Respon Cendekiawan Muslim Terhadap Ide Sekularisasi Nurcholish Madjid

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak tahun 1970-an, muncul seorang cendekiawan muslim yang dianggap
paling kontroversi sekaligus paling kontributif dalam diskursus pemikiran Islam saat
itu. Ia adalah Nurcholis Majid, secara garis besar, ia menggagas tiga tema pokok,
yaitu tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Ia menganggap bahwa laju
pemikiran Islam harus sejalan seiring perkembangan zaman dengan berbagai
permasalahannya yang semakin kompleks. Sebagai seorang cendekiawan yang hidup
di era neo-modernisme, ia membangun pemikirannya dengan pendekatan dan
metodologi modern tanpa menafikan sumber paling otentik dalam Islam, yaitu al-
Qur‟an dan Hadis.
Nurcholis Majid dianggap sebagai salah satu tokoh pembaharu pemikiran dan
gerakan Islam di Indonesia dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi
keberagaman dan kebinekaan keyakinan di Indonesia. Menurutnya, keyakinan adalah
hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah
keyakinan yang mendasar. Ia mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun
bebas dalam konsepnya tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan
agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Ia
meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna ketika menghadap Tuhan
di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan.
Sebagai salah satu penggagas dari gerakan sekularisasi di Indonesia, sekaligus
sebagai tokoh utama dari JIL (Jaringan Islam Liberal), Nurcholis Majid harus
menghadapi tantangan yang cukup sengit, terutama dari golongan Islam konservatif.
Dimana pada tahap selanjutnya, kita akan mendapatkan perspektif baru tentang Islam,
yang dapat kita petik melalui sosok Nurcholis Majid beserta pemikirannya. Tentu hal
ini sangatlah menarik untuk dipelajari dan diteliti lebih dalam lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Nurcholis Majid ?
2. Seperti apa Pemikiran Nurcholis Majid ?
3. Bagaimana Respon Cendikiawan Muslim Terhadapnya ?
C. Tujuan Penelitian
1. Memaparkan Biografi Nurcholis Majid
2. Menjelaskan Pemikiran Nurcholis Majid
3. Megungkapkan Respon Cendikiawan Muslim Terhadapnya
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Nurcholis Majid


Nurcholis Majid atau yang sering di sapa Cak Nur adalah seorang tokoh intelektual
Islam yang lahir di Jombang, Jawa Timur pada 17 Maret 1939. Ia berasal dari keluarga
yang berlatar budaya pesantrean, karena ayahnya, H. Abdul Majid merupakan alumni
lulusan Pesantren Tebuireng dan secara personal memiliki hubungan dekat dengan KH.
Hasyim Asy’ari, salah seorang tokoh pendiri NU. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa
Nucholis Majid sendiri memiliki latar belang keluarga NU yang sangat kuat tidak hanya
dari ayahnya tapi ibunya pun juga sama berasal dari kalangan NU.1
Dalam perjalanan pendidikannya, Nurcholis Majid sejak kecil mendapatkan
kesempatan untuk menimati dua cabang pendidikan langsung, yakni pendidikan model
madrasah dan pendidikan umum yang menggunakan metode pengajaran modern. Pada
tingkat dasar ia menjalani pendidikan di Madrasah al-Wathaniyah dan Sekolah Rakyat
(SR) di Mojoanyar, Jombang. Dan setelah lulus ia melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertamanya di Jombang pula. Lalu setelah itu ia melanjutkan
pembelajarannya ke Pesantren Gontor, Ponorogo yang lebih modern setelah sebelumnya
ia belajar di Pesantren Darul Ulum, Rejoso yang berhaluan tradisional.2
Setelah melakukan proses pendidikan di Gontor, Nurcholis Majid selanjutnya
hijrah ke Jakarta dan memilih untuk mengambil studi di Fakultas Adab, Jurusan Sastra
Arab, IAIN Syarif Hidayatullah. Ia pun berhasil menyelesaikan S1-nya pada tahun 1968,
dengan skripsi yang berjudul Arabiyun Lughatan wa ‘Alamiyyun Ma’naan, yang ditulis
dalam bahasa Arab. Selama masa perkuliahannya ia terlibat aktif pada Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), yang pada saat itu merupakan organisasi mahasiswa tertua di
Indonesia yang nantinya disinilah Nurcholis Majid mendapatkan pencerahan dan model
serta pembaharuan dalam proses perkembangan intelektualnya.3
B. Pemikiran Nurcholis Majid
Dalam perjalanan sejarah Intelektual Islam Indonesia, Nurcholis Majid termasuk
tokoh yang sering menyerukan ide modernisasi atau pembaharuan. Nurcholis Majid

1
Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi Pemikiran Nurcholis Majid, Jakarta, Republika, 2004, hlm. 31.
2
Ibid, hlm. 31-32.
3
Ibid, hlm. 33-34.
3

dengan sederet tokoh Intelektual Islam Indonesia, mencoba mengkaji ulang secara kritis
mengenai pemikiran-pemikiran pembaharuan atau modernis yang pada saat itu harus
berhadapan dengan kaum tradisionalis, hal ini memulai babak baru dalam sejarah
pemikiran Islam di Indonesia mengenai perintisan dan pertumbuhan fase baru pemikiran
Islam yaitu suatu jenis perkembangan pemikiran yang disebut dengan “Neo-
Modernisme”.4
Dalam menjelaskan dan menggambarkan mengenai realitas pemikiran dari
Nurcholis Majid sendiri dalam sejarah pemikirannya dapat dibagi melalui tiga peiode,
yaitu :
a. Pemikiran Nurcholis Majid Pra Chicago
Dalam karakteristik dan corak pemikirannya, Nurcholis Majid dipandang
sebagai seorang tokoh Intelektual Islam Indonesia yang kontroversial, karena
gagasan dan ide-ide keagamaan yang dilontarkannya merupakan gagasan dan ide-
ide yang baru dan seringkali memakai istilah-istilah baru, sehingga hal tersebut
menimbulkan perhatian yang cukup mendalam terhadap dirinya dimata tokoh
Intelektual lainnya.5
Sosok dan corak pemikiran Nurcholis Majid mulai tampak sekitar tahun 1968,
sejak ia menuliskan dan merumuskan sebuah makalah yang berjudul “Modernisasi
ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi”. Ketika itu ia sedang menjabat sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PBHMI) priode 1966-
1969. Dan dapat dikatakan bahwa sejak masa inilah tonggak sejarah perkembangan
pemikirannya mulai mengembang dan dikenal.6
Nurcholis Majid merumuskan modernisasi sebagai rasionalisasi,
pengertiannya tentang “modernisasi sebagai rasionalisasi”, dimaksudkan sebagai
dorongan kepada umat Islam untuk menggeluti modernisasi sebagai apresiasi
kepada ilmu pengetahuan. Dalam tinjauan Islam, menurutnya, modernisasi itu
berarti “berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah. Pemahaman manusia
terhadap hukum-hukum alam, melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern
berarti ilmiah. Dan illmu pengetahuan diperoleh melalui akalnya (rasionya),
sehingga modern berarti ilmiah, yang berarti pula rasional. Maksud sikap rasional
ini ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi
4
Pirhat Abbas, Paradigma Pemikiran Nurcholis Majid Tentang Modernisasi, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman,
Media Akademika, IAIN STS Jambi, 2007, hlm. 245-246.
5
Ibid, hlm. 247.
6
Ibid, hlm. 247-248.
4

kebahagiaan manusia”.7 Intinya pemikiran Nurcholis Majid mengenai modernisasi


ini adalah dengan mengidentikannya dengan rasionalisasi, yang mana merombak
pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak aqliyah atau irrasional dan
menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang aqliyah atau rasional.8
Dalam masa priode ini selain melalui tulisan dan rumusannya pada tahun 1968
mengenai modernisasi, pada tahun 1970 pun ia menulis artikel yang berjudul
“keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, yang
merupakan kelanjutan dari pemikirannya sejak tahun 1968 ia merumuskan
modernisme, dimana dalam tulisannya itu ia menggambarkan persoalan-persoalan
yang sangat mendesak untuk dipecahkan, khususnya menyangkut integrasi umat
akibat terpecah belah oleh paham-paham dan kepartaian politik. Maka Nurcholis
Majid pun muncul dengan jargonnya yaitu “sekularisasi” dan Islam, Yes; Partai
Islam, No?” yang mana pemikirannya itu hendak mengajak umat Islam untuk
mulai melihat kemandekan-kemandekan berfikir dan kreativitas yang telah
terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan. Karena itulah, ia menyarankan suatu
kebebasan berpikir, pentingnya the idea of progress, sikap terbuka, dan kelompok
pembaharuan yang liberal, yang bisa menumbuhkan psychological striking force
(daya tonjok psikologis) yang menumbuhkan pikiran-pikiran segar.9
Mengenai sekulerisasi yang di ungkapkan oleh Nurcholis Majid pada
artikelnya, dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa sekulerisasi yang dimaksud
olehnya merupakan pembebasan manusia dari kungkungan kultural atau tradisi
yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk berfikir kritis dalam
memehami realitas. Sekulerisasi digambarkan sebagai jalan tepat untuk
mengembalikan ajaran Islam ke wilayah yang dipandang sakral dan mana yang
temporal.10 Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa bagi Islam pemisahan masalah
akherat dari masalah dunia, adalah sesuatu hal yang tidak mungkin, karena Islam
pun bukan hanya membahas mengenai hal yang sifatnya ukhrawi saja, melainkan
juga membahas hal yang bersifat duniawi.11 Yang pada intinya antara modernisme
dan sekulerisme yang di rumuskan oleh Nurcholis Majid antara keduanya memiliki

7
Budhy Munawar-Rachma, Membaca Nurcholis Majid Islam dan Pluralisme, Democracy Project, Jakarta, 2011,
hlm. 9.
8
Pirhat Abbas, Op. Cit, hlm. 248.
9
Budhy Munawar-Rachma, Op.Cit, hlm. 10-11.
10
Pirhat Abbas, Op. Cit, hlm. 252.
11
Marwan Saridjo, Cak Nur : di Antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab, Penamadina,
Jakarta, 2005, hlm. 18.
5

keselarasan dan saling berkaitan, yang pada intinya untuk dapat mengoptimalkan
daya berpikir dan rasionalitas yang dimiliki oleh manusia.

b. Pemikiran Nurcholis Majid Pasca Chicago


Dari tahun 1978-1984, Nurcholis Majid menempuh study di Universitas
Chicago, America Serikat dan berhasil meraih gelar Ph.D dalam bidang pemikiran
Islam, setelah mampu menuliskan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul
“Ibn Taimiyyah on Kalam and Falsafah : Problem of Religion and Revelation in
Islam”. Setelah itu ia amat tertarik dengan tokoh pembaharu satu ini (Ibn
Taimiyyah) yang merupakan tokoh pembaharu asal Damaskus, menurutnya
gagasan-gagasan keagamaan yang dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah sangat cocok
dan mendukung bagi kehidupan di zaman modern ini. Karena Ibn Taimiyyah telah
menanamkan suatu sikap keberagamaan yang positif terhadap sisi kemanusiaan,
bersikap terbuka, mempunyai semangat kebenaran dan kemajemukan (pluralistik).
Yang mana nantinya pengembangan gagasan keagamaan Nurcholis Majid
selanjutnya banyak mengacu dan dipengaruhi oleh pemikiran dan gagasan dari Ibn
Taimiyyah.12
Setelah kembali ke Indonesia, Nurcholis Majid mencoba mengaktualkan
kembali gagasan-gagasan keagamaan yang telah dirintisnya sejak akhir tahun
1960-an, ke arah yang lebih substansif, dan dalam hal ini, banyak yang menilai
sekembalinya Nurcholis Majid dari Amerika ia menjadi lebih terbuka terhadap
barat. Hal itu diperkuat dengan penilaian dari teman akrabnya sendiri ketika di
HMI, yaitu Ahmad Wahib, yang mana menurutnya lawatan pertama kali Nurcholis
Majid ke Amerika di tahun 1968 tersebut banyak merubah pola pemikirannya.
Dalam hal ini Nurcholis Majid sendiri menceritakan bahwa, dalam kunjungannya
atau lawatannya ke luar negeri, ia tidak hanya mengunjungi Amerika, akan tetapi ia
juga berkunjung ke Perancis, Turki, Lebanon, Syria dan negeri timur tengah
lainnya. Dengan ceritanya ini ia menepis anggapan Ahmad Wahib, bahwa
menurutnya pengalamannya di Amerika tidak memberi pengaruh yang signifikan
kepada pemikirannya, hanya saja perjalanannya ke negeri-negeri muslim atau
timur tengah lainnyalah yang berpengaruh dalam pengembangan pemikirannya,

12
Pirhat Abbas, Op. Cit, hlm. 252-253.
6

karena ia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi dan ceramah-ceramah selama


disana.13
Sebenarnya dalam perkembangan sejarah pemikirannya, ada garis konsistensi
dan kontinuitas dalam pemikiran Nurcholis Majid dimana pra Chicago dan pasca
Chicago. Hal tersebut dapat di tunjukkan dalam ungkapan tiga gagasan dalam
kesatuan, dialektika tersebut dikonstruksikannya dalam konteks keislaman,
kemodernan dan keindonesiaan. Tiga aspek ini yaitu antara ajaran Islam,
modernitas dan pembangunan di Indonesia terdapat saling keterkaitan. Dan
pengintegrasian dari tiga gagasannya itu ia rangkum dalam bukunya yang berjudul
“Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan”, yang merupakan kumpulan tulisan-
tulisan Nurcholis Majid sejak masa ia memasuki perguruan tinggi sampai masa-
masa akhir diterbitkannya pada tahun 1987.14
Sebenarnya gagasan-gagasan dan ide-ide pemikiran Nurcholis Majid pra
Chicago dan pasca Chicago tidak jauh berbeda bahkan konsisten dan
berkelanjutan, hanya saja ia banyak memberikan hal-hal dan istilah yang lebih baru
dalam pemikirannya agar sesuai dan relevan dengan tantangan dan dialektika
zaman.15
c. Pemikiran Nurcholis Majid Pasca 90-an
Pemikiran Nurcholis Majid Pasca 90-an, sebenarnya berusaha untuk memecah
problem mengenai Islam Partikular dan Universal. Dan sebagai jawaban dari
permasalah ini ia menegaskan bahwa antara agama dan budaya tidak bisa
dipisahkan, namun bisa dibedakan. Pemahaman ini penting karena akan berakibat
kepada apa yang bisa diperbaharui dari agama dan apa yang tidak bisa. Sehingga
dengan bersandar pada tanggapannya ini kita dapat melakukan format dan agenda
inovasi keislaman yang ada tentunya dalam hal budayanya bukan pengamalan
Islam secara murni, yang bila di artikan yaitu “inovasi dalam agama tidak
dibenarkan, sedangkan inovasi dalam budaya dianjurkan”.16
Selain dalam hal agama dan budaya, agenda pembaharuan dari Nurcholis
Majid juga menyentuh kepada masalah “Pluralisme”, yang mana Indonesia sendiri
terdiri dari berbagai kelompok dan komunitas yang masing-masing memiliki
orientasi kehidupan sendiri. Komunitas tersebut diharapkan dapat menerima
13
Ibid, hlm. 253-254.
14
Pirhat Abbas, Op. Cit, hlm. 254-255.
15
Ibid, hlm. 255.
16
Pirhat Abbas, Op. Cit, hlm. 257 dan 259.
7

kenyataan adanya keberagaman sosio-kultural dan kepercayaan di Indonesia.17Ide


tentang pluralisme ini merupakan prinsip dasar dalam agama Islam dan
ditransformasikan kedalam pluralisme modern. Sesuai dengan ketentuan agama
dan juga konstitusi di Indonesia, dimana negara didasarkan atas kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjamin kebebasan agama. 18 Maka dengan
perspektif yang pesimistik, sikap toleransi dan mendukung prinsip pluralisme itu
sendiri akan menjamin dan menguatkan heterogenitas yang ada di Indonesia untuk
berlangsung dan hidup berdampingan secara damai.
C. Respon Cendekiawan Muslim terhadap Ide Sekularisasi Nurcholish Madjid
Gagasan Nurcholish tersebut kemudian mengundang reaksi yang cukup keras
baik dari kalangan intelektual muda atau kalangan tua. Kalangan muda yang memberi
tanggapan antara lain Endang Syaifuddin Anshari, Ismail Hasan, dan Abdul Qadir
Djaelani. Sedangkan dari kalangan tua seperti H.M. Rasyidi, Muhammad Natsir dan
Hamka. Abdul Qadir Djaelani dari kalangan muda misalnya mengatakan bahwa
Nurcholish hendak menganjurkan paham sekuler yang bertentangan dengan Islam.
Padahal menurutnya Islam tidak sejalan dengan sekularisme tersebut. Endang syaifuddin
Ansari (meski dalam beberapa hal sepakat dengan Nurcholish) juga berpendapat bahwa
memang di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan konsep negara Islam, akan tetapi
mengingkari bahwa al-Qur’an memberikan kaidah tentang kenegaraan merupakan distorsi
besar. Endang menanggapi bahwa seolah-olah Nurcholish ingin membuktikan bahwa
setiap usaha umat Islam untuk menuju kekuasaan dianggap sebuah dosa besar.19
Sedangkan dari kalangan tua yang diwakili Rasyidi, ia berpendapat pandangan
Nurcholish sangat naif karena bersumber dari kekacauan berpikir. Bahkan Rasyidi
menuduh Nurcholish sebagai seorang yang mirip dengan Orientalis yang begitu tinggi
kecurigaannya terhadap Islam. Ia juga memperingatkan agar umat Islam khususnya
kalangan muda untuk berhati-hati dengan ide pembaruan Nurcholish. Begitupun dengan
Hamka dan Natsir, meski tidak secara langsung menyebut nama Nurcholish tapi dalam
beberapa pidatonya, ia menganjurkan agar umat Islam lebih berhati-hati dengan ide
pembaruan tersebut. Ia menyeru agar umat Islam lebih bersatu sehingga cita-cita politik
bisa tercapai.20

17
Ibid, hlm. 261.
18
Ibid, hlm. 261.
19
M. Syafi Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim
Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 51.
20
M. Syafi Anwar, Op.Cit,hlm. 53.
8

Untuk menghadapi berbagai reaksi tentang ide pembaruan tersebut, Nurcholish


lebih memilih tidak menanggapi secara serius. Hal ini dilakukan untuk menghindari
polemik yang berkepanjangan, apalagi banyak yang tidak bisa memahami ide pembaruan
yang digagasnya. Hal itu terlihat dari banyaknya tanggapan kemarahan dan kecurigaan
karena tidak bisa memahami gagasan pembaruan tersebut. Nurcholish bahkan dianggap
sudah dianggap melenceng dan murtad, bahkan yang lebih serius banyak ancaman yang
ditujukan padanya.21
Sebaliknya bagi para pendukung gagasan Nurcholish lebih memilih untuk diam
dan memperkokoh pendiriannya meskipun bertentangan dengan arus utama. Diantara
nama-nama yang mendukung ide Nurcholish tersebut diantranya Djohan Effendi, Utomo
Danajaya, Eky Syahruddin, Usep Fathuddin22 Salah satu dari pendukung gagasan
Nurcholish seperti Dawam Raharjo bahwa mereka lebih memilih melawan arus dan
memberanikan diri melawan umat, karena menurutnya pa yang dikehendaki oleh umat
tersebut bukanlah yang mereka butuhkan. Ia juga mengkritik pendekatan yang dilakukan oleh
umat Islam yang cenderung menjadikan Islam sebagai ideologi. Hal itu menurutnya bisa saja
menjadikan Islam terdistorsi ke ruang yang lebih sempit dan berhadapan dengan ideologi lain
seperti Sosialisme atau Nasionalisme. Ia berpendapat bahwa ideologi itu adalah teori-teori
dan pernyataan yang berhubungan dengan agenda sosial politik, meskipun menurutnya Islam
juga memiliki agenda sosial politik tapi ajaran Islam jauh lebih luas daripada agenda politik
tersebut. Sama halnya dengan Dawam, Nurcholish juga berpendapat bahwa Islam bukanlah
ideologi. Karena menurutnya jika Islam adalah sebuah ideologi maka ia merupakan produk
pemikiran manusia sama halnya dengan ideologi sosialisme, kapitalisme dan lain sebagainya.
Hingga pada akhirnya Islam sebagai kebenaran mutlak dipertanyakan.
Untuk menyongsong masa depan Islam, Nurcholish mengharapkan agar umat
Islam bersikap rasional dan realistis dalam menghadapi era pembangunan. Ia
menganjurkan umat Islam agar melahirkan ide baru yang bisa dijadikan alternatif. Tetapi
alternatif tersebut harus lebih bersifat modern, terbuka, rasional,realistis serta melintasi
keragaman suku dan agama. Namun ia pun mewanti-wanti agar nantinya ideologi tersebut
tidak terjebak pada pengkultusan ide tersebut nantinya, tetapi harus disertai dengan sikap
kritis dan rasional. Adapun mengenai alternatif atau ide baru yang akan dilahirkan,
Nurcholish berharap agar ide itu bisa memecahkan persoalan nyata yang dihadapi oleh
rakyat maupun anggota partai politik.

21
M. Syafi Anwar, Op.Cit, hlm. 65.
22
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 97.
9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
BKNKKNKBJ
10

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai