Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

TRIBOLIUM CASTANEUM

Tribolium castaneum

Tribolium castaneum merupakan salah satu spesies serangga hama penting di

penyimpanan di daerah tropik. Spesies ini dikenal sebagai kumbang tepung, karena

pada umumnya ditemukan pada tepung namun dapat juga ditemukan pada

komoditas serealia, serangga ini juga menjadi hama penting pada penyimpanan

beras di Indonesia.. Tribolium castaneum ini diklasifikasikan ke dalam filum

Artropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera, famili rionidae, genus Tribolium, dan

spesies castaneum (Donald et al., 1992). Secara lengkap hama ini dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (IT IS, 2018) :

Kingdom Animalia
Subkingdom Bilateria
Infrakingdom Protostomia
Superphylum Ecdysozoa
Phylum Arthropoda
Subphylum Hexapoda
Class Insecta
Subclass Pterygota
Infraclass Neoptera
Superorder Holometabola
Order Coleoptera
Suborder Polyphaga
Infraorder Cucujiformia
Superfamily Tenebrionoidea
Family Tenebrionidae
Genus Tribolium
Species Tribolium castaneum

Donald J. Boror., C.A. Triplehorn dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan

Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Integrated Taxonomic Information System (ITIS). 2018. Tribolium Castaneum.

https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=187246#null.

Diakses pada tanggal 5 Oktober 2018.

Okky Setyawati Dharmaputra1,3*, Hariyadi Halid2 , Sunjaya. Jurnal

fitopatologi indog Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Serangan Tribolium

castaneum pada Beras di Penyimpanan dan Pengaruhnya terhadap Serangan

Cendawan dan Susut Bobot

Tribolium castaneum merupakan hama yang tersebar luas di seluruh dunia,

khususnya di negara-negara beriklim panas dan daerah tropis lembab di dunia

seperti asia tenggara, amerika tengah, amerika selatan, dan sebagian besar benya

afrika. hama ini dapat ditemukan di banyak tempat penyimpanan produk pertanian

dan menjadi hama yang sangat destruktif. Inang dari hama ini yaitu berupa tanaman

penghasil biji bijian seperti padi, jagung, kedelai dan sebagainya (Padin et al, 2013).

Bulus (2008) melaporkan kisaran inang hama tersebut cukup luas mencakup produk

pertanian serealia, seperti gandum, sorgum, millet, acha, beniseeds, serta kacang

tunggak, kacang tanah, akar kering, ubi, singkong dan sebagainya

Bulus, S.D. 2008. Studies on Millet, Acha and Wheat: Their Nutrient

Composition and Their Susceptibility to Tribolium castaneum (Herbst), M.Tech

Thesis in the Department of Biology, Federal University of Technology, Akure.

Padin S.B., Fuse C., Urrutia M.I. and Dal Bello G.M. 2013. Toxicity and

repellency of nine medicinal plants against Tribolium castaneum in stored wheat.

Bulletin of Insectology 66 (1): 45-49 ISSN 1721-8861.


Keberadaan T. castaneum pada gudang penyimpanan menyebabkan

terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas beras. Dengan bertambahnya populasi

T. castaneum, akan meningkatkan susut bobot beras (Dharmaputra et al., 2014).

Serangga ini merusak beras dengan cara memakannya dari arah luar. Kerusakan

yang ditimbulkan oleh T. castaneum dapat menurunkan kualitas beras dari segi rasa

dan kandungan nutrisi serat akan menimbulkan bau apek pada beras.

Perkembangbiakan T. castaneum sangat cepat, karena siklus hidup T. castaneum

yang singkat yaitu 5 sampai 6 minggu. Hal tersebut tentu sangat merugikan karena

menyebabkan turunnya harga jual akibat kualitas maupun kuantitas yang berkurang

(Wagiman, 1999).

Wagiman, F. X. 1999. Assosiasi Sytophilus Oryzae (Col: Curculionidae) dan

Tribolium castaneum (Col: Tenebrio) dalam Beras: Pertumbuhan Populasi dan

Kerusakan Beras. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 5(1). Hal 30-34.

Kerusakan karena hama dari genus Tribolium pada tepung atau produk olahan

sereal lainnya, terutama kotoran dan noda yang akan mampu meracuni konsumen.

kotoran dan eksudasi lainnya dari larva hama ini mencemari makanan yang

cenderung berbau dan dengan demikian kehilangan nilai komersial atau gizi mereka.

Bau ini diperparah oleh feromon mual yang dihasilkan oleh kumbang dewasa.

Tamagno dan Ngamo (2014)

Tamgno BR1,2* and SL Ngamo Tinkeu2. 2014. APPLICATION OF THE

FLOUR OF FOUR LEGUMINOUS CROPS FOR THE CONTROL OF

TENEBRIONIDAE BEETLE (TRIBOLIUM CASTANEUM - HERBST) African

Journal of Food, Agriculture, Nutrition and Development vol 14 (1) 8474-8487


Gejala serangan ditunjukkan dengan larva dan kumbang makan biji kacang

tanah sehingga menjadi berlubang, apabila kerusakan berat yang tersisa tinggal

kulitnya saja. (Marwoto, 2006) Setijo (2007) menjelaskan gejala serangan

Tribolium pada bahan pangan yang disimpan di gudang mudah diketahui dengan

tanda-tanda adanya serangga, bekas kulit larva, dan bekas kepompong pada bahan

pangan yang diserang.

Marwoto. 2006. HAMA UTAMA KACANG TANAH DAN STRATEGI

PENGENDALIANNYA. Monograf Balitkabi No. 13. Balai Penelitian Tanaman

Aneka Kacang dan Umbi.

Setijo, P. 2007. Suweg : Seri Budi Daya. Kanisius. Yogyakarta.

Wiranata et al. (2013) melaporkan bahwa T. castaneum merupakan salah satu

spesies serangga yang ditemukan pada beras di gudang Perusahaan Umum BULOG.

Hama tersebut memiliki arti ekonomi yang sangat penting karena sifat destruktifnya

yang sangat merugikan, selain itu serangga tersebut mampu bertahan pada bahan

pangan dengan kadar air rendah, terutama menimbulkan kerusakan pada serealia

yang telah digiling, namun perkembangbiakannya tidak cepat pada serealia yang

berkadar air rendah, masih utuh, dan bebas dari serpihan. Serangga ini mampu

berkembang biak dengan cepat sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang cepat

meluas serta yang paling penting menurunkan kualitas produk.

Wiranata RA, Himawan T, Astuti LP. 2013. Identifikasi arthropoda hama dan

musuh alami pada gudang beras Perum BULOG dan gudang gabah mitra kerja di

Kabupaten Jember. J HPT Tropika. 1(2):52–57.


Berbagai aspek kehidupan kutu beras dipengaruhi oleh kondisi fisik dari

lingkungan dimana kutu beras tersebut hidup. Beberapa faktor fisik dan lingkungan

yang mempengaruhi kehidupan kutu beras lain: suhu, kelembaban relatif dan kadar

air dari bahan yang disimpan. Jika suhu naik sampai titik optimum maka tingkat

pertumbuhan kutu beras secara individu meningkat, aktivitas bertambah, mortalitas

menurun dan akhirnya tingkat pertumbuhan populasi kutu beras juga meningkat.

Suhu optimum untuk pertumbuhan kutu beras di daerah tropik 25-35 °C. Faktor

biotis juga mempengaruhi kehidupan kutu beras yaitu hubungan antara organisme

yang hidup dalam ekosistem penyimpanan. Faktor biotis dan lingkungan sangat

mempengaruhi keragaman dan kepadatan populasi kutu beras dalam sistem

penyimpanan (Syarief dan Halid, 1990)

Syarief, R. dan H. Halid. 1990. Buku Monograf Teknologi Penyimpanan

Pangan. Laboratorium Rekayasa Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kutu beras adalah serangga yang sangat aktif dan sangat cepat

mengkolonisasi lingkungan untuk berkembang biak dan mencari makanan, apabila

kondisi lingkungan untuk berkembang biak sudah tidak menunjang lagi maka

serangga ini dengan cepat bermigrasi ke tempat lain. Kutu beras menyerang produk

pertanian yang disimpan seperti tepung, sereal, polong-polongan, rempah-rempah,

pasta, adonan kue, pakan hewan (dalam bentuk kering). bunga (dalam bentuk

kering), coklat, kacang-kacangan, beberapa spesimen musium (dalam bentuk

kering), dan benih pertanian (Via, 1999)

T. castaneum memiliki siklus yang relatif pendek sehingga laju peningkatan

populasinya juga menjadi relatif cepat. Meskipun demikian, T. castaneum memiliki


mekanisme khusus untuk membatasi jumlahnya. Umumnya T. castaneum

membatasi populasinya melalui tingkah laku kanibalisme yang dilakukan oleh

serangga dewasa (imago) dan larva. Kanibalisme lebih sering terjadi pada butir

jagung yang masih utuh dibandingkan dengan pada butir retak atau yang berupa

tepung karena larva lebih sulit memakan butir utuh (Flinn dan Campbell 2012).

Saat ini upaya pengendalian populasi serangga gudang masih bertumpu pada

fumigasi dan penyemprotan insektisida kontak, karena cukup mudah dan hasilnya

cepat diketahui. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan serangga gudang

adalah metil bromida (CH3Br) dan fosfin (PH3). Kedua jenis fumigan ini dapat

digunakan secara bergiliran untuk memperlambat munculnya resistensi pada

serangga gudang. Namun sejak Protocol Montreal diberlakukan pada tahun 1995

penggunaan metil bromida dibatasi karena mengandung bahan kimia yang reaktif,

merubah sifat dari unsur-unsur beberapa bahan yang biasanya difumigasi, selain itu

juga berbahaya karena beracun dan dapat merusak lapisan ozon. Saat ini

satusatunya fumigan yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan gudang

adalah gas fosfin (ACIAR 1998).

Pengendalian preventif terhadap serangan hama ini dapat diupayakan dengan

cara menyimpan bahan dalam plastik yang kedap (tidak berlubang), ditutup rapat-

rapat, dan sesekali dijemur di bawah matahari (Setijo, 2007).

Pengendalian terhadap hamai di penyimpanan diarahkan pada penanganan

pasca panen yang baik. padi yang disimpan dalam keadaan kadar air yang masih

tinggi (lebih besar dari 14 persen) mudah terserang hama gudang seperti Tribolium
castaneum. Fumigasi juga dapat dilakukan jika telah ditemukan serangan hama

tersebut karena kerusakan yang ditimbulkan dapat menyebar dengan cepat

(Tjahjadi, 1989).

Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.

Pengendalian serangga T. castaneum yang sering dilakukan di gudang

penyimpanan beras yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan

kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi

(Haines 1991).

Banyaknya butir retak dan rusak merupakan faktor penting yang menentukan

keberhasilan T. castaneum dalam menyerang sorgum di penyimpanan (Utomo

2013). Siklus hidup T. castaneum relatif pendek sehingga laju peningkatan

populasinya juga menjadi relatif cepat. Meskipun demikian, T. castaneum memiliki

mekanisme khusus untuk membatasi jumlahnya. Umumnya T. castaneum

membatasi populasinya melalui tingkah laku kanibalisme yang dilakukan oleh

serangga dewasa (imago) dan larva (Flinn dan Campbell 2012). Kanibalisme lebih

sering terjadi pada butir jagung yang masih utuh dibandingkan dengan pada butir

retak atau yang berupa tepung karena larva lebih sulit memakan butir utuh
Utomo IM. 2013. Assessment of grain loss due to insect pest during storage

for smallscale farmers of Kebbi. IOSR J Agric Vet Sci. 3(5):38–50.

Flinn PW, Campbell JF. 2012. Effects of flour conditioning on cannibalism

Tribolium castaneum eggs and pupae. Environ Entomol. 41(6):1501–1504. DOI:

http:// dx.doi.org/10.1603/EN12222

Menurut Baldwin dan Fasulo (2004) morfologi kutu beras dewasa unyai

warna tubuh kemerah-merahan hingga coklat, bentuk antena memiliki lihan yang

dominan pada bagian ujung antena, memiliki bentuk kepala nampak jelas dilihat

dari, dan bagian belakang, pada bagian sudut, Memungkinkan untuk terbang pada

ketinggian tertentu, dan ounyai rumus tarsal 5-5-4. Menurut USDA (2006)

morfologi jantan betina sebutkan pada fase imago dan pupa. Perbedaan morfologi

jantan dan betina fase imago (dewasa) dari kutu dapat diperoleh tidak ada lubang

anterior femur (tulang paha) Pada jenis kelamin jantan terdapat libangluhan femur

anterior, akal 1/3 dari pangkal. Lubang ini akan tampak gelap dan tampgk seperti

dua kubah pasta tepung atau tepung.

Morfologi jantan betina kutu beras pada fase pupa lebih mudah dilakukan

dibanding pada fase imago (dewasta, hal ini terjadi pada fase pupa gerakan pindah

posisi yang sangat kecil terjadi. Pada fase imago (dewasa), diperlukan perawatan

seperti dengan es blok agar tidak ada gerakan selama identifikasi jenis kelamin.

Morfologi jenis kelamin betina pada fase pupa kutu beras, ditandai dengan bentuk

urogomphi (sepasang tonjolan berwama gelap pada ujung perut) lebih besar

dibundingkan pada jenis kelamin jantan dan pada jenis kelamin terdapat papillae
(kelebihan tonjolan yang berada di atas urogomphi) di atas urogomphi pada ujung

perut (USDA, 2006).

Klasifikasi

habitat Kutu beras ada dalam jumlah yang besar pada biji-bijian yang rusak,

tetapi tidak mungkin menyerang atau merusak biji-bijian yang masih bagus. Kutu

beras dewasa tertark pada cahaya, tetapi akan segera pergi jika merasa terganggu.

Serangga ini tidak hanya ditemukan pada produk yang terinfeksi, tetapi juga ada

dalam celah dan retakan dimana biji-bijian tersimpan. Kutu beras tertarik pada biji-

bijian yang mengandung kelembaban relatif tinggi, dapat menyebabkan warna

kelabu pada biji-bijian yang dinfeksi, menyebabkan bau kurang enak, serta

keberadaannya menyebabkan pertumbuhan kapang dalam biji-bijian yang

terinfeksi (Baldwin dan Fasulo, 2004)

Berbagai aspek kehidupan kutu beras dipengaruhi oleh kondisi fisik dari

lingkungan dimana kutu beras tersebut hidup. Beberapa faktor fisik dan lingkungan

yang mempengaruhi kehidupan kutu beras lain: suhu, kelembaban relatif dan kadar

air dari bahan yang disimpan. Jika suhu naik sampai titik optimum maka tingkat

pertumbuhan kutu beras secara individu meningkat, aktivitas bertambah, mortalitas

menurun dan akhirnya tingkat pertumbuhan populasi kutu beras juga meningkat.

Suhu optimum untuk pertumbuhan kutu beras di daerah tropik 25-35 °C. Faktor

biotis juga mempengaruhi kehidupan kutu beras yaitu hubungan antara organisme

yang hidup dalam ekosistem penyimpanan. Faktor biotis dan lingkungan sangat

mempengaruhi keragaman dan kepadatan populasi kutu beras dalam sistem

penyimpanan (Syarief dan Halid, 1990)


Kutu beras adalah serangga yang sangat aktif dan sangat cepat

mengkolonisasi lingkungan untuk berkembang biak dan mencari makanan, apabila

kondisi lingkungan untuk berkembang biak sudah tidak menunjang lagi maka

serangga ini dengan cepat bermigrasi ke tempat lain. Kutu beras menyerang produk

pertanian yang disimpan seperti tepung, sereal, polong-polongan, rempah-rempah,

pasta, adonan kue, pakan hewan (dalam bentuk kering). bunga (dalam bentuk

kering), coklat, kacang-kacangan, beberapa spesimen musium (dalam bentuk

kering), dan benih pertanian (Via, 1999)

Kutu beras memiliki bagian mulut untuk mengunyah, tetapi tidak untuk

menyengat. Kutu beras memiliki respon yang sangat peka, sehingga susah diketahui

distribusinya. Selain itu, serangga ini tidak merusak wadah dan media yang

ditempati. Serangga ini juga merupakan dua serangga penting yang menyerang

komoditas pertanian, baik yang disimpan dalam rumah atau gudang penjual

komoditas pertanian (Alanko et al, 2000).

Siklus Hidup

Kutu beras memiliki tahap metamorfosa lengkap dari fase telur, fase larva,

fase pupa sampai fase imago (dewasa). Kutu beras betina bertelur diantara butir-

butir komoditas pertanian yang diserangnya. Kutu beras betina mampu bertelur

400-500 butir. Morfologi telur kutu beras memiliki bentuk yang mikroskopik,

memanjang berbentuk oval, panjangnya 0,6x0,4 mm dan berwarna keputih-putihan.

Pada kondisi optimal, perkembangan dari telur sampai imago (dewasa) hanya

mengharuskan 20 hari Brown (et al, 2006).


Telur diletakkan pada tepung atau produk pertanian lainnya, di daerah tropis

telur akan menetas selama 3 hari. Larva bentuk silindrik dan memanjang dengan

warna kuning keputihan sampai coklat muda. Larva instar (proses pergantian kulit

paling lama 1,1 mm dan pada saat instar terakhir kurang lebih seragam dalam

ukurannya yaitu 6,6 mm. Larva kutu beras memiliki sepasang tonjolan berwarma

gelap (urogomphi) pada ujung perut (Sokollof, 1974).

Ukuran pupa kutu beras memiliki panjang 3,4 mm dan lebar 1,14 mm,

sedangkan umur pupa tidak bisa dipengaruhi oleh kelembaban udara tapi sangat

dipengaruhi oleh suhu. Umur terpendek dari stadium pupa adalah 3,9 hari pada suhu

s7,5 oC dan 4,4 hari pada suhu 32 ° C Pada suhu yang lebih rendah umur pupa

menjadi lama yaitu 5,5 hari pada suhu 30 C dan 13,4 hari pada suhu 22,5 c. Imago

berwarna merah coklat menekilat. Panjng tubuh berkisar 2,3-4,4 mm (Sokollof,

1974).

Saat ini upaya pengendalian populasi serangga gudang masih bertumpu pada

fumigasi dan penyemprotan insektisida kontak, karena cukup mudah dan hasilnya

cepat diketahui. Fumigan yang efektif untuk mengendalikan serangga gudang

adalah metil bromida (CH3Br) dan fosfin (PH3). Kedua jenis fumigan ini dapat

digunakan secara bergiliran untuk memperlambat munculnya resistensi pada

serangga gudang. Namun sejak Protocol Montreal diberlakukan pada tahun 1995

penggunaan metil bromida dibatasi karena mengandung bahan kimia yang reaktif,

merubah sifat dari unsur-unsur beberapa bahan yang biasanya difumigasi, selain itu

juga berbahaya karena beracun dan dapat merusak lapisan ozon. Saat ini
satusatunya fumigan yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangan gudang

adalah gas fosfin (ACIAR 1998).

Pengendalian serangga T. castaneum yang sering dilakukan di gudang

penyimpanan beras yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara, dan

kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dilakukan dengan cara fumigasi.

Anda mungkin juga menyukai