Oleh :
D. Etos Kerja
Etos kerja adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada
kerjasama yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total
pada paradigma kerja yang integral (Sinamo 2011:15). Definisi lain menurut Mathis
& Jackson (2006:37) etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta cara
mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna pada sesuatu,
yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal.
Kesimpulannya yaitu etos kerja merupakan sikap positif yang ditunjukan seseorang
ketika bertindak untuk meraih sesuatu secara optimal.
Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri
yang didasari oleh sistem orientasi nilai budaya terhadap kerja (Sukardewi, 2013:3).
Etos berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang artinya sikap, kepribadian, watak,
karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai
kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya (Tasmara,
2002:15).
Berikut beberapa pengertian etos kerja dari beberapa sumber:
Menurut Sinamo (2011:26), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif
yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total
pada paradigma kerja yang integral.
Menurut Panji Anoraga (2001:29), etos kerja adalah pandangan dan sikap
suatu bangsa atau umat terhadap kerja, oleh karena itu menimbulkan
pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai suatu yang luhur,
sehingga diperlukan dorongan atau motivasi.
Menurut Madjid (2000:410), etos kerja ialah karakteristik dan sikap,
kebiasaan, serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang
seseorang individu atau sekelompok manusia.
Gambar di atas menunjukkan bahwa rantok (antan) dan alu yang semula
hanya alat penumbuk padi, ketan dan lainnya, berkembang menjadi seni
pertunjukan. Ia lahir dari tradisi gotong royong warga yang membantu
meringankan pekerjaan sebuah keluarga yang mengadakan pesta pernikahan
maupun khitanan.
Dalam konteks "gotong royong yang dinamis" sebagai etos kerja
Pancasila, sinergisitas antarelemen bangsa mutlak adanya. Tentu saja
sinergisitas atau kerja sama dimaksud bukanlah sesuatu yang bekerja secara
otomatis, kecuali dalam bingkai kebersamaan dan persatuan Indonesia.
Dalam konteks ini, masalah keragaman atau pluralisme bangsa justru
menjadi kekuatan, mengingat satu sama lain saling menopang dan melengkapi.
Namun, hal tersebut tidak akan tercapai manakala aspek manusia serta sistem
kelembagaannya bermasalah, mengingat gerak kegotongroyongan tidak dapat
dilepaskan dari keduanya.
Aspek manusia jelas terkait dengan konteks manusia Pancasila.
Kendati cukup abstrak dalam menggambarkan bagaimana manusia Pancasila,
tetapi ia terkait dengan komitmen nilai-nilai dan kualifikasi sumberdaya. Oleh
karena itu, tak berlebihan manakala ia dikaitkan dengan disiplin asketis atau
spiritual (mesu budi) yang mendorong tindakan kemanusiaan, persatuan dan
persaudaraan, musyawarah untuk konsensus atau mufakat, serta ikhtiar
perwujudan keadilan sosial. Untuk itu, selain berbudi luhur atau mulia, perlu
kompetensi, keunggulan, dan kemampuan yang mumpuni untuk merespons
tantangan.
Aspek sistem kelembagaan tidak kalah rumit: bagaimana ia harus
mengakomodasi, kalau bukan menjadikan bagian integral prinsip gotong
royong dan kebersamaan agar operasional. Dari sini muncul peluang
merekonstruksi—bahkan memperbarui—sistem kelembagaan berdasar
prinsip-prinsip konstitusi sehingga selaras zaman.