Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

4.1 Fisiografi Regional

Aktivitas geologi yang terjadi selama jutaan tahun yang lalu pada Jawa
Barat menghasilkan beberapa pembagian zona Fisiografi. Zona fisiografi
dibedakan satu sama lain berdasarkan morfologi, petrologi, dan struktur
geologinya. Van Bemmelen (1949), kemudian membagi Jawa Barat menjadi empat
zona fisiografi, masing-maisng dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai
Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

1. Zona Dataran Pantai Jakarta

Zona Dataran Pantai Jakarta bermorfologi dataran dengan batuan penyusun


terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda.

2. Zona Bogor

Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta,


membentang mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka,
dan Kuningan. Zona Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang
barat-timur dengan lebar maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas
batuan sedimen Tersier dan batuan beku baik intrusif maupun ekstrusif.

3. Zona Bandung

Zoba Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar
antara 20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke
timur melalui Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung
bermorfologi perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup
luas. Van Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai depresi di antara
gunung yang prosesnya diakibatkan oleh tektonik (intermontane depression).
Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut membentuk struktur lipatan besar yang
disertai oleh pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin Jawa
Barat yang kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (van Bemmelen,
1949).

4. Zona Pegunungan Selatan

Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung.


Pannekoek (1946) menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut
dapat diamati di Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di
Lembah Cimandiri yang merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan
langsung dengan dataran tinggi (plateau) Zona Pegunungan Selatan.

Lokasi daerah penelitian dilihat pada gambar 1 termasuk kedalam Zona


Dataran Pantai Jakarta (Van Bemmelen, 1949). Zona ini menempati bagian utara
Jawa membentang barat – timur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu,
hingga Cirebon. Zona fisiografi ini memiliki lebar sekitar 40 km. Daerah ini
memiliki morfologi dataran dengan batuan penyusun berupa aluvium sungai/pantai
dan endapan gunung api muda. Daerah penelitian yang termasuk kedalam
Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang memiliki ketinggian 25 m dpl dan
termasuk kedalam pedataran.

Lokasi Penelitian

Gambar 1. Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949) dan Lokasi Penelitian
4.2 Stratigrafi Regional

Menurut Martodjojo (1984) daerah Jawa Barat dibagi menjadi tiga mandala
sedimentasi. Pembagian mandala-mandala tersebut didasarkan pada ciri-ciri dan
penyebaran sedimen Tersier dari stratigrafi regional Jawa Barat. Daerah penelitian
temasuk kedalam Mandala Paparan Kontinen.

Mandala ini terletak di utara dan posisinya hampir sama dengan zona
fisiografi Dataran Pantai Jakarta. Mandala ini dicirikan oleh endapan paparan yang
umumnya terdiri dari batugamping, batulempung dan batupasir kuarsa dengan
lingkungan pengendapan laut dangkal. Batas penyebaran mandala paparan
kontinen ini diperkirakan sama dengan penyebaran singkapan Formasi Parigi dari
Cibinong. Purwakarta, sejajar dengan pantai utara. Bagian utara menerus ke lepas
pantai, meliputi daerah pengeboran minyak bumi di lepas Pantai Utara Jawa.

Berdasarkan stratigrafi regional pada Peta Geologi Lembar Pamanukan


(H.Z. Abidin dan Sutrisno, 1996) terdapat beberapa formasi didalamnya yaitu
Endapan Pantai (Qac), Endapan Aluvium (Qa), Endapan Delta (Qad), Endapan
Pematang Pantai (Qbr), Endapan Dataran Banjir (Qaf), Batupasir Tufan dan
Konglomeratan (Qav).
1. Endapan Pantai (Qac)
Endapan Pantai (Qac) terdiri atas lumpur hasil endapan rawa, pasir halus,
lanau serta lempung kelabu yang mengandung cangkang kerang dan
cekungan-cekungan koral hasil pengendapan di sekitar pantai. Tebal
mencapai beberapa meter. Endapan ini tersebar disepanjang pantai utara dan
dicirikan oleh rawa-rawa
2. Endapan Sungai (Qa)
Endapan Sungai/ Endapan Aluvium (Qa) terdiri atas: kerikil, pasir dan
lempung yang berwarna kelabu. Terendapkan sepanjang dataran banjir
sungan. Tebal kurang lebih 5 m.
3. Endapan Delta (Qad)
Endapan Delta (Qda) terdiri dari: lempung, lanau dan humus.
4. Endapan Pematang Pantai (Qbr)
Endapan Pematang Pantai (Qbr) tersusun atas: pasir halus-kerikilan yang
banyak mengandung cangkang kerang dan koral. Endapan ini membentuk
undak-undak yang hampir sejajar dengan garis pantai. Endapan permukaan
ini menempati sebagian besar sebelah utara daerah penelitian.
5. Endapan Dataran Banjir (Qaf)
Endapan Dataran Banjir (Qaf) termasuk dalam endapan permukaan yang
berumur holosen yang tersusun atas: lempung tufan, lanau dan pasir halus.
Pada musim kemarau endapan-endapan ini memperlihatkan rekahan-
rekahan lumpur (mudcrack) yang sebarannya cukup luas, memanjang dari
timur hingga barat. Secara tidak selaras menindih Formasi Cilamaya.
6. Batupasir Tufan dan Konglomeratan (Qav)
Termasuk kedalam Formasi Cilamaya, terdiri dari: konglomerat, batupasir
tufan, tuf dan breksitufan. Umurnya diduga Plistosen dan merupakan
endapan asal gunungapi. Tebal formasi berkisar antara 30-40 m dan
menunjukkan lingkungan pengendapan darat.

Gambar 2. Kolom stratigrafi regional daerah penelitian berdasarkan pada Peta


Geologi Lembar Pamanukan (H.Z. Abidin dan Sutrisno, 1996)
Pada gambar 3 diperlihatkan kavling daerah penelitian, dimana formasi
yang termasuk pada wilayah tersebut yaitu batupasir tufan dan konglomeratan
(Qav), endapan sungai (Qa), dan endapan dataran banjir(Qaf).

Umur Satuan Keterangan


Stratigrafi (Soetrisno, 1995)
Holosen Ketidak  Qa : Endapan Sungai
selarasan Lanau Pasir, Lempung, Lumpur dan kerikil.
endapan  Qad : Endapan Delta
permukaan Lempung, lanau dan humus.
Qa, Qad, Qac,  Qac : Endapan Pantai
Qbr, Qaf Pasir halus, lanau, cangkang moluska dan koral.
 Qbr : Endapan Pematang Pantai
Pasir halus-kerikil dengan cangkang kerang dan
koral.
 Qaf : Endapan Dataran Banjir
Lempung tufan, lanau dan pasir halus.
Pleistosen Qav Konglomerat, batupasir tufan, tuf dan
breksitufan. Termasuk dalam Formasi Cilamaya.
Tabel 1. Stratigrafi Daerah Penelitian
Gambar 3. Peta Geologi Regional Daerah Penelitian Peta Geologi Lembar
Pamanukan (H.Z. Abidin dan Sutrisno, 1996)
4.3 Struktur Regional

Gambar 4. Pola Struktur Regional Jawa Barat (Martodjojo, 2003)

Pola kelurusan bentang alam akibat hasil proses pensesaran banyak terdapat
di Jawa Barat. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur, utara-selatan,
timurlaut-baratdaya, dan baratlaut-tenggara. Secara regional, struktur sesar berarah
timurlaut-baratdaya dikelompokkan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-
selatan dikelompokkan sebagai Pola Sunda, dan sesar berarah barat-timur
dikelompokkan sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur
umumnya berjenis sesar naik, sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya berupa
sesar mendatar. Sesar normal umum terjadi dengan arah bervariasi.

Pada daerah utara Jawa (Laut Jawa) struktur sesar yang umumnya
berkembang termasuk ke dalam Pola Sunda. Sesar ini termasuk kelompok sesar tua
yang memotong batuan dasar (basement) dan merupakan pengontrol dari
pembentukan cekungan Paleogen di Jawa Barat. Mekanisme pembentukan struktur
geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di bawah pengaruh aktifitas tumbukan
Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia yang beralangsung sejak
Zaman Kapur hingga sekarang.

Posisi jalur tumbukan (subduction zone) dalam kurun waktu tersebut telah
mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya subduksi purba (paleosubduksi)
terjadi pada umur Kapur, dimana posisinya berada pada poros tengah Jawa
sekarang. Jalur subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah Ciletuh-
Sukabumi, Jawa Barat menerus ke timur memotong daerah Karangsambung-
Kebumen, Jawa Tengah. Jalur paleosubduksi ini selanjutnya menerus ke Laut Jawa
hingga mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973).

Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang


menghasilkan endapan gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan
gunungapi Eosen diwakili oleh Formasi Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi
Jatibarang menempati bagian utara Jawa dan pada saat ini sebarannya berada di
bawah permukaan, sedangkan Formasi Cikotok tersingkap di daerah Bayah dan
sekitarnya.

Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua formasi
tersebut di atas adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang
ditemukan di Jawa Barat bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah
terjadi pergeseran jalur subduksi dari utara ke arah selatan.

Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang,
posisi jalur subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur.
Kedudukan jalur subduksi ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan
sejumlah gunungapi aktif. Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan
aktifitas subduksi tersebut, antara lain G. Salak, G. Gede, G. Malabar, G.
Tanggubanperahu, dan G. Ciremai. Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah,
namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu berarah barat-timur. Posisi tumbukan
ini selanjutnya menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah utara-selatan.

Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan


(gaya) berarah utara-selatan. Bagian utara didominasi oleh struktur ekstensi,
sedangkan struktur kompresi sedikit sekali. Sesar-sesar yang terbentuk yaitu sesar-
sesar berarah baratlaut-tenggara, utara dan timur laut membentuk rift dan beberapa
cekungan pengendapan yang dikenal sebagai Sub-cekungan Arjuna Utara, Sub-
cekungan Arjuna Tengah dan Sub-cekungan Arjuna Selatan, serta Sub-cekungan
Jatibarang dan sesar-sesar geser menganan berarah baratlaut-tenggara.
Fase rifting pada Eosen-Oligosen memiliki arah ekstensi utama berarah
timurlaut-baratdaya hingga barat-timur. Cekungan ini tidak terbentuk sebagai
cekungan busur belakang, namun sebagai pull-apart. Hamilton (1979)
menyebutkan dua alasan yang dapat menjelaskan hal tersebut yaitu pertama, arah
ekstensi cekungan hampir tegak lurus dengan zona subduksi saat ini, dan kedua,
kerak benua yang tebal terlihat dalam pembentukan struktur rift cekungan tersebut.

4.4 Geologi Sejarah

Secara geologis, daerah penyebaran jalur Bogor merupakan suatu antiklin


dari endapan sedimen laut zaman Tersier dengan penyebaran hampir ke arah barat-
timur pada kala Mio-Pliosen terjadi perlipatan yang kuat disertai dengan intrusi-
intrusi dan pelepasan bahan-bahan gunung api. Perlipatan ini sebagai akibat
pengangkatan geantiklin Jawa. Pada kala Plio-Pleistosen terjadi pula pengangkatan
dan perlipatan yang disertai dengan kegiatan vulknaik hingga kala Holosen. Akibat
pengangkatan perlipatan, pada batuan endapan Mio-Pliosen terdapat struktur
sinklinasi dan antiklinasi sedangkan pada batuan-batuan lebih muda terdapat sesar.

Setelah masa pengangkatan dan perlipatan ini terjadi periode tenang disertai
dengan proses pengendapan alluvial mengisi lembah-lembah sungai. Proses ini
berlangsung terus menerus pada lereng-lereng bukit memanjang sungai.

Satuan tertua yang tersingkap pada daerah penelitian termasuk dalam


Formasi Cimalaya (Soetrisno, 1996) yang terdiri dari : konglomerat, batupasir tufan
dan breksitufan (Qav). Umurnya di duga Pleistosen dan merupakan endapan asal
gunungapi berdasarkan korelasi batuan serupa pada lembar Bandung dan Karawang
yang juga diperkirakan berumur Pleistosen. Formasi ini tersebar dibagian selatan
mendekati garis pantai, batuan endapan asal gunungapi ini berangsur-angsur
menipis. Formasi ini secara tidak selaras tertindih oleh endapan permukaan yang
berumur Holosen, terdiri dari endapan pantai (Qac), endapan aluvium (Qa),
endapan delta (Qad), endapan pematang pantai (Qbr), endapan dataran banjir (Qaf).

Anda mungkin juga menyukai