https://www.untan.ac.id/pengamat-raperda- masyarakat-adat-harus-mengacu-pada-hukum- positif/ Pengamat: Raperda Masyarakat Adat Harus Mengacu pada Hukum Positif HOME \ BERITA KAMPUS \
Foto: Pengamat Politik Untan, Jumadi/Faisal
Pontianak, thetanjungpuratimes.com – Pengamat Politik Universitas Tanjungpura, Jumadi meminta regulasi Raperda masyarakat adat Kalimantan Barat harus mengedepankan persatuan dan kesatuan. “Serta saling menjaga keberagaman itu harus lebih dikedepankan dalam membuat regulasi, karena itu yang terpenting,” kata dia ketika ditemui, Selasa (16/8). Menurut dia, sejatinya dalam sistem tata negara di Indonesia, selain diberlakukan hukum positif, juga ada yang namanya hukum adat. Hanya saja persoalannya, tambah Jumidi bahwa semua regulasi yang dibuat, maka hukum positiflah yang harus menjadi acuan. Terkait dengan adanya pro dan kontra terhadap Raperda itu, Jumadi mengatakan itu sah-sah saja, namun yang sangat terpenting adalah bagaimana dalam pembahasannya nanti dapat mengakomodasi apa keinginan masyarakat Kalimantan Barat yang plural. “Saya pikir jika hal itu dapat didiskusikan secara terbuka seperti melakukan komunikasi dengan melibatkan banyak pihak, maka polemik adanya pro dan kontra akan dapat diselesaikan dengan baik,” paparnya. Kata dia sudah seharusnya ada pengkajian yang matang dalam menggagas suatu aturan yang akan melibatkan orang banyak. “Apalagi hukum adat itu memang diakui, dan sekarang persoalannya hukum adat yang seperti apa? Karena ini menjadi masalahnya,” ujar dia. Dikatakannya, Kalimantan Barat ini masyarakatnya plural, di Kalimantan Timur sendiri Perda hukum adat sudah disahkan, namun barangkali ada yang berbeda dibandingkan dengan yang dibuat oleh DPRD provinsi Kalbar melalui inisiatif. “Saya sangat mengharapkan agar regulasi yang dibuat terkait dengan Raperda masyarakat adat itu sehingga tidak memunculkan adanya dominasi dan hegemoni, memunculkan perlakuan diskriminatif, dan Perda itu harus menghargai keberagaman,” pungkasnya. (Faisal/dd)
AKSES JAM 14:38
https://www.pontianakpost.co.id/perda-masyarakat-hukum-adat-kalbar Perda Masyarakat Hukum Adat Kalbar Opini Selasa, 5 July 2016 10:46 5,254 Oleh: Dr. Erdi, M.Si
SECARA umum, keberadaan “Satuan Masyarakat Hukum Adat” menurut Sumardjono
(2005) dapat diakui sebagai suatu pranata sosial ketika memiliki 5 (lima) unsur sebagai peryaratan minimal. Kelima unsur itu adalah (1) memiliki nilai-nilai adat (values) sebagai pengatur sikap dan prilaku serta hak dan kewajiban anggota; (2) memiliki lembaga adat (institution) yang dilengkapi dengan struktur atau hirarki sebagai pranata sosial; (3) memiliki pemimpin adat (leader) serta jajaran pemangku dengan kedudukan dan peran yang jelas; dan (4) memiliki anggota (member) yang menghormati, mematuhi dan melestarikan nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari-hari; serta (5) memiliki batas-batas yurisdiksi (territory) sebagai pembatas atau demarkasi wilayah bagi berlakunya nilai-nilai adat pada suatu komunitas dengan tidak melewati batasan wilayah adat. Terkait fenomena Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kalbar, saya berpendapat bahwa keberadaannya telah dirasakan, tetapi belum terpetakan secara jelas, rinci dan tertulis guna memenuhi kelima unsur dan sifat khusus. Oleh karena itu, daerah ini membutuhkan Perda tentang MHA agar penataan kelembagaan adat dapat dilakukan pemerintah daerah mengikuti kelima unsur pokok di atas. Fenomena kedua, MHA masih dianggap sebagai milik salah satu kelompok sehingga perlu diperluas agar ia tidak menjadi domain kelompok itu. Ke depan, semua MHA diharapkan mengemuka dan menampakkan jati diri sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat Kalbar yang perlu mendapat perlindungan, perlakuan dan perhatian khusus dari pemerintah daerah. Dasar pengakuan MHA pun sudah jelas sehingga setiap satuan MHA perlu memunculkan kelima unsur pokok pembentuk institusinya. Paling tidak Ada 4 (empat) UU yang secara langsung; tidak saja menyebutkan; tetapi juga mengakui dan melindungi keberadaan MHA dan ia disebut dalam banyak pasal serta ayat dalam setiap UU-nya. Keempat UU tersebut adalah UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (secara khusus dibahas luas dalam Bab IX); UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; dan UU. No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (secara detil dibahas di bagian pembagian urusan pemberdayaan masyarakat dan desa). Kesemua UU di atas; juga ditindak-lanjuti dengan peraturan menteri di masing-masing kementerian. Jelas, pengakuan atas keberadaan dan perlindungan kepada MHA sudah dilakukan negara (pemerintah pusat), meskipun belum dalam wujud UU khusus. Hal yang sama, membumikan pengakuan dan perlindungan itu di tingkat local juga sudah dilakukan Pemda Kalbar, hanya saja belum dalam bentuk Perda. Oleh karena itu, tidak salah ketika Raperda yang pernah dibahas di DPRD Provinsi Kalbar itu dibahas lagi dan disempurnakan menjadi Perda agar Kepala Daerah memiliki dasar kebijakan yang kuat dalam membumikan MHA di tingkat local. Kemudian, pakar Sosiologi dan Antropologi pada FISIP UNTAN; Prof. Dr. A. B. Tangdililing, MA menyebut UUD 1945 Pasal 18 ayat b cukup menjadi dasar pengakuan keberadaan MHA. Kemudian, MABM Kalbar melalui Surat No 56/MABMKB/V/2016, meskipun di akhir suratnya meminta penundaan pembahasan Raperda, juga menyebut rujukan yang sama yang kemudian dipersepsi menjadi empat tafsir yang kesemuanya mengarah pada pengakuan MHA; salah satu wujudnya adalah mengatur MHA dalam bentuk kebijakan pemerintah (UU, PP, Permen). Saya menambahkan, aturan yang sudah ada itu semestinya ditindak-lanjuti lagi dengan Perda, Pergub dan seterusnya; hingga ke tingkat desa. Oleh karena itu, dengan disebut dalam banyak UU, PP dan Pemen; maka bagi saya tidak ada keraguan lagi jika DPRD Pemprov Kalbar dapat membahas ulang dan memperbaiki draft Raperda itu; lalu mengesahkan Raperda tentang Perlindungan dan Pengakuan MHA menjadi Perda. Namun, hal-hal yang perlu diatur di dalam perda itu harus tidak menimbulkan kerancuan dan tidak juga menghambat investasi yang kini sedang hangat dibincangkan dan bahkan Perda yang tergolong demikian akan dicabut Presiden Jokowi. Mengenai isi dari Perda HMA, saya tidak dapat berpendapat karena bukan domain keilmuan saya. Sebagai analis kebijakan public, keberadaan perda tentang MHA dimaknai sebagai solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan, memperjuangkan dan memulihkan adanya dugaan perampasan atas hak-hak masyarakat adat. Ketika terjadi perampasan hak dimaksud, Gubernur dapat membentuk Tim Inventarisai. Ketika berhubungan dengan masalah tanah, maka tim dimaksud dapat diberi nama Tim Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) dengan merujuk pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) No. 9 tahun 2015; dan lain sebagainya. Masyarakat adat membutuhkan Perda itu karena posisi mereka saat ini masih sangat lemah (lihat Erdi, 2014). MHA pada umumnya berada di desa-desa yang jauh dari kota. Mereka berada pada posisi yang lemah, tidak saja dalam bidang ekonomi dan hukum, tetapi juga bidang politik dan bahkan pendidikan. Dengan posisi itu, mereka tidak saja tidak dapat bersaing tetapi juga tidak berdaya membela diri sendiri (Komnas HAM, 2005). Laju perkembangan MHA menuju kemandirian saya nilai masih terlalu lambat sehingga mereka membutuhkan percepatan agar tidak semakin jauh tertinggal. Ketika pemerintah tidak hadir membela dan melindungi mereka, maka keberadaan mereka akan semakin dilemahkan. Saya tidak ingin lembaga adat yang pergerakannya murni itu dilecehkan karena ada kepentingan yang tidak selaras dengan tujuan perlembagaan adat. Saya jadi teringat bagaimana Malaysia di bawah kepemimpinan PM Mahathir Muhammad pada tahun 1970 sd 1990 memberlakukan The Politics of Malaysia’s New Economic Policy (Milne, 1976) yang semula ditujukan untuk meredam konflik antara kelompok bumiputra dengan non bumiputra. Kebijakan ini secara nyata berbau sara dan diskriminatif. Melalui kebijakan itu, Pemerintah Malaysia memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok bumiputra untuk berkembang dan dipacu secara optimal oleh negara dengan menyediakan kebutuhan kaum bumiputra untuk meraih sukses agar setara dengan kelompok non bumiputra (China dan India). Kelompok non bumiputra juga sadar bahwa dengan kondisi yang telah mereka raih saat itu, mereka merasa wajar jika negara tidak memberikan fasilitasi apa-apa selama kurun waktu 20 tahun. Kebijakan yang dikriminatif itu justru menghasilkan perbaikan ekonomi, derajat social dan pendidikan bagi kelompok bumiputra. Ketika kebijakan the newly economic policy itu dicabut, kondisi social, ekonomi dan politik kelompok bumiputra sudah membaik dan hampir sejajar dengan kesejahteraan kelompok non bumiputra. Kebijakan ini diakui telah membawa Malaysia menjadi negara kuat hingga sekarang. Dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan MHA pada tataran nasional tampaknya keberpihakan itu masih terlalu jauh karena UU tentang MHA yang digulirkan sejak 2005 yang lalu hingga kini belum ada wujud dan bahkan belum masuk Prolegnas. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus tampil ke depan untuk mengambil peran itu. Beberapa daerah yang tidak tahan menunggu terbitnya UU MHA kemudian melakukan terobosan dengan membuat perda tentang MHA; seperti Kabupaten Lebak untuk MHA Baduy melalui Perda No. 32 tahun 2001 dan No. 13 tahun 1990. Demikian juga dengan Pemda Malinau melalui Perda No. 10 tahun 2012. Pemprov Kaltim juga sudah membuat perda MHA dan terakhir adalah Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Telah banyak daerah yang mengesahkan Raperda tentang HMA. Semua daerah yang telah memperdakan HMA itu kompak menyatakan bahwa Penetapan Perda menjadi kunci pengakuan dan perlindungan pada MHA. Semoga Kalbar tidak ketinggalan dan cepat merespon kebutuhan daerah ini agar penguatan dan pemberdayaan MHA segera dapat diwujudkan. Draft yang telah ada itu juga dipasangkan dengan ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan agar selaras dengan tujuan utama dari pembentukan perda. *) Dosen FISIP Unta