Anda di halaman 1dari 34

4

3. Ekstrak : Bahan yang dipisahkan dari bahan ekstraksi


4. Larutan ekstrak : Pelarut setelah proses pengambilan ekstrak
5. Rafinat (residu ekstraksi) : Bahan ekstraksi setelah diambil ekstraknya
6. Ekstraktor : Alat ekstraksi
7. Ekstraksi padat-cair : Ekstraksi, dari bahan yang padat
8. Ekstraksi cair-cair: Ekstraksi dari bahan ekstraksi yang cair (ekstraksi
dengan pelarut = Solvent extraction) (Rahayu and Purnavati, 2008).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi
dalam sel tanaman.
Pada ekstraksi tidak terjadi pemisahan segera dari bahan-bahan yang
akan diperoleh (ekstrak), melainkan mula-mula hanya terjadi pengumpulan
ekstrak dalam pelarut. Ekstraksi akan lebih menguntungkan jika dilaksanakan
dalam jumlah tahap yang banyak. Setiap tahap menggunakan pelarut yang
sedikit. Kerugiannya adalah konsentrasi larutan ekstrak makin lama makin
rendah, dan jumlah total pelarut yang dibutuhkan menjadi besar, sehingga
untuk mendapatkan pelarut kembali biayanya menjadi mahal. Semakin kecil
partikel dari bahan ekstraksi, semakin pendek perpindahan massa dengan cara
difusi, sehingga semakin rendah pula tahanannya. Pada ekstraksi bahan padat,
tahanan semakin besar jika kapiler-kapiler bahan padat semakin halus dan jika
ekstrak semakin terbungkus di dalam sel (Wibawa and Sukma, 2014).
Jenis-jenis metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
A. Maserasi
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak
digunakan. Cara ini sesuai baik untuk skala kecil maupun skala industri.
Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut
yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar.
Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel
5

tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan


penyaringan. Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan
banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar
kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, dan dari beberapa
senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi
lain, metode maserasi dapat menghindari terjadinya kerusakan pada
senyawa-senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).
Keuntungan utama metode ekstraksi maserasi adalah prosedur dan
peralatan yang digunakan sederhana, metode ini tidak dipanaskan
sehingga bahan alam yang dikandungnya tidak terurai. Ekstraksi dingin
dapat memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun beberapa
senyawa memiliki kelarutan terbatas dalam pelarut ekstraksi pada saat
proses terjadi di suhu kamar (Febrina, Rusli and Muflihah, 2018).
B. Ultrasound-Assisted Solvent Extraction
Merupakan metode maserasi yang dimodifikasi dengan
menggunakan bantuan ultrasound (sinyal dengan frekuensi tinggi, 20
kHz). Wadah yang berisi serbuk sampel ditempatkan dalam wadah
ultrasonic dan ultrasound. Hal ini dilakukan untuk memberikan tekanan
mekanik pada sel hingga menghasilkan rongga pada sampel. Kerusakan
sel dapat menyebabkan peningkatan kelarutan senyawa dalam pelarut dan
meningkatkan hasil ekstraksi.
C. Soxhlet
Metode ini dilakukan dengan menempatkan serbuk sampel dalam
sarung selulosa (dapat digunakan kertas saring) dalam klonsong yang
ditempatkan di atas labu dan di bawah kondensor. Pelarut yang sesuai
dimasukkan ke dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux.
Keuntungan dari metode ini adalah proses ektraksi yang kontinyu, sampel
terekstraksi oleh pelarut murni hasil kondensasi sehingga tidak
membutuhkan banyak pelarut dan tidak memakan banyak waktu.
Kerugiannya adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi
karena ekstrak yang diperoleh terus-menerus berada pada titik didih.
6

Metode ekstraksi cara panas (soxhlet) memiliki keuntungan berupa pelarut


yang digunakan lebih sedikit (efisien bahan), waktu yang digunakan lebih
cepat, sampel yang diekstraksi secara sempurna karena dilakukan
berulang-ulang. Selain itu aktivitas biologis tidak hilang saat dipanaskan.
Hasil persen rendemen terbanyak dihasilkan melalui metode soxhlet
dibandingkan dengan metode maserasi. Hal ini dikarenakan metode
ekstraksi soxhlet selalu menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinyu dengan jumlah pelarut yang konstan dengan adanya pendingin
balik. Sehingga pelarut yang digunakan akan mengalami sirkulasi
dibandingkan dengan cara maserasi (Febrina, Rusli and Muflihah, 2018).
D. Perkolasi
Pada metode perkolasi, serbuk sampel dibasahi secara perlahan
dalam sebuah perkolator (wadah silinder yang dilengkapi dengan kran
pada bagian bawahnya). Pelarut ditambahkan pada bagian atas serbuk
sampel dan dibiarkan menetes perlahan pada bagian bawah. Kelebihan
dari metode ini adalah sampel senantiasa dialiri oleh pelarut baru.
Sedangkan kerugiannya adalah jika sampel dalam perkolator tidak
homogen maka pelarut akan sulit menjangkau seluruh area. Selain itu,
metode ini juga membutuhkan banyak pelarut dan memakan cukup
banyak waktu.
E. Reflux dan Destilasi Uap
Pada metode reflux, sampel dimasukkan bersama pelarut ke dalam
labu yang dihubungkan dengan kondensor. Pelarut dipanaskan hingga
mencapai titik didih. Uap terkondensasi dan kembali ke dalam labu.
Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk
mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap).
Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2
bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang
terhubung dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah
senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Mukhriani, 2014).
7

Berikut ini adalah pertimbangan yang perlu diketahui dalam pemakaian


proses ekstraksi sebagai proses pemisahan:
1. Komponen larutan sensitif terhadap pemanasan jika digunakan distilasi
meskipun pada kondisi vakum.
2. Titik didih komponen-komponen dalam campuran berdekatan
3. Kemudahan menguap (volatility) komponen-komponen hampir sama.
Untuk mencapai proses ekstraksi cair-cair yang baik, pelarut yang
digunakan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam campuran
2. Kemampuan tinggi untuk diambil kembali
3. Perbedaan berat jenis antara ekstrak dan rafinat lebih besar
4. Pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur
5. Tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi
6. Tidak merusak alat secara korosi
7. Tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah.
Berdasarkan sifat diluen dan solven, sistem ekstraksi dibagi menjadi 2
sistem:
a. immiscible extraction, solven (S) dan diluen (D) tidak saling larut.
b. partially miscible, solven (S) sedikit larut dalam diluen (D) dan
sebaliknya. Meskipun demikian campuran ini heterogen, jika dipisahkan
akan terdapat fase diluen dan fase solven (Wibawa and Sukma, 2014).

2.2 Faktor-Faktor Ekstraksi


Pemilihan alat untuk proses ekstraksi dipengaruhi faktor-faktor yang
membatasi kecepatan ekstraksi. Bila kecepatan ekstraksi dikontrol oleh
mekanisme difusi solute melalui pori-pori padatan, maka ukuran partikel
pada padatan yang diolah harus kecil, agar jarak dan perembesan tidak telalu
jauh, sebaliknya jika mekanisme difusi solute dari permukaan partikel dalam
larutan keseluruhan (bulk) merupakan faktor yang dapat mengontrol, maka
harus dilakukan pengadukan dan proses selanjutnya. Ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan agar mendapat hasil ekstrak yang berkualitas, yaitu:
8

1. Temperatur Operasi
Semakin tinggi temperatur, laju pelarutan zat terlarut oleh pelarut
semakin tinggi dan laju difusi pelarut ke dalam serta ke luar padatan
semakin tinggi pula. Temperatur operasi untuk proses ekstraksi
kebanyakan dilakukan dibawah temperatur 100oC karena pertimbangan
ekonomis.
Koefisien difusi juga akan bertambah tinggi seiring dengan kenaikan
suhu sehingga meningkatkan laju ekstraksi. Batas suhu ditentukan untuk
mencegah kerusakan pada bahan. Contohnya, suhu ekstraksi untuk pektin
adalah 60–90°C. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi juga dapat
mengakibatkan degradasi pada sampel yang dipakai (Perina et al., 2007).
2. Waktu Ekstraksi
Lamanya waktu ekstraksi mempengaruhi volume ekstrak minyak
dedak yang diperoleh. Semakin lama waktu ekstraksi semakin lama juga
waktu kontak antara pelarut n-heksan dengan bahan baku dedak sebagai
padatan sehingga semakin banyak zat terlarut yang terkandung di dalam
padatan yang terlarut pada pelarut.
Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi dalam
pelarut, perolehan (yield) yang diperoleh semakin tinggi. Tetapi,
penambahan waktu ekstraksi tidak sebanding dengan yield yang
diperoleh. Oleh karena itu, ekstraksi dilakukan pada waktu optimum.
Ekstraksi dilakukan selama pelarut yang digunakan belum jenuh. Pelarut
yang telah jenuh tidak dapat mengekstraksi lagi atau kurang baik
kemampuan untuk mengekstraksinya karena gaya pendorong (driving
force) semakin lama semakin kecil. Akibatnya waktu ekstraksi semakin
lama dan yield yang dihasilkan tidak bertambah lagi secara signifikan.
3. Ukuran, bentuk dan kondisi partikel padatan
Minyak pada partikel organik biasanya terdapat di dalam sel-sel.
Laju ekstraksi akan rendah jika dinding sel memiliki tahanan difusi yang
tinggi. Pengecilan ukuran partikel ini dapat mempengaruhi waktu
ekstraksi. Semakin kecil ukuran partikel berarti permukaan luas kontak
9

antara partikel dan pelarut semakin besar, sehingga waktu ekstraksi


juga akan menjadi semakin cepat (Nasir, Fitriayanti and Kamila, 2009).
Pemotongan dan pembelahan bahan-bahan yang akan diekstraksi
membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut karena pecahnya
sel-sel yang mengandung solut tersebut (Perina et al., 2007).
4. Pelarut
Pada proses ekstraksi, banyak pilihan pelarut yang digunakan.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih pelarut adalah
sebagai berikut:
1. Jumlah pelarut
Semakin banyak jumlah pelarut semakin banyak perolehan yang
didapatkan. Namun untuk memisahkan pelarutnya juga harus
dilakukan dengan metode-metode tertentu yang sesuai.
2. Sifat pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat,
cair atau gas, yang melarutkan sebuah larutan. Dapat dilihat juga dari
sifat kelarutan suatu bahan, bila sifat kelarutannya sama, maka pelarut
dapat terikat dengan zat terlarut tersebut, kemudian dapat dipisahkan.
Pemisahan pelarut pun dapat dilakukan dalam berbagai cara, ada
dengan metode distilasi, ataupun dengan pendiaman.
Sifat pelarut mencangkup beberapa hal antara lain :
a. Selektivitas
Pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan,
bukan komponen lainnya dari bahan yang diekstrak. Dalam hal ini,
larutan ekstrak yang diperoleh harus dibersihkan yaitu dengan
mengekstraksi larutan tersebut dengan pelarut kedua.
b. Kelarutan
Pelarut harus mempunyai kemampuan untuk melarutkan
solut sesempurna mungkin. Kelarutan solut terhadap pelarut yang
tinggi akan mengurangi jumlah penggunaan pelarut, sehingga
menghindarkan terlalu besarnya perbandingan antara pelarut dan
10

padatan. Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat


kimia tertentu, zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut
(solvent).
c. Kerapatan
Perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut dan solut
akan memudahkan pemisahan keduanya.
d. Aktivitas kimia pelarut
Pelarut harus bahan kimia yang stabil dan inert terhadap
komponen lainnya didalam sistem untuk mencapai kesepakatan
antara perhitungan kesetimbangan eksperimental dengan hitungan
yang teoritis.
e. Titik didih
Pada proses ekstraksi biasanya pelarut dan solut dipisahkan
dengan cara penguapan, distilasi atau rektifikasi. Oleh karena itu
titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat. Dari segi
ekonomi akan menguntungkan bila titik didih pelarut tidak terlalu
tinggi.
f. Viskositas pelarut
Pelarut harus mampu berdifusi ke dalam maupun ke luar dari
padatan agar bisa mengalami kontak dengan seluruh solut. Oleh
karena itu, viskositas pelarut harus rendah agar dapat masuk dan
keluar secara mudah dari padatan.
g. Rasio pelarut
Rasio pelarut yang dipakai terhadap padatan harus sesuai
dengan kelarutan zat terlarut atau solut pada pelarut. Semakin kecil
kelarutan solut terhadap pelarut, semakin besar pula perbandingan
pelarut terhadap padatan, begitu juga sebaliknya. Dengan
demikian perbandingan solut dan pelarut yang tepat akan mampu
memberikan hasil ekstraksi yang diharapkan. Syarat-syarat lain
yang harus dipenuhi oleh pelarut yaitu pelarut sedapat mungkin
harus murah, tersedia dalam jumlah yang besar, tidak beracun,
11

tidak korosif, tidak mudah terbakar, tidak eksplosif bila tercampur


dengan udara, tidak menyebabkan terbentuknya emulsi, dan stabil
secara kimia maupun termis. Karena hampir tidak ada pelarut yang
memenuhi semua syarat di atas, maka untuk setiap proses
ekstraksi harus di cari pelarut yang paling sesuai.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi sebaiknya memiliki sifat-
sifat sebagai berikut:
1) Mampu memberikan kemurnian solut yang tinggi (selektivitas tinggi);
2) Dapat didaur ulang;
3) Stabil tetapi inert;
4) Mempunyai viskositas, tekanan uap, dan titik beku yang rendah untuk
memudahkan operasi dan keamanan penyimpanan;
5) Tidak beracun dan tidak mudah terbakar;
6) Tidak merugikan dari segi ekonomis dan tetap memberikan hasil yang
cukup baik.
Penggunaan pelarut air dalam ekstraksi merupakan metode yang
paling sederhana. Penggunaan pelarut ini memiliki beberapa kerugian,
terutama dalam kaitannya dengan aktivitas ion hidrogen. Selain itu,
penggunaan pelarut air tidak efisien dari segi waktu, karena ekstraksi yang
terjadi membutuhkan waktu lama. Pelarut air pada suhu ruang juga biasa
digunakan di ekstraksi awal sebelum ekstraksi dengan pelarut lain.
Jumlah pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi juga
berpengaruh terhadap hasil yield yang didapat. Semakin banyak pelarut
yang digunakan maka sampel yang terekstrak juga akan semakin banyak.
Jumlah pelarut yang sedikit tidak dapat mengekstrak sampel secara
optimal. Ekstraksi ini dilakukan selama pelarut yang digunakan belum
jenuh. Pelarut yang telah jenuh tidak dapat mengekstraksi lagi atau kurang
baik kemampuan untuk mengekstraksinya karena gaya pendorong
(driving force) semakin lama semakin kecil. Akibatnya waktu ekstraksi
semakin lama dan yield yang dihasilkan tidak bertambah lagi secara
signifikan dan sampel yang didapat cenderung konstan.
12

5. Pengaruh Pengadukan
Pengadukan dalam ekstraksi penting karena meningkatkan
perpindahan solut dari permukaan partikel (padatan) ke cairan pelarut.
Mekanisme yang terjadi pada proses ekstraksi adalah sebagai berikut,
solven berdifusi ke dalam padatan sehingga solut akan larut ke dalam
solven. Kemudian solut yang terlarut dalam solven tersebut akan berdifusi
ke luar menuju ke permukaan partikel, akhirnya solut akan berpindah ke
larutan. Selain itu pengadukan suspensi partikel halus mencegah
pengendapan padatan dan kegunaan yang lebih efektif adalah membuat
luas kontaknya semakin besar. Semakin cepat pengadukan maka solut
yang berpindah dari permukaan partikel (padatan) ke cairan semakin
banyak. Hal ini dikarenakan pengadukan dapat meningkatkan difusi dan
perpindahan solut dari permukaan larutan, disamping itu dengan
pengadukan akan mencegah terjadinya pengendapan.
Kecepatan pengadukan yang lambat akan menyebabkan campuran
bahan yang diaduk tidak merata dan perpindahan partikel yang ada dalam
sampel ke cairan sangat sedikit sehingga hasil yang didapat juga sedikit
6. pH
Pengontrolan pH dalam ekstraksi sampel memiliki peranan yang
penting karena dapat mempengaruhi yield sampel. Rentang pH untuk
ekstraksi bervariasi tergantung kepada bahan yang akan diekstraksi.
Misalnya, ekstraksi pektin dari kulit lemon dilakukan pada pH 1,5–3 dan
ekstraksi pektin dari ampas apel berkisar dari 1,2 – 3 (Perina et al., 2007).

2.3 Sifat Pelarut


Sifat-sifat untuk potensial pelarut harus dipertimbangkan sebelum
digunakan dalam proses ekstraksi cair-cair. Berikut sifat tersebut:
1. Selektivitas
Pemisahan relatif, atau selektivitas, α pelarut adalah rasio dua
komponen dalam fase pelarut-ekstraksi dibagi dengan rasio komponen
yang sama dalam fase pelarut-umpan. Kekuatan pemisahan dari sistem
13

cair-cair diatur oleh deviasi α dari kesatuan, analog dengan volatilitas


relatif dalam distilasi. Pemisahan relatif α dari 1,0 tidak memberikan
pemisahan komponen antara dua fase cair. Konsentrasi zat terlarut encer
biasanya memberikan faktor pemisahan relatif tertinggi.
2. Dapat dipulihkan
Pelarut ekstraksi biasanya harus diperoleh dari aliran ekstrak dan
juga dari aliran rafinat dalam proses ekstraksi. Karena distilasi sering
digunakan, volatilitas relatif dari komponen pelarut ekstraksi ke
komponen non-pelarut harus secara signifikan lebih besar atau kurang dari
satu. Panas laten rendah dari penguapan diinginkan untuk pelarut yang
mudah menguap.
3. Rasio partisi
Rasio partisi untuk zat terlarut sebaiknya lebih besar sehingga rasio
pelarut ekstraksi yang rendah terhadap umpan dapat digunakan.
4. Kapasitas
Sifat ini mengacu pada pemuatan zat terlarut per berat pelarut
ekstraksi yang dapat dicapai dalam lapisan ekstrak.
5. Kelarutan pelarut
Kelarutan yang rendah dari pelarut ekstraksi dalam raffinate
umumnya mengarah pada volatilitas relatif tinggi dalam stripper raffinate
atau kerugian pelarut yang rendah jika raffinate tidak terdeolventisasi.
Kelarutan pelarut pakan yang rendah dalam ekstrak menyebabkan
pemisahan relatif tinggi dan, pada umumnya, biaya pemulihan zat terlarut
rendah
6. Kepadatan
Perbedaan kepadatan antara dua fase cair dalam kesetimbangan
mempengaruhi laju aliran berlawanan yang dapat dicapai dalam peralatan
ekstraksi serta laju koalesensi. Perbedaan kerapatan berkurang menjadi
nol pada titik anyaman, tetapi dalam beberapa sistem dapat menjadi nol
pada konsentrasi zat terlarut menengah (isopiknik, atau kerapatan kembar,
garis ikat) dan dapat membalikkan fase pada konsentrasi yang lebih tinggi.
14

Jenis ekstraktor yang berbeda tidak dapat melewati konsentrasi zat terlarut
seperti itu, tetapi mixer-settler dapat melakukannya.
7. Ketegangan antarfase
Ketegangan antar muka yang tinggi menyebabkan perpaduan yang
cepat dan umumnya membutuhkan agitasi mekanis yang tinggi untuk
menghasilkan tetesan kecil. Ketegangan antar muka yang rendah
memungkinkan drop breakup dengan intensitas agitasi yang rendah tetapi
juga mengarah pada tingkat penggabungan yang lambat. Ketegangan
antar muka biasanya berkurang dengan meningkatnya kelarutan dan
konsentrasi zat terlarut dan turun ke nol pada titik anyaman
8. Toksisitas
Toksisitas rendah dari inhalasi uap pelarut atau kontak dengan kulit
lebih disukai karena potensi paparan selama perbaikan peralatan atau
ketika koneksi terputus setelah transfer pelarut. Juga, toksisitas rendah
untuk ikan dan bioorganisme lebih disukai ketika ekstraksi digunakan
sebagai pretreatment untuk air limbah sebelum memasuki pabrik
biotreatment dan dengan pembuangan limbah akhir ke sungai atau danau.
Toksisitas pelarut rendah jika kelarutan dalam air tinggi (Perry, 1997).

2.4 Ekstraksi cair-cair


Ekstraksi cair-cair atau Liquid-Liquid Extraction (LLE) merupakan
sistem pemisahan secara kimia-fisika dimana zat yang akan diekstraksi, dalam
hal ini asam-asam karboksilat atau asam-asam lemak bebas yang larut dalam
fase air, dipisahkan dari fase airnya dengan menggunakan pelarut organik,
yang tidak larut dalam fase air, secara kontak langsung baik kontinyu maupun
diskontinyu.
Metode ekstraksi cair-cair (LLE) inipun mengalami inovasi beberapa
kali dalam hal penggunaan jenis pelarut organiknya. Mulai dari penggunaan
pelarut secara konvensional seperti alkohol, keton, eter dan ester, yang kini
dinilai memiliki daya ekstraksi rendah, ditandai dengan rendahnya harga
koefisien partisinya, ditambah lagi pelarut tersebut banyak larut di dalam air,
15

sehingga akan sangat merugikan. Nilai koefisien partisi merupakan


perbandingan fraksi massa antara zat yang berada pada fase organik dengan
fraksi massa zat yang berada pada fase air. Dengan ditemukannya pelarut
organik tipe organo fosfor seperti tributilfosfat (TBF) dan trietilfosfat (TEF)
serta amina tersier rantai panjang seperti triisooktilamin (TIOA) dan
trialkilamin (TAA), maka persoalan tentang rendahnya harga koefisien partisi
dapat teratasi. Dikarenakan kedua tipe pelarut tersebut memiliki daya
ekstraksi tinggi. Dengan mengetahui reaksi yang terjadi antara asam
karboksilat dengan gugus fungsi dalam pelarut, maka akan diketahui pelarut
mana yang memiliki daya ekstraksi lebih tinggi (Putranto, 2014).
Salah satu proses pemisahan yang terkenal dan banyak digunakan dalam
industri kimia adalah proses ekstraksi. Ekstraksi solvent atau yang lebih
dikenal dengan ekstraksi cair-cair merupakan proses pemisahan fase cair yang
memanfaatkan perbedaan kelarutan zat yang akan dipisahkan antara larutan
asal dan pelarut pengekstrak (solvent). Prinsip dasar dari ekstraksi cair-cair ini
melibatkan pengontakan suatu larutan dengan pelarut (solvent) lain yang tidak
saling melarut (immisible) dengan pelarut asal yang mempunyai densitas yang
berbeda sehingga akan terbentuk dua fase beberapa saat setelah dapat
penambahan solvent.
Dalam proses pengontakan yang terjadi dalam kolom isian, salah satu
cairan didispersikan dalam bentuk tetesan ke dalam cairan pendispersi tetesan
yang disebut dengan fase kontinyu. Ektraksi cair-cair dalam kolom isian
memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dalam kolom kosong.
Keunggulan tersebut antara lain dapat mempertahankan tetesan dalam ukuran
yang kecil dan adanya turbulensi yang tinggi akibat tetesan bergerak disela-
sela isian dan aliran fase kontinyu yang mengalir dari atas ke bawah kolom
isian. Hal ini menjadikan tetesan memiliki luas permukaan kontak yang besar
dan kemudahan berpindahnya senyawa terlarut dari salah satu cairan ke cairan
lainnya.
Sebagai unit operasi pemisahan alternatif disamping distilasi dan
adsorbsi, ekstraksi cair-cair dalam kolom isian ini pada kondisi tertentu
16

memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat beroperasi pada kondisi


ruang, dapat memisahkan sistem yang memiliki sensitivitas terhadap
temperatur, dapat memisahkan sistem dengan perbedaan titik didih relatif
kecil dan kebutuhan energinya relatif kecil (Ariono and Wicakso, 2006).
Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu
campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Proses ini digunakan secara
teknis dalam skala besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika,
bahan-bahan penyedap, produk-produk minyak bumi dan garam-garam
logam. Proses inipun digunakan untuk membersihkan air limbah dan larutan
ekstrak hasil ekstraksi padat cair. Ekstraksi cair-cair atau disebut juga
ekstraksi pelarut merupakan metode pemisahan yang didasarkan pada
fenomena distribusi atau partisi suatu analit diantara dua pelarut yang tidak
saling campur, prinsip dasar dari pemisahan ini adalah perbedaan kelarutan
suatu senyawa dalam dua pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan bila
pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan
(misalnya karena pembentukan aseotrop atau karena kepekaannya terhadap
suhu panas) atau tidak ekonomis (Rahayu and Purnavati, 2008)
Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas
sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi
dengan pelarut, dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Pada
saat pencampuran terjadi perpindahan massa, yaitu ekstrak meninggalkan
pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua
(media ekstraksi).
Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling
melarut (atau hanya dalam daerah yang sempit). Agar terjadi perpindahan
massa yang baik yang berarti performance ekstraksi yang besar haruslah
diusahakan agar terjadi bidang kontak yang seluas mungkin di antara kedua
cairan tersebut. Untuk itu salah satu cairan distribusikan menjadi tetes-tetes
kecil (misalnya dengan bantuan perkakas pengaduk). Tentu saja
pendistribusian ini tidak boleh terlalu jauh, karena akan menyebabkan
terbentuknya emulsi yang tidak dapat lagi atau sukar sekali dipisah.
17

Turbulensi pada saat mencampur tidak perlu terlalu besar. Yang penting
perbedaan konsentrasi sebagai gaya penggerak pada bidang batas tetap ada.
Hal ini berarti bahwa bahan yang telah terlarutkan sedapat mungkin
segera disingkirkan dari bidang batas. Pada saat pemisahan, cairan yang telah
terdistribusi menjadi tetes-tetes hanis menyatu kembali menjadi sebuah fase
homogen dan berdasarkan perbedaan kerapatan yang cukup besar dapat
dipisahkan dari cairan yang lain. Kecepatan pembentukan fase homogen ikut
menentukan output sebuah ekstraktor cair-cair. Kuantitas pemisahan
persatuan waktu dalam hal ini semakin besar jika permukaan lapisan antar
fase di dalam alat semakin luas.
Sistem ekstraksi cair-cair (Liquid-liquid Extraction) dengan
menggunakan pelarut organik untuk memisahkan asam-asam organik,
mendapatkan perhatian dikalangan para peneliti, beberapa tahun belakangan
ini. Terutama pemakaian pelarut organo fosfor seperti, tributilfosfat (TBF),
trietilfosfat (TEF) dan pemakaian amina tersier rantai panjang, misalnya
triisooktilamina (TIOA), trialkilamin (TAA). Mengingat pemakaian pelarut
secara konvensional seperti, alkohol, keton dan eter hanya menghasilkan
koefisien partisi rendah, ditambah lagi pelarut tersebut banyak larut di dalam
air, sehingga hasilnya akan sangat merugikan (Putranto, 2014).
Sama halnya seperti pada ekstraksi padat-cair, alat ekstraksi tak
kontinyu dan kontinyu yang akan dibahas berikut ini seringkali merupakan
bagian dari suatu instalasi lengkap. Instalasi tersebut biasanya terdiri atas
ekstraktor yang sebenarnya (dengan zona-zona pencampuran dan pemisahan)
dan sebuah peralatan yang dapat dihubungkan dibelakangnya (misalnya alat
penguap, dan kolom rektifikasi) untuk mengisolasi ekstrak atau memekatkan
larutan ekstrak dan mengambil kembali pelarut (Rahayu and Purnavati, 2008).
1. Ekstraktor cair-cair tak kontinyu
a. Dalam hal yang paling sederhana, bahan ekstraksi yang cair dicampur
berulang kali dengan pelarut segar dalam sebuah tangki pengaduk
(sebaiknya dengan saluran keluar di bagian bawah). Larutan ekstrak
yang dihasilkan setiap kali dipisahkan dengan cara penjernihan.
18

b. Yang konstruksinya lebih menguntungkan bagi proses pencampuran


dan pemisahan adalah tangki yang bagian bawahnya runcing (yang
dilengkapi dengan perkakas pengaduk, penyalur bawah, maupun kaca
intip yang tersebar pada seluruh ketinggiannya).
Alat tak kontinyu yang sederhana seperti itu digunakan misalnya
untuk mengolah bahan dalam jumlah kecil, atau bila hanya sekali-sekali
dilakukan ekstraksi.
Untuk pemisahan yang dapat dipercaya antara fase berat dan fase
ringan, sedikit-sedikitnya djperlukan sebuah kaca intip pada saluran
keluar di bagian bawah tangki ekstraksi. Selain itu penurunan lapisan
antar fase seringkali dikontrol secara elektronik (dengan perantaraan alat
ukur konduktivitas), secara optik (dengan bantuan detektor cahaya batas)
atau secara mekanik (dengan pelampung atau benda apung). Peralatan ini
mudah digabungkan dengan komponen pemblokir dan perlengkapan
alarm, yang akan menghentikan aliran keluar dan atau memberikan
alarm, segera setelah lapisan tersebut melampaui kedudukan tertentu.
Agar fase ringan (yang kebanyakan terdiri atas pelarut organik) tidak
masuk ke dalam saluran pembuangan air, pencegahan yang lebih baik
dapat dilakukan dengan memasang bak penampung (bak penyangga)
dibelakang ekstraktor.
2. Ekstraktor cair-cair kontinyu
Operasi kontinyu pada ekstraksi cair-cair dapat dilaksanakan dengan
sederhana, karena tidak saja pelarut, melainkan juga bahan ekstraksi cair
secara mudah dapat dialirkan dengan bantuan pompa. Dalam hal ini bahan
ekstraksi berulang kali dicampur dengan pelarut atau larutan ekstrak
dalam arah berlawanan yang konsentrasinya senantiasa meningkat. Setiap
kali kedua fase dipisahkan dengan cara penjernihan. Bahan ekstraksi dan
pelarut terus menerus diumpankan ke dalam alat, sedangkan rafinat dan
larutan ekstrak dikeluarkan secara kontinyu.
Ekstraktor yang paling sering digunakan adalah kolom-kolom
ekstraksi, di samping itu juga digunakan perangkat pencampur pemisah
19

(mixer settler). Alat-alat ini terutama digunakan bila bahan ekstraksi yang
harus dipisahkan berada dalam kuantitas besar, atau bahan tersebut
diperoleh terus dari proses sebelumnya (Rahayu and Purnavati, 2008).
Bahan ekstraksi dan pelarut terus menerus diumpankan ke dalam
alat, sedangkan rafinat dan larutan ekstrak dikeluarkan secara kontinyu.
Ekstraktor yang paling sering digunakan adalah kolom-kolom ekstraksi,
disamping itu juga digunakan perangkat pencampur-pemisah (mixer
settler). Alat-alat ini terutama digunakan bila bahan ekstraksi yang harus
dipisahkan berada dalam kuantitas yang besar, atau bila bahan tersebut
diperoleh dari proses-proses sebelumnya secara terus menerus. Senyawa
organik lebih larut dalam pelarut air dibandingkan dalam pelarut organik
(koefisien distribusi antara pelarut organik dan air kecil). Ekstraksi
senyawa dengan koefisien campuran rendah antara pelarut organik dan air
biasanya memerlukan pelarut organik dalam jumlah yang banyak.
Penggunaan pelarut yang besar ini bisa diatasi dengan ekstraksi kontinyu
dimana hanya relatif kecil volume pelarut yang dibutuhkan. Teknik
ekstraksi cair-cair kontinyu, pelarutnya dapat didaur ulang menjadi
campuran yang mengandung air sehingga penyusunnya dapat diekstraksi
dengan menggunakan pelarut-pelarut lain (Wibawa and Sukma, 2014).
Ekstraksi cair-cair atau sering disebut ekstraksi saja, sudah lama dikenal
dan dipakai dalam industri. Pada proses ini, campuran cair A dan C diambil
C-nya dengan penambahan cairan B yang tidak atau sedikit saling melarutkan
dengan A tetapi bisa melarutkan C. Terbentuk dua fase cair immiscible, yang
pertama kaya A, yang lain kaya B, sedangkan C terdistribusi pada kedua fase
tersebut. Diperoleh ekstrak berupa larutan C dalam B dan rafinat berupa
larutan C dalam A. Studi yang banyak dilakukan adalah mencari persamaan-
persamaan fundamental proses ekstraksi untuk mendukung perancangan alat
ekstraksi yang lebih efisien atau optimal. Konsep dasar yang terlibat adalah
kesetimbangan fase cair-cair dan perpindahan massa cair-cair.
Ada kecenderungan baru untuk mencoba menggunakan ekstraksi
reaktif. Solvent yang dipakai mengandung zat yang bisa berikatan kimia atau
20

membentuk senyawa kompleks dengan zat yang diserap sehingga


kemampuan solvent mengekstraksi meningkat. Salah satu contoh adalah
ekstraksi asam sitrat dari air (hasil fermentasi) dengan solvent metil iso-
butilketon (MIBK) yang mengandung triisooktilamin (TIOA). Fase ekstrak
(MIBK), asam sitrat bereaksi dengan TIOA membentuk senyawa kompleks,
sehingga asam sitrat bebas di fase MIBK tinggal sedikit. Akibatnya terjadi
lagi perpindahan massa asam sitrat dari fase air ke fase MIBK. Studi teoritis
masalah ini mencakup perpindahan massa cair-cair diikuti reaksi kimia, serta
studi kesetimbangan (kesetimbangan fase cair-cair dan kesetimbangan kimia).
Selain itu, ada usaha mengembangkan ekstraksi dengan membran cair,
dimana terbentuk tiga jenis fase cair (Sediawan, 2000).
Menurut (Wibawa and Sukma, 2014), ada tiga faktor penting yang
berpengaruh dalam peningkatan karakteristik hasil dalam ekstraksi cair-cair
yaitu:
a) Perbandingan pelarut-umpan (S/F)
Kenaikan jumlah pelarut (S/F) yang digunakan akan meningkatan
hasil ekstraksi tetapi harus ditentukan titik (S/F) yang minimum agar
proses ekstraksi menjadi lebih ekonomis.
b) Waktu ekstraksi
Ekstraksi yang efisien adalah maksimumnya pengambilan solut
dengan waktu ekstraksi yang lebih cepat.
c) Kecepatan pengadukan
Untuk ekstraksi yang efisien maka pengadukan yang baik adalah
yang memberikan hasil ekstraksi maksimum dengan kecepatan
pengadukan minimum sehingga konsumsi energi minimum.

2.5 Rafinat dan Ekstrak


Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu
campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama
digunakan apabila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin
dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop atau karena kepekaannya
21

terhadap panas) atau tidak ekonomis. Ekstraksi cair-cair selalu terdiri dari
sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi
dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu sesempurna mungkin. Pada
ekstraksi cair-cair, zat terlarut dipisahkan dari cairan pembawa (diluen)
menggunakan pelarut cair. Campuran cairan pembawa dan pelarut ini adalah
heterogen, jika dipisahkan terdapat 2 fase yaitu fase diluen (rafinat) dan fase
pelarut (ekstrak). Perbedaan konsentrasi zat terlarut di dalam suatu fase
dengan konsentrasi pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya
pelarutan (pelepasan) zat terlarut dari larutan yang ada. Gaya dorong
menyebabkan terjadinya suatu proses ekstraksi (Wibawa and Sukma, 2014).

Gambar 2.1 Proses Ekstraksi Cair-Cair


Sumber: Wibawa and Sukma, 2014

Gambar 2.2 Aplikasi Ekstraksi Cair-Cair


Sumber: Wibawa and Sukma, 2014
Dalam hal yang paling sederhana, bahan ekstraksi cair dicampur
berulang kali dengan pelarut segar dalam sebuah tangki pengaduk (sebaiknya
dengan saluran keluar di bagian bawah). Larutan ekstrak yang dihasilkan
22

setiap kali dipisahkan dengan cara penjernihan (pengaruh gaya berat).


Menurut (Martunus and Helwani, 2005), fase rafinat adalah fase residu yang
berisi cairan pembawa dan sisa zat terlarut. Fase ekstrak adalah fase yang
berisi zat terlarut dan pelarut. Ada empat faktor penting yang berpengaruh
dalam peningkatan karakteristik dan hasil dari rafinat dalam proses ekstraksi
cair-cair, yaitu temperatur proses, perbandingan pelarut-umpan (S/F), waktu
ekstraksi dan putaran pengaduk.

2.6 Koefisien Distribusi


Pada campuran zat, dianggap bahwa fase berada pada kesetimbangan.
Pada konsentrasi rendah, koefisien distribusi tergantung pada konsentrasi,
sehingga:
Y = K.X ………………………………………………………(2.1)
Dimana Y merupakan konsentrasi solut dalam fase rafinat, X
merupakan konsentrasi solut dalam fase ekstrak, dan K sebagai koefisien
distribusi. Dari persamaan diatas, dapat diketahui bahwa:
(Y)konsentrasi solut dalam fase rafinat
K = (X)konsentrasi solut dalam fase ekstrak …………………………(2.2)

Harga koefisien distribusi yang besar menandakan bahwa jumlah solven


yang dibutuhkan untuk ekstraksi lebih sedikit (Wibawa and Sukma, 2014).
Ekstraksi cair-cair didasarkan ada hukum distribusi yang dikemukakan
oleh Nerst. Nerst menyatakan bahwa jika suatu zat dimasukkan kedalam
suatu pelarut A dan B yang tidak saling bercampur, maka zat itu akan
didistribusikan diantara dua pelarut A dan pelarut B dengan perbandingan
yang tetap.
𝑋1
KD = 𝑋2 …………………………………………………………(2.3)

Jika pada temperatur dan tekanan tetap serta tidak terjadi interaksi kimia
antara zat terlarut dengan pelarut selain proses pelarutan. Menurut Hukum
distribusi Nerst: Jika [X1] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 1 dan
[X2] adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase 2, maka pada kesetimbangan,
X1, X2 didapatkan persamaan 2.3. KD adalah koefesien partisi, setelah
23

mendapatkan koefesien partisi, dapat dilakukan dengan perhitungan nilai


faktor ekstraksi dari ekstraksi dengan persamaan sebagai berikut:
𝐾𝐿
E= …………………………………………………………....(2.4)
𝐻

E adalah faktor ekstraksi, L adalah volume pelarut, H adalah volume


umpan, sedangkan K adalah koefesien partisi (Hamdani, 2013).

2.7 Peralatan Ekstraksi

Gambar 2.3 Peralatan ekstraksi skala laboratorium sederhana


Sumber: Rahayu and Purnavita, 2008

Gambar 2.4 Peralatan ekstraksi skala laboratorium bentuk kolom


Sumber: Rahayu and Purnavita, 2008
24

Gambar 2.5 Peralatan ekstraksi skala industri kecil


Sumber: Rahayu and Purnavita, 2008
Berlawanan dengan proses rektifikasi, pada ekstraksi tidak terjadi
pemisahan segera dari bahan-bahan yang akan diperoleh (ekstrak), melainkan
mula-mula hanya terjadi pengumpulan ekstrak (dalam pelarut). Suatu proses
ekstraksi biasanya melibatkan tahap-tahap berikut ini:
1. Mencampur bahan ekstraksi dengan pelarut dan membiarkannya saling
berkontak. Dalam hal ini terjadi perpindahan massa dengan cara difusi
pada bidang antarmuka bahan ekstraksi dan pelarut. Dengan demikian
tejadi ekstraksi yang sebenarnya, yaitu pelarutan ekstrak.
2. Memisahkan larutan ekstrak dari rafinat, kebanyakan dengan cara
penjernihan atau filtrasi.
3. Mengisolasi ekstrak dari laratan ekstrak dan mendapatkan kembali
pelarut, umumnya dilakukan dengan menguapkan pelarut. Dalam hal-hal
tertentu, larutan ekstrak dapat langsung diolah lebit lanjut atau diolah
setelah dipekatkan.
Seringkali juga diperlukan tahap-tahap lainnya. Pada ekstraksi
padat-cair misalnya, dapat dilakukan pra-pengolahan bahan ekstraksi
atau pengolahan lanjut dari ratmat (Rahayu and Purnavati, 2008).

2.8 Ekstraksi Cair-Cair Pada Industri


Dengan perkembangan sains dan teknologi, telah ditemukan cara
pengolahan limbah cair tersebut, yaitu dengan metode ekstraksi cair-cair atau
25

Liquid Liquid Extraction (LLE). Keunggulan metode ini antara lain, pelarut
organik yang dipergunakan dapat didaur ulang, sehingga dapat terus
digunakan, asam-asam karboksilat hasil ekstraksinya dapat dipisahkan antara
satu asam dengan lainnya dan memiliki kemurnian yang tinggi. Dengan
demikian metode ini bermanfaat ganda. Disamping dapat membersihkan
lingkungan dari pencemaran asam-asam organik yang larut dalam limbah cair,
asam asam karboksilatnya dapat dijual kembali, sebab memiliki kemurnian
yang tinggi. Ekstraksi cair-cair merupakan metode yang baik untuk
memisahkan asam butirat dari limbah kelapa sawit karena bernilai ekonomis
dan dapat membersihkan perairan dari polusi lingkungan (Putranto, 2014).
Sebagai unit operasi pemisahan alternatif disamping distilasi dan
adsorbsi, ekstraksi cair-cair dalam kolom isian ini pada kondisi tertentu
memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat beroperasi pada kondisi
ruang, dapat memisahkan sistem yang memiliki sensitivitas terhadap
temperatur, dapat memisahkan sistem dengan perbedaan titik didih relatif
kecil dan kebutuhan energinya juga relatif kecil. Aplikasi ekstraksi cair cair
ini telah banyak digunakan pada sektor industri diantaranya pada pemrosesan
kembali bahan bakar nuklir, pemisahan logam-logam, pemisahan senyawa-
senyawa aromatik pada industri petroleum, industri obat-obatan, petrokimia,
pengolahan air limbah industri, hydrometallurgy dan industri makanan.
Aplikasi ekstraksi dalam industri perminyakan yang pertama sekali
dilakukan untuk dapat menghilangkan senyawa aromatik dan senyawa
hidrokarbon tak jenuh dari suatu kerosin dan dengan menggunakan suatu
cairan sulfur dioksida. Cara ini secara luas juga digunakan dalam industri
perminyakan seperti pemurnian minyak solar (Martunus and Helwani, 2005).
Proses-proses pemisahan dalam industri senantiasa berkembang
sepanjang waktu. Di samping pengembangan teknologi atau proses-proses
baru, peningkatan unjuk kerja proses-proses yang telah lama dikenal juga
terus dilakukan. Akhir-akhir ini, dengan dukungan teknologi yang semakin
maju, ada kecenderungan untuk lebih berani menggunakan kondisi operasi
yang hebat, misalnya suhu tinggi dan pressure drop besar. Berdasarkan
26

analisis biaya total, pabrik cenderung memilih alat yang walaupun harganya
agak mahal, tetapi biaya operasinya murah. Selain itu, kesadaran lingkungan
mendorong industri untuk mengembangkan proses-proses yang
environmentally friendly. Untuk merancang suatu proses pemisahan, perlu
dipilih teknologi yang paling feasible dan paling efisien untuk kisaran kondisi
operasi yang dikehendaki. Dalam hal ini diperlukan latar belakang teori yang
mantap dan dukungan data yang memadai. Secara umum, teori dan data yang
diperlukan dapat dikatagorikan menjadi dua konsep pokok, yaitu
keseimbangan dan proses-proses kecepatan (Sediawan, 2000).

2.9 Natrium Hidroksida (NaOH)


Natrium Hidroksida anhidrat berbentuk kristal berwarna putih. NaOH
bersifat sangat korosif terhadap kulit dan merusak bahan-bahan seperti tekstil,
kulit, ataupun kertas, maka dalam pemakaiannya harus memperhitungkan
konsentrasinya. Istilah yang paling sering digunakan dalam industri yaitu soda
kaustik. Soda kaustik dilarutkan dalam air akan menimbulkan reaksi
eksotermis (Dewi, 2010).
Tabel 2.1 Sifat Fisika NaOH
Indikator Nilai
Berat Molekul 39,998 gr/mol
Specific Gravity 2.130
Titik Leleh 318 oC
Titik Didih 1.390 oC
Kelarutan pada 20oC, gr/100gr air 299,6
Sumber: Dewi, 2010
NaOH merupakan zat kimia yang bersifat basa kuat dan dikenal juga
sebagai soda api, natronloog, kostik putih, ataupun sodium hidrat. Menurut
(Widihastuti, 2005) sifat-sifat dari NaOH ini antara lain:
1. Berbentuk kristal putih yang mudah mencair atau luntur, dan dapat
menyerap air dan karbon dioksida (CO2) dari udara, larut dalam air,
alkohol dan gliserol.
27

2. Bersifat korosif untuk jaringan mata, kulit, dan selaput pernafasan. Oleh
karena itu uap kostik soda yang diijinkan di udara hanya sebanyak 2 mg
tiap meter3 udara.
3. Pada suhu yang tinggi akan menguap, dan pada suhu yang sangat tinggi
terpisah menjadi logam Na, zat pembakar dan zat cair.
4. Titik didihnya 318ºC, berat jenisnya 2,13, titik bekunya 5ºC - 11ºC, titik
lelehnya 97,8 ºC.
5. Tekanan uapnya 1 mm Hg dan pH larutan basa kuat.
NaOH ini banyak digunakan pada pembuatan rayon, kertas, sabun,
deterjen, proses pengolahan tekstil, dan sebagainya. Dalam proses pemasakan
serat alam selulosa, NaOH ini berfungsi untuk melarutkan lemak dan kotoran
yang terdapat dalam serat sehingga serat menjadi bersih. Akan tetapi karena
NaOH ini juga bersifat korosif yang merusak bahan-bahan seperti tekstil,
kulit, ataupun kertas, maka dalam pemakaiannya harus memperhitungkan
jumlah atau nilai konsentrasi yang digunakan (Widihastuti, 2005).

2.10 Asam Asetat (CH3COOH)


Nama asam asetat berasal dari kata Latin asetum, vinegar. Asam asetat,
asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang
merupakan asam karboksilat yang paling penting di perdagangan, industri,
dan laboraturium dan dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam
makanan. Asam cuka memiliki rumus kimia CH3COOH (Aziz et al., 2018).
Asam asetat atau lebih dikenal sebagai asam cuka (CH3COOH ) adalah
suatu senyawa berbentuk cairan, tak berwarna, berbau menyengat, memiliki
rasa asam yang tajam dan larut didalam air, alkohol, gliserol, eter. Pada
tekanan atmosferik, titik didihnya 118,1oC. Asam asetat mempunyai aplikasi
yang sangat luas di bidang industri dan pangan. Di Indonesia kebutuhan asam
asetat masih harus diimport, sehingga perlu diusahakan kemandirian dalam
penyediaan bahan tersebut.
Proses produksi asam asetat dapat dilakukan secara kimiawi dan
biologis. Proses kimiawi produksi asam asetat yang banyak dilakukan adalah
28

oksidasi butana. Untuk kebutuhan pangan, produksi asam asetat harus


dilakukan melalui proses biologis, salah satunya adalah fermentasi dari bahan
baku alkohol. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan bakteri dari genus
Acetobacter dalam kondisi aerobik. Salah satu spesies yang banyak digunakan
untuk fermentasi asam asetat adalah Acetobacter aceti. Menurut (Hardoyo et
al., 2007), reaksi dasar fermentasi asam asetat adalah seperti pada persamaan:
Alkohol Acetobacter aceti
C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O
Waktu fermentasi dan banyaknya jumlah bakteri sangat mempengaruhi
kadar asam asetat yang dihasilkan. Jika kadar asam asetat yang dihasilkan
menurun, hal tersebut disebabkan asam asetat akan teroksidasi atau terurai
oleh oksigen dari udara menjadi CO2 dan H2O karena proses fermentasi yang
terlalu lama. Banyaknya jumlah bakteri yang ditambahkan sangat
mempengaruhi hasil densitas pada asam asetat, dimana semakin banyak
jumlah bakteri yang digunakan maka densitas yang diperoleh semakin
meningkat. Semakin banyak (Acetobacter xylinum) maka semakin baik reaksi
pembentukan asam asetat yang terjadi selama nutrien yang digunakan masih
mencukupi sehingga densitas yang diperoleh terus meningkat, banyaknya
jumlah bakteri juga harus disesuaikan dengan banyaknya bahan baku yang
digunakan.
Semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyak bakteri Acetobacter
xylinum yang digunakan maka viskositas asam asetat yang dihasilkan semakin
tinggi, ini menandakan bahwa lamanya waktu fermentasi dan jumlah bakteri
sangat mempengaruhi viskositas dari asam asetat. Semakin meningkatnya
hasil dari viskositas juga dipengaruhi oleh densitas dari banyaknya
asam asetat yang telah diperoleh (Wusnah et al., 2018).
Apabila kadar alkohol 14% atau lebih akan terbentuk suatu lapisan yang
akan menghambat proses fermentasi, sehingga tidak semua alkohol dapat
diubah menjadi asam asetat. Bila kadar alkohol kurang dari 1 atau 2% asam
asetat yang terbentuk akan teroksidasi menjadi air dan karbondioksida.
Kondisi lingkungan (temperatur, pH, pengadukan dan lain-lain) dan
29

konsentrasi dari bahan-bahan baku akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas


dari asam asetat yang diproduksi (Hardoyo et al., 2007).
Menurut (Aziz et al., 2018), sifat fisik dan kimia dari asam asetat adalah
sebagai berikut:
a. Sifat fisik
1. Kadar : 99,5 %
2. Bentuk : Cairan tidak bewarna
3. Berat molekul : 60 kg/kmol
4. Titik didih : 117,87 oC
5. Titik lebur : 16,6 oC
6. Densitas (25oC) : 1,049 kg/L
b. Sifat kimia
1. Reaksi penyabunan
Asam asetat bila direaksikan dengan soda kaustik menghasilkan
natrium asetat.
CH3COOH + NaOH ↔ CH3COONa + H2 O
Asam Asetat Natrium Hidroksida Natrium Asetat Air
2. Esterifikasi
Asam asetat bila direaksikan dengan alkohol menghasilkan
ester.
CH3COOH + C5H11OH ↔ CH3COOC5H11 + H2O
Asam Asetat Emil Alkohol Emil Asetat Air
3. Asam asetat cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), memiliki
konstanta dielektrik yang sedang (dengan nilai 6,2) sehingga dapat
melarutkan senyawa polar seperti garam anorganik dan gula maupun
senyawa non-polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan
iodin.
4. Asam asetat bercampur dengan mudah dengan pelarut polar atau
nonpolar lainnya seperti air, kloroform dan heksana.
5. Asam asetat korosif terhadap banyak logam seperti Fe, Mg dan Zn
yang membentuk gas hidrogen dan garam asetat (Aziz et al., 2018).
30

2.11 Indikator
Indikator merupakan suatu senyawa kompleks yang dapat bereaksi
dengan asam maupun basa dengan adanya perubahan warna sesuai dengan
konsentrasi ion hidrogen melalui proses titrasi. Indikator yang digunakan pada
titrasi basa kuat-asam kuat biasanya berupa indikator sintetis, misalnya
indikator fenolftalein (pp). Indikator ini merupakan indikator sintetis yang
dijual di pasaran dengan harga yang relatif mahal, dapat menyebabkan polusi
kimia, ketersediaan yang terbatas dan biaya produksi yang tinggi.
Selain indikator sintetis, telah ditemukan indikator dari bahan alami
misalnya dari bunga blood leaf atau daun darah (Iresine herbstii), buah
Opuntia ficus indica (L.), tanaman bunga sepatu (Hibiscus rosa sinensis L)
dan daun perahu adam hawa (Rhoeo discolor). Hampir semua jenis tumbuhan
yang menghasilkan warna dapat digunakan sebagai indikator alami karena
dapat berubah warna pada suasana asam ataupun basa.
Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil zat warna
adalah buah lakum yang sudah matang dengan warna ungu kehitaman. Buah
lakum yang telah matang mengandung senyawa flavonoid dan pigmen
antosianin, alkaloid dan saponin. Pigmen antosianin ini merupakan penghasil
zat warna pada tumbuhan dan sangat peka terhadap derajat keasaman (pH)
serta panas. Tumbuhan lakum ini mempunyai buah seperti buah anggur (Vitis
venifera) dengan warna hijau dan berubah menjadi ungu kehitaman apabila
telah matang (Apriani, Idiawati and Destiarti, 2016).
Indikator pH sangat penting keberadaannya terutama dalam bidang
kimia yang digunakan untuk analisis volumetri. Salah satu metode dalam
analisis tesebut adalah titrasi asam basa atau titrasi netralisasi. Pada titrasi ini
melibatkan penambahan indikator yang berfungsi membantu menentukan
titik ekivalen yang ditandai dengan mengamati terjadinya perubahan warna
pada akhir titrasi. Indikator yang dgunakan dalam titrasi penetralan
dinamakan indikator asam basa.
Indikator yaitu bahan kimia yang sangat khusus yang dapat mengubah
warna larutan dengan perubahan pH setelah penambahkan asam atau basa.
31

Indikator asam basa cenderung untuk bereaksi dengan kelebihan asam atau
basa pada saat titrasi untuk menghasilkan perubahan warna.
Hingga saat ini indikator yang banyak digunakan dalam titrasi asam
basa adalah jenis indikator sintetis seperti fenolphtalein (PP), metil merah
(MM), metil orange (MO) dan merah fenol (MF). Penggunaan Indikator
tersebut selain harganya reatif mahal juga berdampak dihasilkannya limbah
bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan. Solusi mengatasi masalah
tersebut adalah dengan memanfaatkan penggunaan bahan alami sebagai
pengganti indikator sintetis.
Indikator alami merupakan zat warna atau pigmen yang dapat diisolasi
dari berbagai tumbuh-tumbuhan, jamur dan alga.Tumbuhan yang paling
banyak menghasilkan warna adalah bagian bunga. Zat warna pada bunga yang
paling dominan digunakan sebagai indikator asam basa adalah antosianin.
Antosianin adalah bagian senyawa fenol yang tergolong flavonoid yang
memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan jumlahnya sekitar 90-96% dari
total senyawa fenol. Pigmen ini berperan terhadap timbulnya warna merah
hingga biru pada beberapa bunga, buah, dan daun. Antosianin bersifat polar
sehingga dapat dilarutkan pada pelarut polar seperti etanol, aseton, dan air
Struktur kimia Antosianidin terlihat seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Struktur dasar antosianidin


Sumber: Yazid and Munir, 2012
Warna antosianin sangat dipengaruhi oleh struktur antosianin serta
derajat keasaman (pH). Antosianin cenderung tidak berwarna di daerah pH
netral, di dalam larutan yang pH nya sangat asam (pH < 3) memberikan warna
merah yang maksimum, sedangkan di dalam larutan alkali (pH 10,5) pigmen
antosianin mengalami perubahan warna menjadi biru. Berdasarkan perbedaan
32

warna pada rentang pH tersebut, memungkinkan bahan alami seperti ekstrak


bunga rosela dijadikan indikator titrasi asam-basa (Yazid and Munir, 2012).

2.12 Kloroform
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3).
Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, akan
tetapi penggunaanya sudah dilarang karena telah terbukti dapat merusak liver
dan ginjal. Kloroform kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di
laboratorium. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan bening, mudah
menguap, dan berbau khas.
a. Sifat Fisis :
Rumus molekul : CHCl3
Berat molekul : 119,39 g/gmol
Wujud : cairan bening
Titik didih : 61,2 oC
Titik leleh : - 63,5 oC
Densitas : 1,48 gr/cm3
Suhu kritis : 264oC
Specific gravity : 1,489
Viskositas : 0,57 cp (20 oC)
Kapasitas panas : 0,234 kal/g. oC , pada 20 oC
Tekanan kritis : 53,8 atm
Suhu kritis : 263 oC
Kelarutan dalam 100 mL air : 0,8 g (20 oC)
b. Sifat kimia kloroform
1) Kloroform jika bereaksi dengan udara atau cahaya secara perlahan-
lahan akan teroksidasi menjadi senyawa beracun phosgene (karbonil
klorida).
2) Kloroform dapat direduksi dengan bantuan zeng dan asam klorida
untuk membentuk metilen klorida.Jika proses reduksi dilakukan
dengan bantuan debu seng dan air akan dapat diperoleh metana.
33

3) Kloroform dapat bereaksi dengan asam nitrat pekat untuk membentuk


nitro kloroform atau kloropikrin.
4) Kloroform dapat mengalami proses klorinasi dengan klorin jika
terkena sinar matahari dan menghasilkan karbon tetraklorida.

2.13 Penggunaan kloroform


1. Sebagai Pelarut
Kloroform dapat digunakan untuk mengekstraksi komponen yang
tidak larut dalam air seperti lipid dalam proses isolasi DNA. Proses isolasi
DNA melibatkan larutan yang berisi campuran fenol, kloroform, dan
isoamilalkohol. Campuran ini akan membuat suspensi DNA pada lapisan
atas dan pengotor-pengotor akan mengendap pada bagian bawah tabung.
Cairan yang berada pada bagian atas tabung akan diproses lebih lanjut
untuk analisis DNA, dan bagian pengotor dibuang.
Kloroform digunakan untuk mengekstraksi kafeina dalam minuman.
Untuk mendapatkan kafeina tersebut, dalam pemisahannya perlu
ditambahkan diklorometana untuk menarik senyawa pengotor. Lapisan
kloroform diambil, lalu diuji menggunakan spektrofotometer ultraviolet.
Kloroform dapat digunakan untuk campuran untuk menentukan
konsentrasi detergen anionik seperti ''sodium dodesil sulfat''. Metode yang
dilakukan dinamakan Methylene Blue Active Substance. Lapisan bagian
kloroform diambil lalu diukur menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 652 nm.
Kloroform juga dapat digunakan untuk mengkuantifikasi secara
kasar kandungan lipid dalam suatu sampel. Untuk memisahkan lipid dari
pengotor-pengotor lainnya, sering ditambahkan pelarut organik lainnya
seperti metanol untuk menarik kandungan protein. Lapisan kloroform
diambil lalu diuapkan hingga tersisa lipidnya.
2. Sebagai reagen
Sebagai reagen, kloroform menyediakan gugus diklorokarbon CCl2.
Kloroform bereaksi dengan natrium hidroksida berair biasanya dengan
34

adanya katalis transfer fase untuk menghasilkan diklorokarbon CCl2.


Reagen ini memengaruhi ortho-formilasi cincin aromatik teraktivasi
seperti fenol, menghasilkan aril aldehida dalam reaksi yang dikenal
sebagai reaksi Reimer-Tiemann. Atau, karbena dapat terjebak oleh alkena
untuk membentuk turunan siklopropana. Dalam reaksi adisi Kharasch,
kloroform membentuk radikal bebas CHCl2 di samping alkena.

2.14 Jenis-Jenis Pelarut


Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair
atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut lain yang juga umum
digunakan adalah bahan kimia organik (mengandung karbon) yang juga
disebut pelarut organik.
Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi jenis pelarut berkaitan dengan
polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses
ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih
mudah tertarik/terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang
sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut
yaitu:
a. Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak
senyawa senyawa yang polar dari tanaman. Salah satu contoh pelarut
polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.
b. Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah:
aseton, etil asetat, kloroform.
c. Pelarut non polar
Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memilki konstanta
dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air. Contoh pelarut dari
kategori ini adalah benzena (C6H6), karbon tetraklorida (CCl4) dan dietil
35

eter (CH3CH2OCH2CH3). Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak


polar. Pelarut ini baik untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama
sekali tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk
mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana, ester.
Tabel 2.2 Jenis Pelarut Non Polar
Titik Konstanta Massa
Solvent Rumus kimia
didih Dielektrik jenis
Heksana CH3-CH2-CH2-CH2- 69 ⁰C 2,1 0,655
CH2-CH3 g/ml
Benzena C6H6 80 ⁰C 2,3 0,879
g/ml
Toluena C6H5-CH6 111 ⁰C 2,4 0,867
g/ml
Dietil eter CH3-CH2-O-CH2- 35 ⁰C 4,3 0,713
CH3 g/ml
Kloroform CHCl3 61 ⁰C 4,8 1,498
g/ml
Etil asetat CH3-C(=O)-O-CH2- 77 ⁰C 6,0 0,894
CH3 g/ml
Sumber : Wibawa and Sukma, 2014
Menurut (Retnosari, 2013), macam-macam cairan pelarut adalah;
a. Air
Termasuk yang mudah dan murah dengan pemakaian yang luas,
pada suhu kamar adalah pelarut yang baik untuk bermacam-macam zat
misalnya: garam-garam alkaloida, glikosida, asam tumbuh-tumbuhan, zat
warna dan garam-garam mineral.
Umumnya kenaikan suhu dapat menaikkan kelarutan dengan
pengecualian misalnya pada condurangin, Ca hidrat, garam glauber dll.
Keburukan dari air adalah banyak jenis zat-zat yang tertarik dimana zat-
zat tersebut merupakan makanan yang baik untuk jamur atau bakteri dan
sehingga dapat menyulitkan terjadinya penarikan pada perkolasi.
36

b. Etanol
Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, Umumnya pelarut
yang baik untuk alkaloida, glikosida, damar-damar, minyak atsiri tetapi
bukan untuk jenis-jenis gom, gula dan albumin. Etanol juga menyebabkan
enzim-enzim tidak bekerja termasuk peragian dan menghalangi
pertumbuhan jamur dan kebanyakan bakteri. Sehingga disamping sebagai
cairan penyari juga berguna sebagai pengawet. Campuran air-etanol lebih
baik dari pada air sendiri.
c. Gycerinum (Gliserin)
Terutama dipergunakan untuk penarikan simplisia yang
mengandung zat samak. Gliserin adalah pelarut yang baik untuk tanin dan
hasil oksidanya, jenis gom dan albumin juga larut dalam gliserin. Karena
cairan ini tidak atsiri, tidak sesuai untuk pembuatan ekstrak kering.
d. Eter
Eter sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat untuk
pembuatan sediaan untuk obat dalam atau sediaan yang disimpan lama.
e. Solvent Hexane
Cairan ini adalah salah satu hasil dari penyulingan minyak tanah
kasar. Pelarut yang baik untuk lemak-lemak dan minyak-minyak.
Biasanya dipergunakan untuk menghilangkan lemak dari simplisia yang
mengandung lemak-lemak yang tidak diperlukan, sebelum simplisia
tersebut dibuat sediaan galenik. Heksan adalah senyawa organik yang
terbuat dari CO2 dan H2O yang sering diisolasi sebagai produk samping.
f. Acetonum
Tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam. Pelarut yang
baik untuk bermacam-macam lemak, minyak atsiri, damar. Dipakai
misalnya pada pembuatan Capsicum oleoresin.
g. Chloroform
Tidak dipergunakan untuk sediaan dalam, karena efek
farmakologinya. Bahan pelarut yang baik untuk basa alkaloida, damar,
minyak lemak dan minyak atsiri.
37

Tabel 2.3 Jenis Pelarut Berdasarkan Titik Didih (Pelarut Polar Aprotic)

Titik Konstanta Massa


Solvent Rumus kimia
didih Dielektrik jenis

/-CH2-CH2-O- 1.033
1,4-Dioksana
CH2-CH2-O-\ 101 ⁰C 2,3l g/ml
Tetrahidrofuran
/-CH2-CH2-O- 0.886
(THF) 66 ⁰C 7,5
CH2-CH2-\ g/ml

Diklorometana 1.326
CH2Cl2 40 ⁰C 9,1
(DCM) g/ml

CH2-C(=O)- 0,786
Asetona 56 ⁰C 21
CH3 g/ml

Asetonitril 0,786
CH3-C≡N 82 ⁰C 37
(MeCN) g/ml
Dimetil
HC(O)N- 0,944
formamida 153 ⁰C 38
(CH3)2 g/ml
(DMF)
Dimetil 1,092
CH3-S(=O)-
sulfoksida 189 ⁰C 47 g/ml
CH3
(DMSO)
CH2- 1,049
Asam asetat 118 ⁰C 6,2
C(=O)OH g/ml
CH3-CH2- 0,810
n-Butanol 118 ⁰C 18
CH2-CH2-OH g/ml
Isopropanol CH3-CH(- 0,785
82 ⁰C 18
(IPA) OH)-CH3 g/ml
CH3-CH2- 0,803
n-Propanol 97 ⁰C 20
CH2-OH g/ml

Sumber : Sukma, 2012

Anda mungkin juga menyukai