Anda di halaman 1dari 14

G Menyingkap tabir pengaburan bentuk pemerintahan Islam

Bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang merujuk kepada syariat. Konstitusinya
tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum syariat yang disebutkan di dalam Al-
Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah
maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu hukum yang berlaku harus selalu bersumber
dan merujuk kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang ulil amri yang dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas
kepemerintahan guna terciptanya kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta sejahtera.

Sengaja ataupun tidak pengaburan mengenai konsep pemerintahan Islam telah terjadi dan
semakin meluas. Sebagai contoh sekitar dua tahun silam terbitnya buku yang berjudul “ilusi
negara Islam”, telah menggambarkan setiap gerakan yang berusaha mewujudkan penerapan
syariat pada setiap pribadi muslim hingga pada tingkat masyarakat luas, seperti ikhwanul
muslimin, HTI dan salafi sebagai sumber inspirasi dari terjadinya berbagai kekerasan di negeri
ini. Hal seperti ini membuat paradigma seolah Islam adalah sumber dari segala tindak kekerasan.
Sehingga konsep pemerintahan yang berasaskan Islam harus segera ditolak, karena hanya akan
memunculkan sistem “totalitarisme” yang pasti akan menuju kepada kediktatoran.(Pendapat
seperti ini muncul karena melihat beberapa corak pemerintahan yang ada pada negara timur
tengah, namun perlu kita perjelas bahwa walau negara-negara timur tengah menyatakan islam
sebagai agama negara. akan tetapi sistem pemerintahan yang ada di sana belumlah bisa dikatakan
sebagai pemerintahan Islam.)

Maka mari kita tegaskan bersama, bahwasanya hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang sangat
nyata. Sesungguhnya apa yang digambarkan oleh orang-orang semacam yang menerbitkan buku
tersebut, hanyalah manifestasi dari pada imajinasi ketakutan mereka terhadap penerapan syariat.

Kewajiban kita adalah untuk senantiasa taat kepada Allah, barangsiapa terdapat keimanan
dihatinya sungguh ia tidak akan menyanggah hal ini. Termasuk kepadanya tuntutan dari iman
adalah menerima serta ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah,
dalam hal ini menjalankan syariat menjadi hal yang wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya
perlulah dipertanyakan keimanan pribadi yang enggan menerapkan syariat dalam kehidupannya.

Konsep pemerintahan Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam nash Al-Qur’an, yakni pada
surat An-Nisaa’ ayat 58-59. Bahwa pemerintahan Islam berdasarkan kepada tiga aturan penting
yakni taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Taat kepada yang memegang kekuasaan di antara umat
dan mengambalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika terjadi perselisihan dengan pihak yang
berkuasa.

Perihal ketentuan pemerintahan dalam syariat yang berupa nash, ia tidak menjelaskan seluruh
permasalahan secara terperinci, akan tetapi yang disebutkan adalah pokok-pokok ataupun
kerangka sebagai pondasi dasar dan aturan main yang jelas. Dan dalam hal terperinci tersebut
dilakukanlah proses ijtihad yang tidak keluar dalam kerangka syariat. Hal ini menunjukan
keluasan hukum syariat yang memang mampu untuk diterapkan dalam setiap masa. Kenapa
seperti itu! Karena permasalahan politik dan negara adalah permasalahan yang selalu
berkembang dari masa-kemasa bahkan setiap hari persoalan baru dalam pemerintahan bisa selalu
muncul. Pemerintahan yang ideal selalu bisa beradaptasi dalam artian menyesuaikan setiap
permasalahan tanpa mengganggu konstistusi serta tatanan kenegaraan. Maka bisa dikatakan
bahwa pemerintahan Islam selalu memperhatikan kondisi aktual dan mampu menerapkan
kebijakannya selaras dengan perkembangan jaman.

Hal ini penah ditunjukan pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ke empat masa pemerintahan khalifah ini, adalah pemerintahan yang melukiskan dan
bentuk representasi dari pemerintahan Islam. Jika kita pelajari bahwa kebijakan-kebijakan dalam
setiap masa khalifah ini memiliki beberapa perbedaan yang dipengaruhi perkembangan kondisi
negeri. Sebagai contoh, adalah kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang tidak memberikan
tanah hasil rampasan perang (ghanimah) kepada para tentara, akan tetapi seluruh tanah tersebut
diserahkan dan dikelola pemerintah. Sebagai gantinya para prajurit mendapat penghasilan tetap
dari pemerintah. Karena sebelumnya sejak masa Nabi tanah kekuasaan hasil perang, dibagi
persekian persen untuk para prajurit -sahabat yang turut berperang – dan sisanya baru diserahkan
kepada pemerintahan. Kebijakan ini diambil salah satunya karena alasan daerah kekuasaan Islam
yang sudah semakin luas karena penaklukan negeri-negeri, sehingga tidak mungkin seluruh
tanah tersebut diserahkan kepada para prajurit. Serta kebutuhan pemerintahan akan pertahanan
dari pihak luar, sehingga dibentuklah prajurit professional yang dibrikan tunjangan oleh
pemerintah.

Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler

Pemerintahan Islam jauh berbeda dengan pemahaman yang berkembang di Barat. Maka
penggunaan teori maupun istilah Barat, seperti demokrasi, sosialis, liberal dan semacamnya tidak
akan mampu menggambarkan konsep pemerintahan Islam secara sempurna. Namun anehnya,
tidak jarang kita dapatkan di dalam tulisan-tulisan sosok yang mengaku sebagai cendekiawan
Islam modern, memberikan pernyataan bahwa “pemerintahan Islam itu adalah suatu
pemerintahan yang demokratis”, atau malahan ada yang berkata bahwa pemerintahan Islam
bertujuan menegakan suatu masyarakat “sosialis”. Hal seperti ini dapat mengakibatkan distorsi
pemahaman tentang konsep pemerintahan Islam yang sebenarnya.

Sekulerisme itu adalah asas yang bertolak belakang dengan Islam. Akan tetapi terdapat beberapa
orang di negeri ini yang berupaya memperjuangkan asas sekulerisme ini. Selalu saja bagi mereka
asas sekulerisme (keduniaan) yang secara otomatis diidentifikasi sebagai kemajuan (progress).
Maka setiap anjuran untuk memandang politik praktis dan perencanaan sosial ekonomi dalam
sudut pandang keagamaan, dituding sebagai suatu sikap reaksioner, atau setidak-tidaknya
sebagai “idealisme yang tidak praktis”. Tampaknya, saat ini tidak sedikit pula cendikiawan
muslim mempunyai pendapat serupa. Dan dalam hal ini kentara sekali pengaruh dari pemikiran
Barat.

Sesungguhnya berkembangnya pemahaman sekuler ini di Barat, disebabkan oleh hal-hal di


dalam lingkungan mereka sendiri, bangsa-bangsa Barat telah dikecewakan oleh agama (agama
mereka). Sehingga wajar saja jika mereka berupaya sedemikian rupa untuk memisahkan agama
dengan urusan pemerintahan. Upaya untuk meniru sistem Barat ini, dengan menganggap segala
yang berasal dari Barat adalah “up to date” adalah bentuk dari kelemahan dan kebodohan. Suatu
kesalahan jika berupaya menerapkan asas tersebut kepada negeri kita, karena bangsa kita tidak
pernah mengalami apa yang dahulu dialami oleh bangsa Barat.

Kemudian dalam pemerintahan sekuler, segala keputusan dan ketentuan tidak berlandaskan atau
paling tidak memperhaitkan pada hukum moral atau akhlak. Tetapi berlandaskan dan hanya
melihat berdasarkan kepentingannya sendiri (expediency) sebagai satu-satunya kewajiban yang
di bawahnya pemerintahan harus ditundukan. Dan suatu kepastian bahwa pendapat apa yang
menjadi kepentingan sendiri itu pasti berbeda-beda pada tiap kelompok, partai, bangsa dan
masyarakat. Maka pastilah terjadi kepentingan yang membingungkan dalam perkara politik
(nasional maupun internasional). Sebab telah jelas, apa yang dinilai sebagai kepentingan sendiri
oleh suatu kelompok atau bangsa, tidak selamanya sama dan sebangun dengan kepentingan
kelompok atau bangsa lain.

Pemerintahan sekuler inilah yang tidak menundukan dirinya pada tuntutan moral yang obyektif.
Akan tetapi semua berupaya memperjuangkan kepentingan masing-masing yang sudah pasti
berbenturan antara satu sama lain. Sehingga makin genjar pertentangan ide terjadi antara mereka
tantang apa yang benar dan apa yang salah di dalam hubungan manusia, dikarenakan kacamata
berfikir mereka adalah tercapainya kepentingan itu. Pendeknya, di dalam pemerintahan sekuler
yang modern pada saat ini: tidak terdapat norma yang kokoh yang mampu digunakan untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan antara yang benar dan yang salah. Inilah
yang ungkapan yang dijelaskan oleh Muhammad Assad.

Jadi satu-satunya kriteria yang mungkin adalah “kepentingan bangsa”. Tetapi karena tidak ada
satu ukuran yang obyektif dalam nilai-nilai kesusilaan, maka berbagai kelompok manusia –
bahkan di dalam suatu bangsa – mungkin dan biasanya memiliki pandangan yang berlainan
tentang apa yang merupakan kepentingan utama suatu bangsa. Seorang kapitalis dengan amat
tulusnya percaya, bahwa peradaban manusia akan hancur jika liberalisme ekonomi digantikan
oleh sosialisme. Sementara, seorang sosialis dengan amat tulusnya pula berpendapat, bahwa
peradaban itu dapat dipelihara hanya dengan kapitalisme telah diganti dengan sosialisme.
Mereka masing-masing memiliki pandangan kesusilaannya sendiri, yakni konsep tentang apa
yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap orang lain. Dan pandangan kesusilaan ini
tergantung hanya pada pandangan ekonominya semata. Akibatnya: kekacauan di dalam
hubungan timbal balik antar mereka.

Dengan kata lain pemerintahan sekuler adalah pemerintahan yang rapuh dari dalam, karena tidak
adanya kesatuan yang mampu mengikat mereka. Berlainan dengan pemerintahan Islam yang
mampu mempersatukan setiap diri umat dengan risalah yang tidak terpengaruh oleh perbedaan-
perbedaan yang bersifat fisik serta mampu menyatukan visi dan misi dalam pemahaman yang
jelas.

Sistem Pemerintahan Islam Bukanlah Demokrasi Liberal

Ada yang mengatakan bahwasanya demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Adapula yang
berpendapat demokrasi adalah bentuk kekufuran dan bertentangan dengan Islam. Oleh
karenanya, sebelum kita mengkaji lebih lanjut. Alangkah lebih baik kita melihat kembali seperti
apa pemahaman demokrasi menurut negeri asal lahirnya demokrasi ini.
Karena, apabila orang Eropa atau Amerika berbicara tentang “demokrasi”, “liberalisme”,
“sosialisme”, “teokrasi”, pemerintahan parlementer, dan lain-lain. Ia mempergunakan istilah-
istilah di dalam lingkungan pengalaman sejarah Barat. Di dalam lingkungan ini istilah-istilah itu
dapat segera menimbulkan gambaran di dalam pikiran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi
atau mungkin akan terjadi di dalam perkembangan sejarah Barat, dan karena itu dapat melewati
perubaha-perubahan yang ditimpakan oleh jaman ke atas semua konsep yang di buat oleh
manusia.

Bahkan lebih dari itu, pemahaman konsep tersebut berubah-ubah – yakni kenyataan bahwa
banyak istilah politik yang dipakai kini mengandung makna yang berlainan dengan makna yang
diberikan orang pada awalnya – , sehingga terdapat urgensi karena peristilahan politik ini adalah
suatu hal yang memerlukan peninjauan kembali dan penyesuaian kembali.

Namun pengertian yang bersifat dapat berubah-ubah ini menjadi “lenyap”, karena suatu konsep
politik yang sudah jadi itu dipinjam oleh bangsa lain yang memiliki suatu peradaban yang
berlainan, dan telah melewati pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda pula. Bagi bangsa
tersebut, istilah atau sistem politik itu mempunyai makna yang mutlak dan tidak berubah-ubah
dan karena itu tidak dipertimbangkan kenyataan evolusinya di dalam sejarah. Sebagai akibatnya,
paham politik menjadi beku dan kaku.Untuk lebih mudah memahaminya, maka kita akan lihat
bagaimana Barat memahami demokrasi tersebut.

Di sebagian besar dunia Barat, meski tidak seluruhnya, sampai saat ini istilah demokrasi
digunakan dalam arti yang melekat pada Revolusi Prancis, yaitu: asas persamaan sosial politik
bagi semua warga negara, dan asas persamaan oleh seluruh penduduk yang dewasa dengan
perantaraan wakil-wakil yang dipilih mereka, berdasarkan “seorang punya satu suara” (one man
one vote).

Dalam artian lain, istilah ini meliputi hak rakyat yang tak terbatas untuk membuat undang-
undang dengan suara terbanyak mengenai semua hal yang menyangkut kehidupan bersama. Jadi,
“kemauan rakyat”, setidak-tidaknyanya di dalam teori sebagai sesuatu yang bebas dari semua
tekanan pihak luar, yang berdaulat sendiri dan bertanggung jawab kepada diri sendiri.

Jelaslah bahwa konsep demokrasi ini jauh sekali berbeda dengan apa yang dimaksud oleh
pencipta istilah itu, yakni bangsa Yunani Kuno. Bagi mereka “pemerintahan dari atau oleh
rakyat” (yang dimaksud oleh kata demokrasi) mengandung arti suatu pemerintahan yang sangat
oligarkis bentuknya. Di dalam “negara-kota” mereka, istilah rakyat sama artinya dengan “warga
negara”, yaitu penduduk negara yang dilahirkan bebas, yang jarang sekali melebihi sepersepuluh
dari jumlah penduduk. Selebihnya adalah budak dan sahaya yang tidak dibolehkan melakukan
lain dari pekerjaan tangan, meskipun mereka kerap kali diwajibkan untuk dinas militer, mereka
tidak mempunyai hak-hak sebagai warga negara sama sekali. Hanya lapisan paling atas dan tipis
dari penduduk – yang disebut warga negara – yang mempunyai hak pilh aktif dan pasif. Dengan
demikian semua kekuasaan politik terpusat di tangan mereka.

Maka bila dipandang dari pespektif sejarah, demokrasi seperti yang dipahami oleh bangsa Barat
modern sebenarnya lebih dekat kepada konsep Islam tentang kebebasan dari pada konsep Yunani
Kuno. Islam menegaskan bahwa manusia sama dan karena itu harus diberi kesempatan yang
sama untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya. Disamping itu, Islam juga
mewajibkan kaum muslimin menundukan keputusan-keputusan mereka berdasarkan tuntunan
Hukum Allah yang diwahyukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Suatu kewajiban yang
memberi batas-batas tertentu bagi hak masyarkat dalam membuat undang-undang serta tidak
memberikan kekuasaan absolut bagi “kemauan rakyat”, yang telah merupakan suatu bagian yang
integral dan konsep Barat mengenai demokrasi.

Jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, demokrasi sendiri bisa dikatakan
suatu pemahaman yang abstrak. Karena dengan membaca uraian diatas bagaimana istilah
demokrasi tentang kebebasan digunakan dengan makna yang amat berlainan. Maka
penerapannya pada politik Islam pasti akan menimbulkan suasana kesamar-samaran dan
kecenderungan seperti “aksi tipuan sulap” dengan kata-kata indah namun tidak tepat sasaran.
Berbeda sekali dengan konsep Islam yang jelas.

Sistem Pemerintahan Islam Bukanlah Teokrasi

Terdapat tudingan bahwasanya jika sistem Islam yang mengatur, maka akan tercipta
pemerintahan dengan sistem teokrasi. Jika ada seorang yang menyoalkan pendapat tersebut maka
jawabannya bisa “ya” dan bisa juga “tidak”, tergantung dengan teokrasi apa yang dimaksud.

Jawaban bisa “ya” jika dengan teokrasi itu yang kita maksud adalah suatu sistem masyarakat
yang di dalamnya semua undang-undang di dunia ini, pada tingkat terakhir, berasal dari apa yang
dipandang oleh masyarakat sebagai Hukum Tuhan (Syariat). Namun kita jawab dengan tegas
“tidak” jika orang mengidentifikasikan teokrasi itu dengan usaha – yang sudah dikenal baik di
dalam sejarah Eropa pada jaman pertengahan – untuk menyerahkan kekuasaan politik tertinggi
ke tangan kaum pendeta. Alasannya karena di dalam Islam tidak dikenal kekuasaan ulama atau
kaum agamawan, dan tidak ada lembaga yang sama seperti terdapat di dalam Gereja Kristen
(suatu himpunan doktrin dan fungsi-fungsi sacramental yang terorganisasi).

Karena setiap muslim dewasa memiliki hak untuk menjalankan fungsi keagamaan, maka tidak
ada orang atau kelompok yang dianggap sah mempunyai suatu kesucian khusus berkat fungsi-
fungsi keagamaan yang diserahkan kepada mereka. Demikianlah, istilah “teokrasi” sebagaimana
biasa difahami dunia Barat, sama sekali tidak kita temui di dalam lingkungan Islam. Sehingga
jelas sistem pemerintahan Islam bukanlah teokrasi yang di pahami oleh Barat.

Sisterm Pemerintahan Islam Bukanlah Sosialis

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa terdapat pendapat yang menyatakan Islam
mempunyai kecenderungan “sosialis”, dengan alasan pemerintahan Islam bertujuan membentuk
suatu susunan masyarakat, yang akan menjamin bagi semua rakyat kesempatan yang sama,
keamanan ekonomis, dan suatu pembagian kekayaan nasional yang adil.

Tetapi di lain sisi dengan sama tegasnya orang dapat pula menyatakan, bahwa Islam menentang
sosialisme, jika ia berarti (seperti dilakukan oleh sosialisme Marxisme) suatu pengaturan yang
keras terhadap seluruh kehidupan masyarakat, menempatkan ekonomi lebih berkuasa daripada
kesusilaan, dan merendahkan martabat manusia hingga berstatus tidak lebih dari suatu faktor
ekonomi saja. Karena istilah sosialis banyak dipahami sebagai bagian dari paham komunis
Marxisme. Maka jelas sistem pemerintahan Islam bukanlah sosialisme, Karena pandangan Islam
mengenai rakyat bukanlah sebatas faktor dalam keuntungan bangsa, akan tetapi ia adalah bagian
utama dari sasaran keadilan dan kesejahteraan.

Sebagai kesimpulan, adalah sangat menyesatkan apabila kita menerapakan istilah-istilah non-
Islam pada konsep pemerintahan Islam. Karena konsep Islam memiliki sebuah orientasi
kemasyarakatan yang khusus bagi dirinya sendiri dan berbeda banyak hal dengan orientasi
kemasyarakatan Barat modern. Islam sendiri hanya dapat ditafsirkan secara baik jika dilakukan
di dalam lingkungannya sendiri dan dengan menggunakan terminologinya sendiri.

Walau demikian, bukan berarti Islam menolak segala hal dari kebaikan yang berada dari konsep
Barat modern. Kita diperbolehkan mengambil pelajaran dari beberapa hal yang ada pada konsep
Barat. Hanya saja, menyesatkan apabila mengatakan bahwa konsep Barat modern yang ada kini
telah mewakili konsep Islam secara utuh.

Wallahu ‘Alam
1. 1. Latar Belakang

Bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang merujuk kepada syariat. Konstitusinya
tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum syariat yang disebutkan di dalam Al-
Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah
maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu hukum yang berlaku harus selalu bersumber
dan merujuk kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan
yang dipimpin oleh seorang ulil amri yang dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas
kepemerintahan guna terciptanya kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta sejahtera.

Sengaja ataupun tidak pengaburan mengenai konsep pemerintahan Islam telah terjadi dan
semakin meluas. Sebagai contoh sekitar dua tahun silam terbitnya buku yang berjudul “ilusi
negara Islam”, telah menggambarkan setiap gerakan yang berusaha mewujudkan penerapan
syariat pada setiap pribadi muslim hingga pada tingkat masyarakat luas, seperti ikhwanul
muslimin, HTI dan salafi sebagai sumber inspirasi dari terjadinya berbagai kekerasan di negeri
ini. Hal seperti ini membuat paradigma seolah Islam adalah sumber dari segala tindak kekerasan.
Sehingga konsep pemerintahan yang berasaskan Islam harus segera ditolak, karena hanya akan
memunculkan sistem “totalitarisme” yang pasti akan menuju kepada kediktatoran.(Pendapat
seperti ini muncul karena melihat beberapa corak pemerintahan yang ada pada negara timur
tengah, namun perlu kita perjelas bahwa walau negara-negara timur tengah menyatakan islam
sebagai agama negara. akan tetapi sistem pemerintahan yang ada di sana belumlah bisa dikatakan
sebagai pemerintahan Islam.)

Rumusan Masalah

 Bagaimana Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah ?


 Bagaimana Sistem pemerintahan dalam Islam yang bukan republik dan juga bukan
demokrasi ?
 Bagaimana Sistem pemerintahan Islam bukan kerajaan (monarki) ?
 Bagaimana Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium ?
 Bagaimana Sistem pemerintahan Islam bukan federasi ?

 Jelaskan sistem Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler ?

1. 2. Pembahasan

Sistem Pemerintahan Islam adalah Sistem Khilafah yang Telah Diwajibkan oleh Rabb Semesata
Alam Bukan Sistem Republik, Demokrasi, Kerajaan, Imperium ataupun Federasi.

Apa yang terjadi di Suria sejak lebih dari satu setengah tahun lalu memiliki tema yang sama.
Yaitu bahwa rezim Ba’ats penjahat dan negara-negara besar di dunia berkonspirasi melawan
rakyat kita di Suria supaya Suria tidak keluar dari kontrol mereka. Yaitu supaya Suria tetap
sebagaimana adanya sebagai negara yang tunduk, mengekor dan menjaga perbatasan negara
Yahudi. Negara-negara itu mulai menetapkan berbagai syarat dan karakteristik untuk Suria pasca
Asad. Maka dari mimbar-mimbar TV channel upahan dan melalui mulut oposisi yang berjuang
dari hotel bintang lima diumumkanlah bahwa masa depan Suria akan menjadi negara demokrasi
sipil dan bahwa masalah di Suria adalah masalah menjatuhkan atau mengusir kepala rezim dan
membentuk pemerintahan yang tidak menindas siapa pun dan mereka klaim secara dusta sebagai
tuntutan masyarakat. Akan tetapi warga kita tetap tegar menghadapi alat-alat pembunuhan dan
penghancuran dan tidak memandang selain Islam dan pemerintahan menurut apa yang telah
diturunkan oleh Allah SWT sebagai masa depan untuk Suria. Mereka mengungkapkan hal itu
dalam berbagai demonstrasi yang dilupakan oleh media-media massa. Hal itu tampak jelas pada
nama-nama kesatuan pasukan, panji dan slogan-slogan.

Kami di Hizbut Tahrir menjelaskan kepada kaum Muslimin di Suria dan di seluruh negeri kaum
Muslimin tentang bentuk pemerintahan Islam agar permasalahannya bertransformasi dari slogan-
slogan yang mereka harapkan kembalinya menjadi fakta riil dan jelas di dalam benak mereka,
tertanam kuat di dalam pikiran mereka dan mereka curahkan semua daya upaya untuk
menancapkan dan merealisasinya.

1. Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah

Khilafah secara syar’i adalah kepemimpiman umum bagi kaum Muslimin seluruhnya di dunia
untuk menegakkan hukum-hukum syara’ islami dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Khilafah adalah imamah itu sendiri. Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang dinyatakan oleh
hukum-hukum syara’ agar menjadi daulah Islam sebagaimana yang didirikan oleh Rasulullah
saw di Madinah al-Munawarah, dan sebagaimana yang ditempuh oleh para sahabat yang mulia
setelah beliau. Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan yang menjadi
kesepakatan ijmak sahabat. Tidak ada yang menyelisihinya di dalam umat ini seluruhnya kecuali
orang yang dididik berdasarkan tsaqafah kafir imperialis yang telah menghancurkan daulah
Khilafah dan memecah belah negeri kaum Muslimin.

1. Sistem pemerintahan dalam Islam bukanlah republik dan juga bukan demokrasi

Sistem republik demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tegak di atas asas pemisahan
agama dari kehidupan dan menetapkan kedaulatan sebagai milik rakyat. Jadi rakyatlah yang
memiliki hak menetapkan hukum dan syariat. Rakyat yang memiliki hak mendatangkan
penguasa dan mencopotnya. Rakyat pula yang memiliki hak menetapkan konstitusi dan undang-
undang. Sementara sistem pemerintahan Islam itu berdiri di atas asas akidah islamiyah dan
berdasarkan hukum-hukum syara’. Kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam adalah milik
syara’ bukan milik rakyat. Umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Yang
menetapkan hukum adalah Allah SWT. Akan tetapi Islam menetapkan kekuasaan dan
pemerintahan menjadi milik umat. Umat lah yang memilih orang yang memerintah umat dengan
islam dan mereka baiat untuk menjalankan hal itu. Selama khalifah menegakkan syariah, dan
menerapkan hukum-hukum Islam maka dia tetap menjadi khlaifah berapapun lamanya masa
jabatan khilafahnya. Dan kapan saja ia tidak menerapkan hukum Islam maka masa
pemerintahannya berakhir meski baru satu hari atau satu bulan, dan ia wajib dicopot. Dari situ
kita memandang bahwa ada kontradiksi yang besar antara kedua sistem (Republik demokrasi
dengan Khilafah) dalam hal asas dan bentuk masing-masingnya. Atas dasar itu, maka tidak boleh
sama sekali dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem republik, atau bahwa Islam menyetujui
demokrasi.

Ada yang mengatakan bahwasanya demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Adapula yang
berpendapat demokrasi adalah bentuk kekufuran dan bertentangan dengan Islam. Oleh
karenanya, sebelum kita mengkaji lebih lanjut. Alangkah lebih baik kita melihat kembali seperti
apa pemahaman demokrasi menurut negeri asal lahirnya demokrasi ini.

Karena, apabila orang Eropa atau Amerika berbicara tentang “demokrasi”, “liberalisme”,
“sosialisme”, “teokrasi”, pemerintahan parlementer, dan lain-lain. Ia mempergunakan istilah-
istilah di dalam lingkungan pengalaman sejarah Barat. Di dalam lingkungan ini istilah-istilah itu
dapat segera menimbulkan gambaran di dalam pikiran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi
atau mungkin akan terjadi di dalam perkembangan sejarah Barat, dan karena itu dapat melewati
perubaha-perubahan yang ditimpakan oleh jaman ke atas semua konsep yang di buat oleh
manusia.

Bahkan lebih dari itu, pemahaman konsep tersebut berubah-ubah – yakni kenyataan bahwa
banyak istilah politik yang dipakai kini mengandung makna yang berlainan dengan makna yang
diberikan orang pada awalnya – , sehingga terdapat urgensi karena peristilahan politik ini adalah
suatu hal yang memerlukan peninjauan kembali dan penyesuaian kembali.

Namun pengertian yang bersifat dapat berubah-ubah ini menjadi “lenyap”, karena suatu konsep
politik yang sudah jadi itu dipinjam oleh bangsa lain yang memiliki suatu peradaban yang
berlainan, dan telah melewati pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda pula. Bagi bangsa
tersebut, istilah atau sistem politik itu mempunyai makna yang mutlak dan tidak berubah-ubah
dan karena itu tidak dipertimbangkan kenyataan evolusinya di dalam sejarah. Sebagai akibatnya,
paham politik menjadi beku dan kaku.Untuk lebih mudah memahaminya, maka kita akan lihat
bagaimana Barat memahami demokrasi tersebut.

Di sebagian besar dunia Barat, meski tidak seluruhnya, sampai saat ini istilah demokrasi
digunakan dalam arti yang melekat pada Revolusi Prancis, yaitu: asas persamaan sosial politik
bagi semua warga negara, dan asas persamaan oleh seluruh penduduk yang dewasa dengan
perantaraan wakil-wakil yang dipilih mereka, berdasarkan “seorang punya satu suara” (one man
one vote).

Dalam artian lain, istilah ini meliputi hak rakyat yang tak terbatas untuk membuat undang-
undang dengan suara terbanyak mengenai semua hal yang menyangkut kehidupan bersama. Jadi,
“kemauan rakyat”, setidak-tidaknyanya di dalam teori sebagai sesuatu yang bebas dari semua
tekanan pihak luar, yang berdaulat sendiri dan bertanggung jawab kepada diri sendiri.
Jelaslah bahwa konsep demokrasi ini jauh sekali berbeda dengan apa yang dimaksud oleh
pencipta istilah itu, yakni bangsa Yunani Kuno. Bagi mereka “pemerintahan dari atau oleh
rakyat” (yang dimaksud oleh kata demokrasi) mengandung arti suatu pemerintahan yang sangat
oligarkis bentuknya. Di dalam “negara-kota” mereka, istilah rakyat sama artinya dengan “warga
negara”, yaitu penduduk negara yang dilahirkan bebas, yang jarang sekali melebihi sepersepuluh
dari jumlah penduduk. Selebihnya adalah budak dan sahaya yang tidak dibolehkan melakukan
lain dari pekerjaan tangan, meskipun mereka kerap kali diwajibkan untuk dinas militer, mereka
tidak mempunyai hak-hak sebagai warga negara sama sekali. Hanya lapisan paling atas dan tipis
dari penduduk – yang disebut warga negara – yang mempunyai hak pilh aktif dan pasif. Dengan
demikian semua kekuasaan politik terpusat di tangan mereka.

Maka bila dipandang dari pespektif sejarah, demokrasi seperti yang dipahami oleh bangsa Barat
modern sebenarnya lebih dekat kepada konsep Islam tentang kebebasan dari pada konsep Yunani
Kuno. Islam menegaskan bahwa manusia sama dan karena itu harus diberi kesempatan yang
sama untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya. Disamping itu, Islam juga
mewajibkan kaum muslimin menundukan keputusan-keputusan mereka berdasarkan tuntunan
Hukum Allah yang diwahyukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Suatu kewajiban yang
memberi batas-batas tertentu bagi hak masyarkat dalam membuat undang-undang serta tidak
memberikan kekuasaan absolut bagi “kemauan rakyat”, yang telah merupakan suatu bagian yang
integral dan konsep Barat mengenai demokrasi.

Jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, demokrasi sendiri bisa dikatakan
suatu pemahaman yang abstrak. Karena dengan membaca uraian diatas bagaimana istilah
demokrasi tentang kebebasan digunakan dengan makna yang amat berlainan. Maka
penerapannya pada politik Islam pasti akan menimbulkan suasana kesamar-samaran dan
kecenderungan seperti “aksi tipuan sulap” dengan kata-kata indah namun tidak tepat sasaran.
Berbeda sekali dengan konsep Islam yang jelas.

1. Sistem pemerintahan Islam bukan kerajaan (monarkhi)

Sistem pemerintahan Islam tidak mengakui sistem kerajaan (monarkhi) dan tidak menyerupai
sistem monarkhi. Sistem monarkhi, pemerintahannya bersifat turun temurun, diwarisi anak dari
bapaknya sebagaimana anak mewarisi harta peninggalan bapak. Sistem monarkhi memberi Raja
keistimewaan dan hak-hak khusus, yang tidak boleh disentuh. Sementara sistem Islam tidak
mengkhususkan khalifah atau imam dengan suatu keistimewaan atau hak-hak khusus. Khalifah
tidak memiliki sesuatu kecuali sama seperti yang dimiliki oleh individu-individu umat. Sistem
pemrintahan Islam tidak diwariskan. Khalifah bukan seorang raja, melainkan dia adalah wakil
dari umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat dengan
keridhaan untuk menerapkan syariah Allah kepada umat. Khalifah dalam seluruh tindakan,
kebijakan, keputusan dan pemeliharaannya terhadap urusan dan kemaslahatan umat terikat
dengan hukum-hukum syara’.
1. Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium

Sistem imperium sangat jauh dari Islam. Sebab sistem imperium tidak menyamakan diantara
golongan masyarakat di wilayah-wilayah imperium dalam hukum. Sebaliknya imperium
menetapkan keistimewaan untuk pusat imperium dalam hal pemerintahan, keuangan dan
perekonomian. Metode Islam dalam pemerintahan adalah menyamakan antara semua rakyat
yang diperintah di seluruh bagian daulah, mengingkari sektarianisme rasial, memberi kepada non
muslim yang menjadi warga negara seluruh hak-hak dan kewajiban syar’i mereka, sehingga
mereka memiliki hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin secara adil. Maka
dengan persamaan ini sistem pemerintahan Islam berbeda dari imperium. Dengan sistem ini,
sistem pemerintahan Islam tidak menjadikan daerah-daerah sebagai jajahan. Sumber daya tidak
dikumpulkan di pusat untuk manfaat pusat saja. Sebaliknya seluruh bagian daulah dijadikan
sebagai satu kesatuan betapapun jauh jaraknya dan betapapun beragam suku dan bangsanya.
Setiap daerah dinilai sebagai bagian integral dari tubuh daulah. Penduduknya memiliki seluruh
hak yang dimiliki oleh penduduk pusat, atau daerah lain manapun. Kekuasaan pemerintahan,
sistem dan hukumnya adalah sama untuk seluruh daerah.

1. Sistem pemerintahan Islam bukan federasi

Daerah-daerahnya terpisah dengan kemerdekaan sendiri, dan menyatu dalam pemeritahan umum
(federal). Akan tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, di dalamnya berbagai
daerah dan propinsi dinilai sebagai bagian dari satu negara yang sama. Keuangan daerah-daerah
semuanya dinilai sebagai satu keuangan dan satu neraca (anggaran) yang dibelanjakan untuk
kemaslahatan seluruh rakyat. Sistem pemerintahan Islam merupakan satu kesatuan yang
sempurna, dimana kekuasaan tertinggi dibatasi hanya di pusat umum dan ditetapkan memiliki
kontrol dan kekuasaan terhadap semua bagian daulah kecil ataupun besar. Tidak diperkenankan
adanya kemerdekaan untuk bagian manapun dari bagian daulah sehingga bagian-bagian daulah
tidak tercerai berai.

Maka mari kita tegaskan bersama, bahwasanya hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang sangat
nyata. Sesungguhnya apa yang digambarkan oleh orang-orang semacam yang menerbitkan buku
tersebut, hanyalah manifestasi dari pada imajinasi ketakutan mereka terhadap penerapan syariat.

Kewajiban kita adalah untuk senantiasa taat kepada Allah, barangsiapa terdapat keimanan
dihatinya sungguh ia tidak akan menyanggah hal ini. Termasuk kepadanya tuntutan dari iman
adalah menerima serta ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah,
dalam hal ini menjalankan syariat menjadi hal yang wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya
perlulah dipertanyakan keimanan pribadi yang enggan menerapkan syariat dalam kehidupannya.

Konsep pemerintahan Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam nash Al-Qur’an, yakni pada
surat An-Nisaa’ ayat 58-59. Bahwa pemerintahan Islam berdasarkan kepada tiga aturan penting
yakni taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Taat kepada yang memegang kekuasaan di antara umat
dan mengambalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika terjadi perselisihan dengan pihak yang
berkuasa.

Perihal ketentuan pemerintahan dalam syariat yang berupa nash, ia tidak menjelaskan seluruh
permasalahan secara terperinci, akan tetapi yang disebutkan adalah pokok-pokok ataupun
kerangka sebagai pondasi dasar dan aturan main yang jelas. Dan dalam hal terperinci tersebut
dilakukanlah proses ijtihad yang tidak keluar dalam kerangka syariat. Hal ini menunjukan
keluasan hukum syariat yang memang mampu untuk diterapkan dalam setiap masa. Kenapa
seperti itu! Karena permasalahan politik dan negara adalah permasalahan yang selalu
berkembang dari masa-kemasa bahkan setiap hari persoalan baru dalam pemerintahan bisa selalu
muncul. Pemerintahan yang ideal selalu bisa beradaptasi dalam artian menyesuaikan setiap
permasalahan tanpa mengganggu konstistusi serta tatanan kenegaraan. Maka bisa dikatakan
bahwa pemerintahan Islam selalu memperhatikan kondisi aktual dan mampu menerapkan
kebijakannya selaras dengan perkembangan jaman.

Hal ini penah ditunjukan pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ke empat masa pemerintahan khalifah ini, adalah pemerintahan yang melukiskan dan
bentuk representasi dari pemerintahan Islam. Jika kita pelajari bahwa kebijakan-kebijakan dalam
setiap masa khalifah ini memiliki beberapa perbedaan yang dipengaruhi perkembangan kondisi
negeri. Sebagai contoh, adalah kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang tidak memberikan
tanah hasil rampasan perang (ghanimah) kepada para tentara, akan tetapi seluruh tanah tersebut
diserahkan dan dikelola pemerintah. Sebagai gantinya para prajurit mendapat penghasilan tetap
dari pemerintah. Karena sebelumnya sejak masa Nabi tanah kekuasaan hasil perang, dibagi
persekian persen untuk para prajurit -sahabat yang turut berperang – dan sisanya baru diserahkan
kepada pemerintahan. Kebijakan ini diambil salah satunya karena alasan daerah kekuasaan Islam
yang sudah semakin luas karena penaklukan negeri-negeri, sehingga tidak mungkin seluruh
tanah tersebut diserahkan kepada para prajurit. Serta kebutuhan pemerintahan akan pertahanan
dari pihak luar, sehingga dibentuklah prajurit professional yang dibrikan tunjangan oleh
pemerintah.

1. 6. Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler

Pemerintahan Islam jauh berbeda dengan pemahaman yang berkembang di Barat. Maka
penggunaan teori maupun istilah Barat, seperti demokrasi, sosialis, liberal dan semacamnya tidak
akan mampu menggambarkan konsep pemerintahan Islam secara sempurna. Namun anehnya,
tidak jarang kita dapatkan di dalam tulisan-tulisan sosok yang mengaku sebagai cendekiawan
Islam modern, memberikan pernyataan bahwa “pemerintahan Islam itu adalah suatu
pemerintahan yang demokratis”, atau malahan ada yang berkata bahwa pemerintahan Islam
bertujuan menegakan suatu masyarakat “sosialis”. Hal seperti ini dapat mengakibatkan distorsi
pemahaman tentang konsep pemerintahan Islam yang sebenarnya.

Sekulerisme itu adalah asas yang bertolak belakang dengan Islam. Akan tetapi terdapat beberapa
orang di negeri ini yang berupaya memperjuangkan asas sekulerisme ini. Selalu saja bagi mereka
asas sekulerisme (keduniaan) yang secara otomatis diidentifikasi sebagai kemajuan (progress).
Maka setiap anjuran untuk memandang politik praktis dan perencanaan sosial ekonomi dalam
sudut pandang keagamaan, dituding sebagai suatu sikap reaksioner, atau setidak-tidaknya
sebagai “idealisme yang tidak praktis”. Tampaknya, saat ini tidak sedikit pula cendikiawan
muslim mempunyai pendapat serupa. Dan dalam hal ini kentara sekali pengaruh dari pemikiran
Barat.

Sesungguhnya berkembangnya pemahaman sekuler ini di Barat, disebabkan oleh hal-hal di


dalam lingkungan mereka sendiri, bangsa-bangsa Barat telah dikecewakan oleh agama (agama
mereka). Sehingga wajar saja jika mereka berupaya sedemikian rupa untuk memisahkan agama
dengan urusan pemerintahan. Upaya untuk meniru sistem Barat ini, dengan menganggap segala
yang berasal dari Barat adalah “up to date” adalah bentuk dari kelemahan dan kebodohan. Suatu
kesalahan jika berupaya menerapkan asas tersebut kepada negeri kita, karena bangsa kita tidak
pernah mengalami apa yang dahulu dialami oleh bangsa Barat.

Kemudian dalam pemerintahan sekuler, segala keputusan dan ketentuan tidak berlandaskan atau
paling tidak memperhaitkan pada hukum moral atau akhlak. Tetapi berlandaskan dan hanya
melihat berdasarkan kepentingannya sendiri (expediency) sebagai satu-satunya kewajiban yang
di bawahnya pemerintahan harus ditundukan. Dan suatu kepastian bahwa pendapat apa yang
menjadi kepentingan sendiri itu pasti berbeda-beda pada tiap kelompok, partai, bangsa dan
masyarakat. Maka pastilah terjadi kepentingan yang membingungkan dalam perkara politik
(nasional maupun internasional). Sebab telah jelas, apa yang dinilai sebagai kepentingan sendiri
oleh suatu kelompok atau bangsa, tidak selamanya sama dan sebangun dengan kepentingan
kelompok atau bangsa lain.

Pemerintahan sekuler inilah yang tidak menundukan dirinya pada tuntutan moral yang obyektif.
Akan tetapi semua berupaya memperjuangkan kepentingan masing-masing yang sudah pasti
berbenturan antara satu sama lain. Sehingga makin genjar pertentangan ide terjadi antara mereka
tantang apa yang benar dan apa yang salah di dalam hubungan manusia, dikarenakan kacamata
berfikir mereka adalah tercapainya kepentingan itu. Pendeknya, di dalam pemerintahan sekuler
yang modern pada saat ini: tidak terdapat norma yang kokoh yang mampu digunakan untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan antara yang benar dan yang salah. Inilah
yang ungkapan yang dijelaskan oleh Muhammad Assad.

Jadi satu-satunya kriteria yang mungkin adalah “kepentingan bangsa”. Tetapi karena tidak ada
satu ukuran yang obyektif dalam nilai-nilai kesusilaan, maka berbagai kelompok manusia –
bahkan di dalam suatu bangsa – mungkin dan biasanya memiliki pandangan yang berlainan
tentang apa yang merupakan kepentingan utama suatu bangsa. Seorang kapitalis dengan amat
tulusnya percaya, bahwa peradaban manusia akan hancur jika liberalisme ekonomi digantikan
oleh sosialisme. Sementara, seorang sosialis dengan amat tulusnya pula berpendapat, bahwa
peradaban itu dapat dipelihara hanya dengan kapitalisme telah diganti dengan sosialisme.
Mereka masing-masing memiliki pandangan kesusilaannya sendiri, yakni konsep tentang apa
yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap orang lain. Dan pandangan kesusilaan ini
tergantung hanya pada pandangan ekonominya semata. Akibatnya: kekacauan di dalam
hubungan timbal balik antar mereka.

Dengan kata lain pemerintahan sekuler adalah pemerintahan yang rapuh dari dalam, karena tidak
adanya kesatuan yang mampu mengikat mereka. Berlainan dengan pemerintahan Islam yang
mampu mempersatukan setiap diri umat dengan risalah yang tidak terpengaruh oleh perbedaan-
perbedaan yang bersifat fisik serta mampu menyatukan visi dan misi dalam pemahaman yang
jelas.

Daftar Pustaka

Dar al-Fikr, 2005,Bernegara Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999,

As-Shiddiqie, Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: GIP, 1995.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998.

Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta:Paramadina, 1999.

Zallum, Abdul Qadim, Nidhamul Hukmi fil Islam, diterj. Maghfur, Sistem Pemerintahan Islam,
Bangil: Al-Izzah, 2002

Anda mungkin juga menyukai