Anda di halaman 1dari 1

TAUHID

Semua sepakat bahwa akidah adalah pondasi yang membangun amal-amal ibadah
lainnya. Umat Islam tidak pernah berselisih bahwa yang menjadi seruan pertama kali
dalam berdakwah adalah ajakan tauhid, yaitu mengajak umat untuk memurnikan
ibadah hanya kepada Allah semata. Dakwah tauhid ini juga merupakan inti dari
dakwah yang diserukan oleh para nabi dan rasul. Allah ta’ala berfirman, “Sungguh
Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Karena itu, dalam menyampaikan risalah islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi


wasallamselalu berpesan kepada para sahabatnya untuk menyerukan umat kepada
tauhid terlebih dahulu. Setelah nilai-nilai tauhid tersebut diterima, baru kemudian
diajak untuk mengamalkan ajaran Islam secara pelan-pelan. Hal ini sebagaimana
yang disampaikan oleh Nabi kepada Muadz bin Jabbal sebelum mengutusnya ke
Yaman.

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah
mereka kepada persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah. Jika mereka mentaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah
telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu setiap siang dan malam…”(HR.
Bukhari-Muslim)

Dalam memahami konteks dakwah tauhid di atas, belakangan muncul sebuah


fenomena dimana sebagian umat islam cenderung mengotak-ngotakkan metode
dalam berdakwah. Memisahkan antara seruan tauhid dengan seruan penegakkan
syariat. Seolah-olah ada kesan bahwa ada jalur pemisah antara upaya menegakkan
tauhid dengan upaya menegakkan syariat.

Menurutnya, dakwah yang benar hari ini adalah cukup mengajak umat untuk
memurnikan tauhid dan abai terhadap urusan-urusanlain yang menimpa umat Islam.
Sementara tegaknya syariat atau khilafah yang melindungi syariat serta persatuan
kaum muslimin itu akan datang dengan sendirinya. Sebuah slogan yang sering
mereka serukan adalah, “Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya
daulah akan tegak di bumi kalian.”(Lihat; at-Tashfiyah wat-Tarbiyah, Al–Abani,hal:
33)

Anda mungkin juga menyukai