Anda di halaman 1dari 6

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Penyakit jantung rematik merupakan penyakit jantung sebagai akibat

adanya gejala sisa (sekuele) dari DR. Puncak kejadian PJR adalah pada

dekade ketiga dan keempat. Pada kasus ini Ny. S terdiagnosis penyakit PJR

atau RHD saat berumur 48 tahun, kasus ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Parnaby dan Carapertis pada penduduk asli Australia di Australia

bagian utara dan tengah pada tahun 2010, dimana angka kejadian PJR yang

tinggi adalah pada rentang usia 15 hingga 45 tahun, dengan puncak kejadian

PJR pada usia 35-48 tahun, yaitu 31,9 per 1000 penduduk.

Berdasarkan penelitian pada penduduk pribumi di wilayah Australia

utara yang menderita PJR pada tahun 2010 didapatkan angka kejadian PJR

lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan

1,9:1 yang juga sesuai dengan kasus Ny. S. Namun, berdasarkan penelitian

terkini di negara berkembang, memperlihatkan hubungan yang tidak

konsisten antara jenis kelamin dan PJR. Beberapa penelitian dari Asia

Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara memperlihatkan PJR lebih sering

mengenai perempuan.

Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan faktor risiko

terjadinya DR dan PJR dimana berkaitan dengan kesadaran akan penyakit,

pencegahan, dan pengobatan. Berdasarkan pendidikan, didapatkan Ny. S

memiliki SLTP/sederajat. Kasus ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Melani di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 yaitu proporsi
penderita PJR yang tertinggi adalah yang berpendidikan SD/sederajat dan

SLTP/sederajat yaitu 33,3% dan yang terendah adalah berpendidikan

Akademi/PT sebesar 1,9%.

Daerah asal Ny. S termasuk daerah pedesaan atau kampung

disimpulkan bahwa pasien berasal dari daerah rural. Hal ini berkaitan dengan

faktor risiko terjadinya DR dan PJR yaitu faktor lingkungan yang buruk.

Dimana hal ini berhubungan dengan tingginya angka penyebaran dari bakteri

SGA sehingga meningkatkan angka kejadian DR dan PJR. Penelitian ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan Parnaby dan Carapertis pada

penduduk asli Australia di Australia bagian utara dan tengah pada tahun 2010,

didapatkan PJR merupakan masalah utama pada seluruh penduduk asli yang

tinggal didaerah rural (pedesaan) dan daerah terpencil. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan di Pakistan pada tahun 2004, ditemukan 500.000

pasien dengan PJR dari 88 juta penduduk Pakistan yang tinggal didaerah rural

(pedesaan).

Keluhan utama Ny. S adalah sesak napas. Hasil pengkajian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Melani di RSUP H. Adam Malik

Medan tahun 2009 dimana sesak napas dikeluhkan oleh 89,5% sampel.

Didapatkan pada Ny.S irama jantung irreguler, murmur sistolik grade III/IV

pada apex menjalar ke axila S1S2 irreguler pada hasil auskultasi jantung.

Pasien dengan penyakit kardiopulmonal secara umum mengalami gangguan

pernapasan, yang dikeluhkan sebagai sesak napas. Sebagian besar pasien

dengan disfungsi ventrikel kiri mengeluhkan sesak napas walaupun belum

terjadi gagal jantung. Kebanyakan pasien dengan gangguan ventrikel kiri


memiliki respon ventilasi yang berlebihan terhadap latihan. Secara umum

pasien PJR mengalami gangguang fungsi jantung, dimana hal ini diakibatkan

oleh kelainan pada katup jantung dan akibat kompensasi jantung sehingga

terjadi sesak napas.

Hasil EKG didapatkan irama atrium fibrilasi (AF) pada ventrikel kanan

dan terdapat multiple kontraksi ventrikel premature (PVC). PVC terjadi saat

denyut jantung tambahan tidak normal dalam ventrikel yang menyebabkan

irama detak jantung yang terlalu dini. Pemeriksaan EKG pada pasien PJR

tidak memberikan gambaran yang spesifik, hanya dapat menilai adanya

pembesaran atrium atau ventrikel kiri. Ventrikel kiri melebar untuk memberi

tempat pada darah regurgitan dan darah dari vena pulmonalis. Pada pasien

PJR yang disertai AF risiko terjadinya stroke meningkat menjadi 17 kali lipat

dibandingkan pada pasien AF tanpa PJR. Hasil Echocardiografi didapatkan

MS critical (MVA by planimetry 0,4 cm2 ; mva (VT1) 0,5 cm2 ; MVA mean

PHT 0,4 m2 ; Mean PG 25,98 mmHg ; mean MV PHT 494 MS Klillers score

2-3x33, Tampak restriktif molion katub AML dan IML dengan MR sedang

(MR ERP 0,4cm2; MR RV 40 cm2), carpentier type III A, TR berat (TR max

PG 82,47 mmHg). Secara teoritis, dikatakan bahwa lesi katup mitral

merupakan yang paling sering terjadi pada PJR, yaitu kira-kira tiga perempat

dari keseluruhan pasien PJR.

Asuhan keperawatan pada pasien Ny. S, didapatkan 3 diagnosa

keperawatan yakni :

1. Penurunan curah jantung b.d adanyan gangguan pada pembukaan katup


mitral d.d sesak napas,cepat lelah, badan terasa lemah, S1 S2 irreguler,
suara jantung murmur sistolik, kardiomegali.
Penurunan cardiac output merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak
dapat memompa darah secara edekuat yang diperlukan untuk dimanifestasikan
secara luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ tubuh (perfusi
rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh (Nanda, 2018).
Manifestasi klinis yang biasanya timbul akibat penurunan curah jantung adalah
pusing, dispnea, kelelahan, murmur jantung, perubahan EKG, tidak toleran
terhadap kelelahan, ekstremitas dingin dan haluaran urin berkurang (oliguri),
takikardia atau bradikardia. Manifestasi tersebut muncul di dalam pemeriksaan
yang telah dilakukan pada klien yaitu tidak toleran terhadap kelelahan, dispnea,
murmur jantung, perubahan EKG, dan bradikardia sehingga dapat ditegakkan
diagnosa penurunan cardiac output. Intervensi yang dilakukan adalah cardiac care
atau perawatan jantung. Tujuan dari setiap intervensi pada dasarnya adalah untuk
mengembalikan fungsi jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa penurunan cardiac output
adalah auskultasi bunyi jantung. Tindakan ini sangat penting karena menurut
Smeltzer (2002), jantung diauskultasi mengenai adanya bunyi jantung S3 dan S4.
Adanya tanda tersebut berarti bahwa pompa mulai mengalami kegagalan, dan pada
setiap denyutan, darah yang tersisa di dalam ventrikel semakin banyak. Frekuensi
dan irama juga harus dicatat. Frekuensi yang terlalu cepat menunjukkan bahwa
ventrikel membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk pengisian, serta terdapat
stagnasi darah yang terjadi di atrium dan akhirnya juga di paru. Implementasi
selanjutnya yaitu mengobservasi gambaran ECG dan foto thorax. Adanya depresi
segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadai karena peningkatan kebutuhan
oksigen miokard meskipun tak ada penyakit arteri koroner. Foto dada dapat
menunjukkan pembesaran jantung dan perubahan kongesti pulmonal. Implementasi
selanutnya adalah monitoring intake dan output. Tindakan ini sangat penting karena
tujuannya adalah untuk mempertahankan atau mengembalikan volume cairan
ekstravaskuler yang bersirkulasi. Selain mengobati penyebab, pilihan pengobatan
lain mungkin termasuk terapi diuretik, pembatasan cairan dan natrium dapat
mengurangi peningkatan udema ekstremitas. Memberikan terapi obat furosemid
merupakan implementasi untuk diagnosa kelebihan volume cairan, hal ini sesuai
dengan (Rampengan, 2007) yang menyatakan bahwa pemakaian obat loop deuretik
(furosemid, bumelanide, torasemide) intravena dapat menurunkan dilatasi vena dan
deuresis, namun dapat merangsang aktifasi neurohormon dan sistem saraf simpatis.
Karena diuretik memiliki efek anti hipertensi dengan meningkatkan pelepasan air
dan garam natrium sehingga menyebabkan penurunan volume cairan dan
merendahkan tekanan darah.
2. Gangguan pertukaran gas b.d ganguan fungsi alveoli d.d sesak napas,
ortopnea, effuse pleura dextra, ronkhi, pH 7.48, pCO2 55, BE 2.4
Gangguan pertukaran gas adalah suatu keadaan dimana kelebihan atau
kekurangan dalam kebutuhan oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida di dalam
membran kapiler alveoli (Nanda, 2009). Manifestasi klinis yang biasa terjadi pada
diagnosa ini meliputi dispnea, batuk, dan mudah lelah (Smeltzer, 2003). Diagnosa
yang ditegakkan sesuai dengan data yang telah diperoleh yaitu, klien sesak nafas,
orthopnea, hasil AGD abnormal, suara ronkhi sepertiga basal paru kanan. Intervensi
yang dilakukan adalah pemantauan respirasi. Intervensi ini memilki rasional untuk
mengetahui status ventilasi pasien sehingga dapat diambil tindakan dalam
memenuhi kebutuhan oksigen pada klien.
Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa gangguan pertukaran gas yaitu
pemberian oksigen, mengobservasi gambaran ECG, mengobservasi tanda status
respiratori klien dan pemeriksaan analisa gas darah (AGD). Dimana pemeriksaan
AGD digunakan untuk mengidentifikasi gangguan asam basa spesifik dan tingkat
kompensasi yang telah terjadi. Dan menurut hasil yang telah didapat, klien
mengalami alkalosis respiratorik tidak terkompensasi, dimana menurut Smeltzer
(2002), ini adalah suatu kondisi akibat dari tidak edekuatnya ekskresi karbon
dioksida dengan tidak edekuatnya ventilasi sehingga mengakibatkan kenaikan
kadar karbon dioksida plasma. Alkalosis respiratorik akut merupakan kondisi
kedaruratan. Pengobatan diarahkan untuk memperbaiki ventilasi, yaitu dengan
pemberian O2 atau ventilator bila diperlukan.
3. Intoleransi aktivitas b.d penurunan curah jantung d.d badan lemah, sesak
napas, cepat lelah saat berubah posisi, ADL dibantu, akral dingin.
Menurut Nanda (2018), intoleransi aktifitas adalah ketidakcukupan energi
secara fisiologis maupun psikologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktifitas
sehari-hari. Dalam hal ini, klien menunjukkan tanda dan gejala yaitu mengatakan
sesak meskipun tirah baring, dispnea, gambaran EKG abnormal, nafas cepat, Rr =
24x/menit.
Intervensi yang diberikan ialah managemen energi dan terapi aktifitas yang
berfungsi untuk meningkatkan kemampuan fisik dalam beraktifitas. Bedrest total
adalah salah satu implementasi yang dilakukan pada diagnosa intoleransi aktifitas.
Menurut Smeltzer (2003), istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan
tenaga cadangan jantung dan menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga
akan merangsang deuresis karena berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal.
Istirahat juga akan mengurangi kerja otot pernafasan dan penggunaan oksigen.
Frekuensi jantung menurun, yang akan memperpanjang periode pemulihan
sehingga memperbaiki efisiensi kontraktilitas jantung. Akan tetapi bedrest tidak
dilakukan karena pada hasil pemeriksaan thorax AP ditemukan adanya efusi pleura
yang dimana sesak akan bertambah jika pasien melakukan bedrest.
Evaluasi dilakukan setiap hari setelah semua implementasi dilakukan.
Berdasarkan implementasi yang sudah dilakukan, kondisi pasien mengalami
peningkatan. Hal ini terlihat dari keadaan umum, tanda vital yang mulai membaik
setelah pemberian tindakan keperawatan. Evaluasi terakhir dilakukan pada tanggal
11 April 2019 dimana masalah keperawatan teratasi.

Anda mungkin juga menyukai