung termasuk nasi, kentang, ubi, singkong dan lain
sebagainya), mengurangi makanan berlemak (daging berlemak, kuning telur, keju,
dan susu tinggi lemak) serta memperbanyak makan sayur dan buah sebagai
sumber serat, vitamin dan mineral. Sebagai sumber protein Anda dapat
memanfaatkan ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe.
2. Monitoring kadar gula darah
Kadar gula darah harus dites secara berkala yaitu pada saat sebelum sarapan
pagi dan sebelum makan malam. Nilai yang diharapkan dari pengukuran tersebut
adalah berada pada rentang antara 70 s.d 120 mg/dl.
3. Olahraga dan latihan
Penderita diabetes disarankan untuk melakukan olahraga secara teratur dengan
cara bertahap sesuai dengan kemampuan. Olahraga yang ideal adalah yang
bersifat aerobik seperti jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama 30-40 menit
didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10
menit. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak 3 kali seminggu. Seiring dengan
tingkat kebugaran tubuh yang meningkat, maka durasi latihan dapat dinaikkan
maksimal sampai dengan 3 jam. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh penderita. Selain itu juga
para diabetisi dapat melakukan olahraga dengan cara berjalan kaki selama 30
menit. Kegiatan ini membantu untuk mengontrol kadar gula dan meningkatkan
kadar kolesterol baik (HDL) dalam darah.
4. Pengobatan yang teratur
Diabetisi harus minum obat yang diberikan oleh dokter secara teratur, dan
jangan sampai terlewatkan. Selain itu, tidak diperkenankan untuk menambah atau
mengurangi dosis obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter. Untuk
para diabetisi yang mendapatkan terapi insulin secara berlanjut, mereka
diharapkan dapat melakukan penyuntikan secara mandiri. Bila tidak dapat
melakukannya, dapat minta pertolongan kepada tenaga kesehatan atau kader
kesehatan yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Pastikan sebelum memberikan
obat terutama jika mendapatkan suntikan insulin, makanan yang akan dimakan
oleh diabetisi sudah siap saji maksimal 30 menit sebelumnya. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah resiko terjadinya hipoglikemia atau kadar glukosa
darah yang tiba-tiba turun. Selain itu, monitoring dari efek samping obat yang
diminum oleh penderita juga harus dilakukan. Hal ini dapat dilakukan oleh
penderita sendiri dan dibantu oleh anggota keluarga yang tinggal bersamanya.
Jika terdapat tanda dan gejala yang tidak diharapkan, segara menghubungi tenaga
medis.
5. Pengukuran tekanan darah dan kadar kolesterol secara teratur
Diabetisi harus melakukan pengukuran tekanan darah secara teratur guna
untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi stroke akibat hipertensi. Begitu pula
dengan kadar kolesterol yang tinggi merupakan resiko tinggi terjadinya
atherosklerosis.
6. Menghindari stress yang berlebihan
Stress dapat meningkatkan kadar gula darah dan tekanan darah. Stress ini
dapat berasal dari kondisi fisik, misalnya nyeri, kurang tidur, pekerjaan, pengaruh
obat obatan steroids dan lainnya.
7. Mengurangi resiko
Penderita Diabetes rentan untuk mengalami komplikasi berupa luka atau
borok yang sukar sembuh. Seringnya mereka mendapati luka yang sukar sembuh
pada daerah kaki, dimana untuk itu perawatan kaki yang teratur sangat diperlukan.
Jaga kelembaban kulit dengan menggunakan lotion yang tidak menimbulkan
alergi. Potong kuku secara teratur dan ratakan ujung kuku dengan menggunakan
kikir, jangan pernah memotong ujung kuku terlalu dalam. Pilih alas kaki yang
nyaman dan sesuai dengan bentuk serta ukuran kaki. Pilih bahan sepatu yang
lembut dan sol yang tidak keras. Pakai sepatu tertutup jika hendak bepergian
keluar rumah. Waspada jika terdapat luka sekecil apapun, segera obati dengan
antiseptik.

2.5. PENCEGAHAN DIABETES MELLITUS


Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu
a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada
masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari
kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan
dengan multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah
menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan
kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai atau
kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita diabetes
melitus, tetapi berpotensi untuk menderita DM, diantaranya:
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
c. Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (HvL<35mg/dl dan atau Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)
Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok
bagi kesehatan.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan
sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus
diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit
menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat berkhasiat hipoglikemik.
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut
menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama
disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-
lain.
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
kadar gula glukosa darah (gula darah) melebihi nilai normal yaitu kadar gula
darah darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl. Diabetes Mellitus dapat
dibagi dalam dua tipe,yaitu: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) disebut
Diabetes Mellitus tipe 1, Serta Noninsulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
atau Diabetes Mellitus tipe 2 . Ada tiga keluhan khas dari penderita diabetes
melitus yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia.

Dengan adanya keluhan berupa poliuria pada penderita diabetes mellitus,


maka cairan tubuh dari penderita diabetes mellitus terus berkurang dan dapat
berakibat pada rongga mulut nya yakni berupa penurunan sekresi saliva sehingga
mulut terasa kering (xerostomia). Dari kondisi xerostomia dapat menimbulkan
manifestasi oral berupa penyakit jaringan periodontal, karies, penyakit mulut dan
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Devlin H, Garland H, Sloan P. 1996. Healing of tooth extraction sockets in


experimental diabetes mellitus.US National Library of MedicineNational
Institutes of Health 54(9):1087-91
Fatimah, Restyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Vol :4 No.5
John,MF Adam. 2006. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Cermin Dunia Kedokteran.; 127:37-40

Maricelle A. Diabetes and dental caries prevalence: is there an association [Tesis].


New york: University of Rochester; 2009.
Miller K, Marie O. Miller-Keane encyclopedia and dictionary of medicine,
nursing, and allied health. 7th ed. New Jersey: Elvesier; 2003.
Nugroho, Agung Endro. 2006. Hewan percobaan diabetes mellitus: patologi dan
mekanisme aksi diabetogenik. Biodiversitas, 4(7): 378-382
Norma S, Sandra M, Cresio A. Dental caries-associated risk factors and type 1
diabetes mellitus. Salvador (Brazil): Federal University of Bahia; 2011.
P. M. Preshaw, A. L. Alba, D. HerreraS. Jepsen, A. Konstantinidis, K.
Makrilakis,dan R. Taylor. 2012. Periodontitis and diabetes: a two-way
relationship. National Center for Biotechnology Information, U.S.
National Library of Medicine55(1): 21–31
Rina K S, Agung W. 2012. Pengaruh Komplikasi Neuropati Terhadap
XerostomiaPada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II. Jurnal Kedokteran
Gigi dan Ilmu Kesehatan,Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. IDJ,
Volume 1, No. 2, Tahun 2012
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
Agung Waluyo...(dkk), EGC, Jakarta.
Sumintarti & Rahman F, 2015,”Korelasi Kadarglukosa Saliva Dengan Kadar
Glukosa Darah Terhadap Terjadinya Kandidiasis Oral Pada Penderita
Diabetes Melitus”, Dentofasial, vol.14, no.1.
Sutandi, Aan. 2012. Self Management Education (dsme) Sebagai Metode
Alternatif Dalam Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus di dalam
Keluarga. Manajemen No. 321

Anda mungkin juga menyukai