Anda di halaman 1dari 9

KUMPULAN MAKALAH

AYO MEMBACA !!! PUPUK WAWASAN KITA!!! MAKALAH UNTUK SEMUA

Tuesday, December 11, 2018

MAKALAH NUSYUZ, SYIQAQ DAN HAKAMAIN DALAM PENYELESAIANNYA

MAKALAH NUSYUZ, SYIQAQ DAN HAKAMAIN

DALAM PENYELESAIANNYA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah masyarakat dimana didalamnya hanya terdiri dari suami,
istri, dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan sebuah keluarga yang di dalamnya
terdapat suatu kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun ketika berada diluar rumah. Dimana
seluruh hak dan kewajiban bisa mereka dapatkan dan laksanakan sebagai konsekuensi dari hidup
bersama.

Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat zaman sekarang seperti yang kita ketahui dari media-
media yang ada seperti media elektronik, cetak dan yang lainnya banyak sekali keluarga yang mengalami
perceraian. Diantara sebab-sebab yang mengakibatkan perceraian tersebut salah satunya adalah tidak
terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami istri dan terjadinya pembangkangan (nusyus) seorang
istri kepada suami dan atau suami terhadap istrinya. Hal semacam ini, biasanya tidak lepas dari adanya
suatu kecurigaan antara kedua pihak, kesalahpahaman, tumbuh pikiran bahwa dirinya lebih baik dan
atau merasa lebih memiliki kekuasaan, dll.
Melihat fenomena tersebut, dalam pembahasan kali ini akan lebih diuraikan kembali tentang konsep an-
Nusyuz, asy-Syiqaq dan Fungsi Hakim dalam penyelesaiannya dalam kehidupan berumah tangga keluarga
islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Nusyuz

1. Pengertian Nusyuz

Secara bahasa kata nusyuz berasal dari kata dasar nasyz yang berarti tempat yang tinggi. Sedangkan
menurut istilah, nusyuz adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang istri terhadap kewajibannya
yang ditetapkan oleh Allah SWT. agar taat kepada suami. Sehingga seolah-olah istri menempatkan dirinya
lebih tinggi dari pada suami.[1]

Menurut Ibnu Katsir, nusyuz artinya menantang. Istri yang nusyuz adalah istri yang menantang suaminya,
tidak melaksanakan perintahnya, berpaling dari suami dan membuatnya marah.[2]

Menurut Hussein bahreisj, nusyuz adalah suatu sikap membangkang atau durhaka dari isteri kepada
suaminya atau terjadi penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh suami terhadap isterinya.

Menurut Slamet Abidin dan Amunudin, nusyuz adalah durhaka, artinya kedurhakaan yang dilakukan istri
terhadap suaminya. Kedurhakaan disini adalah ketika seorang istri menentang permintaan suami tanpa
alasan yang dapat diterima hukum syara'. Misalnya :

a. Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindah
ke rumah tersebut, atau istri meninggalkan rumah tanpa ijin dari suami.

b. Apabila istri bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya, walaupun perjalan itu wajib, seperti
pergi haji, maka perbuatan tersebut terhitung haram.[3]

c. Penolakan istri ketika suami mengajak berjima' tanpa adanya alasan yang syar'i.

d. Memasukkan orang yang tidak disukai suaminya kedalam rumah.

2. Hukum An-Nusyuz
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia
tidak mempan dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap
hal-hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.[4] Allah berfirman
dalam QS. An-Nisa’: 34

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan
untuk memukul seseorang jika ia melanggar kewajibannya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus
hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan maksiat dosa besar
lainnya. Dalam pelaksanaan hukumannyapun, suami sendiri yang melaksanakannya, bukan penguasa.
Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa proses pengadilan, tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini
Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.

Para ulama berbeda pendapat soal hukuman dalam ayat di atas, apakah diberikan berdasarkan urutan
atau tidak. Latar belakangnya karena mereka berbeda pendapat dalam memahami huruf waw ‘athof.
Yakni apakah huruf itu menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan
satu saja dari hukuman-hukuman itu kepada istrinya dan/atau menerapkan keduanya, atau apakah huruf
itu menunjukkan adanya urutan.

Dalam masalah ini ada segolongan ulama yang pendapatnya cukup moderat, mereka berkata,
”Penggabungan dengan huruf waw di atas menunjukkan penggabungan secara mutlak, tetapi
maksudnya adalah penggabungan berdasarkan urutan. Ini bisa ditinjau dari lafaznya. Lagi pula, konteks
ayat di atas mengandung urutan dan tahapan yang harus ditempuh dalam menjatuhkan hubungan
kepada istri”.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata, “Penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat
ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair. Ia berkata, “Suami harus terlebih dahulu menasihati istrinya. Jika ia
menolak maka suami harus memisahkan dari tempat tidurnya. Namun, jika ia terus menolak, suami
harus memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah dari keluarganya
sendiri dan keluarga istrinya, lalu kedua penengah itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu
muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya.

3. Urutan Hukuman Bagi Istri Nusyuz

Allah SWT memerintahkan untuk memberikan hukuman bagi istri yang nusyuz. Ada beberapa tahapan
dalam menghukum istri yang nusyuz:

Pertama, diberi nasehat. Di antara hal yang dapat dilakukan suami adalah:

a. Memperingatkan istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yangbermalam sedangkan
suami marah dengannya.

b. Mengancam dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.

c. Mengingatkan istri pada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyus,
di antaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan
terlantarnya anak-anak.

d. Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan
Tuhannya dan taat kepada suaminya.

e. Menasihati istri dengan kitabullah, yang mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik,
bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui posisi suami atasnya.

f. Menasehati istri dengan menyebutkan hadis-hadis Nabi SAW, menyebut sejarah hidup ibu orang-
orang mukmin.

g. Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara, kecuali memperbanyak sikap untuk
mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.[5]

Kedua, jika nasehat belum mampu menyadarkan istri yang nusyus, maka jangan tidur dengan istri atau
pisah tempat tidur. Tapi, jangan sampai terlalu lama. Maksimal tiga malam.

Ketiga, jika masih tetap begitu, maka suami boleh memukulnya. Akan tetapi, pukulan terhadap istri yang
nusyus harus sesuai syari’at yaitu yang tidak membahayakan dan tidak melukai. Jangan memukul bagian
wajah dan kepala.
4. Bentuk dan Jenis Sikap Nusyuz

Sikap nusyuz mempunyai banyak bentuk, semuanya terhimpun dalam tindakan maksiat terhadap suami
dan keluar dari ketaatan kepadanya. Jenis-jenis sikap nusyuz tidak terbatas oleh bilangan angka. Akan
tetapi, sebagian diantaranya marak terjadi dan mengakibatkan bahaya besar, yaitu:[6]

a. Menolak ajakan suami di tempat tidur. Ini adalah sikap nusyuz terbesar.

b. Mengkhianati suami terkait dengan kehormatan dirinya, yaitu dengan menjalin hubungan haram
dengan laki-laki lain.

c. Memasukkan orang lain ke dalam rumah, yang mana suami tidak suka bila orang itu masuk ke
dalam rumahnya, baik ketika suami ada maupun tidak ada.

d. Lalai dalam melayani suami.

e. Menghambur-hamburkan harta suami dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak pantas.

f. Menyakiti suami dengan perkataan buruk, mencelanya atau mencacinya.

g. Keluar dari rumah tanpa izin suami.

h. Menyebarluaskan rahasia suami dan menurunkan tirai pelindung kehormatannya.

B. Syiqaq

1. Pengertian Syiqaq

Syiqaq menurut bahasa dapat diartikan pertengkaran, sedangkan menurut istilah syiqaq berarti krisis
memuncak yang terjadi antara suami istri, sehingga antara keduanya yaitu suami isteri sering terjadi
perselisihan yang menjadikan keduanya tidak dapat dipertemukan (diselesaikan) dan kedua belah pihak
tidak dapat mengatasinya.

Menurut istilah fiqih berarti perselisihan antara suami dan istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam,
yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.[7]

Pengertian di atas menunjukkan bahwa syiqaq terjadi apabila antara suami istri tidak dapat lagi
mencukupi kebutuhan lahir maupun kebutuhan batin, sehingga dalam kehidupan rumah tangga sering
terjadi perselisihan

yang tiada akhir.


2. Dasar Hukum Syiqaq

Syiqaq merupakan salah satu alternative yang ditawarkan oleh agama islam untuk menyelesaikan
pertengkaran yang terjadi dalam suatu keluarga, hal ini dijelaskan dalam firman allah surat An-Nisa’ Ayat
35:

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Firman Allah tersebut menjelaskan, jika terjadi kasus syiqaq antara suami isteri maka dianjurkan untuk
mengutus seorang hakam dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan tujuan untuk menyelidiki dan
mencari sebab musabab permasalahan antara keduanya, dan allah menganjurkan agar pihak yang
berselisih apabila memungkinkan untuk kembali membina rumah tangga (hidup bersama) kembali. Dan
perlu diketahui yang dimaksud hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat atau cakap
untuk menjadi penengah dalam menghadapi konflik yang sedang terjadi.

3. Talak karena Syiqaq

Talak yang jatuh karena syiqaq adalah talak ba’in, karena bahaya dari syiqaq tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan talak ba’in, karena apabila talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i, maka dikhawatirkan
akan terulang kembali syiqaq tersebut.

Pandangan Ulama’ terhadap Perceraian karena Syiqaq: Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah tidak
memperbolehkan perceraian dikarenakan syiqaq, karena syiqaq dapat diselesaikan melalui jalan damai,
tanpa harus ada perceraian. Sedangkan ulama Malikiyah memperbolehkan perceraian karena syiqaq,
agar kehidupan berkeluaga tidak menjadi bencana, baik bagi sang suami maupun sang istri.

C. Hakamain
1. Pengertian Hakamain dan Tugasnya

Hakam artinya juru damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami
istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketaui keadaan siapa yang benar dan siapa
yang salah diantara kedua suami istri tersebut.

Hakamain yang ditetapkan Al-Qur'an adalah juru damai. Mereka mengupayakan mendamaikan buka
upaya memperkeruh keadaan, apalagi dengan adanya juru damai malah membuat kedua belah pihak
semakin menjelek-jelekkan dan membuka rahasia masing-masing selama berumah tangga. Hal tersebut
sangat dilarang oleh islam.

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang arti hakam dalam QS. An-Nisa’ ayat 35 tersebut.

a. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I serta pengikut keduanya berpendapat, hakam
berarti wakil atau sama halnya dengan wakil. Hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada istri sebelum
mendapat persetujuan dari suami. Begitu pula hakam dari pihak perempuan tidak boleh mengadakan
khulu' sebelum mendapat persetujuan suami. Hakam hanya mewakili pihak yang berselih dan bertugas
menyampaikan keinginan-keinginannya, jika suami berkeinginan cerai maka hakam menyampaikan
keinginan tersebut, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan tersebut kepada juru damai. Alasannya
adalah bahwa pada dasarnya talak tidak berada di tangan siapapun, kecuali suami atau seorang yang
diberi kuasa olehnya. Dan yang berhak mengangkat hakam adalah dari puhak suami dan istri.

b. Menurut Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat, hakamain itu sebagai hakim sehingga
boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya mengenai hubungan suami-istri yang
sedang berselisih itu, apakah mereka memberi keputusan berdamai atau bercerai tanpa pemberian
keluasaan atau persetujuan dari kedua belah pihak. Jadi, kerelaan sorang suami sangat diperlukan disini.
Alasan Imam Malik adalah apa yang diriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa ia mengatakan
tentang kedua juru damai itu:

‫اهلمييههمماَ التتفههر قمةة بمييمن لتزيومجييهن موالمجيمةع‬

"Kepada kedua juru damai itu hak memisahkan dan mengumpulkan kedua suami-istri".

Ibnu sirin menyebutkan bahwa ‘Ubaidah berkata: “Seorang suami dan istri datang kepada Ali ra, masing-
masing dari mereka berdua membawa sekelompok orang banyak. Ali pun memerintahkan mereka untuk
menunjuk seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga istri. Setelah itu, Ali
berkata kepada kedua hakam,’’jika kalian memandang bahwa mereka berdua bisa bersatu, maka
satukanlah, dan jika kalian memandang bahwa mereka berdua harus berpisah maka pisahkanlah. Sang
istri berkata: “aku ridho dengan kitab Allah swt, apa yang menjadi kewajibanku dan pa yang menjadi
hakku”. Dan sang suami berkata: “adapun untuk berpisah, maka aku tidak mau”. Lalu Ali berkata: “Demi
Allah, engkau berbohong, sampai engkau memutuskan seperti apa yang telah dia putuskan”.

Dan menanggapi alasan yang di ungkapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I, Imam Malik
berbeda pendapat tentang kedua juru dalam menjatuhkan talak tiga. Dan yang berhak mengangkat
hakam adalah dari hakim atau pemerintah.[8]
Jika kedua juru damai berbeda pendapat, salah satunya menetapkan talak satu sedang juru damai yang
lainya mengatakan talak dua. Maka putusan keduanya tidak dapat di ambil, dan perlu mendatangkan
seorang hakim lagi, hingga kedua juru damai tersebut bisa menghasilkan putusan yang sama. Jika tidak
bisa mendapatkan juru damai dari keluarga masing-masing untuk menyelesaikan perselisihan pasangan
suami-istri, maka mayoritas ulama, selain mazhab Maliki, membolehkan mengutus dua juru damai orang
lain yang bukan keluarga suami atau istri. Putusan kedua juru damai itu bisa di terima, selama keduanya
tidak berbeda pendapat.[9]

2. Syarat-Syarat Hakamain

a. Berlaku adil diantar pihak yang bersengketa

b. Mengadakan perdamaian antar kedua suami istri dengan ikhlas

c. Disegani oleh kedua pihak suami istri

d. Hendaklah berpihak kepada pihak yang teraniaya, apabila pihak yang lain tidak mau berdamau.[10]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa kata kunci yang bisa kita petik dari makalah ini untuk memahami Nusyuz, Syiqaq, dan
fungsi hakamain dalam penyelesaian masalah :

1. Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang menentang suami
tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya,atau menolak diajak ke tempat
tidurnya. Ketika istri sedang durhaka (nusyuz), maka ada beberapa langkah yang boleh dilakukan suami
terhadap istri yakni mulai dari menasehati, tidak memberi nafkah, pisah ranjang, hingga suami
diperbolehkan memukul istri namun dengan pukulan yang tidak melukai dan dengan niatan memberikan
pelajaran.

2. Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan
dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Ketika
permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua
orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari kalangan
keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang pemerintah untuk bertugas
sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh suami maupun istri, sebagaimana ada beberapa
pendapat tentang arti hakamain dalam surat al-Nisa’ ayat 35 yang telah dijelaskan pada paragraph di
atas.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mashri, Syaikh Mahmud, Perkawinan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2011.

As-Subki Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010.

Kamal Abu Malik bin Salim Sayyid, Fiqhus Sunnah Lin Nisaa, diterjemahkan Asep Sobari, Fiqih Sunah
untuk Wanita, Cet I, Jakarta: Darul Bayan Al-Haditsah, 2010.

Rahman, Masykur Arif, Dosa-dosa Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam Pertama, Jogjakarta: Sabil,
2011.

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Tihami, dan Sahrani Sohari, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 1; Serang: Rajawali Pers,
2008.

Usamah Abu 'Ubaidah bin Al-Jammal Muhammad, Kitab Al-Mu'minat Al-Baqiyat Ash-Shalihat fi Ahkam
Takhtashshu bihal Mu'minat, diterjemahkan Arif Rahman Hakim, Shahih Fiqih Wanita Muslimah, Cet. 1,
Surakarta: Insan Kamil. 2010.

[1] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisaa, diterjemahkan Asep Soba

Anda mungkin juga menyukai