Anda di halaman 1dari 18

BAB I

CASE REPORT

A. IDENTITAS
Nama : Bp.B
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Alamat : Rorotan, Jakarta Utara
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : 13 November 2018
No. RM : 261604

B. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan
alloanamnesis pada hari Rabu, 13 November 2018 .
a. Keluhan Utama
Sulit buang air kecil
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh buang air kecil (BAK) tidak lancar. Keluhan
dirasakan sejak ±1 bulan. Pasien mengejan pada saat buang air kecil tetapi
keluar sedikit. Pasien mengeluh sering merasa ingin buang air kecil dan
tidak pernah lega sehabis BAK. BAK dirasakan menetes saat akhir dan
pancaran air kencing menjadi lemah. BAK dirasakan sakit dan panas.
Pasien juga mengeluh sering BAK pada waktu malam hari. Keluhan
dirasakan memberat sejak 1 minggu belakangan. Pasien sebelumnya
belum pernah berobat.
Riwayat kencing berdarah disangkal, kencing berpasir atau batu
disangkal, kencing bernanah disangkal, riwayat trauma pada saluran
kencing disangkal, demam disangkal, mual (-), muntah (-), penurunan
berat badan yang drastis disangkal. Susah buang air besar (BAB) dan BAB
berdarah juga disangkal oleh pasien.

1
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Serupa : disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
- Riwayat Hipertensi : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku makan dan minum biasa. BAB tidak ada gangguan.
f. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Lingkungan rumah pasien cukup baik.

C. ANAMNESIS SISTEM
Sistem Cerebrospinal Gelisah (-), Lemah (-), Demam (-)
Sistem Cardiovascular Akral hangat (+), Sianosis (-), Anemis (-),
Sistem Respiratorius Batuk (-), Sesak Napas (-)
Sistem Genitourinarius Nyeri BAK dan panas (+), pancaran lemah (+),
menetes diakhir BAK (+)
Sistem Gastrointestinal Perut sebah (-), Nyeri perut (-), mual (-),
muntah (-), BAB (+) dbn
Sistem Musculosceletal Badan terasa lemes (-), ekstremitas bawah
udem (-/-)
Sistem Integumentum Perubahan warna kulit (-), Sikatriks (-), tanda
penyakit kulit (-)

2
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
- Keadaan Umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
- Vital Sign
 Tekanan Darah : 140/70 mmHg
 Heart Rate : 94 x/menit
 Respirasi :20 x/menit
 Suhu : 36,50 C
2. Status interna
- Kepala : Normocephal, Conjungtiva Anemis
(-/-), Sklera Ikterik (-/-), Sianosis
(-), reflek pupil (+)
- Leher : Leher simetris, distensi vena leher
(-), deviasi trachea (-), massa (-),
peningakatan JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-)
- Thorax
Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dada kanan dan kiri simetris, tidak ada ketinggalan
gerak, pelebaran costa (-), retraksi (-)
Palpasi Tidak ada nafas yang tertinggal, Fremitus dada kanan
dan kiri sama
Perkusi Sonor
Auskultasi Terdengar suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),
Ronkhi (-/-)

3
Jantung Hasil pemeriksaan
Inspeksi Dinding dada pada daerah pericordium tidak cembung /
cekung, tidak ada memar maupun sianosis, ictus cordis
tidak tampak
Palpasi Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC 5 linea mid
clavicularis sinistra
Perkusi Bunyi : redup
Batas Jantung :
Batas Kiri Jantung
^ Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis sinistra.
^ Bawah : SIC V linea mid clvicularis sinistra.
Batas Kanan Jantung
^ Atas : SIC II linea parasternalis dextra
^ Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi HR= 80 x/menit BJ I/II murni reguler, bising (-), gallop
(-)

Abdomen
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Perut datar, sikatriks (-)
Auskultasi Suara peristaltik (+), suara tambahan (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), rebound sign (-)
Perkusi Suara timpani (+), nyeri ketok costovertebrae (-),

Ekstremitas
Ekstremitas Superior Dextra Akral Hangat (-), Edem (-)
Ekstremitas Superior Sinistra Akral Hangat (-), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Dextra Akral Hangat (-), Edema (-)
Ekstremitas Inferior Sinistra Akral Hangat (-), Edema (-)

4
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

USG Ginjal dan Buli – Buli :


Kesan : Nefrolithiasis ren dextra, ukuran 0,63cm. Dengan
Hidronefrosis ren sinistra
BNO
Kesan : Hidronefrosis ren sinistra, Suspect Ureterolitiasis Sinistra

5
F. DIAGNOSA
DIAGNOSA awal
a. Retensio Urin Sup. BPH
DIAGNOSA Setelah pemeriksaan
b. Batu ginjal dan ureter kiri

G. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa : Pasang cateter
Medikamentosa :
 Di ugd 13/11/18
o Ranap
o Asering / 12 jam
o Amlodipine 5 mg tab 1x1 PO
o Konsul dr. Faisal Sp. BU --- pasang Kateter no. 18 Cek
DR
 Ruangan 14/11/18
o Infus Nacl 0.9 % 500cc/24 jam
o Inj. Ceftriaxon 1x2gr
o Inj. Ranitidin 2x1 amp
o CEK UL, UR, CR
o USG Ginjal, View Prostat
 Ruangan 15/11/18 (PULANG)
o BNO sebelum pulang
o KATETER diobservasi kalau sudah bisa BAK, di Lepaskan
 Obat Pulang :
o Levofloxacin 1x500mg tab
o Ranitidin 2x 1 tab
o Hainal ocas 1x 0.4mg tab
 Pro Op

6
H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan
dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan
pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki
yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.

B. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk
seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang
mengelilingi uretra pars prostatica.
Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat
merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya
± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20 gram.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
a. Lobus Medius
b. Lobus lateralis (2 buah)
c. Lobus anterior
d. Lobus Posterior
Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona :
a. Zona Anterior atau Ventral.
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas
stromafibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.

7
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa
kelenjar prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat
asal karsinomater banyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan
lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten
terhadap inflamasi.
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga
sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH)
Kelenjar-Kelenjar Periuretra Bagian ini terdiri dari duktus-duktus
kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra
proksimal.
e. Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus
posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada
penampang, lobus medius kadang -kadang tak tampak karena
terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu,
dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.

C. Etiologi
Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging
(menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat jinak adalah: (1) Teori Dihidrotestosteron, (2) Adanya
ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma
dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori
Stem sel.

8
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan
koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan sel
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar
DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal,
hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih
sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun,
sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara
estrogen : testosterone relatif meningkat. Hasil akhir dari semua keadaan
ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun.
c. Interaksi stroma epitel
Bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor ) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin
dan autokrin,serta mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi
itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel- sel epitel maupun stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan
antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-

9
sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan
massa prostat. Diduga hormone androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan
aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
e. Teori stem cellI
Saac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel,
juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan
prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya
tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi
sel transit yang tergantungsecara mutlak pada androgen, sehingga dengan
adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan
pertumbuhan prostat yang normal.

D. Patofisiologi
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron,
yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit
aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat. Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula sakula, dan divertikel buli- buli.
Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus. Tekanan intravesika
yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak terkecuali pada kedua

10
muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

E. Gejala Klinik
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun
1977 dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif
disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena
didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot destrusor
untuk berkontraksi cukup kuat dan cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus
Gejalanya :
a. Harus menunggu pada permulaan miksi ( Hesistency)
b. Pancaran miksi yang lemah
c. Miksi terputus (intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)
e. Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder
emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplastia
prostat masih tergantung tiga faktor :
a. Volume kelenjar periuretra
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat.
c. Kekuatan kontraksi otot destrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica
urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh
karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi
meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
a. Bertambahnya frekuensi miksi ( frequency)
b. Nokturia

11
c. Urgency
d. disuria
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus.
Secara klinisderajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih
bagian atas +sisa urin > 150 ml
Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai
untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu
sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering
dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang b i a s a n y a
lebih dirasakan pada malam hari.
S e r i n g m i k s i p a d a m a l a m h a r i d i s e b u t nocturia, hal ini
disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan
juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih
disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila ves ica
menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa
tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu
saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi.
Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat
vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan
naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan
spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence).
Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico
uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan s ys tem
pelviokalises ginjal dan a k i b a t t e k a n a n intravesical yang
diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi
g a g a l g i n j a l . Oleh k a r e n a s e l a l u terdapat sisa urin dalam vesica
maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan b a t u i n i

12
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria.
D i s a m p i n g pembentukan batu, retensi kronik dapat pula
menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila
terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.

F. Skor IPSS (International Prostate Symptoms Score)

G. Penatalaksanaan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri
tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun ada
yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah. Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah :

13
(1) Memperbaiki keluhan miksi
(2) Meningkatkan kualitas hidup
(3) Mengurangi obstruksi intravesika,
(4) Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal,
(5) Mengurangi volume residu urine setelah miksi
(6) Mencegah progrefitas penyakit.
1. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya
a. Jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam,
b. Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-
buli(kopi/cokelat),
c. Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
d. Kurangi makanan pedas dan asin
e. Jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS 8-18. Tujuan
terapi medikamentosa adalah berusaha untuk :
a. Mengurangi resistansi otot polos sebagai komponen dinamic penyebab
obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa
b. Mengurangi volum prostat sebagai kompponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase

14
3. Bedah
Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS lebih dari
18. Indikasi bedah antara lain: retensi urin akut, retensi urin kronis (selalu >
300 ml), volume residu urin >100ml, ISK berulang, Gross hematuri, Gagal
ginjal, divertikulum buli yang besar, batu buli, keluhan pasien sedang-berat,
tidak ada perbaikan dengan terapi non bedah yang optimal.
a. Operasi trans-urethral.
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah
memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan
instrumen melalui uretra. Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari
prostat (TURP) digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat
dilakukan untuk BPH. DenganTURP, alat yang disebut resectoscope
dimasukkan melalui penis.
Resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan diameter 1/2 inci,
berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik
yang memotong jaringan dan segel pembuluh darah. Cairan irigan yang
dipakai adalah aquades. Kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan
menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal
dengan sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah,
somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat bradikardi.
b. Open surgery.
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak
dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal,
dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat
membesar (>100 gram),ketika ada komplikasi, atau ketika kandung
kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostatektomi terbuka dilakukan
melalui pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik
infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia

15
uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde(60-80%) dan
kontraktur leher buli-buli (30%). Perbaikan gejala klinis 85-100%.
c. Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65 derajat C akan mengalami
koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 100 derajat C mengalami
evaporasi. Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya
terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya
adalah: tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi.
Menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan,
tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate
lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam
prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa
semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser
menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan

16
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Benign Prostatic Hyperplasia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview.
Anonim. 2011. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Available at
http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf.
Fauci, Braunwald, Kasper, et al. 2009. Prostate Hyperplasia. Harrison’s Manual of
Medicine. Ed. 17. USA : The McGraw Company
Price SA, Wilson LM. 2005. Hiperplasia Prostat. Patofisiologi. Ed. 6. Jakarta :
EGC;
Purnomo B. 2011. BPH. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Malang: Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya;
Sherwood L. 2011. Sistem Reproduksi. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed.2.
Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat, de Jong. 2010. Hiperplasia prostat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Snell RS.2006. Prostat. Anatomi Klinik. Ed.6. Jakarta : EGC

17

Anda mungkin juga menyukai