Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Hospitalisasi
a. Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit sebagai
pasien dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik,
prosedur operasi, perawatan medis, pemberian obat dan
menstabilkan atau pemantauan kondisi tubuh, Keadaan ini
(hospitalisasi) terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi
dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga
kondisi tersebut menjadi stressor baik terhadap anak maupun orang
tua dan keluarga, perubahan kondisi ini merupakan masalah besar
yang menimbulkan ketakutan, kecemasan bagi anak yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologis dan psikologis pada anak jika
anak tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan tersebut (Heri
Saputro 2017). Hospitalisasi merupakan cara yang efektif untuk
menyembuhkan anak yang sedang sakit. Bagi anak, hospitalisasi
merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan (Hockenbery
MJ 2009).
Hospitalisasi hal yang mengharuskan anak dirawat dirumah
sakit yang banyak mengakibatkan kecemasan pada anak maupun
bagi orang tua.

1
2

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas,


marah, sedih, takut dan rasa bersalah (Wong DL. 2008).
Hospitalisasi juga berdampak pada perkembangan anak, hal ini
bergantung pada faktor- faktor yang saling berhubungan seperti
sifat anak, keadaan perawatan dan keluarga. Perawatan anak yang
berkualitas tinggi dapat mempengaruhi perkembangan intelektual
anak dengan baik terutama pada anak-anak yang kurang beruntung
yang mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit. Anak yang sakit
dan dirawat akan mengalami kecemasan dan ketakutan. Dampak
jangka pendek dari kecemasan dan ketakutan yang tidak segera
ditangani akan membuat anak melakukan penolakan terhadap
tindakan perawatan dan pengobatan yang diberikan sehingga
berpengaruh terhadap lamanya hari rawat, memperberat kondisi
anak dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.
Dampak jangka panjang dari anak sakit dan dirawat yang tidak
segera ditangani akan menyebabkan kesulitan dan kemampuan
membaca yang buruk, memiliki gangguan bahasa dan
perkembangan kognitif, menurunnya kemampuan intelektual dan
sosial serta fungsi imun (Heri Saputro 2017).

b. Manfaat Hospitalisasi
Meskipun hospitalisasi menyebabkan stress pada anak,
hospitalisasi juga dapat memberikan manfaat yang baik, antara lain
menyembuhkan anak, memberikan kesempatan kepada anak unuk
mengatasi stres dan merasa kompeten dalam kemampuan koping
serta dapat memberikan pengalaman bersosialisasi dan memperluas
hubungan interpersonal mereka. Dengan menjalani rawat inap atau
hospitalisasi dapat menangani masalah kesehatan yang dialami
anak, meskipun hal ini dapat menimbulkan krisis. Manfaat
psikologis selain diperoleh anak juga diperoleh keluarga, yakni
hospitalisasi anak dapat memperkuat koping keluarga dan
3

memunculkan strategi koping baru. Manfaat psikologis ini perlu


ditingkatkan dengan melakukan berbagai cara, diantaranya adalah:
1) Membantu mengembangkan hubungan orangtua dengan
anak
Kedekatan orang tua dengan anak akan nampak ketika anak
dirawat di rumah sakit. Kejadian yang dialami ketika anak
harus menjalani hospitalisasi dapat menyadarkan orang tua dan
memberikan kesempatan kepada orang tua untuk memahami
anak-anak yang bereaksi terhadap stress, sehingga orang tua
dapat lebih memberikan dukungan kepada anak untuk siap
menghadapi pengalaman di rumah sakit serta memberikan
pendampingan kepada anak setelah pemulangannya.
2) Menyediakan kesempatan belajar
Sakit dan harus menjalani rawat inap dapat memberikan
kesempatan belajar baik bagi anak maupun orangtua tentang
tubuh mereka dan profesi kesehatan. Anak-anak yang lebih
besar dapat belajar tentang penyakit dan memberikan
pengalaman terhadap profesional kesehatan sehingga dapat
membantu dalam memilih pekerjaan yang nantinya akan
menjadi keputusannya. Orangtua dapat belajar tentang
kebutuhan anak untuk kemandirian, kenormalan dan
keterbatasan. Bagi anak dan orangtua, keduanya dapat
menemukan sistem support yang baru dari staf rumah sakit.
3) Meningkatkan penguasaan diri
Pengalaman yang dialami ketika menjalani hospitalisasi dapat
memberikan kesempatan untuk meningkatkan penguasaan diri
anak. Anak akan menyadari bahwa mereka tidak
disakiti/ditinggalkan tetapi mereka akan menyadari bahwa
mereka dicintai, dirawat dan diobati dengan penuh perhatian.
Pada anak yang lebih tua, hospitalisasi akan memberikan suatu
kebanggaan bahwa mereka memiliki pengalaman hidup yang
baik
4) Menyediakan lingkungan sosialisasi
4

Hospitalisasi dapat memberikan kesempatan baik kepada anak


maupun orangtua untuk penerimaan sosial. Mereka akan
merasa bahwa krisis yang dialami tidak hanya oleh mereka
sendiri tetapi ada orang-orang lain yang juga merasakannya.
Anak dan orangtua akan menemukan kelompok sosial baru
yang memiliki masalah yang sama, sehingga memungkinkan
mereka akan saling berinteraksi, bersosialisasi dan berdiskusi
tentang keprihatinan. (Heri Saputro 2017).
c. Reaksi Anak Usia Prasekolah terhadap Penyakit dan
Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah sakit
berbeda pada masing-masing anak. Reaksi anak prasekolah
terhadap hospitalisasi menurut (Adriana 2013) yaitu:
1) Mekanisme pertahanan adalah regresi. Anak akan
bereaksi terhadap perpisahan dengan regresi dan menolak
untuk bekerja sama.
2) Merasa kehilangan kendali akibat kehilangan
kontrol terhadap diri mereka sendiri.
3) Takut terhadap cedera tubuh dan nyeri, mengarah
kepada rasa takut terhadap mutilasi dan prosedur yang
menyakitkan.
4) Menginterpretasikan hospitalisasi sebagai hukuman
dan perpisahan dengan orang tua sebagai kehilangan kasih
sayang.
5) Keterbatasan pengetahuan mengenai tubuh
meningkatkan rasa takut yang khas, misalnya membuat jalur
intravena dan prosedur pengambilan darah akan
menyebabkan bagian dalam tubuhnya bocor.
Adapun reaksi anak usia prasekolah terhadap penyakit menurut
(Adriana 2013)yaitu:
1) Anak usia prasekolah merasa fenomena nyata yang
tidak berhubungan sebagai penyebab penyakit.
2) Cara berfikir magis menyebabkan anak memandang
penyakit sebagai suatu hukuman. Selain itu, anak usia
5

prasekolah mengalami konflik psikososial dan takut terhadap


mutilasi, menyebabkan anak terutama takut terhadap
pengukuran suhu rectal dan kateterisasi urin.
d. Dampak Hospitalisasi pada Anak Usia Prasekolah
Akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa
perubahan perilaku. Respon perilaku anak akibat perpisahan di
bagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap protes (phase of protest), tahap
putus asa (phase of despair), dan tahap menolak (phase of denial)
(Susilaningrum R, Nursalam 2013).
1) Pada tahap protes, reaksi anak dimanifestasikan dengan
menangis kuat-kuat, menjerit, memanggil orang tuanya atau
menggunakan tingkah laku agresif agar orang lain tahu bahwa
ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak
perhatian orang asing atau orang lain.
2) Tahap putus asa menampilkan perilaku anak yang
cenderung tampak tenang, tidak aktif, menarik diri, menangis
berkurang, kurang minat untuk bermain, tidak nafsu makan,
sedih, dan apatis.
3) Tahap berikutnya adalah tahap menolak dimana anak
samar-samar menerima perpisahan, membina hubungan
dangkal dengan orang lain serta terlihat menyukai lingkungan.
Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah
anak berpisah lama dengan orang tua.
2. Teori Kecemasan
a. Pengertian kecemasan
Cemas adalah keadaan emosi yang berkaitan dengan
ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Keadaan emosi ini tidak
memiliki subyek yang spesifik, kondisi dialami secara subyektif
dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal (Stuart, G.W.
& Sundeen, S.J. 2006).
Cemas adalah suatu keadaan patologik yang ditandai oleh
perasaan ketakutan disertai tanda somatic pertanda system saraf
otonom yang hiperaktif. Dibedakan dari rasa takut yang merupakan
6

respon terhadap suatu penyebab yang jelas (Kaplan, H.I., &


Sadock 2010).
b. Penyebab Kecemasan
Menurut (Stuart, G.W. & Sundeen, S.J. 2006) faktor
predisposisi kecemasan timbul karena adanya perasaan takut dan
tidak adanya penerimaan terhadap kondisi yang ada, kecemasan
muncul karena ketidakmampuan dari seseorang mencapai
keinginan.
Teori yang menjelaskan mengenai penyebab dari kecemasan
diantaranya adalah: pandangan interpersonal menjelaskan bahwa
cemas timbul dari perasaan takut terhadap penolakan dan
ketidaksetujuan interpersonal, pandangan perilaku menjelaskan
bahwa cemas merupakan hasil dari frustasi, pandangan
psikoanalitis menjelaskan bahwa cemas adalah konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego
(Stuart, G. W. 2006).
c. Gejala-gejala Kecemasan
Menurut (Kaplan, H.I., & Sadock 2010) pengalaman
kecemasan memiliki dua komponen yaitu kesadaran adanya sensasi
fisiologis, seperti berdebar-debar dan berkeringat, dan kesadaran
sedang gugup atau ketakutan. Menurut (Dalami, E., Suliswati.,
Frida P., Rochimah., & Banon, E. 2009) kecemasan digambarkan
dengan keadaan khawatir, gelisah, takut dan merasa tidak tentram
yang disertai dengan adanya berbagai keluhan fisik.
Reaksi kecemasan yaitu gejala somatic dan gejala psikologis.
Gejala somatik yang ditunjukan berupa sesak nafas, pegal-pegal,
dan keringat dingin. Gejala psikologis ditandai dengan
ketidakmampuan berperilaku santai, dan bicara cepat dan terputus-
putus (Maramis, W. F & Albert, A. M. 2009).

d. Respon Terhadap Kecemasan


Menurut (Heri Saputro 2017) Kecemasan dapat mempengaruhi
kondisi tubuh seseorang, respon kecemasan antara lain:
1) Respon Fisiologis terhadap kecemasan
7

Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah


dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun
parasimpatis). Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda
vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan
pertahanan tubuh. Anak yang mengalami gangguan kecemasan
akibat perpisahan akan menunjukkan sakit perut, sakit kepala,
mual, muntah, demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit
berkonsentrasi, dan mudah marah.
2) Respon Psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah,
terdapat ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat,
kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal,
melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat waspada.
3) Respon Kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik
proses pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu
memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa,
menurunnya lapang persepsi, bingung, sangat waspada,
kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada
gambaran visual, takut pada cedera atau kematian dan mimpi
buruk.
4) Respon Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk
kebingungan, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada,
khawatir, mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan
sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.

e. Rentang Respon Kecemasan


Seseorang yang mengalami kecemasan memiliki rentang
respon dan tingkatan yang berbeda-beda. Menurut (Stuart, G.W. &
Sundeen, S.J. 2006) ada empat tingkat kecemasan yang dialami
individu, yaitu kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan
berat, serta panik.
Gambar 2.1

Ringan Sedang Berat Panik


8

Sumber : Stuart & Sundeen, (2006)


1. Ansietas ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dan waspada.
Manisfestasi yang muncul pada ansietas ringan, antara lain:
a) Respon fisiologis
Respon fisiologis meliputi sesekali nafas pendek, mampu
menerima rangsang yang pendek, muka berkerut dan bibir
bergetar.
b) Respon kognitif
Respon kognitif meliputi koping persepsi luas, mampu
menerima rangsang yang kompleks, konsentrasi pada
masalah, dan menyelesaikan masalah.
c) Respon perilaku dan emosi
Respon perilaku dan emosi meliputi tidak dapat duduk
tenang, tremor halus pada lengan, dan suara kadang
meninggi.

2. Ansietas sedang
Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan
pada hal yang penting dengan mengesampingkan yang lain
perhatian selektif dan mampu melakukan sesuatu yang lebih
terarah. Manifestasi yang muncul pada kecemasan sedang
antara lain:
a) Respon fisiologis
Sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut
kering, diare atau konstipasi, tidak nafsu makan, mual, dan
berkeringat setempat.
b) Respon kognitif
Respon pandang menyempit, rangsangan luas mampu
diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian dan
bingung.
c) Respon perilaku dan emosi
Bicara banyak, lebih cepat, susah tidur dan tidak aman.
9

3. Ansietas berat
Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang
terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tantang hal lain.
Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat
memusatkan pada suatu area lain. Manifestasi yang muncul
pada kecemasan berat antara lain:
a) Respon fisiologis
Napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat
dan sakit kepala, penglihatan kabur, dan ketegangan.
b) Respon kognitif
Lapang persepsi sangat sempit, dan tidak mampu
menyelesaikan masalah.
c) Respon perilaku dan emosi
Perasaan terancam meningkat, verbalisasi cepat, dan
menarik diri dari hubungan interpersonal.
4. Panik
Tingkat panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan
dan terror. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian, terjadi
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang
dan kehilangan pemikiran yang rasional. Manifestasi yang
muncul terdiri dari:
a) Respon fisiologis
Napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat,
hipotensi, dan koordinasi motorik rendah.
b) Lapang kognitif
Lapang persepsi sangat sempit, dan tidak dapat berfikir
logis.
c) Respon perilaku dan emosi
Mengamuk- amuk dan marah- marah, ketakutan, berteriak-
teriak, menarik diri dari hubungan interpersonal, kehilangan
kendali atau kontrol diri dan persepsi kacau.
f. Tingkat Kecemasan
Tingkat kecemasan ada empat yaitu : ringan, sedang, berat dan
panik (Kaplan, H.I., & Sadock 2010).
1) Kecemasan Ringan
10

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam


kehidupan sehari-hari dan menyebabkan orang menjadi
waspada dan meningkat lahan persepsinya. Kecemasan ringan
dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas. Kecemasan ringan dapat menghasilkan gejala-
gejala fisiologis seperti gemetar, tegang dan gelisah. Sedangkan
gejala emosinal yang ada adalah tidak ada perasaan yang takut,
konsep diri tidak terancam, menggunakan mekanisme koping
yang minimal dan fleksibel, tingkah laku sesuai dengan situasi.
2) Kecemasan Sedang
Kecemasan sedang memiliki gejala fisiologis yaitu beberapa
gejala yang tidak normal dapat ditemukan, persepsi panjang
menyempit, respon muncul secara langsung (dapat merespon
terhadap perintah), masih dapat memecahkan masalah secara
efektif dan merespon langsung serta perlu support dan
perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak
menambah kecemasan. Kecemasan sedang secara emosional
menimbulkan tingkah laku tidak sadar, mudah tersinggung,
mudah lupa, banyak pertimbangan, menangis dan marah,
menggunakan berbagai macam mekanisme koping untuk
mengatasi kecemasannya.
3) Kecemasan Berat
Secara fisiologis, kecemasan berat menyebabkan terjadinya
perubahan terhadap tingkat rasa takut yang dapat berkembang
menjadi ketakutan. Secara kognitif dapat terjadi wawasan
persepsi menyempit, tidak perhatian terhadap sesuatu,
pemecahan masalah yang digunakan tidak efektif, perlu
pengarahan berulang, tidak mampu mengikuti atau mengingat
sesuatu. Tidak mampu membuat perencanaan dan keputusan.
Secara emosional kecemasan berat mengakibatkan hal-hal yang
tidak semestinya yaitu konsep diri terancam, merasa tidak
berguna, mencakup tingkah laku yang tidak sesuai,banyak
11

menggunakan mekanisme koping, disorientasi, bingung,


mungkin terjadi halusinasi.
4) Panik
Panik menimbulkan perubahan tingkah laku secara fisiologis
dan kognitif. Secara fisiologis beberapa tingkat kelelahan
mungkin sudah tidak mampu dikenali. Sedangkan secara
kognitif, kemampuan sensoris dan perhatian berkurang
sehingga hanya objek kecemasan yang diperhatikan,
mekanisme koping yang tidak efektif, tingkah laku terfokus
pada bantuan, mungkin menjerit, menangis, berdoa atau
memukul orang lain atau diri sendiri, tidak dapat
berkonsentrasi. Tidak dapat belajar memecahkan masalah,
membuat keputusan dan membuat tujuan yang realistis, tidak
dapat berespon terhadap perintah dan dapat menjadi psikosis.
3. Konsep Bermain
a. Definisi Terapi Bermain
Dunia anak adalah dunia bermain. Melalui kegiatan bermain,
semua aspek perkembangan anak ditumbuhkan sehingga anak-anak
menjadi lebih sehat sekaligus cerdas. Saat bermain, anak-anak
mempelajari banyak hal penting, sebagai contoh, dengan bermain
bersama teman, anak-anak akan lebih terasa rasa empatinya,
mereka juga bisa mengatasi penolakan dan dominasi, serta
mengelola emosi (Adriana 2013).
Bermain merupakan kegiatan atau simulasi yang sangat tepat
untuk anak. Bermain dapat meningkatkan daya pikir anak untuk
mendayagunakan aspek emosional, sosial serta fisiknya serta dapat
meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman, dan pengetahuan
serta keseimbangan mental anak. Berdasarkan paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan kegiatan yang
dilakukan anak untuk mengatasi berbagai macam perasaan yang
tidak menyenangkan dalam dirinya. Dengan bermain anak akan
mendapatkan kegembiraan dan kepuasan (Heri Saputro 2017).
12

Bermain merupakan kegiatan anak-anak, yang dilakukan


berdasarkan keinginannya sendiri untuk mengatasi kesulitan, stress
dan tantangan yang ditemui serta berkomunikasi untuk mencapai
kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain (Wong 2009).
Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah
emosi dan perilaku anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan
unik dan beragam dalam perkembangan mereka. Anak-anak tidak
seperti orang dewasa yang dapat berkomunikasi secara alami
melalui kata-kata, mereka lebih alami mengekspresikan diri
melalui bermain dan beraktivitas. terapi bermain merupakan suatu
bentuk permainan anak-anak, di mana mereka dapat berhubungan
dengan orang lain, saling mengenal, sehingga dapat
mengungkapkan perasaannya sesuai dengan kebutuhan mereka
(Vanfleet, R., Sywulak, E. A., & Sniscak 2010).
Terapi bermain merupakan terapi yang diberikan dan
digunakan anak untuk menghadapi ketakutan, kecemasan dan
mengenal lingkungan, belajar mengenai perawatan dan prosedur
yang dilakukan serta staf rumah sakit yang ada. terapi bermain
didefinisikan sebagai penggunaan sistematis model teoritis untuk
membangun proses antar pribadi untuk membantu seseorang
mencegah atau mengatasi kesulitan psikososial serta mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Homeyer, L. E., &
Morisso 2008).
b. Kategori Bermain
Menurut (Heri Saputro 2017) terdapat 2 kategori bermain, yaitu
sebagai berikut :
1) Bermain Aktif
Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari apa yang
dilakukan anak, apakah dalam bentuk kesenangan bermain alat
misalnya mewarnai gambar, melipat kertas origami, puzzle dan
menempel gambar. Bermain aktif juga dapat dilakukan dengan
bermain peran misalnya bermain dokter-dokteran dan bermain
dengan menebak kata.
13

2) Bermain Pasif
Dalam bermain pasif, hiburan atau kesenangan diperoleh dari
kegiatan orang lain.Pemain menghabiskan sedikit energi, anak
hanya menikmati temannya bermain atau menonton televisi
dan membaca buku. Bermain tanpa mengeluarkan banyak
tenaga, tetapi kesenangannya hampir sama dengan bermain
aktif.
c. Klasifikasi Bermain
Menurut (Heri Saputro 2017) klasifikasi bermain ada 3 yaitu,
berdasarkan isi permainan, jenis permainan dan karakteristik
sosial,
1) Berdasarkan isinya
a) Bermain afektif sosial (social affective play)
Permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya, bayi
akan mendapat kesenangan dan kepuasan dari hubungan
yang menyenangkan dengan orangtua dan orang lain.
Permainan yang biasa dilakukan adalah “cilukba”,
berbicara sambil tersenyum/tertawa atau sekedar
memberikan tangan pada bayi untuk menggenggamnya
tetapi dengan diiringi berbicara sambil tersenyum dan
tertawa.
b) Bermain untuk senang-senang (sense of pleasure
play)
Permainan ini menggunakan alat yang bisa menimbulkan
rasa senang pada anak dan biasanya mengasyikkan.
Misalnya dengan menggunakan pasir, anak akan membuat
gunung-gunung atau benda-benda apa saja yang dapat
dibentuk dengan pasir. Bisa juga dengan menggunakan air
anak akan melakukan bermacam-macam permainan seperti
memindahkan air ke botol, bak atau tempat lain.
c) Permainan Ketrampilan (skill play)
Permainan ini akan menimbulkan keterampilan anak,
khususnya motorik kasar dan halus. Misalnya, bayi akan
14

terampil akan memegang benda-benda kecil, memindahkan


benda dari satu tempat ke tempat lain dan anak akan
terampil naik sepeda. Jadi keterampilan tersebut diperoleh
melalui pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan.
d) Permainan simbolik atau pura-pura (dramatic play
role)
Permainan anak ini yang memainkan peran orang lain
melalui permainannya. Anak berceloteh sambil berpakaian
meniru orang dewasa. Misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya,
kakaknya sebagai yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain
dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka
tentang peran orang yang mereka tiru. Permainan ini
penting untuk memproses/mengindentifikasi anak terhadap
peran tertentu.
2) Berdasarkan jenis permainan
a) Permainan (Games)
Permainan adalah jenis permainan dengan alat tertentu
yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini
bisa dilakukan oleh anak sendiri atau dengan temannya.
Banyak sekali jenis permainan ini yang dimulai dari sifat
tradisional maupun modern seperti ular tangga, congklak,
puzzle dan lain-lain.
b) Permainan yang hanya memperhatikan saja
(unoccupied behaviour)
Pada saat tertentu anak sering terlihat mondar-mandir,
tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk,
memainkan kursi, meja, atau apa saja yang ada di
sekelilingnya. Anak melamun, sibuk dengan bajunya atau
benda lain. Jadi sebenernya anak tidak memainkan alat
permainan tertentu dan situasi atau objek yang ada di
sekelilingnya yang digunakan sebagai alat permainan. Anak
memusatkan perhatian pada segala sesuatu yang menarik
15

perhatiannya. Peran ini berbeda dengan onlooker, dimana


anak aktif mengamati aktivitas anak lain.
3) Berdasarkan karakteristik sosial
a) Solitary play
Dimulai dari bayi (toddler) dan merupakan jenis permainan
sendiri atau independen walaupun ada orang lain
disekitarnya. Hal ini karena keterbatasan sosial,
ketrampilan fisik dan kognitif.
b) Paralel play
Dilakukan oleh suatu kelompok anak balita atau prasekolah
yang masing-masing mempunyai permainan yang sama
tetapi satu sama lainnya tidak ada interaksi dan tidak saling
tergantung. Dan karakteristik khusus pada usia toddler.
c) Associative play
Permainan kelompok dengan tanpa tujuan kelompok. Yang
mulai dari usia toddler dan dilanjutkan sampai usia
prasekolah dan merupakan permainan dimana anak dalam
kelompok dengan aktivitas yang sama tetapi belum
teroganisir secara formal.
d) Cooperative play
Suatu permainan yang teroganisir dalam kelompok, ada
tujuan kelompok dan ada memimpin yang di mulai dari
usia pra sekolah. Permainan ini dilakukan pada usia sekolah
dan remaja.
e) Onlooker play
Anak melihat atau mengobservasi permainan orang lain
tetapi tidak ikut bermain, walaupun anak dapat menanyakan
permainan itu dan biasanya dimulai pada usia toddler.
f) Therapeutic play
Merupakan pedoman bagi tenaga tim kesehatan, khususnya
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak
selama hospitalisasi. Permainan dengan menggunakan alat-
alat medik dapat menurunkan kecemasan dan untuk
pengajaran perawatan diri. Pengajaran dengan melalui
permainan dan harus diawasi seperti: menggunakan boneka
16

sebagai alat peraga untuk melakukan kegiatan bermain


seperti memperagakan dan melakukan gambar-gambar
seperti pasang gips, injeksi, memasang infus dan
sebagainya.
d. Tujuan Terapi Bermain
Tujuan bermain pada anak usia prasekolah menurut (Adriana
2013) adalah sebagai berikut: Mengembangkan kemampuan
menyamakan dan membedakan, mengembangkan kemampuan
berbahasa, mengembangkan pengertian tentang berhitung
(menambah dan mengurangi), merangsang daya imajinasi dengan
berbagai cara bermain pura-pura (sandiwara), membedakan benda-
benda dengan perabaan, menumbuhkan sportivitas,
mengembangkan kepercayaan diri, mengembangkan kreativitas,
mengembangkan koordinasi motorik (melompat, memanjat, lari
dan lain-lain), mengembangkan kemampuan mengontrol emosi,
motorik halus dan kasar, memperkenalkan pengertian yang bersifat
ilmu pengetahuan misalnya pengertian terapung dan tenggelam,
memperkenalkan suasana kompetisi, gotong royong.
e. Fungsi Bermain di Rumah Sakit
Menurut (Adriana 2013) fungsi bermain di rumah sakit adalah
sebagai berikut:
1) Memfasilitasi anak untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang asing.
2) Memberi kesempatan untuk membuat keputusan
dan control.
3) Membantu mengurangi cemas terhadap perpisahan.
4) Memberi kesempatan untuk mempelajari tentang
bagian-bagian tubuh, fungsinya dan penyakit.
5) Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang
penggunaan dan tujuan peralatan serta prosedur medis.
6) Memberi peralihan (distraksi) dan relaksasi.
7) Membantu anak untuk merasa lebih aman dalam
lingkungan yang asing
8) Memberi cara untuk mengurangi tekanan dan untuk
mengeksplorasi perasaan.
17

9) Menganjurkan untuk berinteraksi dan


mengembangkan sikap-sikap yang positif terhadap orang
lain.
10) Memberi cara untuk mengekspresikan ide kreatif
dan minat.
11) Memberi cara untuk tujuan terapeutik.
f. Prinsip Permainan pada Anak di Rumah Sakit
Menurut (Adriana 2013), prinsip permainan pada anak yang
dirawat di rumah sakit adalah sebagai berikut:
1) Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan
perawatan yang sedang di jalankan.
2) Tidak membutuhkan energy yang banyak
3) Permainan harus mempertimbangkan keamanan
anak.
4) Permainan dilakukan pada kelompok umur yang
sama.
5) Permainan melibatkan orang tua anak atau keluarga.
g. Bermain menggunakan prosedur di Rumah Sakit
Menurut (Heri Saputro 2017) Permainan edukatif sangat tepat
dilakukan di rumah sakit, dengan memasukkan pemahaman anak
terhadap alat-alat, peraturan dan tindakan agar anak dapat
kooperatif dalam mengikuti prosedur selama perawatan anak.
1) Bermain bahasa
Petugas atau orang tua mengajarkan anak tentang hal –hal yang
ada di rumah sakit, seperti menyebutkan kata kerja yang ada di
rumah sakit, menyebutkan peralatan-peralatan yang sering
digunakan dalam perawatan dan pengobatan. pengenalan
peralatan ini bisa dengan gambar bercerita atau petugas
bercerita dengan menggunakan peralatan seperti spuit,
tensimeter, stetoskop dan anak boleh memegang benda tersebut
selama dalam pemantauan petugas. Selain itu anak juga
diminta untuk mengekspresikan perasaannnya, bisa dengan
tulisan atau menggambar. Contohnya meminta anak untuk
menuliskan hal-hal yang disukai selama perawatan dan hal-hal
yang tidak disukai selama perawatan, meminta anak
18

menggambarkan anggota tubuh yang sakit atau


menggambarkan perawat yang disukainya/suasana kamar
tempat anak dirawat.
2) Permainan ilmiah
Permainan ilmiah ditujukan untuk menambah pengetahuan
anak tentang kegiatan yang terjadi di rumah sakit agar anak
bisa lebih paham dan kooperatif. Permainan ini bisa tentang
menjelaskan anggota tubuh yang sakit, menggambar anggota
tubuh yang sakit atau terpasang infus, menjelaskan tentang
pentingnya nutrisi untuk tubuh dan alasan mengapa anak sakit
harus makan, menjelaskan cara kerja obat minum, obat suntik,
pemasangan gips serta menjelaskan berapa lama waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan.
3) Permainan matematika
Gunakan materi rumah sakit untuk mendiskusikan sistem
metrik dan membuat anak semakin mengenal berat, panjang
dan volume badan, misalnya menimbang berat, mengukur
tinggi badan sendiri. Situasi rumah sakit juga dapat
didiskusikan kepada anak seperti jam jaga perawat dengan
jumlah perawat yang ada, lalu anak akan menghitung jumlah
perawat yang ada dalam satu hari.

4) Permainan ilmu sosial


Ajak anak bermain dengan melihat pekerjaan di rumah sakit,
tugas dan fungsinya sebagai apa saja, membutuhkan
pendidikan seperti apa saja (ini berlaku untuk anak yang lebih
besar usianya).
5) Permainan geografi
Ajak anak menggambar peta ruangan rumah sakit, arah ke WC,
arah ke ruang jaga perawat, menggambar apa yang dilihat anak
diluar jendela, pohon, rumput, lampu taman.
4. Bermain Clay
Clay adalah sejenis bahan yang menyerupai lilin lembut dan
mudah dibentuk (Nor Ella Dayani, Lia Yulia Budiarti 2015). Terapi
19

bermain dengan menggunakan jenis clay seperti playdough cocok


diberikan pada anak yang sedang menjalani perawatan, karena tidak
membutuhkan energi yang besar untuk bermain. Permainan ini juga
dapat dilakukan di atas tempat tidur anak, sehingga tidak mengganggu
dalam proses pemulihan kesehatan anak (Ngastiyah 2005).
Selain itu sebagai Salah satu permainan yang dapat melatih
keterampilan fisik yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata-
tangan untuk anak prasekolah seperti yang telah disebutkan diatas
adalah clay theraphy, membentuk plastisin (Clay Tepung) dalam hal
ini adalah sebagai media pembelajaran yang bertujuan untuk
membantu anak supaya dapat menggerakan jari-jarinya, sehingga
menjadi sebuah bentuk yang menarik. Selain itu juga membantu
melatih kesabaran dan meningkatkan konsenterasi pada anak,
pembelajaran membentuk memperlukan koordinasi tangan dan
konsenterasi (Wahyuningsih 2012).
Menurut (Sitorus 2017) manfaat bermain clay bagi anak-anak
adalah sebagai penyalur energi, menyiapkan diri untuk kehidupan
kelak dan memberi stimulus dalam pembentukan kepribadian anak.
Clay selalu menjadi mainan anak-anak dan baru-baru ini menjadi
alat terapi bermain. Terapis menggunakan tanah liat(clay) sebagai
sarana untuk meningkatkan hubungan terapeutik dan mendukung
proses klinis. Clay menyediakan anak-anak dengan metode alami
koneksi dan ekspresi (Schaefer, Ch., & Kaduson 2006).
Terapi tanah liat(clay) sebagai alat terapi yang efektif untuk anak-
anak dalam meningkatkan keterampilan pemecahan masalah mereka,
peningkatan harga diri, proses pengambilan keputusan, dan
pengendalian impuls dan kemarahan. Terapi Clay mengurangi
ketakutan anak-anak tentang konseling, karena itu memegang minat
mereka, menyediakan beragam koneksi klinis untuk membangun
lingkungan pemecahan masalah segera yang melengkapi rencana
perawatan yang sedang berlangsung, memperkuat hubungan klinis,
dan juga menyenangkan (Landreth 2004).
5. Bermain Origami
20

Bermain origami adalah kegiatan melipat kertas menjadi suatu


bentuk atau gambaran dengan menggerakkan tangan sambil berfikir
(Kobayashi K. 2008). Terapi bermain origami merupakan seni rupa
dapat menyenangkan dan sebagai hiburan yang mendidik terutama
untuk anak karena origami sarat akan manfaat yang positif, selain itu
untuk melatih motorik halus anak dan untuk memberi stimulasi positif
bagi perkembangan otak anak pada masa perkembanganya, Origami
merupakan salah satu seni yang mudah dan tak kalah indah dari seni
lainya, dari selembar kertas yang semula tidak berbentuk melalui
beberapa tahap lipatan maka miniatur benda dialampun dapat dibuat
(Hirai 2012).
Origami merupakan suatu kegiatan melipat kertas sehingga
membentuk sesuatu, misalnya bentuk hewan, bunga, atau alat
transportasi (Syaiful Y, Widati 2013). Origami bermanfaat untuk
melatih motorik halus, menumbuhkan motivasi, kreativitas,
keterampilan, dan ketekunan (Suryanti, Sodikin 2011).
Bermain origami mengajarkan pada anak membuat mainannya
sendiri, sehingga menciptakan kepuasan dibanding dengan mainan
yang sudah jadi atau dibeli di toko mainan (Hirai 2012).
6. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah hubungan antar konsep berdasarkan studi
empiris. Kerangka teori harus berdasarkan teori asal/grand theory
(Iskandar 2008).
Konsep Hospitalisasi
Kecemasan

Manfaat : Penyebab :

1. Membantu Perasaan takut, tidak ada


mengembangkan hubungan penerimaan pada kondisi yang ada
orang tua dan anak
2. Menyediakan
Reaksi anak usia pra sekolah
kesempatan belajar
terhadap hospitalisasi :
3. Meningkatkan
penguasaan diri Gejala :
1. Mekanisme
4. Menyediakan
pertahanan Gelisah, takut, gugup, berkeringat
lingkungan
2. sosialisasi
Merasa
kehilangan Tingkat kecemasan :
3. Merasa takut
4. Hukuman dan 1. Ringan
Dampak Hospitalisasi : 2. Sedang
perpisahan
Cemas,marah,sedih, takut dan 3. Berat
5. Keterbatasan
merasa bersalah 4. BERMAIN
TERAPI panik
pengetahuan

Anda mungkin juga menyukai