Anda di halaman 1dari 11

ARTIKEL MATA KULIAH ETOS KERJA

“BUDAYA KERJA DAN ETOS KERJA”

Oleh :

1. Ade Sefirman Yunus


(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.025)
2. Adinda Rahma Tadjuddina
(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.026)
3. Indria Hanandini
(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.036)
4. M. Fauzhan Amansyah
(DIII TNU IX-B/G.III.09.16.041)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK NAVIGASI UDARA


POLITEKNIK PENERBANGAN SURABAYA
2019
A. Arti Definisi / Pengertian Budaya Dan Kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki
arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto
Poespowardojo 1993). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan
kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan
melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan
pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.

B. Arti Definisi / Pengertian Budaya Kerja


Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang
dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku,
cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.
(Sumber: Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno, LLM)

C. Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja


Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku
SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi
berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :
1. Meningkatkan jiwa gotong royong.
2. Meningkatkan kebersamaan.
3. Saling terbuka satu sama lain.
4. Meningkatkan jiwa kekeluargaan.
5. Meningkatkan rasa kekeluargaan.
6. Membangun komunikasi yang lebih baik.
7. Meningkatkan produktivitas kerja.
8. Tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll.

D. Etos Kerja
Etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada
kerjasama yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total
pada paradigma kerja yang integral (Sinamo 2011:15). Definisi lain menurut Mathis
& Jackson (2006:37) etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta cara
mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna pada sesuatu,
yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal.
Kesimpulannya yaitu etos kerja merupakan sikap positif yang ditunjukan seseorang
ketika bertindak untuk meraih sesuatu secara optimal.
Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri
yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja (Sukardewi, 2013:3).
Etos berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang artinya sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai
kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya (Tasmara,
2002:15).
Berikut beberapa pengertian etos kerja dari beberapa sumber:
 Menurut Sinamo (2011:26), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif
yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total
pada paradigma kerja yang integral.
 Menurut Panji Anoraga (2001:29), etos kerja adalah pandangan dan sikap
suatu bangsa atau umat terhadap kerja, oleh karena itu menimbulkan
pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai suatu yang luhur,
sehingga diperlukan dorongan atau motivasi.
 Menurut Madjid (2000:410), etos kerja ialah karakteristik dan sikap,
kebiasaan, serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang
seseorang individu atau sekelompok manusia.

E. Ciri-ciri Etos Kerja


Seseorang yang memiliki etos kerja, akan terlihat pada sikap dan tingkah
lakunya dalam bekerja. Berikut ini adalah beberapa ciri-ciri etos kerja:
1. Kecanduan terhadap waktu. Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja
adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa
berharganya waktu. Dia sadar waktu adalah netral dan terus merayap dari
detik ke detik dan dia pun sadar bahwa sedetik yang lalu tak akan pernah
kembali kepadanya.
2. Memiliki moralitas yang bersih (ikhlas). Salah satu kompetensi moral yang
dimiliki seorang yang berbudaya kerja adalah nilai keihklasan. Karena
ikhlas merupakan bentuk dari cinta, bentuk kasih sayang dan pelayanan
tanpa ikatan. Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya melayani,
melainkan juga input atau masukan yang membentuk kepribadiannya
didasarkan pada sikap yang bersih.
3. Memiliki kejujuran. Kejujuran pun tidak datang dari luar, tetapi bisikan
kalbu yang terus menerus mengetuk dan membisikkan nilai moral yang
luhur. Kejujuran bukanlah sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah
panggilan dari dalam sebuah keterikatan.
4. Memiliki komitmen. Komitmen adalah keyakinan yang mengikat
sedemikian kukuhnya sehingga terbelenggu seluruh hati nuraninya dan
kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya.
Dalam komitmen tergantung sebuah tekad, keyakinan, yang melahirkan
bentuk vitalitas yang penuh gairah.
5. Kuat pendirian (konsisten). Konsisten adalah suatu kemampuan untuk
bersikap taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip
walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya.
Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif.

F. Cara Menumbuhkan Etos Kerja


Setiap negara memiliki etos kerja masing-masing, menurut Jansen H.
Sinamo (2011) melalui bukunya 8 Etos Kerja Profesional menjelaskan cara
menumbuhkan etos kerja sebagai berikut:
1. Kerja sebagai rahmat (Aku bekerja tulus penuh rasa syukur).
2. Kerja adalah amanah (Aku bekerja penuh tanggung jawab).
3. Kerja adalah panggilan (Aku bekerja tuntas penuh integritas).
4. Kerja adalah aktualisasi (Aku bekerja keras penuh semangat).
5. Kerja adalah ibadah (Aku bekerja serius penuh kecintaan).
6. Kerja adalah seni (Aku bekerja cerdas penuh kreativitas).
7. Kerja adalah kehormatan (Aku bekerja penuh ketekunan dan keunggulan).
8. Kerja adalah pelayanan (Aku bekerja paripurna penuh kerendahan hati).

G. Faktor-faktor yang mempengaruhi Etos Kerja


Etos kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu (Anoraga,
2001:52):
1. Agama. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai yang akan
mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara
berpikir, bersikap dan bertindak seseorang tentu diwarnai oleh ajaran agama
yang dianut jika seseorang sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama.
2. Budaya. Sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja masyarakat juga
disebut sebagai etos budaya dan secara operasional etos budaya ini juga
disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem
orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
3. Sosial Politik. Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi
oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk
bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras dengan penuh.
4. Kondisi Lingkungan/Geografis. Lingkungan alam yang mendukung
mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk
dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang
pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
5. Pendidikan. Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya
manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang
mempunyai etos kerja keras.
6. Struktur Ekonomi. Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu
memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan
menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
7. Motivasi Intrinsik Individu. Individu yang akan memiliki etos kerja yang
tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap yang didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang.

H. Studi Kasus tentang Budaya Kerja dan Etos Kerja


a. Budaya Kerja Gotong Royong
“Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!
Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan.
Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan
semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong!”. Ungkapan tersebut diucapkan
oleh Bung Karno dalam Pidato 1 Juni 1945.
Kutipan di atas setidaknya menegaskan bahwa Bung Karno telah
memberi pandangan khusus bahwa etos kerja bangsa Indonesia ialah gotong
royong. Hakikat gotong royong adalah kerja sama yang dinamis, demi
kepentingan bersama. Oleh karena itulah, Bung Karno memaknainya lebih dari
sekadar kekeluargaan yang dinilainya statis. Apa yang dikemukakan Bung
Karno ini, terkesan jalan tengah atas polemik panjang polemik kebudayaan,
yang mencakup pula soal etos kerja bangsa. Polemik kebudayaan itu
berkembang pada 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dengan
sejumlah tokoh intelektual yang lain.

Gambar saat Deklarasi Pancasila di Kampus UAJY, Yogyakarta

Mahasiswa bersama Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi


Pancasila Yudi Latief (berkacamata, kiri) melakukan Deklarasi Pancasila di
kampus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Mrican,
Yogyakarta, Senin (21/5/2018). Selain untuk menyambut Bulan Pancasila pada
Juni mendatang, kegiatan tersebut juga untuk memperkuat penanaman nilai-
nilai Pancasila pada generasi muda.
STA menawarkan agar etos kerja bangsa Indonesia seperti bangsa
Barat. Titik berangkat etos kerja bangsa Barat ialah individualisme, bukan
kolektivisme. Semangat berusaha pun berangkat dari etos individu yang
dinamis untuk memenangi persaingan. Api bangsa Barat menyala kuat di atas
intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme. Bagi STA, jiwa
Barat itu harus kita ambil, "jiwa nrimo" harus ditolak.
Di sisi lain, penolak gagasan STA menekankan gagasan pentingnya
kolektivisme, gotong royong, dan kekeluargaan sebagai sesuatu yang diyakini
sebagai jiwa bangsa yang telah melekat erat sejak zaman nenek moyang. Di
antara mereka bahkan mengilustrasikan kebesaran-kebesaran ragam kerajaan
Nusantara tempo dulu. Filosofi nenek moyang lebih diyakini lebih mulia
ketimbang bangsa Barat yang terbelenggu materi dan keserakahan menjajah
bangsa lain.

Gambar kegiatan Tradisi Ngahuma (berladang oleh petani di Dusun


Batu Sapi, Kelurahan Pelabuhan Ratu, Kecamatan Pelabuhan Ratu,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Oleh karena, menurut mereka, bangsa Barat bukanlah contoh model


yang perlu ditiru. Api atau jiwa bangsa pun harus digali dari akarnya di bangsa
sendiri. Kendati tidak ikut langsung dalam polemik, Bung Karno tampak
sangat menghargai gagasan yang kedua, bahwa api Indonesia harus digali dari
akarnya di bangsa sendiri. Akan tetapi, di sisi lain ia cenderung tidak menolak
perlunya bangsa ini dinamis. Di sini tampak pandangan Bung Karno seolah
menjadi jalan tengahnya, hadirlah konsep "gotong royong adalah paham yang
dinamis".
Kolektivisme, karena itu, lebih merupakan dasar pergerakan bangsa
yang dinamis.. Dinamisasi kolektif ini tentu berbeda dengan dinamisasi
individualisme atau egoisme. Dinamisasi kolektif membutuhkan kebersamaan,
yang dalam bahasa Bung Karno sebagai "pembantingan tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama" dalam
bingkai 'amal semua buat kepentingan semua' atau 'kebahagiaan semua'."
Apakah gotong royong yang dinamis itu bukan sesuatu yang
kontradiktif? Bukankah gotong royong yang mempersyaratkan kebersamaan
antarentitas yang berbeda-beda itu, dalam logika ekonomi liberal lebih susah
ketimbang menyelenggarakan kerja yang berbasis individualisme?
Dalam kaitan ini perlu kiranya kita menggali kembali hakikat gotong
royong yang dinamis itu, lalu mengaitkan relevansinya untuk zaman kita.
Dalam perspektif konstitusi, gagasan Bung Karno itu berimpitan dengan
gagasan Bung Hatta, bapak bangsa (the founding fathers) lainnya, yang juga
jelas-jelas mengakomodasi prinsip gotong royong dan kebersamaan dalam
berekonomi.

Gambar kegiatan pembanganunan pemukiman warga pasca gempa dan


tsunami Mentawai di Sumatera Barat
.
Hal itu lantas tercermin pada Pasal 33 UUD 1945. Pada Ayat 1 pasal
itu ditegaskan "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan". Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan relevansinya dengan
ayat tersebut.
Pembahasan mengenai ekonomi Pancasila yang belakangan ini
merebak kembali, tentu tak dapat dilepaskan dari perspektif konstitusi.
Berbagai pandangan mengemuka dalam kajian ekonomi Pancasila justru ketika
hakikat kegotongroyongan dalam berekonomi diinterpretasi dan
reinterpretasikan. Ada yang lebih bertumpu pada semangatnya, ada pula yang
menitikberatkan bentuk usaha atau kelembagaannya.
Namun, yang sama-sama disepakati, ekonomi Pancasila merupakan
kegiatan ekonomi yang dilandasi etos kerja dalam bingkai nilai-nilai yang
terkandung dalam kelima sila Pancasila. Nilai-nilai itulah yang membedakan
dengan semata-mata etos kerja kapitalisme atau liberalisme ekonomi. Etos
kerja Pancasila memang sarat nilai, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan, dan keadilan sosial. Etos kerja Pancasila, karena itu,
bukanlah etos kerja tanpa arah yang berpotensi menghalalkan segala cara
dengan mengabaikan nilai-nilai adiluhung.

Gambar Tradisi Rantok (Antan) dan Alu

Gambar di atas menunjukkan bahwa rantok (antan) dan alu yang semula
hanya alat penumbuk padi, ketan dan lainnya, berkembang menjadi seni
pertunjukan. Ia lahir dari tradisi gotong royong warga yang membantu
meringankan pekerjaan sebuah keluarga yang mengadakan pesta pernikahan
maupun khitanan.
Dalam konteks "gotong royong yang dinamis" sebagai etos kerja
Pancasila, sinergisitas antarelemen bangsa mutlak adanya. Tentu saja
sinergisitas atau kerja sama dimaksud bukanlah sesuatu yang bekerja secara
otomatis, kecuali dalam bingkai kebersamaan dan persatuan Indonesia.
Dalam konteks ini, masalah keragaman atau pluralisme bangsa justru
menjadi kekuatan, mengingat satu sama lain saling menopang dan melengkapi.
Namun, hal tersebut tidak akan tercapai manakala aspek manusia serta sistem
kelembagaannya bermasalah, mengingat gerak kegotongroyongan tidak dapat
dilepaskan dari keduanya.
Aspek manusia jelas terkait dengan konteks manusia Pancasila.
Kendati cukup abstrak dalam menggambarkan bagaimana manusia Pancasila,
tetapi ia terkait dengan komitmen nilai-nilai dan kualifikasi sumberdaya. Oleh
karena itu, tak berlebihan manakala ia dikaitkan dengan disiplin asketis atau
spiritual (mesu budi) yang mendorong tindakan kemanusiaan, persatuan dan
persaudaraan, musyawarah untuk konsensus atau mufakat, serta ikhtiar
perwujudan keadilan sosial. Untuk itu, selain berbudi luhur atau mulia, perlu
kompetensi, keunggulan, dan kemampuan yang mumpuni untuk merespons
tantangan.
Aspek sistem kelembagaan tidak kalah rumit: bagaimana ia harus
mengakomodasi, kalau bukan menjadikan bagian integral prinsip gotong
royong dan kebersamaan agar operasional. Dari sini muncul peluang
merekonstruksi—bahkan memperbarui—sistem kelembagaan berdasar
prinsip-prinsip konstitusi sehingga selaras zaman.

Gambar Warga dalam Upaya Memupuk Semangat Kegotongroyongan

Peran negara sebagai penentu regulasi sangatlah penting. Negara


membuat regulasi yang dibingkai nilai-nilai Pancasila, tanpa harus mematikan
aspek-aspek dinamis kompetisi dunia usaha. Negara mengatur agar persaingan
ekonomi dan bisnis berjalan seimbang dan adil, tidak membiarkan segalanya
berjalan secara bebas (free fight liberalism).
Di sisi lain, masyarakat, termasuk golongan pengusaha, mutlak harus
memiliki etos kerja dan kerja sama tinggi, jujur, benar-benar bekerja keras
dalam suatu iklim persaingan usaha yang kondusif. Tulisan ini bisa
dikembangkan lagi, akan tetapi intinya adalah bagaimana etos kerja bangsa
justru kita gali dari Pancasila.

b. Etos Kerja Walikota Surabaya


“Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dikenal sebagai sosok pemimpin
panutan yang gemar turun ke lapangan. Risma tak segan mengecek langsung
kondisi lapangan yang bermasalah, mulai dari sungai yang penuh sampah,
trotoar yang berantakan hingga marah-marah ke staf kelurahan gara-gara
birokrasi yang bertele-tele. Sepatu bot merah muda menjadi ciri khasnya.
Banyak warga yang bertanya-tanya apa sebenarnya alasan Risma
sampai mau repot-repot turun ke lapangan dan ikut kerja bakti bareng stafnya?
Apa hanya untuk mencari simpati warga atau sekadar pencitraan saja?
Gambar Bu Risma mengecek banjir di Surabaya.
Sumber: Twitter/BanggaSurabaya

Risma menjawab pertanyaan tersebut melalui akun Instagram Dinas


Perhubungan Surabaya. Unggahan yang dimuat pada Minggu (25/3) malam itu
mengungkap alasan Risma selalu turun ke lapangan.
"Nyapo wali kota itu koyok ngono, kan ndak perlu kepala dinase
(Mengapa wali kota (turun ke lapangan) seperti itu? Kan jadinya kepala dinas
tidak berfungsi-Red). Kayak gini nih karena nyangkut beberapa sektor. Dinas
Kebersihan dan Pertamanan (DKP) bersihin ora wani (nggak berani), PU ora
wani. Ono (ada) PKL, ono ini. Makanya kalau aku semua itu bisa gabung,"
kata Risma dalam video itu.
Dalam video tersebut dijelaskan kehadiran Risma di lapangan bisa
membuat berbagai kalangan berkerja sama. Misalnya saat warga dan pegawai
Pemkot membersihkan trotoar, kehadiran Risma di sana menambah semangat.
Apalagi Risma ikut langsung membersihkan trotoar dan jalan.

Gambar Bu Risma bersih-bersih di Wonokusumo Kidul


Sumber : ANTARA/Didik Suhartono
Gambar Bu Risma bersih-bersih Wonokusumo Kidul
Sumber: ANTARA/Didik Suhartono

Contoh lainnya saat menertibkan para PKL yang awalnya menolak


untuk digusur, saat ada Risma mereka akan mematuhi dan rela meninggalkan
lokasi tanpa harus berdebat panjang dengan petugas.
Postingan Dishub Surabaya ini mendapat banyak sambutan positif
netizen. "Sebagai warga Surabaya saya bangga punya wali kota Surabaya yang
mau turun tangan mengatasi semua," tulis fdika_48.
"Joss ibuku. Share ada teman dari Jakarta datang ke Surabaya dia bilang
Surabaya bersih banget ya? Buang sampah sembarangan langsung diingetin
orang. Mantap. Mental mulai berubah," tulis Novy Herdian.
Risma, sarjana arsitektur ITS, sebelum menjadi wali kota adalah Kepala
Dinas Pertamanan Surabaya. Dia menyulap Surabaya yang panas menjadi
hijau, bersih, dan asri. Di mobil dinasnya selalu terdapat peralatan pertamanan
dan kebersihan, termasuk sarung tangan dan sepatu bot warna pink.”
Artikel di atas menunjukkan bahwa Bu Tri Rismaharini sebagai
Walikota Surabaya memiliki etos kerja yang cukup tinggi. Beliau tidak segan
untuk turun langsung ke lapangan guna menyelesaikan permasalahan yang ada
di Kota Surabaya. Beliau menurunkan sikap etos kerja yang beliau miliki
kepada jajaran di bawahnya dengan memberikan contoh penyelesaian masalah
di Kota Surabaya dengan ikut terjun langsung ke lapangan.

Anda mungkin juga menyukai