Anda di halaman 1dari 31

RINGKASAN MATERI KULIAH SAP IV

PERPAJAKAN II
EKA 321 A3 R.IA 3.7
TANGGAL 5 OKTOBER 2017

OLEH:
KELOMPOK 5

1. NI NENGAH WITRI ASTITI (1607531049) / 11


2. PUTU AYU PRAMESTI (1607531050) / 12
3. ALFIAN NURWANTO PUTRA (1607531056) / 13

AKUNTANSI REGULER
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA

1
A. Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22, 23,
dan 4(2)
 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 1)
disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan
Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus
disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan
ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran
pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea
Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22 atas impor
harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan
ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke bank persepsi
atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan
ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi
atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 4
) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke bank persepsi
atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah (Lihat Pemungut dan Objek

2
PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank persepsi
atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal
10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Pemungut wajib
menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan
Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat
paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22 bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau
pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23


Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran
PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan.
Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti
pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan salam suatu masa
pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan
PPh Pasal 23 yang telah dilakukan. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23.
1. Penghitungan PPh Pasal 23 terutang menggunakan jumlah bruto tidak termasuk
PPN
Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 23:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan
hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal
3
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
b. bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMD, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% ( dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor;
c. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
d. SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
e. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau
pembiayaan.
2. Cara Menghitung PPh Pasal 23
Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Dividen

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Bunga, Termasuk Premium, Diskonto, dan
Imbalan Karena Jaminan Pengembalian Utang

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Royalti

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Hadiah, penghargaan, Bonus, dan


Sejenisnya

PPh Pasal 23 = 15% x Bruto

Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan
Dengan Penggunakan Harta

PPh Pasal 23 = 2% x Bruto

4
Cara Menghitung PPh Pasal 23 Atas Imbalan Sehubungan Dengan Jasa Teknik,
Jasa Manajemen, Jasa Kontruksi, jasa Konsultan dan Jasa Lain

PPh Pasal 23 = 2% x Bruto


3. Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh
Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau
penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari
libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan
Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran
pajak.
4. Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal
23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan
atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini
adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan
dikreditkan dalam SPT Tahunannya.
Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan
pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini
dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
5
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling
lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan
PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling
lambat tanggal 20 Nopember 2010.
Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk
hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti
bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
5. Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 23
1. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan
untuk dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
3. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat
20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 23
bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
 Tata Cara Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat 2
Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2 dan Perhitungannya
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 adalah salah satu jenis pajak atas penghasilan
dengan beberapa ketentuan spesifik mulai dari objek pajak, pemotong pajak sampai subjek
pajak yang bisa dikenakan pajak tersebut. Pemotongan pajak dalam PPh Pasal 4 Ayat 2
bersifat final. Artinya, pajak harus diselesaikan atau dilunasi dalam masa pajak yang sama.
Yang menjadi pemotong PPh Pasal 4 Ayat 2 seperti yang telah diatur dalam ketentuan
adalah koperasi, penyelenggara kegiatan, otoritas bursa, dan bendaharawan. Sementara yang
menjadi penerima penghasilan yang wajib membayar PPh Pasal 4 Ayat 2 adalah penerima
bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan
yang dibayarkan koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi. Selain itu, penerima hadiah
undian, penjual saham dan sekuritas lainnya, serta pemilik properti berupa tanah dan/atau
bangunan juga wajib menyetor PPh Pasal 4 Ayat 2.

6
Ada ketentuan khusus yang mengatur PPH Pasal 4 Ayat 2 terkait dengan sistem
pemotongannya yang bersifat final. Bagi pengusaha, omzet terkait transaksi yang dikenakan
PPh Pasal 4 Ayat 2 tidak boleh dimasukkan dalam omzet usaha. Namun, dimasukkan dalam
omzet penghasilan yang telah dipotong PPh Final. Untuk lebih jelasnya, uraian berikut ini
akan menerangkannya lebih lanjut kepada Anda.
Penghasilan yang Menjadi Objek Pajak PPh Pasal 4 Ayat 2
Menurut ketentuan, PPh Pasal 4 ayat 2 dikenakan atas penghasilan sebagai berikut:
1. Penghasilan dalam bentuk bunga deposito serta tabungan lainnya, bunga obligasi serta
surat utang negara, dan juga bunga simpanan yang telah dibayarkan oleh koperasi ke
anggota koperasi orang pribadi.
2. Penghasilan berupa hadiah undian.
3. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi saham serta sekuritas lainnya, transaksi
derivatif yang diperdagangkan pada bursa, dan juga transaksi penjualan saham
ataupun pengalihan penyertaan modal di perusahaan pasangannya yang telah diterima
oleh perusahaan modal ventura.
4. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi pengalihan harta, yakni dalam bentuk tanah
dan/atau bangunan, usaha real estate, usaha jasa konstruksi, dan juga penyewaan
tanah dan/atau bangunan.
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang telah diatur dengan ataupun berdasarkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Ketentuan PPh Pasal 4 ayat 2
Jika itu adalah transaksi antara perusahaan dan individu, Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 4 Ayat 2 ditanggung penerima penghasilan yang dalam hal ini adalah perusahaan. Lain
halnya jika itu adalah transaksi yang melibatkan dua perusahaan. Pembayar (perusahaan yang
satu) diharuskan untuk mengumpulkan dan menyelesaikan pajak. Sementara penerima
(perusahaan yang lain) bebas dari kewajiban PPh Pasal 4 Ayat 2.
Berdasarkan ketentuan, penghasilan terdiri dari penghasilan sebagai objek pajak dan
penghasilan yang bukan objek pajak. Ada dua cara yang digunakan untuk pengenaan PPh
atas penghasilan yang sebagai objek pajak. Yang pertama, PPh secara umum dikenakan
dengan memakai tarif umum (tarif Pasal 17) dan pengenaannya tersebut dimasukkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Sementara yang kedua adalah dikenakan PPh yang
bersifat final.
Pengenaan PPh yang bersifat final berarti penghasilan yang diterima ataupun
diperoleh akan dikenakan PPh dalam tarif tertentu. PPh yang dikenakan, baik itu yang
7
dipotong pihak lain maupun yang sudah disetor sendiri, bukanlah pembayaran di muka atas
PPh terutang, melainkan sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan itu.
Berdasarkan hal tersebut, penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak akan
dihitung PPh-nya pada SPT lagi untuk dikenakan tarif umum bersamaan dengan penghasilan
lainnya. Begitu pula, PPh yang telah dipotong ataupun dibayar tersebut juga bukanlah kredit
pajak pada SPT.
Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2
Ada berbagai macam jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 Ayat 2. Setiap
penghasilan mempunyai tarif yang berbeda-beda dan diatur di dalam Peraturan Pemerintah
(PP). Di bawah ini akan dijelaskan berbagai objek pajak dengan tarifnya masing-masing yang
telah diatur Pemerintah.
1. Bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
diskon jasa giro dikenakan tarif sebesar 20% sebagaimana telah diatur PP No. 131
Tahun 2000 serta turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001.
2. Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para anggotanya masing-masing
dikenakan tarif 10% sebagaimana telah diatur pada Pasal 17 Ayat 7 serta turunannya
PP No. 15 Tahun 2009.
3. Bunga dari kewajiban dengan berbagai jenis tarif dari 0-20%. Penjelasan lebih
lanjutnya bisa dicari dalam PP No. 16 Tahun 2009.
4. Dividen yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan tarif 10%
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 Ayat 2C.
5. Hadiah lotre atau undian dikenakan tarif 25% sebagaimana telah diatur PP No. 132
Tahun 2000.
6. Transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di bursa dikenakan
tarif 2,5% sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.
7. Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri (non-founder), tarifnya
masing-masing adalah 0,5% dan 0,1%, seperti yang tercantum dalam PP No. 14
Tahun 1997 serta turunannya Keputusan Menteri Keuangan No. 282/KMK.04/1997,
yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.
8. Jasa konstruksi dikenakan tarif 2-6%. Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan pada
PP No. 51 Tahun 2008 serta turunannya PP No. 40 Tahun 2009.
9. Sewa atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 10% seperti yang telah diatur PP
No. 29 Tahun 1996 dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.

8
10. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (dalam hal ini termasuk usaha real
estate), tarifnya adalah 5% seperti yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008.
11. Transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang telah
diterima oleh modal usaha, tarifnya adalah 0,1% sebagaimana telah diatur di dalam
PP No. 4 Tahun 1995.
Perhitungan PPh Pasal 4 Ayat 2
Berikut ini kami sajikan ilustrasi contoh perhitungan PPh Pasal 4 ayat 2:
Inspektorat Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan melakukan sebuah pembangunan gedung
Kantor Inspektorat Provinsi. Yang menjadi pemenang tender adalah PT Sehat Sejahtera
sebagai pelaksana konstruksi. Sementara Tuan Imam sebagai pengusaha yang statusnya
Pengusaha Kena Pajak (PKP) bertindak sebagai perencana konstruksi.
PT Sehat Sejahtera merupakan perusahaan konstruksi yang mempunyai kualifikasi dalam
usaha kelas menengah. Sementara Tuan Imam merupakan konsultan sipil yang mempunyai
sertifikasi dalam perencanaan konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil. Nilai dari proyek
berdasarkan kontrak sebesar Rp5.000.000.000 (tidak termasuk PPN).
Pembayaran dilakukan berdasarkan progres pembangunan yang sudah dilaporkan. Pada 2014,
telah dilakukan pembayaran terhadap pelaksanaan konstruksi kepada PT Sehat Sejahtera
tertanggal 22 Juli 2014 dengan jumlah Rp1.500.000.000 atas tagihan tanggal 15 Juli 2014
dengan kode nomor Faktur Pajak 020.000-15.00000650. Pembayaran untuk kontrak
perencanaan konstruksi ke Tuan Imam dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2014 dengan jumlah
Rp50.000.000, atas tagihan tanggal 4 Juli 2014 kode nomor seri Faktur Pajak 020.000-
15.00000950.
Berdasarkan keterangan di atas, kewajiban pajak yang harus dipenuhi adalah:
Pemotongan/Pemungutan PPh
Bendahara Inspektorat Provinsi memotong PPh Pasal 4 Ayat 2 atas jasa konstruksi, yaitu:
1. Pelaksanaan Konstruksi PT Sehat Sejahtera dibayar pada 22 Juli 2014:
Rp1.500.000.000 x 3% = Rp45.000.000
2. Perencanaan Konstruksi oleh Tuan Imam yang dibayar pada 5 Juli
2014: Rp50.000.000 x 4% = Rp2.000.000
Pemungutan PPN
Bendahara Inspektorat Provinsi mengambil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari
transaksi jasa konstruksi tersebut.
1. Pelaksanaan Konstruksi oleh PT Sehat Sejahtera dibayar pada 22 Juli
2014: Rp1.500.000.000 x 10% = Rp150.000.000
9
2. Perencanaan Konstruksi oleh Tuan Imam dibayar pada 5 Juli 2014: Rp50.000.000 x
10% = Rp5.000.000
Tata Cara Pelaporan dan Penyetoran PPh Pasal 4 Ayat 2 (PPh yang bersifat final)
Berikut ini adalah penjelasan tentang saat terutang, pelaporan, dan penyetoran PPh Final :
 PPh Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto SBI
Pengertian
- Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dipotong Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.
- Termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan
di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
cabang bank luar negeri di Indonesia.
Objek dan Tarif
Atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dikenakan PPh final sebesar:
a. 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
b. 20% (duapuluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
Pemotong PPh
Pemotong PPh atas bunga deposito dan tabungan serta diskonto adalah :
- Bank Pembayar Bunga;
- Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan Bank yang menjual kembali
sertifikat Bl (SBI) kepada pihak lain yang bukan dana pensiun yang pendiriannya belum
disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib memotong PPh atau diskonto SBI
tersebut.
Dikecualikan dari Pemotongan PPh
1. Jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000 (tujuh
juta lima ratus ribu rupiah) dan bukan merupakan Jumlah yang dipecah pecah.
2. Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang Bank luar negeri di Indonesia.
3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 Undang-
undang 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan Surat Keterangan

10
Bebas (SKB), yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat dana pensiun
terdaftar.
4. Bunga tabungan pada Bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pemilikan
Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana; kavling siap bangun untuk Rumah
Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana atau Rumah Susun Sederhana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. Ketentuan pada butir 3 dan 4 diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri terkait.
Lain-lain :
Orang pribadi subyek pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam satu tahun
pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, atas pajak
yang telah dipotong, dapat mengajukan permohonan pengembalian (Restitusi).

 Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan Penghargaan

Pengertian
 Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
melalui undian.
 Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan
melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
 Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya adalah hadiah
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
 Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi dalam
kegiatan tertentu.
Pemotong PPh
Pemotong Pajak Penghasilan (PPh) adalah:
- penyelenggara undian;
- pemberi hadiah
Tarif
 Atas hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% (duapuluh lima persen) dari jumlah
bruto hadiah atau nilai pasar hadiah berupa natura dan bersifat final.
 Atas hadiah atau penghargaan, perlombaan, penghargaan dan hadiah sehubungan
dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, dikenakan PPh dengan ketentuan sebagai
berikut:

11
a. dikenakan PPh pasal 21 sebesar tarif PPh pasal 17 Undang-undang PPh, bila
penerima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
b. dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan final dari jumlah
bruto dengan memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku, bila penerima Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT.
c. dikenakan PPh pasal 23 sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah penghasilan
bruto, bila penerima Wajib Pajak badan termasuk BUT.

Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Saat terutang
 PPh atas hadiah dan penghargaan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau diserahkannya hadiah tergantung peristiwa yang terjadi lebih dahulu.
 PPh dipotong oleh penyelenggara (hadiah dan penghargaan) sebelum hadiah atau
penghargaan diserahkan kepada yang berhak.
 Penyelenggara wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh atas Hadiah
atau Undian, rangkap 3:
- lembar ke-1 untuk penerima hadiah (Wajib Pajak);
- lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar ke-3 untuk Penyelenggara/ Pemotong.
2. Penyetoran dan Pelaporan
Penyelenggara undian atau penghargaan wajib:
- menyetor PPh yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Bank
Persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan
saat terutangnya Pajak (secara kolektif).
- menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemotong terdaftar paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah
dibayarkannya atau diserahkannya hadiah undian tersebut.
Lain-lain
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh adalah hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau
konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir
pada saat pembelian barang atau jasa.

12
 Pajak Penghasilan Atas Sewa Tanah Bangunan

Pengertian
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
Persewaan tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri,
terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Objek dan Tarif
Atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan PPh final
sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan
atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun jug yang berkaitan
dengan tanah dan/atau bangunan yang disewakan termasuk biaya perawatan, biaya
pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan “service charge” baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
Pemotong PPh
Pemotong PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan tanah dan/atau bangunan
adalah :
1. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan, dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilian
perusahaan luar negeri lainnya dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa
dan penyewa wajib memberikan bukti potong (formulir F.1.33.12) kepada yang
menyewakan atau yang menerima penghasilan ;
2. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan selain
yang tersebut pada butir 1 di atas, maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib
dibayar sendiri oleh pihak yang menyewakan
Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan
1. Saat terutang
PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan terutang pada saat
pembayaran atau terutangnya sewa.
2. Penyetoran dan Pelaporan
 Dalam hal PPh terutang harus dilunasi melalui pemotongan oleh penyewa,
penyetoran ke bank persepsi dan Kantor Pos selambat-lambatnya tanggal 10
13
bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau formulir F.2.0.32.01. Untuk
pelaporan pemotongan dan penyetorannya dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak
selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutny setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2) atau
formulir F.1.1.32.04;
 Dalam hal PPh terutang harus disetor sendiri oleh yang menyewakan, maka yang
menyewakan wajib menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau formulir
F.2.0.32.01. Untuk pelaporan penyetorannya dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran
atau terutangnya sewa dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2) atau
formulir F.1.1.32.04.
Apabila wajib pajak atas penghasilannya telah dipotong final maka :
3. Atas penghasilan tersebut tidak perlu dihitung lagi dalam SPT Tahunan (Badan atau
Orang Pribadi), hanya dilaporkan saja. Sehingga apabila seluruh penghasilannya
merupakan penghasilan bersifat final maka tidak ada PPh terutang atau SPT Nihil.
4. Apabila PPh yang bersifat final dipotong pihak lain, maka berhak meminta bukti
pemotongannya.

B. Penyusunan SPT Masa PPh Pasal 22, 23, dan (4) 2


SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) merupakan dokumen untuk melaporkan pajak badan
bulanan. Berikut ini adalah uraian jenis-jenis SPT Masa PPh, tengat waktu pembayaran
dan pelaporannya.
SPT Masa PPh merupakan dokumen yang digunakan untuk melapor pajak yang dipungut
dari hasil pendapatan ekonomi wajib pajak dan dilaporkan pada setiap masa pajak (setiap
bulan).
SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) merupakan dokumen untuk melaporkan pajak badan
bulanan. Berikut ini adalah uraian jenis-jenis SPT Masa PPh, tengat waktu pembayaran
dan pelaporannya.

14
SPT Masa PPh merupakan dokumen yang digunakan untuk melaporkan pajak yang
dipungut dari hasil pendapatan ekonomi wajib pajak dan dilaporkan pada setiap masa
pajak (setiap bulan).

 Penyusunan SPT masa PPh Pasal 22.


Seperti juga di SPT Masa PPh Pasal 23, kolom tarif di SPT Masa PPh Pasal 22
juga ditiadakan. Pada bagian jenis objek pajaknya, perubahannya adalah
dihilangkannya penghasilan distributor rokok karena pengenaan pajaknya tidak lagi
melalui pemotongan/pemungutan PPh Pasal 22 serta munculnya objek pajak baru
berupa penjualan barang sangat mewah yang merupakan bagian dari perubahan
Undang-undang Pajak Penghasilan.

Objek pajak di angka 6 : Penjualan Migas oleh Pertamina/Badan Usaha


Pertamina. Frasa ini seharusnya sudah berubah menjadi : Produsen atau importir
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan
pelumas seiring dengan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.03/2001 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat
Dan Besarnya Pungutan Serta Tata Cara Penyetoran Dan Pelaporannya, oleh
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007.

15
16
17
18
 Penyusunan SPT masa PPh Pasal 23

Dasar Hukum Bentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 23/26

Bentuk formulir SPT Masa PPh Pasal 23 diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-42/PJ/2008 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-108/PJ.1/1996 Tentang Bentuk Formulir Pemotongan/Pemungutan
Pajak Penghasilan.

Isi Dari SPT Masa PPh Pasal 23

Pada dasarnya SPT ini adalah untuk mempertanggungjawabkan kewajiban pemotongan


PPh Pasal 23yang terjadi dalam suatu bulan. Jika dalam suatu masa pajak tidak ada objek
pemotongan PPh Pasal 23 maka SPT Masa PPh Pasal 23 ini tidak perlu dilakukan.

SPT Masa ini dibuat dua rangkap, satu untuk dilaporkan ke KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar dan satu lagi untuk arsip Wajib Pajak sendiri.

Isi dari formulir induk SPT Masa ini adalah mencerminkan objek PPh Pasal 23 dan PPh
Pasal 26 dengan disajikan pula tarifnya dalam suatu kolom sendiri. Disajikan pula kode
MAP dan KJS untuk setiap objek pajak sehingga memudahkan Wajib Pajak untuk
menyetor PPh Pasal 23 untuk objek-objek pajak terkait.

Namun demikian, kalau kita perhatikan, ada beberapa bagian dalam formulir ini yang
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian. Misal, adanya kolom perkiraan
penghasilan neto yang semestinya sekarang sudah tidak ada lagi. Begitu pula
dicantumkannya dasar hukum jasa-jasa lain yang sudah tidak berlaku lagi sekarang ini.
Ada juga objek pajak berupa bunga simpanan koperasi yang sekarang bukan lagi objek
Pph pasal 23 tetapi objek PPh Pasal 4 ayat (2).

Namun demikian, formulir ini masih tetap bisa dipakai dengan penyesuaian-penyesuaian
tentunya karena belum ada perubahan terhadap PER-42/PJ/2008 ini kecuali untuk SPT
Masa PPh Pasal 21 yang sudah diatur dengan PER-32/PJ/2009.

Lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26

19
Lampiran yang harus ada adalah Surat Setoran Pajak lembar ke tiga, daftar bukti
pemotongan serta bukti potong PPh Pasal 23/26. Lampiran surat kuasa diperlukan jika
SPT Masa ditandatangani oleh kuasa. Jika melakukan penerapan tarif PPh Pasal 26
berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), maka wajib dilampirkan
legalisasi Surat Keterangan Domisili (SKD) dari penerima penghasilan.

20
 Penyusunan SPT masa PPh Pasal 4 ayat 2

Berbeda dengan kedua formulir di atas, SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini tetap ada
kolom tarif di antara kolom objek dan kolom PPh yang disetor/dipotong. Perbedaan
mendasar dengan SPT lama adalah ditambahkannya objek-objek PPh Pasal 4 ayat (2)
baru yang belum terakomodasi oleh SPT lama. Objek pajak yang baru dicantumkan ini
adalah :

1. Pengalihan hak atas tanah/bangunan bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya
melakukan kegiatan pengalihan hak atas tanah/bangunan,
2. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada Wajib Pajak Orang
Pribadi,
3. Transaksi derivatif berupa kontrak jangka panjang yang diperdagangkan di bursa,
dan
4. Dividen yang diterima/diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
5. Objek pajak berupa dividen dalam point 4 di atas sebenarnya diatur dalam Pasal
17 ayat (2c) Undang-undang Pajak Penghasilan dan tidak mengacu pada Pasal 4
ayat (2) Undang-undang PPh sehingga sebenarnya kurang tetap jika dimasukkan
dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) ini. Tapi mungkin demi kepraktisan dan
sifatnya yang sama-sama final sehingga dimasukkan ke SPT Masa PPh Pasal 4
ayat (2) ini.

21
22
23
24
REFERENSI

Anonim. “Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22”. Diakses pada 2
Oktober 2017. http://menghitungpajak.blogspot.co.id/2013/05/tata-cara-pemungutan-
penyetoran-dan.html

Direktorat Jendral Pajak. “Seri PPh- Pajak Penghasilan Pasal 22”.


http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-22

Direktorat Jendral Pajak. “Seri PPh- Pajak Penghasilan Pasal 23”. Diakses pada 2 Oktober
2017. http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-23

Wahyudi, Dudi. “Tatacara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23”. Diakses pada 2 Oktober
2017. http://spt-pajak.com/tatacara-penyetoran-dan-pelaporan-pph-pasal-23.html

Chandro Oktavianus, Boby. “perhitungan pph pasal 4 ayat 2”. Diakses pada 2 Oktober 2017.
https://www.cermati.com/artikel/inilah-penghasilan-yang-dikenakan-pph-pasal-4-ayat-2-dan-
perhitungannya.

https://www.online-pajak.com/id/spt-masa-pph

25
HASIL SESI DISKUSI
Pertanyaan:
1. Apakah yang menjadi dasar ketentuan/prosedur pengenaan PPh secara Final?
(Desi Antari/09)
Jawab: Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan
pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang
dikenakan, baik yang dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan
merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi
PPh terutang untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang
dikenakan PPh final ini tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk
dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh
yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT
Tahunan.

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang


memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas
penghasilan-penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan
tertentu dengan pertimbangan kesederhanaan, kemudahan, serta
pengawasan.Pengenaan PPh Final sebagian berasal dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini.
Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15,
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26 Undang-undang PPh.
Dasar Hukum PPh Final:
 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, dan Pasal 19
 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995
 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994
 Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2013
 Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000
 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008
 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 s.t.t.d. Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 2009
 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 s.t.t.d. Peraturan Pemerintah Nomor
5 Tahun 2002
 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 s.t.t.d. Peraturan Pemerintah Nomor
71 Tahun 2008
 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2009
 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 250/KMK.04/1995
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994

26
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 s.t.d.t.d. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 475/KMK.04/1996
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 543/KMK.03/2002
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 s.t.d.t.d. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 07/PMK.11/2012
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 s.t.d.t.d. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013
 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013
 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 667 Tahun 2001
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 28 Tahun 2009
 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32 Tahun 2013

2. Apa alasan SHU dikecualikan dari pemotongan dalam pasal 23? (Vidyaswari
Kedisan/21)
Jawab: Karena SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya
bebas dari pemotongan PPh pasal 23. Sedangkan bunga simpanan dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya, dibatasi sampai dengan Rp.240.000 per bulan. Diatas
Rp.240.000 per bulan dikenakan PPh Pasal 23 Final.

3. Perbedaan pengenaan Pajak Pada PPh Pasal 22, 23, dan 4 (2)? (Prita Wanda/08)
Jawab:
PPh Pasal 22
Dasar Pemungutan Pajak (DPP) dan tarif PPh Pasal 22 diatur dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di
Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
Dalam PMK tersebut dikatakan bahwa yang menjadi dasar pemungutan pajak PPh
Pasal 22 adalah nilai impor, nilai ekspor, harga jual lelang, dan harga pembelian.
Nilai impor yang dimaksud adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar
penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan
Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepabeanan di bidang impor. Sementara, untuk nilai ekspor
yang dimaksud adalah nilai Free on Board (FOB).
Besarnya pungutan PPh Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
1. Atas pemungutan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
a. Impor:

27
 barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan barang kiriman
sampai batas jumlah tertentu yang dikenai bea masuk dengan tarif
pembebanan tunggal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di
bidang kepabeanan, sebesar 10% dari nilai impor dengan atau tanpa
menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
 barang barang tertentu lainnya sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor dengan atau
tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
 barang berupa kedelai, gandum, dan tepung tertgu sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini, sebesar 0,5% dari nilai impor dengan mengunakan
Angka Pengenal Impor (API);
 barang selain barang sebagaimana dimaksud pada huruf a), huruf b), dan
huruf c) yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5 dari
nilai impor;
 barang sebagaimana dimaksud pada huruf c) dan huruf d) yang tidak
menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% dart nilai impor;
dan/atau;
 barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;
b. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan
logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/Harmonized System (HS)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, oleh eksportir kecuali yang dilakukan
oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan dan Kontrak Karya, sebesar 1,5% dari nilai ekspor
sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang.
2. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat ( 1) huruf b,
huruf c, huruf d, dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e,
sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen
atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai
berikut:
a. bahan bakar minyak sebesar:
 0,25% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual
bahan bakar minyak yang dibeli dari Pertarmina atau anak perusahaan
Pertamina;
 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan umum yang
menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina;
28
 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk
penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan
huruf b);
b. bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai;
c. pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
4. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha
yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
industri otomotif, dan industri farmasi:
a. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25%;
b. penjualan kertas sebesar 0,1 %;
c. penjualan baja sebesar 0,3%;
d. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak
termasuk alat berat, sebesar 0,45%;
e. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% dari dasar pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
5. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor sebesar 0,45% dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
6. Atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh
badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan sebesar 0,25% dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
7. Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan
atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan
usaha sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
8. Atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan,
sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan.

PPh Pasal 23
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto
dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan yaitu 15%
dan 2%, tergantung dari objek PPh 23 tersebut. Berikut ini adalah daftar tarif PPh
23 dan objek PPh Pasal 23 :
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas :
1. Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final,
bunga dan royalti;
2. Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan
penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
29
3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi dan jasa konsultan.
4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 dan efektif mulai
berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015.
PPh Pasal 4 (2)
Menurut ketentuan, PPh Pasal 4 ayat 2 dikenakan atas penghasilan sebagai berikut:
1. Penghasilan dalam bentuk bunga deposito serta tabungan lainnya, bunga
obligasi serta surat utang negara, dan juga bunga simpanan yang telah
dibayarkan oleh koperasi ke anggota koperasi orang pribadi.
2. Penghasilan berupa hadiah undian.
3. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi saham serta sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan pada bursa, dan juga transaksi
penjualan saham ataupun pengalihan penyertaan modal di perusahaan
pasangannya yang telah diterima oleh perusahaan modal ventura.
4. Penghasilan yang diperoleh dari transaksi pengalihan harta, yakni dalam
bentuk tanah dan/atau bangunan, usaha real estate, usaha jasa konstruksi, dan
juga penyewaan tanah dan/atau bangunan.
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang telah diatur dengan ataupun berdasarkan
dengan Peraturan Pemerintah.
4. Apa yang menjadi syarat agar surat setoran pajak dapat divalidasi? Apa Tujuan
dari validasi tersebut? (Nataliantari/10)
Jawab:
Syarat agar surat setoran pajak dapat divalidasi
 SSP Asli Lembar ke-1 yang sudah tertera NTPN (Nomor Transaksi
Penerimaan Negara) * ada juga beberapa Bank yang
mencantumkan NTPN di Lembar tersendiri.
 Fotocopy SSP Lembar ke-1 sebanyak 2 Lembar (Jika NTPN ada di lembar
tersendiri maka lembar tersebut di fotocopy 1x)
 Fotocopy SPPT atau STTS/Struk ATM/Bukti Pembayaran Lainnya
 Tunggakan Pajak Bumi & Bangunan harap di Lunasi dulu
 Fotocopy Faktur/bukti penjualan atau bukti penerimaan uang
(KUITANSI)
 Fotocopy KTP
 Surat Kuasa dalam Hal Pengurusan Validasi SSP diwakilkan kepada
orang lain (lampirkan juga fotocopy KTP Penerima Kuasa)
 Mengisi Formulir Permohonan Validasi SSP (Formulir ada di Kantor
Pelayanan Pajak)
 Dalam hal terdapat perbedaan nama SPPT & NPWP, perbedaan Luas Tanah,
perbedaan Luas Bangunan / Perbedaan Lainnya, Lampirkan juga dokumen
pendukung lain yang menerangkan kenapa nama atau luas tanah atau luas
bangunan berbeda (Sertifikat / IMB / Akta Jual Beli sebelumnya / Surat
Keterangan dari Kelurahan / Draft Akta Jual beli/Kartu Keluarga *disesuaikan
dengan perbedaan di berkas permohonan Validasi)
30
 Kalau SSPD-BPHTB (Surat Setoran Pajak Daerah Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan) sudah ada, Fotocopy nya dilampirkan saja di berkas
permohonan karena itu mempermudah Petugas Peneliti di Kantor Pelayanan
Pajak.

Tujuan dari adanya validasasi:


 Untuk memastikan bahwa SSP tersebut Asli, karena ada juga SSP yang palsu
 Untuk memastikan bahwa penghitungan telah dilakukan dengan benar, karena
mungkin saja seseorang tidak konsentrasi lalu pajak yang dihitung salah (
*banyak yang menyangka kalau 5% yang disetorkan itu adalah 5% dari NJOP
(Nilai Jual Objek Pajak)…padahal Dasar untuk menghitung 5% itu adalah Nilai
yang lebih tinggi antara [NJOPatau Harga Jual yang sebenarnya]. (jadi kalau
misal NJOP bernilai Rp. 100.000.000 sedangkan tanah dijual dengan Nilai Rp.
200.000.000,- maka kita seharusnya menghitung 5% x Rp. 200.000.000,- = Rp.
10.000.000,-
 Karena SSP yang telah di Validasi adalah salah satu persyaratan untuk ke BPN

31

Anda mungkin juga menyukai