Anda di halaman 1dari 5

AKSES JAM 14 : 42

https://www.untan.ac.id/pengamat-raperda-
masyarakat-adat-harus-mengacu-pada-hukum-
positif/
Pengamat: Raperda Masyarakat Adat Harus
Mengacu pada Hukum Positif
HOME \ BERITA KAMPUS \

Foto: Pengamat Politik Untan, Jumadi/Faisal


Pontianak, thetanjungpuratimes.com – Pengamat Politik Universitas Tanjungpura,
Jumadi meminta regulasi Raperda masyarakat adat Kalimantan Barat harus
mengedepankan persatuan dan kesatuan.
“Serta saling menjaga keberagaman itu harus lebih dikedepankan dalam membuat
regulasi, karena itu yang terpenting,” kata dia ketika ditemui, Selasa (16/8).
Menurut dia, sejatinya dalam sistem tata negara di Indonesia, selain diberlakukan
hukum positif, juga ada yang namanya hukum adat. Hanya saja persoalannya,
tambah Jumidi bahwa semua regulasi yang dibuat, maka hukum positiflah yang
harus menjadi acuan.
Terkait dengan adanya pro dan kontra terhadap Raperda itu, Jumadi mengatakan itu
sah-sah saja, namun yang sangat terpenting adalah bagaimana dalam
pembahasannya nanti dapat mengakomodasi apa keinginan masyarakat Kalimantan
Barat yang plural.
“Saya pikir jika hal itu dapat didiskusikan secara terbuka seperti melakukan
komunikasi dengan melibatkan banyak pihak, maka polemik adanya pro dan kontra
akan dapat diselesaikan dengan baik,” paparnya.
Kata dia sudah seharusnya ada pengkajian yang matang dalam menggagas suatu
aturan yang akan melibatkan orang banyak.
“Apalagi hukum adat itu memang diakui, dan sekarang persoalannya hukum adat
yang seperti apa? Karena ini menjadi masalahnya,” ujar dia.
Dikatakannya, Kalimantan Barat ini masyarakatnya plural, di Kalimantan Timur
sendiri Perda hukum adat sudah disahkan, namun barangkali ada yang berbeda
dibandingkan dengan yang dibuat oleh DPRD provinsi Kalbar melalui inisiatif.
“Saya sangat mengharapkan agar regulasi yang dibuat terkait dengan Raperda
masyarakat adat itu sehingga tidak memunculkan adanya dominasi dan hegemoni,
memunculkan perlakuan diskriminatif, dan Perda itu harus menghargai
keberagaman,” pungkasnya.
(Faisal/dd)

AKSES JAM 14:38


https://www.pontianakpost.co.id/perda-masyarakat-hukum-adat-kalbar
Perda Masyarakat Hukum Adat Kalbar
Opini Selasa, 5 July 2016 10:46 5,254
Oleh: Dr. Erdi, M.Si

SECARA umum, keberadaan “Satuan Masyarakat Hukum Adat” menurut Sumardjono


(2005) dapat diakui sebagai suatu pranata sosial ketika memiliki 5 (lima) unsur sebagai
peryaratan minimal. Kelima unsur itu adalah (1) memiliki nilai-nilai adat (values) sebagai
pengatur sikap dan prilaku serta hak dan kewajiban anggota; (2) memiliki lembaga adat
(institution) yang dilengkapi dengan struktur atau hirarki sebagai pranata sosial; (3) memiliki
pemimpin adat (leader) serta jajaran pemangku dengan kedudukan dan peran yang jelas; dan
(4) memiliki anggota (member) yang menghormati, mematuhi dan melestarikan nilai-nilai
adat dalam kehidupan sehari-hari; serta (5) memiliki batas-batas yurisdiksi (territory) sebagai
pembatas atau demarkasi wilayah bagi berlakunya nilai-nilai adat pada suatu komunitas
dengan tidak melewati batasan wilayah adat.
Terkait fenomena Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kalbar, saya berpendapat bahwa
keberadaannya telah dirasakan, tetapi belum terpetakan secara jelas, rinci dan tertulis guna
memenuhi kelima unsur dan sifat khusus. Oleh karena itu, daerah ini membutuhkan Perda
tentang MHA agar penataan kelembagaan adat dapat dilakukan pemerintah daerah mengikuti
kelima unsur pokok di atas. Fenomena kedua, MHA masih dianggap sebagai milik salah satu
kelompok sehingga perlu diperluas agar ia tidak menjadi domain kelompok itu. Ke depan,
semua MHA diharapkan mengemuka dan menampakkan jati diri sebagai bagian tak
terpisahkan dari masyarakat Kalbar yang perlu mendapat perlindungan, perlakuan dan
perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Dasar pengakuan MHA pun sudah jelas sehingga setiap satuan MHA perlu memunculkan
kelima unsur pokok pembentuk institusinya. Paling tidak Ada 4 (empat) UU yang secara
langsung; tidak saja menyebutkan; tetapi juga mengakui dan melindungi keberadaan MHA
dan ia disebut dalam banyak pasal serta ayat dalam setiap UU-nya. Keempat UU tersebut
adalah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan (secara khusus dibahas luas dalam Bab IX); UU No 18 tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; dan UU. No. 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (secara detil dibahas di bagian pembagian urusan
pemberdayaan masyarakat dan desa). Kesemua UU di atas; juga ditindak-lanjuti dengan
peraturan menteri di masing-masing kementerian. Jelas, pengakuan atas keberadaan dan
perlindungan kepada MHA sudah dilakukan negara (pemerintah pusat), meskipun belum
dalam wujud UU khusus. Hal yang sama, membumikan pengakuan dan perlindungan itu di
tingkat local juga sudah dilakukan Pemda Kalbar, hanya saja belum dalam bentuk Perda.
Oleh karena itu, tidak salah ketika Raperda yang pernah dibahas di DPRD Provinsi Kalbar itu
dibahas lagi dan disempurnakan menjadi Perda agar Kepala Daerah memiliki dasar kebijakan
yang kuat dalam membumikan MHA di tingkat local.
Kemudian, pakar Sosiologi dan Antropologi pada FISIP UNTAN; Prof. Dr. A. B.
Tangdililing, MA menyebut UUD 1945 Pasal 18 ayat b cukup menjadi dasar pengakuan
keberadaan MHA. Kemudian, MABM Kalbar melalui Surat No 56/MABMKB/V/2016,
meskipun di akhir suratnya meminta penundaan pembahasan Raperda, juga menyebut
rujukan yang sama yang kemudian dipersepsi menjadi empat tafsir yang kesemuanya
mengarah pada pengakuan MHA; salah satu wujudnya adalah mengatur MHA dalam bentuk
kebijakan pemerintah (UU, PP, Permen). Saya menambahkan, aturan yang sudah ada itu
semestinya ditindak-lanjuti lagi dengan Perda, Pergub dan seterusnya; hingga ke tingkat desa.
Oleh karena itu, dengan disebut dalam banyak UU, PP dan Pemen; maka bagi saya tidak ada
keraguan lagi jika DPRD Pemprov Kalbar dapat membahas ulang dan memperbaiki draft
Raperda itu; lalu mengesahkan Raperda tentang Perlindungan dan Pengakuan MHA menjadi
Perda. Namun, hal-hal yang perlu diatur di dalam perda itu harus tidak menimbulkan
kerancuan dan tidak juga menghambat investasi yang kini sedang hangat dibincangkan dan
bahkan Perda yang tergolong demikian akan dicabut Presiden Jokowi. Mengenai isi dari
Perda HMA, saya tidak dapat berpendapat karena bukan domain keilmuan saya.
Sebagai analis kebijakan public, keberadaan perda tentang MHA dimaknai sebagai solusi
terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan,
memperjuangkan dan memulihkan adanya dugaan perampasan atas hak-hak masyarakat adat.
Ketika terjadi perampasan hak dimaksud, Gubernur dapat membentuk Tim Inventarisai.
Ketika berhubungan dengan masalah tanah, maka tim dimaksud dapat diberi nama Tim
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dengan merujuk pada
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) No. 9 tahun 2015; dan lain sebagainya.
Masyarakat adat membutuhkan Perda itu karena posisi mereka saat ini masih sangat lemah
(lihat Erdi, 2014). MHA pada umumnya berada di desa-desa yang jauh dari kota. Mereka
berada pada posisi yang lemah, tidak saja dalam bidang ekonomi dan hukum, tetapi juga
bidang politik dan bahkan pendidikan. Dengan posisi itu, mereka tidak saja tidak dapat
bersaing tetapi juga tidak berdaya membela diri sendiri (Komnas HAM, 2005). Laju
perkembangan MHA menuju kemandirian saya nilai masih terlalu lambat sehingga mereka
membutuhkan percepatan agar tidak semakin jauh tertinggal. Ketika pemerintah tidak hadir
membela dan melindungi mereka, maka keberadaan mereka akan semakin dilemahkan. Saya
tidak ingin lembaga adat yang pergerakannya murni itu dilecehkan karena ada kepentingan
yang tidak selaras dengan tujuan perlembagaan adat.
Saya jadi teringat bagaimana Malaysia di bawah kepemimpinan PM Mahathir Muhammad
pada tahun 1970 sd 1990 memberlakukan The Politics of Malaysia’s New Economic Policy
(Milne, 1976) yang semula ditujukan untuk meredam konflik antara kelompok bumiputra
dengan non bumiputra. Kebijakan ini secara nyata berbau sara dan diskriminatif. Melalui
kebijakan itu, Pemerintah Malaysia memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok
bumiputra untuk berkembang dan dipacu secara optimal oleh negara dengan menyediakan
kebutuhan kaum bumiputra untuk meraih sukses agar setara dengan kelompok non bumiputra
(China dan India). Kelompok non bumiputra juga sadar bahwa dengan kondisi yang telah
mereka raih saat itu, mereka merasa wajar jika negara tidak memberikan fasilitasi apa-apa
selama kurun waktu 20 tahun. Kebijakan yang dikriminatif itu justru menghasilkan perbaikan
ekonomi, derajat social dan pendidikan bagi kelompok bumiputra. Ketika kebijakan the
newly economic policy itu dicabut, kondisi social, ekonomi dan politik kelompok bumiputra
sudah membaik dan hampir sejajar dengan kesejahteraan kelompok non bumiputra.
Kebijakan ini diakui telah membawa Malaysia menjadi negara kuat hingga sekarang.
Dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan MHA pada tataran nasional tampaknya
keberpihakan itu masih terlalu jauh karena UU tentang MHA yang digulirkan sejak 2005
yang lalu hingga kini belum ada wujud dan bahkan belum masuk Prolegnas. Oleh karena itu,
pemerintah daerah harus tampil ke depan untuk mengambil peran itu. Beberapa daerah yang
tidak tahan menunggu terbitnya UU MHA kemudian melakukan terobosan dengan membuat
perda tentang MHA; seperti Kabupaten Lebak untuk MHA Baduy melalui Perda No. 32
tahun 2001 dan No. 13 tahun 1990. Demikian juga dengan Pemda Malinau melalui Perda No.
10 tahun 2012. Pemprov Kaltim juga sudah membuat perda MHA dan terakhir adalah
Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Telah banyak daerah yang mengesahkan Raperda
tentang HMA. Semua daerah yang telah memperdakan HMA itu kompak menyatakan bahwa
Penetapan Perda menjadi kunci pengakuan dan perlindungan pada MHA.
Semoga Kalbar tidak ketinggalan dan cepat merespon kebutuhan daerah ini agar penguatan
dan pemberdayaan MHA segera dapat diwujudkan. Draft yang telah ada itu juga dipasangkan
dengan ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan agar selaras dengan tujuan utama dari pembentukan perda.
*) Dosen FISIP Unta

Anda mungkin juga menyukai