Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam fenomena interaksi dan interelasi sosial antar individu maupun antar
kelompok, terjadinya konflik sebenarnya merupakan hal yang wajar. Pada
awalnya konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan
berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala alamiah yang
dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya.
Oleh sebab itu, persoalan konflik tidak perlu dihilangkan tetapi perlu
dikembangkan karena merupakan sebagai bagian dari kodrat manusia yang
menjadikan seseorang lebih dinamis dalam menjalani kehidupan. Konflik dapat
menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk
dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Dengan adanya struktur dalam konflik, secara
otomatis konflik tersebut dapat diselesaikan dengan cara yang sistematis dan
benar, serta kultur yang mempengaruhi dapat menciptakan hubungan yang baik
dalam mengelola konflik tersebut.

B. Fokus Masalah

1. Apa yang dimaksud struktur dalam konflik?

2. Apa yang dimaksud kultur dalam konflik?

C. Tujuan Manfaat

1. Untuk mengetahui struktur dalam konflik.

2. Untuk mengetahui kultur dalam konflik.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Struktural Konflik.

1. Pengertian structural secara etimologi dan terminology

Secara etimologi, menurut kamus bahasa Indonesia, struktural adalah cara


sesuatu disusun atau dibangun, susunan atau bangunan. Secara terminologi,
menurut kamus bahasa Indonesia, structural adalah sesuatu yang berkenaan
dengan struktur.

2. Pengertian konflik secara etimologi dan terminology

Secara etimologi, konflik berasal dari kata kerja Latin confligere yang berarti
saling memukul. Menurut kamus besar bahasa Indonesia konflik adalah
percekcokkan, perselisihan, pertentangan.Secara terminologi, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. 1

Teori struktural konflik muncul dalam sosiologi Amerika Serikat pada tahun
1950-an dan 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan
yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber. Teori konflik
menyediakan alternatif terhadap fungsionalisme structural. Teori konflik melihat
bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Dari teori structural konflik Marx sangat sinkron sekali teorinya dengan kondisi
yang terjadi pada hari ini, adanya kesenjangan social antara dua kelas yang
berhadap muka dalam kondisi yang tidak terdamaikan ditengah masyarakat hari
ini yaitu kelas proletariat (buruh, kaum miskin kota dll) dan kelas

1
Kamus Bahasa Indonesia-Pusat Bahasa 2008.

2
borjuasi/pemodal, kelas proletariat tidak memiliki hak apapun atas alat produksi
dan dengan demikian harus menjual satu-satunya yang ada padanya tenaga untuk
bekerja kepada kelas borjuasi yang memiliki sejumlah alat produksi yang ada
selain kedua kelas itu terdapat pula kelas pekerja yang lain yang belum
sepenuhnya kehilangan hak milik atas alat produksi, tapi juga harus membanting
tulang untuk penghidupannya yaitu kelas petani, pedagang kecil dan para nelayan
Selama lebih dua puluh tahun Lewis A. Coser terikat pada model sosiologi
dengan tekanan pada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan
bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Coser
mengakui beberapa susunan structural merupakan hasil persetujuan dan
consensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional structural, tetapi
dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik social.
Coser, menyatakan pemahaman mereka tentang konflik sebagai kesadaran yang
tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat.
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisa konflik
sosial, secara implicit melihatnya sebagai desktruktif atau patologis bagi
kelompok sosial. Coser memilih menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang
secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. Dia
melakukan hal ini dengan membangun di atas sosiologi kalsik pernyataan-
pernyataan yang berhubungan konflik sosia, dan terutama melalui kepercayaan
pada ahli sosiologi Jerman yang terkenal yaitu George Simmel.2

3. Konstruksi Teori Struktural Konflik

Teori structural konflik muncul dalam sosiologi Amerika Serikat pada tahun
1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang
diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua tokoh ini
merupakan teoritis konflik meski satu sama lain mereka berbeda. Kedua teoritisi
2
Goodman, Douglas J. & George Ritzer, “Teori Sosiologi Modern”, (Jakarta:Kencana
Prenada Media Group, 2004) hlm 99.

3
konflik ini, Marx dan Weber menolak tegas terhadap gagasan bahwa masyarakat
cenderung kepada beberapa consensus dasar atau harmoni, dimana struktur
masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Kedua teoritisi ini memandang
konflik dan pertentangan kepentingan serta concern dari berbagai individu dan
kelompok yang saling bertentangan adalah determinan utama dalam
pengorganisasian kehidupan social.3

B. Kultur Dalam Konflik


Ahli komunikasi Wen Shu Lee mengidentifikasi penggunaan tentang kultur
yang berbeda kemudian ia menjelaskan bagaiaman setiap definisi digunakan
dalam hal-hal yang khusus. Ia mendefinisikan ke dalam 6 defenisi, yaitu :

1. Kultur : Upaya manusia yang unik (berbeda dengan alam dan biologi).
Misalnya, Kultur merupakan benteng dari kerusakan alam.

2. Kultur : perbaikan, perangai. Misalnya, cara seseorang mengunyah


makanan.

3. Kultur : Civilisasi, contoh : di suatu negeri pada jaman kegelapan dan


rakyat menginginkan kultur, menjadi kewajiban kita untuk men-civilize jiwa-
jiwa tersebut.

4. Kultur : Bahasa untuk berbagi, keyakinan, nilai-nilai. Misalnya, “Kita


datang dari kultur yang sama, kita berbicara dengan bahasa yang sama, dan kita
berbagi tradisi yang sama.

5. Kultur : dominasi atau hegemoni (berbeda dengan budaya marginal).


Contoh : Ini budaya mereka yang berkuasa yang menentukan yang mana moral
dan mana yang menyimpang.

3
Hunt, Chester L. & Paul B. Horton,“Sosiologi”, (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama,1984) hlm56.

4
6. Kultur : pemindahan keteganganantara berbagai dan tidak berbagi.
Misalnya, Budaya Amerika telah berubah dari Majikan/Budak, ke Kulit putih
saja/Kulit hitam saja, keantiperang dan black power, ke aksi afirmatif/multikultur
dan perbaikan politik, ke aksi capital transnational dan kampanye anti-sweatshop.

Definisi diatas mempunyai interes masing-masing. Definisi ke-2


mengistimewakan budaya tinggi dan mengabaikan budaya popular. Definisi ke-3
mengistimewakan Negara yang imperialis dan colonial. Definisi ke-4,
mengistimewakan suatu pandangan universal dan representative, tetapi hanya
representasikan kelompok kekuatan tertentu saja dan mendiamkan kelompok lain
yang tidak siap untuk menerima pandangan ini. Definisi 5, mengistimewakan
interaksi budaya yang di otorisasi oleh kelompok yang dominan (sector/Negara),
secara politik lebih eksplisit dibanding definisi 2, 3, 4. 4

Kultur sering dianggap sebagai konsep inti dalam komunikasi interkultural.


Studi komunikasi interkultural sering fokus pada bagaimana perbedaan antara
kelompok satu dengan lainnya : Muslim berbeda dengan Nasrani, orang Jepang
berbeda dengan Amerika, Pria berbeda dengan wanita, environmentalis dengan
konservatifis, pro-lifers dengan pro-choicers, tua dengan muda, dsb (Gudykunst,
2002). Harus dipikirkan persamaan dan perbedaan dialektik untuk memahami
komunikasi interkultural yaitu dengan mencari persamaan dan perbedaannya
secara simultan. Tanpa memperhatikan latarbelakang budayanya, manusia terikat
aktifitas harian dan memiliki banyak keinginan dan hasrat yang sama, seperti
makan, tidur, cinta, persahabatan, dan hubungan romantic, dan ingin dihormati dan
disayangi dari mereka yang penting untuk kita.

Ada beberapa perbedaan dalam kelompok-kelompok kultural yaitu bermacam


aktifitas dari kultur ke kultur. Pria dan wanita seringkali tidak sama dalam melihat

4
Jones, Pip, “Pengantar Teori-Teori Sosial”,(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia,2009) hlm77.

5
dunia. Tua dan muda memiliki tujuan dan cita-cita yang berbeda. Muslim dan
nasrani memiliki keyakinan yang berbeda, seperti kata pepatah “ When in Rome
do as the Romans do” ini menyiratkan bahwa mudah saja untuk beradaptasi dalam
perbedaan, cara berpikir maupun kebiasaan, walaupun telah beradaptasi ke kultur
yang baru tetapi tetap saja “Only Romans are Romans dan hanya mereka
(Romans) yang tahu caranya menjadi orang Roma sebenarnya. Tantangannya
adalah menegosiasikan perbedaan dan kesamaannya dengan pengertian dan
ketrampilan. Pertama, kita harus ketahui apa yang disebut dengan kultur. Kultur
didefinisikan secara beragam, dari persepsi-persepsi yang pengaruhi komunikasi
sampai kepada kontestasi dan konflik. Banyak definisi tentang kultur, dan karena
ini konsep yang kompleks, menjadi penting untuk refleksikannya kepada
sentralitas kultur dalam interaksi kita sendiri. Menurut Raymond Williams (1993)
kultur merupakan satu dari , dua atau , tiga kata yang paling rumit dalam bahasa
inggris. Dan kompleksitas ini mengindikasikan banyak cara kultur mempengaruhi
komunikasi interkultural (William, 1981). Kultur bukan hanya satu aspek dari
praktek komunikasi interkultural. Bagaimana kita berpikir tentang kultur yang
membingkai ide dan persepsi kita. Misalnya, Jika kultur didefisinikan sebagai
sebuah Negara, kemudian komunikasi antara orang Jepang dan Itali akan menjadi
komunikasi interkultural karena Jepang dan Italia merupakan dua Negara yang
berbeda. Jadi sesuai definisi ini, pertemuan antara seorang Asia Amerika dari
North Carolina dan Afrika Amerika dari California bukan suatu interkultural
karena North Caroline dan California masih dalam satu Negara. Periset ilmu sosial
tidak berfokus ke kultur saja tetapi pengaruh kultur terhadap komunikasi. Dengan
kata lain, periset berkonsentrasi kepada perbedaan komunikasi sebagai efek dari
kultur. Mereka memberikan sedikit perhatian kepada bagaimana kultur secara
konsep atau bagaimana kita melihat fungsi dari kultur. Jelasnya adalah periset
interpretif lebih fokus kepada bagaimana konteks kultural pengaruhi komunikasi.
Periset kritikal sering memandang komunikasi dan kekuasaan untuk
berkomunikasi sebagai instrument untuk membentuk kembali kultur. Mereka
6
melihat kultur sebagaimana masyarakat berpartisipasi atau menolak struktur
sosialnya.5

Walaupun riset dan studi telah membantu kita dalam memahami aspek yang
berbeda dari komunikasi interkultural,` penting untuk menginvestigasi bagaiamana
kita berpikir soal kultur, tidak sebagai periset tetapi sebagai praktisi. Karena itu
kita broaden our scope untuk pertimbangkan sudut pandang yang berbeda tentang
kultur, khususnya dalam hal bagaimana kultur mempengaruhi komunikasi
interkultural.

Ahli komunikasi dari paradigma ilmu sosial yang dipengaruhi riset di


psikologi melihat kultur sebagai sesuatu yang dipelajari, persepsi kelompok yang
berkaitan. Geert Hofstede (1984), sebuah catatan psikologi sosial, mendefinisikan
kultur sebagai “Pikiran yang diprogram” dan menjelaskan bahwa kultur seperti
program komputer : Kultur didefinisikan sebagai pola-pola yang dipelajari,
persepsi kelompok yang berkaitan, termasuk bahasa verbal dan nonverbal, nilai-
nilai, sistem keyakinan dan ketidakyakinan, dan kebiasaan (Singer, 1987)
Definisi Interpretif : Kultural sebagai simbolik kontekstual pola-pola yang
bermakna

Ilmuwan interpretif yang dipengaruhi oleh studi antropologi juga melihat


kultur sebagai suatu yang dipelajari dan dibagi. Mereka cenderung focus ke pola-
pola kontekstual dari kebiasaan komunikasi daripada kelompok yang persepsinya
berkaitan. Banyak ilmuwan interpretif meminjam definisi antropolog Clifford
Geertz yaitu : Suatu pola makna historis yang ditransmisikan dan diwujudkan
dalam bentuk simbol, sebuah sistem konsep yang diwariskan yang diekspresikan

5
Prof, Dr. Nasrullah Nazsir,“Teori-teori Sosiologi”,(Bandung: Widya Padjajaran, 2008)
hlm 34.

7
dengan bentuk simbol yang bermakna dengan komunikasi, menterjemahkan dan
mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap terhadap kehidupan.6

1. Teori Sub Kultural ( kenakalan dan kejahatan ).

Subkultur adalah pembagian dalam dominanbudaya yang memiliki norma


sendiri, keyakinan, dan nilai-nilai. Subkultur biasanya muncul ketika orang-
orang di mirip keadaan sendiri terisolasi dari utama dan bersatu untuk saling
mendukung. Subkultur dapat membentuk antara anggota ras dan etnis
minoritas, antara tahanan, antara kelompok pekerjaan, dan di antara penghuni
ghetto. Subkultur ada dalam masyarakat yang lebih besar, tidak terlepas dari
itu. Oleh karena itu mereka berbagi beberapa nilai-nilainya. Namun demikian,
gaya hidup anggota mereka signifi kan berbeda dari individu dalam budaya
yang dominan.7

Teori subkultur dalam kriminologi dikembangkan untuk menjelaskan


kenakalan di kalangan lowerclass laki-laki, terutama untuk salah satu yang
paling penting ekspresi-geng remaja. Menurut subkultur teori, subkultur
tunggakan, seperti semua subkultur, muncul dalam menanggapi masalah
khusus bahwa anggota dari budaya dominan tidak wajah. Teori yang
dikembangkan oleh Albert Cohen dan dengan Richard Cloward dan Lloyd
Ohlin, yang kita diskusikan dalam Bab 5, adalah perpanjangan dari
ketegangan, disorganisasi sosial (lihat pada Bab 7), dan diferensial teori
asosiasi.

6
Poloma, Margaret, “Sosiologi Kontemporer”,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007)hlm 85.

7
Susilo, Rachmad K. Dwi, “20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi
Modern”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) hlm 56.

8
Ini teori tidak menyarankan kenakalan yang diawali dengan kegagalan
untuk mencapai tujuan kelas menengah. Penjelasan mereka berakar dalam
teori konflik budaya. Subkultur kekerasan
tesis berpendapat bahwa sistem nilai dari beberapa subkultur menuntut
penggunaan kekerasan dalam tertentu situasi sosial. Norma ini, yang
mempengaruhi perilaku sehari-hari, konflik dengan kelas menengah
konvensional norma. Sepanjang baris yang sama, Miller menunjukkan bahwa
karakteristik kenakalan kelas bawah mencerminkan sistem nilai budaya kelas
bawah dan bahwa nilai-kelas bawah dan konflik norma dengan orang-orang
dari budaya yang dominan.8

Sub-Kultur pada tindak kekerasan : Marvin Wolfgang dan Franco


Ferracuti berpaling ke subkultur teori untuk menjelaskan perilaku kriminal
antara kelas bawah laki-laki muda perkotaan. Ketiga teori dikembangkan oleh
lima peneliti mengasumsikan adanya subkultur terdiri dari orang-orang yang
berbagi sistem nilai yang berbeda dari yang budaya yang dominan. Dan
mereka menganggap bahwa setiap subkultur memiliki aturan sendiri atau
melakukan norma-norma yang mendikte bagaimana orang harus bertindak di
bawah berbagai keadaan. Ketiga teori juga setuju bahwa nilai-nilai dan
norma-norma bertahan dari waktu ke waktu karena mereka dipelajari oleh
generasi-generasi. Itu teori berbeda, namun, dalam fokus mereka. Cohen dan
Cloward dan Ohlin fokus pada asal subkultur, khususnya, budaya diinduksi
regangan. Dorongan dari Wolfgang dan bekerja Ferracuti adalah budaya
konflik. Selanjutnya, teori sebelumnya mencakup semua jenis kenakalan dan
kejahatan, Wolfgang dan Ferracuti berkonsentrasi pada kejahatan kekerasan.
Mereka berpendapat bahwa dalam beberapa subkultur, norma-norma perilaku
yang didikte oleh sistem nilai yang menuntut penggunaan kekuatan atau

8
Mulyono,”Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media,2009) hlm 29.

9
kekerasan. Subkultur yang mematuhi untuk melakukan norma kondusif untuk
kekerasan yang disebut sebagai subkultur kekerasan.

2. Miller : Teori Kekhawatiran.

Semua teori yang telah kita kaji sejauh menjelaskan perilaku kriminal dan
nakal dalam hal nilai subkultur yang muncul dan diabadikan dari satu generasi
ke generasi berikutnya di kelas bawah kumuh perkotaan. Walter Miller alasan
berbeda. Menurut Miller, dalam kasus “geng” kenakalan, budaya sistem yang
diberikannya yang uence infl paling langsung terhadap perilaku adalah bahwa
masyarakat kelas bawah sendiri- lama mapan, tradisi khas bermotif dengan
integritas sendiri-daripada disebut “Tunggakan subkultur” yang telah muncul
melalui bertentangan dengan budaya kelas menengah dan berorientasi
pelanggaran yang disengaja norma-kelas menengah.

Miller telah mengidentifikasi enam keprihatinan fokus, atau daerah, yang


laki-laki kelas bawah memberikan perhatian terus-menerus: kesulitan,
ketangguhan, kecerdasan, kegembiraan, keberuntungan, dan otonomi.
Keprihatinan atas masalah adalah fitur utama kehidupan kelas bawah. Tinggal
keluar dari masalah dan mendapatkan masalah adalah kesibukannya sehari-
hari. masalah dapat mendapatkan seseorang ke tangan pihak berwenang, atau
dapat mengakibatkan prestise di antara rekan-rekan. Sebagai mantan-geng
anggota dari negara-negara Winnipeg, “Aku ingin reputasi. Aku
menghabiskan waktu di taman lingkungan dan memperoleh reputasi dari
berurusan obat-obatan dan berdiri untuk anggota geng yang lain. “individu
Lower-kelas yang sering dievaluasi oleh tingkat keterlibatan mereka dalam
kegiatan seperti berkelahi, minum, dan seksual nakal. Dalam hal ini, semakin
besar keterlibatan atau yang lebih ekstrim kinerja, semakin besar prestise atau
“menghormati” orang perintah.

10
3. Kasus yang berhubungan dengan teori ( analisis : “Banyak Siswa Rawan
Putus Sekolah”).

Dari kondisi Negara kita hari ini perkembangan sistem ekonomi kapitalis
dunia sangat berdampak pada pendidikan indonesia saat ini, dimana
pendidikan hari ini tidak berbicara memanusiakan manusia atau
mencerdaskan kehidupan bangsa (alenia ke-4 pembukaan UUD 1945), tetapi
pendidikan hari ini dijadikan komoditi dimana berbicara untung dan rugi. Jadi
tidak heran banyaknya siswa rawan putus sekolah, dengan biaya pendidikan
pada hari ini makin mahal. Dengan mahalnya biaya pendidikan secara tidak
langsung pemerintah melepas tangan dan tanggung jawabnya di sektor
pendidikan. dan secara tidak langsung pemerintah mempetakan kelas borjuasi
dan kelas proletariat dimana hanya anak yang dari kelas borjuasi atau pemodal
yang dapat mengakses pendidikan hari ini, sedangkan anak-anak kaum petani,
nelayan, buruh tani, kaum miskin kota dan lain sebagainya tidak dapat
mengakses pendidikan dengan mudah, karena tidak ada jaminan pendidikan
dari pemerintah mengenai gaji yang mensejahterakan kaum-kaum proletariat.

BAB III

PENUTUP

11
A. Kesimpulan

Struktural adalah cara sesuatu disusun atau dibangun, susunan atau bangunan.
Structural adalah sesuatu yang berkenaan dengan struktur. Sedangkan konflik
diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Teori struktural konflik
muncul dalam sosiologi Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an yang
merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan
sebelumnya oleh Karl Marx dan Max Weber. Teori konflik menyediakan
alternatif terhadap fungsionalisme structural. Teori konflik melihat bahwa di
dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.

Kultur : Upaya manusia yang unik (berbeda dengan alam dan biologi).
Misalnya, Kultur merupakan benteng dari kerusakan alam, Kultur : Bahasa untuk
berbagi, keyakinan, nilai-nilai. Misalnya, “Kita datang dari kultur yang sama,
kita berbicara dengan bahasa yangsama, dan kita berbagi tradisi yang sama.
Kultur : dominasi atau hegemoni(berbeda dengan budaya marginal). Contoh : Ini
budaya mereka yang berkuasa yang menentukan yang mana moral danmana yang
menyimpang.

DAFTAR PUSTAKA

12
Goodman, Douglas J. & George Ritzer. 2004, “Teori Sosiologi Modern”,
Jakarta:Kencana Prenada Media Group.

Hunt, Chester L. & Paul B. Horton. 1984, “Sosiologi”, Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama.

Jones, Pip. 2009, “Pengantar Teori-Teori Sosial”,Jakarta: Yayasan Pustaka Obor


Indonesia.

Kamus Bahasa Indonesia-Pusat Bahasa 2008.

Mulyono,2009,”Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan”,Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media.

Prof, Dr. Nasrullah Nazsir. 2008, “Teori-teori Sosiologi”,Bandung: Widya


Padjajaran.

Poloma, Margaret. 2007, “Sosiologi Kontemporer”, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008, “20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak
Sosiologi Modern”, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

13

Anda mungkin juga menyukai