Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum merupakan keseluruhan peraturan atau kaidah yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam melakukan sesuatu dan bersifat
memaksa dan apabila dilanggar dapat di kenai sanksi. Kehadiran hukum sendiri dalam
suatu masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-
kepentingan yang bisa saja berbenturan satu sama lain. Hukum sebagai kaidah normatif
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Dengan di undangkannya Undang-undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-


undang Hukum Acara Pidana menjadikan system peradilan di Indonesia ini menganut
system akusatur, yaitu pembuktian perkara pidana mengarah kepada pembuktian ilmiah,
serta tersangka sebagai pihak pemeriksaan tindak pidana, dan sytem peradilan juga
terpengaruh oleh due proses model, yaitu: proses hukum yang adil dan layak serta
pengakuan hak-hak tersangka/terdakwa.1

Akan tetapi pelaksanaan peradilan pidana berdasarkan KUHAP ternyata masih belum
berjalan lancar, dan masih banyak kelemahan-kelemahan. Due proses model masih jauh
dari harapan bahkan pendekatan inkusator masih mendominasi. Pendekatan system
peradilan pidana haruslah menyesuaikan dengan karakter masyarakat di mana kejahatan
itu terjadi, karena faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangatlah komplek.

Sehingga diperlukanlah peraturan yang lebih memadai dan sesuai dengan kondisi
didalam masyarakat itu sendiri. seperti penerapan konsep Plea Bargaining System dalam
RKUHAP yang mana Plea Bargaining System merupakan suatu negosisasi antara pihak
penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya yang bertujuan untuk mempercepat
proses penanganan perkara pidana2.Uraian mengenai Plea Bargaining System ini juga
telah mengilhami munculnya mediasi dalam praktek peradilan berdasarkan hukum pidana
di Belanda dan Perancis, yang dikenal sebagai Transactie.

1
Dadang djoko karyanto,2014, SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA,
http://dadangdjoko.blogspot.com/2014/05/sistem-peradilan-pidana-di-indonesia.html, diakses tanggal 28 Mei
2018.
2
Romli Atmasasmita, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group Jakarta ,
h.127.

1
Plea Bargaining sebenarnya telah diterapkan di Negara-negara maju seperti Amerika
Serikat, Praktik Plea Bargaining disana dilakukan dengan membuat pernyataan bersalah
atau dikenal dengan sebutan Plea Guilty yang memberikan imbalan berupa pengurangan
hukuman bagi si terdakwa yang mengaku bersalah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai


berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Plea Bargaining System ?
2. Bagaimana penerapan konsep Plea Bargaining System dalam RKUHAP?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Plea Bargaining System
2. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan konsep Plea Bargaining System dalam
RKUHAP

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Plea Bargaining System

Plea Bargaining tidak memiliki definisi yang pasti secara universal, namun beberapa
ahli mendefinisikan Plea Bargaining sebagai berikut:3
1. Plea Bargaining adalah proses dimana penuntut umum dan terdakwa dalam suatu
perkara pidana melakukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak untuk
kemudian dimintakan persetujuan pengadilan. biasanya didalamnya termasuk
pengakuan bersalah terdakwa untuk mendapatkan keringanan tuntutan atau untuk
mendapatkan beberapa keuntungan lain yang memungkinkan untuk memperoleh
keringanan hukuman.
2. Plea Bargaining adalah proes negosiasi dimana penuntut umum menawarkan
terdakwa beberapa kelonggaran untuk mendapatkan pengakuan bersalah.
3. Plea Bargaining mengandung perjanjian antara penuntut umum dan terdakwa atau
penasehat hukumnya yang berujung pada pengakuan bersalah oleh terdakwa. penuntut
umum setuju untuk memberikan tuntutan yang lebih ringan (untuk mendapatkan
hukuman yang lebih ringan) dibanding dengan menempuh mekanisme persidangan
yang mungkin akan merugikan terdakwa karena kemungkinan mendapatkan hukuman
lebih berat.

Plea Bargaining System mulai muncul pada pertengahan abad ke 19 sebagai bentuk
perlakuan khusus kepada terdakwa karena ia telah berbuat baik terhadap korban., selain itu
kondisi sistem peradilan pidana pada saat itu yang tidak efektif karena banyaknya kasus yang
masuk mengakibatkan lamanya jangka waktu penyelesaian suatu perkara. Alasan pokok bagi
penuntut umum untuk melakukan Plea Bargaining disebabkan oleh dua hal, yang pertama
karena beban perkara yang sangat besar sehingga menyulitkan kedudukan penuntut umum
untuk bekerja secara efektif mengingat faktor waktu, kedua karena penuntut umum
berpendapat bahwa kemungkinan akan berhasilnya penuntutan sangat kecil karena kurangnya
bahan pembuktian atau si terdakwa merupakan orang yang dianggap “respectable”
dikalangan juri. Sekarang mekanisme Plea Bargaining berkembang menjadi suatu tindakan

3
Ibid, h.126.

3
penuntut umum yang mempengaruhi terdakwa untuk melakukan pengakuan bersalah dan
mengenyampingkan haknya untuk diadili dimuka persidangan.

Dalam Plea Bargaining juga bertujuan mendapatkan pengakuan, namun dengan cara
penawaran keuntungan-keuntungan yang dapat diterima oleh terdakwa apabila ia mengaku
bersalah. Penuntut umum dalam proses Plea Bargaining akan menawarkan terdakwa ancaman
hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan kemungkinan hukuman yang akan
diterimanya apabila ia diadili di muka persidangan.

Apabila negosiasi berhasil, kesepakatan antara terdakwa dan penuntut umum


dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut Plea Agreement untuk kemudian dibawa
kemuka hakim. Hakim akan mengajukan pertanyaan kepada terdakwa terkait pengertian
terdakwa atas perjanjian yang telah dibuatnya, apakah ia menyetujui hukuman tersebut,
apakah pengakuan tersebut dilakukan tanpa paksaan, pengenyampingan hak-haknya (untuk
diadili di pengadilan oleh juri yang tidak memihak dan haknya untuk mengajukan banding)
serta konsekuensi lain dari pengakuan tersebut.

2.2 Plea Bargaining System didalam RKUHAP

Plea Bargaining saat ini dimasukkan dalam RKUHAP dengan nama Jalur Khusus.
Ketentuan mengenai jalur khusus ini diatur dalam pasal 199 RUU KUHAP.24 yaitu sebagai
berikut :
Bagian Keenam
Jalur Khusus
Pasal 199
(1) Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua
perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman
pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan
perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

(2) Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa
dan penuntut umum.

(3) Hakim wajib:

4
a. memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-hak yang dilepaskannya dengan
memberikan pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidana yang kemungkinan
dikenakan; dan
c. menanyakan apakah pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan secara
sukarela.

(4) Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika hakim ragu
terhadap kebenaran pengakuan terdakwa.

(5) Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5), penjatuhan pidana terhadap terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang
didakwakan.

Peranan Aparat Penegak Hukum Dalam Proses Plea Bargaining didalam RKUHAP
Pada Pasal 199 ayat 3 huruf c mengatur bahwa hakim wajib untuk menanyakan
kepadaterdakwa apakah pengakuannya diberikan secara sukarela atau tidak. Selanjutnya
dalam ayat (4) diatur ketentuan bahwa hakim dapat menolak pengakuan terdakwa apabila
hakim ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa. apabila dicermati ketentuan yang diatur
dalampasal 199 ayat 3 dan ayat 4 terlihat bahwa masih terbuka kemungkinan hakim
menerima pengakuan terdakwa meskipun terdakwa mengatakan pengakuan tersebut
diberikan tidakdengan sukarela

Dari pasal tersebut diatas, terdapat perbedaan antara jalur khusus yang diatur dalam
RKUHAP dengan Plea Bargaining di Amerika Serikat, salah satu perbedaan mendasarnya
adalah, Plea Bargaining System di Amerika Serikat dapat diaplikasikan dalam seluruh tindak
pidana, mulai dari pelanggaran ringan hingga tindak pidana berat sedangkan dalam RKUHAP
dibatasi jalur khusus hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang ancaman pidananya
tidak lebih dari 7 tahun penjara. Pembatasan ini sama dengan yang diatur di Italia, Spanyol
dan beberapa negara Amerika Latin. Perbedaan lain adalah terdapat perbedaan yang jauh
antara tuntutan yang diajukan oleh penuntut umum apabila tertuduh melakukan pengakuan
bersalah atau tidak.4

4
Ichsan Zikry, Gagasan Plea Bargaining System Dalam RKUHAP dan Penerapan di Berbagai Negara,
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:tRomxi2b5hEJ:bantuanhukum.or.id/, diakses tanggal
28 Mei 2018.

5
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Plea Bargaining merupakan negosisasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh
atau pembelanya dimana negosisasi dilaksanakan dengan sifat kesukarelaan tertuduh untuk
mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang
dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Dimana negosiasi tersebut bertujuan untuk
mempercepat proses penanganan perkara pidana.

Plea Bargaining nyatanya merupakan bentuk peralihan sifat akusatur ke sifat inkuistur
dalam arti penyerahan kewenangan untuk menentukan kesalahan tersangka atau tertuduh
pada tingkat pemeriksaan pendahuluan (preliminary hearing) dari tersangka atau tertuduh
yang bersangkutan kepada pengadilan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, 2011, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada


MediaGroup Jakarta .

Djoko karyanto ,Dadang, 2014, SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA,


http://dadangdjoko.blogspot.com/2014/05/sistem-peradilan-pidana-di-indonesia.html,
diakses tanggal 28 Mei 2018.

Zikry, Ichsan, Gagasan Plea Bargaining System Dalam RKUHAP dan Penerapan diBerbagai
Negara,http://webcache.googleusercontent.com/bantuanhukum.or.id/, diakses tanggal
28 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai