Di RSUD ULIN
Disusun Oleh
14.NS.027
2014
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TULANG BELAKANG
A. Anatomi – Fisiologi
Vertebra merupakan tulang tak beraturan yang membentuk punggung dan mudah
digerakan. Fungsinya yaitu menahan kepala dan anggota tubuh yang lain, melindungi
organ-organ vital, sebagai tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul, serta
menentukan sikap tubuh.
Kolumna vertebralis dibentuk oleh 33 vertebrae (cervical 7, thorakal 12, lumbal 5, sacral
5 dan coccygeus 4).
Setiap vertebra terdiri dari:
1. Corpus/body
2. Pedikel
3. Prosessus artikularis superior dan inferior
4. Prosessus transversus
5. Prosessus spinosus
Diantara vertebra ditemui diskus intervertebralis (Jaringan fibrokartillagenous), yang
berfungsi sebagai shock absorber. Dikus ini terdiri dan bagian:
a. Luar: jaringan fibrokartillago yang disebut anulus fibrosus.
b. Dalam: cair yang disebut nukleus pulposus.
Pada setiap vertebra ada 4 jaringan ikat sekitarnya:
Lig longitudinale anterior (membatasi gerakan ektensi).
Lig longitudinale posterior (membatasi gerakan fleksi).
Lig kapsulare, antara proc sup dan inferior.
Lig intertransversale.
Lig flava (yellow hg) diantara 2 laminae.
Lig supra dan interspinosus.
Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila
terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut
(Mansjoer, Arif, et al. 2000).
B. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya
juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah.
(Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada
sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa
laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E.
Doengoes, 1999).
Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
C. Etiologi
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian
3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll)
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra
5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang
menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
(Harsono, 2000).
D. Patofisologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida,
Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis
bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian
berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap.Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat
badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla
spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis
vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic
dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater
dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla
spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.
Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau
T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
E. PATWAY
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi.kerusakan, gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari
tempat kerusakan disertai shock spinal.Sshock spinal terjadi pada kerusakan mendadak
sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini
umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan
kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali,
akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit
kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung
kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah
tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan
rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995).
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi
akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga
sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera
tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian
terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang
belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah
perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998).
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia
perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks
bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
I. Penatalaksanaan Medis
1. Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis
Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post
trauma dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability.
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
a. Dislokasi feset >50%
b. Loss of paralelisine dan feset.
c. Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
d. ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
e. Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP
Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed
reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada
kontrol dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah
mengembalikan keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan
spinal cord.
2. Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis
Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan
pembedahan terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya
dapat segera diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita
sudah baik lebih kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan
memperjelek defisit neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik
pada spinal masih sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau
tidaknya transeksi medula spinalis.
A. Anamnesa
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian
yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
B. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan
gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1. Gambaran Umum
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus
fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
m. Genetalia
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
C. PERENCANAAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
Hambatan mobilitas fisik b.d Menunjukkan tingkat Terapi aktivitas, ambulasi :
ganggun musculoskeletal mobilitas, ditandai dengan meningkatkan dan
indikator berikut membantu berjalan untuk
(ketergantungan(tidak mempertahankan atau
berpartisipasi), membutuhkan memperbaiki fungsi tubuh
bantuan orang lain dan alat, volunter dan autonom
membutuhkan bantuan orang selama perawatan serta
lain, mandiri dengan pemulihan dari sakit atau
pertolongan alat bantu, atau cedera
mandiri penuh) Perubahan posisi :
Tujuan/Kriteria Hasil: memindahkan pasien atau
Pasien akan meminta bantuan bagian tubuh untuk
untuk aktivitas mobilisasi, jika memberikan kenyamanan,
diperlukan menurunkan risiko
kerusakan kulit,
mendukung integritas kulit,
dan meningkatkan
penyembuhan
Aktivitas Keperawatan:
1. Ajarkan dan bantu
pasien dalam proses
perpindahan
Rasional : Dengan
mengajarkan hal itu
pasien akan meningkat
kesembuhannya
2. Berikan penguatan positif
selama aktivitas
Rasional : Dengan
penguatan positif pasien
akan lebih mempunyai
dorongan untuk
beraktivitas
3. Ajarkan pasien
bagaimana
menggunakan postur
dan mekanika tubuh
yang benar saat
melakukan aktivitas
Rasional : Dengan
mengajarkan hal itu
dapat menambah
pengetahuan pasien
tentang perpindahan
yang benar
4. Kaji kebutuhan pasien
akan pendidikan
kesehatan
Rasional : Dengan
pengkajian itu dapat
mengetahui kemampuan
pasien tentang
kesehatan
5. Awasi seluruh kegiatan
mobilisasi dan bantu
pasien, jika diperlukan
Rasional : Agar tidak
terjadi cedera pada
pasien
6. Dukung latihan ROM
aktif
Rasional : dengan latihan
itu mempercepat
kesembuhan pasien
khususnya dalam
pergerakan sendi
7. Ubah posisi pasien yang
imobilisasi minimal 2
jam, berdasarkan jadwal
spesifik
Rasional : membuat
pasien nyaman dengan
perubahan posisi
Nyeri akut/kronis b.d agen Tingkat kenyamanan 1. Pemberian analgesik
cidera: fisik perasaan senang secara 2. Sedasi sadar
fisik & psikologis Penatalaksanaan nyeri
Prilaku mengendalikan Bantuan Analgesika yang
nyeri Dikendalikan oleh Pasien
DAFTAR PUSTAKA
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company,
Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB
Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta