Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
pengembangan ekonomi yang sehat melalui para pedagang dan wisatawan yang
berkunjung. Kausar (2010) dengan judul “Rethingking the Role of World Heritage Sites
asing yang memberi dampak baik pada kemampuan ekonomi negara dan memperdaya
lingkungan sosial yang ada di dalamnya. Dalam Jurnal Kepariwisataan Indonesia (Vol.
8 No. 1 Maret 2013) menyatakan bahwa peran tourguide sangat penting dalam
memfasilitasi peserta tour dalam memahami budaya lokal. Adapun pada konteks
dapat ditonjolkan, yaitu rasa aman yang tetap dapat ditawarkan disamping kesempatan
Candi Borobudur yang dilakukan oleh Mentari (2012) dengan judul “Bentuk dan Tata
Letak Stupa di Candi Borobudur” menyatakan bahwa hubungan antara bentuk dan
11
12
keletakan stupa dapat dilihat dari penempatan stupa pada tiap teras stupa yang beragam
sesuai dengan tipe stupa. Penelitian ini pula mengemukakan bahwa terdapat tiga
macam fungsi stupa di Candi Borobudur berdasarkan dari segi struktur bangunan dan
ukiran pada stupa candi. Penelitian oleh Mentari juga menyatakan bahwa berdasarkan
hubungan antara bentuk dan konteks tata letak stupa, dapat diketahui bahwa semakin
tinggi tingkatan teras Candi Borobudur, semakin tinggi pula kedudukan stupa yang
terletak pada dalam ketekan teras tersebut. Bentuk stupa yang berada di puncak
(terletak paling tinggi) mempunyai ukuran paling besar dan terdiri dari bagian-bagian
penyusun stupa (prasadha, anda, harmika, dan yathsi) dengan hiasan paling lengkap.
Penulis juga menemukan salah satu penelitian seorang arkeolog Jepang yang
meneliti tentang keterkaitan Candi Borobudur dengan Zutou yang ada di Perfektur
Nara, Jepang. Sakai dalam tulisannya “Kodai ni okeru Buttou no Denpa: Borobudur
to Nara Zutou no Kankei ni Tsuite” atau dalam bahasa Inggris berjudul “The Diffusion
Zuto in Nara” menyatakan bahwa stupa dibangun berbentuk seperti piramid serta
memiliki hubungan yang sangat lekat dengan nilai-nilai Buddha. Stupa yang menjadi
media penyembahan dalam agama Buddha memiliki bentuk yang berbeda-beda karena
berada. Keistimewaan Candi Borobudur dalam penelitian milik Sakai adalah stupa
yang dimiliki Candi Borobudur tidak sama dengan stupa yang ada di pagoda/candi
lainnya di seluruh dunia. Sakai menemukan keunikan lain, bahwa penyebaran Buddha
pada masa Wangsa Syailendra merupakan era penyebaran agama Buddha paling besar
semasa bhiksu asal China bernama I-tsing yang telah berziarah lama di Wangsa
13
Shrivijaya dan mengajarkan kitab Vajarayana. Berdasarkan hal ini Sakai berasumsi
bahwa (bentuk) kuil gunung khas Indonesia merupakan perpaduan antara ajaran
Vajarayana dengan ajaran Huayen Tsung yang menjadi pengaruh berkembangnya nilai
Buddhistik di Nara, Jepang. Berdasarkan fakta ini pula Sakai berpendapat, keseluruhan
bentuk kuil Buddha baik Candi Borobudur maupun Zutou yang ada di Nara memiliki
kesamaan bentuk yaitu bentuk piramid dengan landasan nilai Buddha yang terdapat di
dalamnya.
memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh obyek wisata lain di Indonesia
maupun candi-candi lain yang ada di Indonesia. Selain menjadi bagian dari situs
warisan dunia oleh UNESCO, Candi Borobudur juga memiliki daya tarik tersendiri
bagi bangsa Indonesia. Corak Buddha yang ditampilkan dari segala sisi Candi
perkembangan peradaban manusia di masa lampau sekaligus bukti nyata akan adanya
sebuah peradaban manusia yang dipaparkan dari sudut pandang religi yang terdapat di
memilih Candi Borobudur sebagai objek utama penelitian, baik sebagai lokasi
perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang sebelumnya adalah penulis ingin
mengkaji sisi estetika dari nilai historis, spiritual dan kultural Candi Borobudur
14
Borobudur.
bangsa di seluruh dunia. Persoalan antropologi muncul ketika kehidupan sosial budaya
ilmu antropologi sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Seperti definisi yang
diajukan para antropolog jelas sangat berbeda dengan arti yang biasa diberikan kepada
konsep itu dalam bahasa sehari-hari, yaitu arti yang terbatas kepada hal-hal yang indah
seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat, definisi ilmu
antropologi, jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya (Koentjaraningrat, 1980).
merupakan konsep tak terpisahkan dari konsep kebudayaan atau budaya tersebut. Dari
kedua konsep dasar tersebut munculah berbagai konsep penting lainnya yang tak
terbilang jumlahnya. Studi antropologi budaya tidak lain dari studi tentang masyarakat
Kebudayaan secara garis besar berwujud dari tiga hal, yaitu: 1) Wujud
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam penjabaran yang lebih spesifik,
Koendjaraningrat juga menyatakan adanya relasi melalui pendekatan dari sesuatu yang
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak dan tak
dapat diraba. Lokasi dari wujud pertama ada di dalam kepala-kepala setiap individu,
atau dengan kata lain dalam pikiran dari setiap warga masyarakat dimana kebudayaan
yang bersangkutan itu hidup. Namun sekarang banyak gagasan-gagasan yang sudah
dituliskan dan dipatenkan lewat media-media. Hal ini yang membuat Koendjaraningrat
peraturan yang telah dipatenkan dalam lingkup masyarakat disebut dengan kebudayaan
teknologi di masyarakat sehingga wujud pertama yang bermula bersifat abstrak kini
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut dengan sistem sosial, yaitu
mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
yang lain. Maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di lingkungan sekitar kita
keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik suatu aktivitas,
perbuatan, dan karya masyarakat, oleh sebab itu wujud ini bersifat paling konkret, serta
berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
sungguh apa adanya berkaitan dengan penelitian terhadap Candi Borobudur. Yakni
wujud pertama yaitu pada gagasan-gagasan Buddha yang dianut oleh Wangsa
Syailendra dan rakyatnya yang kemudian dibentuk secara konkret melalui relief-relief
yang terdapat di Candi Borobudur. Sedangkan pada wujud kedua dapat dilihat berbagai
macam bentuk interaksi sosial yang terjadi di Taman Wisata Candi Borobudur, salah
satu contohnya adalah bentuk interaksi antara tourguide dengan wisatawan Jepang
ketika memaparkan Candi Borobudur saat berwisata. Wujud ketiga yaitu adanya bukti
nyata kemegahan Candi Borobudur yang didirikan baik dari segi sejarah murninya
semata-semata sebagai simbol dari suatu keyakinan, namun juga suatu karya dari buah
kerjasama masyarakat dalam mengabdi kepada Wangsa yang memimpin mereka pada
perkembangan peradaban manusia dari tingkat terendah hingga tertinggi atau nirwana.
dalam berbagai wujud makhluk hidup, kehidupan sebelum kelahiran Sang Buddha,
17
kelahiran serta kehidupan Sidharta Gautama saat menjadi pangeran kerajaan, hingga
proses Sidharta Gautama beralih untuk bertapa dan berubah menjadi Sang Buddha atau
Buddha Agung. Hal ini menjadikan penulis ingin memahami lebih keterkaitan makna
cerita pada relief dengan mitos-mitos yang timbul di Candi Borobudur, untuk
pendekatan hasil penelitian yang lebih akurat, penulis mencantumkan teori definisi
Mitos atau mite merupakan sebuah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah
berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan
makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita
atau penganutnya. Sedangkan mitos menurut Kamus Dewan (edisi ke-2) adalah cerita
atau kisah tentang dewa-dewa dan orang atau makhluk luar biasa pada zaman dahulu
yang dianggap oleh setengah golongan masyarakat sebagai kisah benar dan merupakan
(1988), mitos adalah sistem kepercayaan dari suatu kelompok manusia, yang berdiri
atas sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang suci yang berhubungan
dengan masa lalu. Mitos yang dalam arti asli sebagai kiasan dari zaman purba
merupakan cerita yang asal usulnya sudah dilupakan, namun ternyata pada zaman
Mitos juga merujuk pada suatu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap
mempunyai kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu
serta dianggap sebagai suatu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang dijadikan
sebagai rujukan, atau merupakan suatu dogma yang dianggap suci dan mempunyai
konotasi upacara. Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1986:50), mite adalah cerita
18
prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita.
Dalam mite, tokohnya adalah para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi
di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada
masa lampau. Oleh karena itu, dalam mite sering terdapat beberapa tokoh pujaan yang
dipuji dan atau sebaliknya, ditakuti. Di sisi lain, pemahaman atas cerita yang bernuansa
mitos sering kali diikuti dengan adanya penghormatan yang dimanifestasikan ke dalam
wujud pengorbanan. Hal ini menyiratkan bahwa dalam mitos pada kenyataannya
melahirkan sebuah keyakinan, karena tokoh dalam mitos bukan tokoh sembarangan.
Penulis setuju dengan definisi mitos/mite oleh Bascom, karena mitos adalah
sebuah cerita yang dipopulerkan secara klasiknya lewat mulut ke mulut masyarakat di
lingkungan mitos itu berada. Namun tidak sedikit pula mitos yang beredar dianggap
benar oleh beberapa orang sehingga bagi mereka yang membenarkan mitos tersebut
sungguh menjaga baik tradisi-tradisi adat untuk menjaga kesakralan mitos tersebut.
Candi Borobudur setidaknya 3 mitos besar yang sudah terkenal, yaitu Karmavibhangga,
Sedangkan mitologi adalah kajian mengenai mitos atau suatu himpunan atau
koleksi dari berbagai mitos, dan mitologi yang mencakup berbagai mitos-mitos
tersebut pada Candi Borobudur ialah 3 unsur alam semesta yang ter-representasikan
oleh bangunan candi yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, serta Arupadhatu. Wisatawan yang
sendiri.
2.2.4.1 Religi
kebudayaan, ada yang mengatakan bahwa suatu sistem religi merupakan suatu
agama yang berlaku hanya pada penganutnya saja. Crawley (1905) dan Gennep
(1909) menyatakan dalam kehidupan manusia ada masa kritis (crisis rites/ rites de
passage) yaitu kemungkinan adanya sakit maut pada masa kanak-kanak, peralihan
usia dari muda ke dewasa, masa hamil, masa melahirkan dan akhirnya kematian.
(mengitari bangunan candi searah jarum jam) serta berdo’a dalam memenuhi
2.2.4.2 Ritual
Preusz (1914) mengungkapkan bahwa pusat dari tiap sistem religi dan
Spradley (1997) menyatakan bahwa simbol adalah objek atau peristiwa apapun
yang menunjuk pada sesuatu. Simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang
menyimpan makna dari suatu tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang
bersifat khas, seperti sesaji-sesaji, mantra, jimat dan ubarampe atau perlengkapan
ritual.
Hal ini sangat jelas terjadi setiap tahun baru waisak di Candi Borobudur.
Para penganut Buddha dari berbagai negara turut berpartisipasi merayakan hari
upacara-upacara ritual dalam hari raya waisak di Candi Borobudur yang dilakukan
oleh biksu-biksu, dari menyebrangi sungai kulon progo, berjalan menuju Candi
Mendhut dan melakukan do’a pemujaan, lalu berziarah di Candi Pawon hingga
ke udara sebagai simbol mengantar do’a yang dipanjatkan kepada Yang Kuasa di
Candi Borobudur.
21
Candi Borobudur dalam segala seginya dibangun atas dasar konsep dan
ajaran Sang Buddha. Agama Buddha menyatakan bahwa “Buddha” atau “Yang
telah berlaku lama bahkan sepanjang masa. Penemuan itu terjadi di Bihar India,
sekitar tahun 600 SM atau 400 SM. Perumusan kembali kebijaksanaan abadi
tersebut dirancang untuk mengatasi tiga kejahatan, yaitu Kekerasan, “Diri”, dan
Kematian (Conze, 2007: vii). Agama Buddha juga mengajarkan faham tentang
Konsep agama ini adalah suatu mata rantai kehidupan dalam lingkaran
tanpa akhir, dimana lingkaran kehidupan penuh dengan penderitaan, dunia nampak
fana dan hidup dengan segala lingkupnya adalah khayalan, kemudian hidup juga
sebagai kelanjutan dari kehidupan terdahulu dan hidup adalah persiapan untuk
kehidupan selanjutnya. Oleh sebab itu Buddha pada dasarnya bukanlah agama
yang di dalam ajarannya memiliki Tuhan yang disembah (agama ciptaan). Ritual
yang paling menjadi ciri khas dalam agama Buddha adalah ritual meditasi,
2.2.5 Pariwisata
Istilah pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua
suku kata yaitu “pari” dan “wisata”. Pari berarti berulang-ulang atau berkali-kali,
sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Jadi pariwisata memiliki arti
apabila wisatawan melakukan perjalanan itu sendiri, atau dengan kata lain aktivitas
kegiatan sosial dan ekonomi. Menurut Pendit, peran kekuasaan membuat hanya
segelintir orang kaya saja yang boleh melakukan kegiatan pariwisata. Namun
dalam praktiknya pariwisata kini menjadi bagian dari hak asasi manusia.
yaitu:
a. Wisata budaya
b. Wisata kesehatan
c. Wisata olahraga
d. Wisata komersial
dan sebagainya.
e. Wisata industri
penelitian.
f. Wisata Bahari
undang-undang.
merupakan destinasi yang sangat bagus sebagai tempat untuk mempelajari kebudayaan
masyarakat sekitar. Seperti adanya Desa Wisata Borobudur, yaitu desa sekitar
lebih dekat dengan masyarakat jawa tengah khususnya di Desa Borobobudur, serta
terdapatnya beberapa rumah warga yang menjadi homestay untuk para wisatawan.
25
Selain itu, Candi Borobudur merupakan kuil agung umat Buddha di seluruh
dunia. Hal ini dikarenakan sering berkunjungnya para bikhu dan bikhuni dari Thailand,
Tibet, maupun Indonesia sendiri dalam mensucikan keadaan jasmani dan rohani
mereka menghayati agama Buddha. Candi Borobudur juga dijadikan aset komersial
pada iklan wisata Visit-Indonesia Wonderful Indonesia dalam rangka perayaan waisak
2016 lalu serta dijadikan lokasi event acara olahraga besar berjudul “Borobudur
International 10k & Half Marathon” sebagai bentuk promosi pariwisata Indonesia yang
pendekatan Pendit yang sangat cocok dengan keadaan pariwisata Candi Borobudur.
Sebagai salah satu warisan dunia, Candi Borobudur tidak pernah luput dari
pengawasan UNESCO dalam perawatannya dan tidak sedikit petugas UNESCO datang
untuk melakukan riset penelitian mempelajari “misteri” yang belum terungkap tentang
Candi Borobudur.
antar bangsa.
kerja.
26
2.2.6 Wisatawan
adalah fakta bahwa Candi Borobudur merupakan destinasi impian banyak orang
untuk berwisata, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Oleh sebab itu
sumber sekaligus pemaparan jenisnya yang sekiranya sangat cocok dengan kriteria
yang datang dari suatu negara yang alasannya bukan untuk menetap atau
bekerja di situ secara teratur, dan yang di negara dimana ia tinggal untuk
berdasarkan motivasi:
sebagainya.
24 jam.
(tempat ia bertugas).
Foreign Tourist.
29
e. Transit Tourist
f. Business Tourist
Menurut Soekmono, sebagian besar dari candi di Indonesia tidak lagi diketahui
nama aslinya. Agar bisa dimasukkan ke dalam daftar khazanah pusaka budaya bangsa,
candi-candi itu diberi nama menurut desa tempat monumen tersebut ditemukan.
Sebaliknya, bila ada candi yang masih tetap menyandang nama aslinya, desanya lalu
desanya atau desanya yang mengambil nama dari candi tersebut. Menurut
Poerbatjaraka, kata asli dari “boro” adalah “biara”. Karena itu beliau menyimpulkan
bahwa sebutan “Borobudur” ialah “Biara Budur”. Tafsiran ini sangat menarik perhatian
banyak orang mengingat aktivitas penggalian untuk keperluan penelitian ilmiah yang
30
pernah dilakukan pada tahun 1952 di halaman sebelah barat laut bangunan Candi
Borobudur. Penelitian tersebut telah berhasil menemukan fondasi batu bata dan sebuah
genta perunggu berukuran besar. Genta ini memperkuat dugaan bahwa fondasi yang
ditemukan tersebut adalah sisa-sisa sebuah biara. Bila dikaitkan dengan kitab kuno
dalam babad (kitab sejarah Jawa) dari abad XVIII ada disebutkan “Bukit Borobudur”.
Kata “budur” kiranya dapat dikiaskan sebagai “bukit”. Maka Raffles mengajukan
suatu keterangan lain lagi, yaitu “boro” yang berarti “agung”, sedangkan “budur”
sama dengan “Buddha”. Sehingga sebutan “Borobudur” kiranya berarti “Sang Buddha
Yang Agung”, hingga Candi Borobudur memperoleh namanya menurut Sang Buddha
tersebut. Memang benar bahwa kata Jawa “boro” memiliki “agung”, walaupun arti
yang lebih tepat sebenarnya adalah “yang terhormat” (Joesoef, 2015 : 2-3).
Di pihak lain, kata “bhara” dalam bahasa Jawa Kuno dapat pula berarti
“banyak”, seperti halnya kata “para” dalam bahasa Jawa sekarang yang kini sering pula
banyaknya jumlah arca Buddha di Candi Borobudur itu menjadi sebab penamaan
India Selatan. Istilah “bharabuddha” sebagai sebutan bagi para pengikut taat agama
Buddha yang kemudian diberi kata Tamil “ur” yang berarti “kota”. Maka,
31
“bharabuddha + ur” yang berarti “kota para penjunjung tinggi Sang Buddha hingga
Menurut Yamin (1989) sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang disusun
atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan kenyataan.
Secara umum sejarah dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang terjadi pada masa
lampau. Sejarah Candi Borobudur merupakan suatu peristiwa yang menceritakan asal-
usul kemunculan Candi Borobudur. Para arkeolog dan ahli sejarah sepakat untuk
menduga bahwa Candi Borobudur didirikan semasa periode Jawa Tengah dalam
tahun. Dibangun bagai “batok mengkurep”, tempurung kelapa (atau mangkuk) yang
telungkup, menutupi sebuah bukit alam, tanpa fondasi. Pada kaki bangunan dari batu
masif itu, tampak kaki tambahan, yang menurut dugaan dibuat untuk memperkokoh
candi yang tak berfondasi tersebut. Kaki tambahan tersebut mulai ditemukan oleh Ir.
Ijzerman pada tahun 1885. Berkat penemuan kaki tambahan inilah diketahui
bagaimana candi ini dibuat atau teknologi pembangunan (sistem pembangunan) apa
untuk mengadakan peninjauan terhadap Candi Borobudur pada tahun 1814. Laporan
32
Cornelius dipublikasikan lewat buku Raffles pada tahun 1817 dengan judul The History
of Java yang kemudian menarik perhatian masyarakat yang lebih luas, termasuk
komunitas pemerhati dan ilmuwan arkeolog asing di dalam dan luar negeri. Usaha
pemugaran pun dilakukan oleh pakar asing dan pejabat-pejabat Belanda, baik karena
minat pribadi maupun atas penugasan resmi dari pemerintah Hindia Belanda. Bahkan
penguasa militer Jepang menunjukkan perhatian yang memadai pada keadaan candi
(Joesoef, 2015:12).
Pada bulan Agustus tahun 1907 Van Erp memimpin langsung proses
pemugaran Candi Borobudur secara besar-besaran dan berakhir pada tahun 1911. Pada
pemugaran Candi Borobudur. Kerja besar pemugaran candi periode berikutnya secara
resmi dimulai pada tanggal 10 Agustus 1973, dengan mengerahkan tenaga teknis dan
pekerja sebanyak 600 sampai 700 orang. Sepuluh tahun kemudian, pada tanggal 23
Februari 1983, pemugaran Candi Borobudur dengan resmi dinyatakan berakhir sukses
dan Presiden Soeharto dengan disaksikan oleh Direktur Jenderal UNESCO, A.M.
M’bow, menandatangani Prasasti dan Sampul Hari Pertama Perangko Seri Borobudur
(Joesoef, 2015 : 16-17). Peresmian Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia
terjadi pada tahun 1991 dengan UNESCO meresmikan Candi Borobudur adalah situs
kejadian, jenis huruf prasasti dan peninggalan budaya, telah ditarik suatu perkiraan.
Berdasarkan pigura-pigura relief dari kaki asli Candi Borobudur terdapat pahatan
tulisan-tulisan singkat berhuruf sejenis dengan apa yang ditemukan pada prasasti-
prasasti dari akhir abad VIII hingga awal abad IX. Hal ini yang menyimpulkan bahwa
Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi, berpenampilan Buddhistik, dan
wangsa (dinasti) yang dikenal dalam sejarah menjunjung tinggi agama Buddha
Mahayana. Kesimpulan ini sesuai dengan pola sejarah daerah Jawa Tengah pada kurun
waktu antara pertengahan abad VIII dan pertengahan abad ke IX. Periode ini terkenal
lereng gunung bagian tengah Pulau Jawa. Candi-candi yang ada di lereng-lereng
dataran-dataran adalah bangunan dari agama Siwa dan agama Buddha. Kehadiran
candi-candi yang menampilkan citra dari dua agama yang berbeda menimbulkan
spekulasi bahwa dalam pertengahan kedua abad VIII itu ada dua keluarga raja yang
34
memerintah di Jawa Tengah. Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa
Wangsa Syailendra yang memeluk agama Buddha pada dasarnya seorang yang masih
beragama Hindu. Hal ini berarti bahwa tesis tersebut secara implisit memberikan
kesaksian bahwa bagi bangsa Indonesia, agama rupanya tidak pernah menjadi sumber
pertentangan yang gawat. Ada anggapan umum bahwa keluarga Syailendra berasal dari
luar Indonesia, yaitu India Selatan atau Indo-China. Sebagai pendatang, wangsa
tersebut mula-mula menetap di pesisir bagian utara Pulau Jawa. Namun kenyataan
selatan Jawa Tengah, sedangkan daerah keluarga Bumiputera Sanjaya berada lebih ke
utara. Di dalam prasasti Sojomerto “Syailendra” adalah nama orang, bukti ini yang
menunjukkan bahwa “Syailendra” adalah nama besar keluarga atau marga. Prasasti
Sojomerto dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram dengan maksud
untuk memperingati pendirian sebuah kuil untuk Dewa Siwa di puncak Gunung Ukir
2015 : 20-21). Menurut Soekmono dan Kempers (dalam Joesoef, 2015:21), apa yang
Indonesia asli, dan sudah banyak buktinya dalam dokumen-dokumen sejarah. Suleiman
candi di Jawa Tengah adalah perintah dari para raja disebabkan oleh kemakmuran dan
pemanfaatan tanah subur secara efisien dapat memberi cukup sumber pangan untuk
menghidupi sejumlah besar seniman dan pengrajin yang terlibat dalam pembuatan
candi. Kedua, para pengikut dan pengabdi raja mampu memberikan upeti wajib berupa
hasil tanah mereka, arsitek, tukang, pengrajin, serta pekerja yang diperlukan untuk
ahli ke India, tidak hanya untuk belajar Buddhisme atau Hinduisme, tetapi juga untuk
mempelajari arsitektur dan seni patung. Bagi keperluan raja-raja Syailendra orang-
Bodhisattwa, dan pembuatan relief yang terlibat di Borobudur. Keempat, ketika para
arsitek, pengrajin, dan seniman tersebut mendapat tugas membangunn candi atau
membuat patung atau memahat relief, mereka menciptakan karya-karya yang benar-
benar orisinal, dalam arti mempadukan dan memantulkan bentuk-bentuk seni serta
Ada banyak kisah-kisah yang terdapat di Candi Borobudur, baik di setiap relief
mitologi ini karena setiap wisatawan (baik lokal maupun mancanegara) akan mendapat
bisa dinikmati oleh para wisatawan melalui brosur tentang Candi Borobudur (yang
36
tersedia dalam berbagai bahasa negara termasuk bahasa Jepang), pemaparan dari
semesta yang terdapat dalam ajaran Buddha. Hal ini ditekankan pada kosmografi India
kuno yang menyatakan dalam kepercayaan Buddha bahwa bentuk Candi Borobudur
yang memiliki stupa di puncak serupa dengan “Gunung Kosmos”. Ketiga unsur atau 3
tingkatan yang tersusun mewakili ketiga dunia alam semesta; bhurloka (dunia
Ideologi ini memiliki kecocokan pada mitologi dalam 3 tingkatan candi tersebut.
peradaban manusia pada masa “jahiliyah” atau ketika manusia masih belum mengerti
norma, nilai, dan Kamadhatu juga memiliki arti sebagai “dunia hasrat”. Dalam
dan dikuasai oleh hasrat. Tingkatan kedua, di atas dari Kamadhatu kerap disebut
manusia sudah mulai meninggalkan hasratnya tetapi masih terikat dengan nama dan
rupa. Dunia ketiga pada tingkat tertinggi adalah Arupadhatu atau “dunia tanpa rupa”.
Pada tingkatan dunia ini sudah tidak ada lagi dan tidak ada sama sekali nama maupun
rupa. Manusia telah terbebaskan dan sudah memutuskan diri mereka dari ikatan dunia
Pada Candi Borobudur Kamadhatu diwakili oleh kaki candi, sedangkan kelima
Buddhisme dan terpaparkan oleh relief yang menghiasi seluruh permukaan dinding
dari lorong dan langkan candi. Pahatan-pahatan relief ini meliputi luas tidak kurang
dari 2.500 m². Karya seni pahat yang sangat indah ini bukan hanya sekedar hiasan
belaka, namun menunjukkan terdapat kisah yang dibagi dalam kotak-kotak menurut
suatu pemaparan yang detil menerangkan tentang karma atau “sebab dan akibat”.
Kisah ini merupakan kisah berjalannya hukum karma yang diajarkan dalam kitab
pada pigura pertama tokoh manusia yang sudah melakukan sebuah tindakan akan
mendapatkan akibat atas perbuatannya pada pigura berikutnya secara berurutan dan
kejahatan, hingga pembunuhan akan mendapatkan hukuman setimpal. Tidak hanya itu,
kebajikan dan kerendahan hati manusia juga digambarkan pada kisah ini, barang siapa
yang melakukan amal baik, berziarah ke tempat suci juga akan mendapatkan balasan
berupa pahala. Secara ringkas, ajaran Buddha yang tertera pada kisah ini yaitu
lingkaran samsara atau lingkaran lahir-hidup-mati yang tak pernah berakhir namun
Paling sedikitnya ada dua kisah dari kehidupan Buddha yang sangat dihormati.
remaja hingga nirwana. Kedua adalah “uraian lakon” meliputi suatu periode yang lebih
singkat dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Benares
(Joesoef, 2015:100).
“Sejarah Buddha”. Lalitavistara sendiri lebih spesifik terhadap awal mula kelahiran
Buddha. Seorang ratu kerajaan bernama Dewi Maya bermimpi dalam tidurnya melihat
seekor gajah putih, yang kemudian gajah itu masuk ke dalam rahim Dewi Maya. Dewi
Maya lalu menceritakan mimpinya kepada suaminya Sang Raja, lalu Sang Raja
mengabarkan bahwa mimpi Dewi Maya adalah pertanda baik, dia juga melanjutkan
bahwa Dewi Maya akan memiliki anak yang akan menjadi seorang Raja yang hebat,
ataupun menjadi “orang suci” ketika dewasa kelak, namun sisi buruknya peramal
menceritakan bahwa Dewi Maya akan meninggal 7 hari setelah kelahiran putranya.
Dewi Maya kemudian hamil dan saat tengah perjalanan pulangnya menuju
kampung halaman, Dewi Maya berhenti di Taman Lumbhini (yang sekarang menjadi
Nepal) untuk berisitirahat dan melahirkan anak yang kemudian dinamainya Sidharta.
Ajaibnya setelah Sidharta lahir, ia langsung melangkah sebanyak 7 langkah dan setiap
pijakan langkahnya tumbuh mekar bunga teratai. Ketika beranjak dewasa Sidharta
menikah dengan seorang putri bernama Puteri Gopa. Sidharta melihat realita akan
kejamnya dunia dengan penuhnya orang-orang yang hidup melarat, sakit, sengsara dan
sekarat, serta banyaknya kekacauan sesama manusia. Tidak kuat dengan keadaan
manusia yang seperti itu, ia memutuskan untuk meniggalkan kerajaan untuk menjadi
39
pertapa dan bersemedi di bawah Pohon Bodhi. Di sanalah Sidharta mengubah namanya
Jataka atau Avadana merupakan kisah yang mirip dengan Lalitavistara karena
sama-sama menceritakan “Sejarah Buddha”. Hanya saja kisah Jataka adalah kisah
Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta, dalam arti ini Sang
Buddha masih bereinkarnasi dalam wujud makhluk hidup yang berbeda. Isi pokok dari
Bodhisattwa dari makhluk-makhluk lain. Kisah Jataka yang paling terkenal adalah
“Jatakamala” atau “Untaian (kisah) Jataka” karya penyair Aryasura pada abad IV
(Joesoef, 2015 : 110). Avadana pada dasarnya sama seperti Jataka hanya saja berbeda
lakon. Dalam kisah Avadana pemeran utama bukanlah Sang Bodhisattwa, melainkan
orang lain. Kisah-kisah Avadana dihimpun dalam kitab Dviyavadana yang berarti
Avadana”. Sehingga perbedaan daripada Jataka dan Avadana secara esensial adalah
tokoh utama dari kisah tersebut. Bila lakon dalam Jataka adalah Sang Buddha sendiri,
maka lakon dalam Avadana adalah calon Buddha Sakyamuni (Joesoef, 2015:110).
mengandung arti yang dalam bagi penganut Buddha. Gandavyuha menceritakan kisah
Sudhana adalah seorang anak juragan kaya-raya yang telah memilih jalan hidup
penting seperti orang-orang bijak bestari, berupa guru, pendeta, resi, pertapa, dan siapa
40
dalam meraih kebijksanaan tertinggi. Sudhana juga seorang pemikir dan terus
saja dari keseluruhan ajaran Buddha, dimana memiliki bagian-bagian khusus yang
kisahnya sehingga terdapat karya sajak berirama yang mengisahkan Gandavyuha, buku
cerita bergambar, dan lain-lain. Gandavyuha juga merupakan bagian dari ajaran kitab
Buddha Mahayana dan dimuat dalam kitab lain bernama Bhadracari (Joesoef,
2015:119).
Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya dilihat dari sisi wujud bentuk
bangunannya, namun juga suasana yang terbangun yang terus berada di seluruh
Borobudur. Pemandangan yang tercipta dari perpaduan suasana alam dengan relief
Penulis juga pernah merasakan rasa kagum yang luar biasa setiap menapaki Candi
takjub yang luar biasa saat berada di langkan Arupadhatu. Panorama Candi Borobudur
dapat dinikmati begitu jelasnya serta dapat dihasrati setiap melihat detil sebuah maha-
41
karya seni pada ukiran-ukiran candi. Oleh sebab itu penulis ingin mengkaji lebih dalam
Nilai spiritual diberikan pada suatu monumen dan situsnya karena dipercaya
bahwa ia sekarang atau dahulu pernah menjadi sebuah tempat suci dan mewakili nilai-
nilai penting religius, adakalanya yang bersifat simbolis atau transenden. Para penganut
Buddha mencari perlindungan dan naungan dari samsara (penderitaan) di bawah panji-
panji Tri Ratna, yaitu Sang Buddha, Dharma (ajaran Sang Buddha) dan Sanggha
yang benar, 3) bicara yang benar, 4) perilaku yang benar, 5) penghidupan yang benar,
6) usaha yang benar, 7) ingatan yang benar, dan 8) pemusatan pikiran yang benar. Sang
Buddha diagungkan oleh penganut Buddha karena dianggap Sang Buddha adalah
Bodhisattwa atau “orang yang hakikatnya adalah tak lain daripada wahyu itu sendiri”
dalam setiap jenis penjelmaannya sewaktu melintasi seluruh perputaran lahir dan
menjadi pengganti dari citra nirwana. Dengan kata lain, yang dijadikan idaman bukan
lagi nirwana tetapi Bodissatwa. Oleh sebab itu, penganut aliran baru itu menyebut
dinamakan Nirwayana. Sebutan yang kemudian menjadi lebih terkenal untuk aliran
Buddhisme baru ini, tampil tidak lama sebelum awal era Kristiani, yaitu Mahayana.
Ajaran dari aliran baru itulah, Mahayana Buddhisme, yang kiranya dihayati oleh
stupa yang seluruhnya berjumlah 72 buah, tersusun dalam tiga tingkat sebagai
lingkaran yang paling bawah, terdiri dari 32 buah stupa. Lingkaran yang kedua 24 buah
stupa dan lingkaran yang ketiga, paling atas, 16 buah. Setiap stupa tersebut tegak di
diberi lubang-lubang dan di dalam stupa tersebut terdapat arca Buddha yang sedang
“dipingit” (Joesoef, 2015:31). Pembagian Candi Borobudur secara tegak lurus menjadi
kaki, tubuh, dan bagian atas, artinya bahwa stupa induknya hanya merupakan puncak
dari bangunan seluruhnya, sesuai dengan pengertian candi sebagai gunung kosmos.
Ketiga bagian yang tersusun bertingkat itu mewakili ketiga dunia alam semesta, yang
menurut kosmografi kuno India, adalah bhurloka (dunia manusia biasa), bhuwarloka
(dunia manusia sempurna), dan swarloka (dunia kedewaan). Sesuai ajaran Buddhisme,
43
pembagian alam semesta menjadi tiga dunia seperti yang terdapat dalam kosmologi
yang paling bawah adalah Kamadhatu atau “dunia hasrat”. Dunia kedua di atasnya
adalah Rupadhatu atau “dunia rupa” dimana manusia telah meninggalkan semua
hasratnya. Dunia ketiga pada tingkat tertinggi adalah Arupadhatu atau “dunia tanpa
rupa”, dan pada dunia ketiga sudah tidak ada sama sekali untuk selama-lamanya segala
bahwa jerih payahnya telah memperoleh imbalan yang sepadan. Bila demikian
sungguh mengagumkan bagaimana para pencipta candi itu berhasil menyalurkan rasa
dan jiwa keagamaan kepada setiap pengunjung maupun peziarah. Jumlah seluruh arca
Buddha yang ada di Candi Borobudur mula-mula 504 buah, namun akibat erupsi dan
berbagai macam bencana lainnya, kini 300 arca Buddha mengalami kecacatan. Arca-
arca tersebut diakui oleh para ahli bermutu seni sangat tinggi dan semuanya
menggambarkan sistem Dhyani Buddha atau Meditative Buddha (Joesoef, 2015: 37).
Dhyani Buddha biasanya disebut sebagai bentukan sebuah kelompok dari lima
kekuatan kosmis yang ditata menurut keberadaan lima mata angin pokok, yaitu timur,
barat, selatan, utara, dan zenith atau pusat. Arca-arca Buddha yang terdapat di Candi
Borobudur memiliki bebagai macam posisi dan sikap tangan berbeda yang disebut
44
a. Bhumisparasa-mudra
Dewi Bumi sebagai saksi ketika dia menangkis semua serangan dari
b. Abhaya-mudra
c. Dhyana-mudra
d. Wara-mudra
e. Dharmacakra-mudra
dan yang kanan di atas. Tangan kiri menghadap ke atas dengan jari
sebuah roda, dan menjadi ciri khas bagi Dhyani Buddha Wairocana,
tangan yang disebut witarka-mudra atau sikap tangan yang melambangkan sedang
mengurai sesuatu. Yaitu tangan kiri terbuka di atas pangkuan dan tangan kanan sedikit
terangkat di atas lutut kanan dengan telapaknya menghadap ke muka dan jari
telunjuknya menyentuh ibu jari. Maka semua Dhyani Buddha yang menghadap ke
Buddhis. Walau demikian, arca atau lukisan Dhyani Buddha sebagaimana adanya tetap
dianggap sebagai manifestasi belaka dari suatu kekuatan spiritual yang lebih tinggi lagi,
yang disebut sebagai Realitas Ultima atau Makhluk Agung atau sebutan-sebutan lain
untuk mengungkapkan suatu yang tidak bisa dinyatakan begitu saja (Joesoef, 2015 :
40-41).
tertera dalam piagam yang berangka tahun 842M yang memiliki arti “Bukit tumpukan
kesimpulan bahwa kepercayaan Buddha pada zaman Syailendra adalah sebuah agama
yang memuja roh nenek moyang. Karena dalam kebudayaan prasejarah Indonesia,
bangunan limas berundak adalah lambang khusus tempat bersemayam arwah nenek
moyang di puncak gunung. Atas persepsi ini Candi Borobudur memiliki konsep
Buddha Mahayana dan konsep pemujaan roh nenek moyang (Joesoef, 2015:43).
Bukan hal asing bila seorang raja menyamakan dirinya dengan dewa
samsara adalah sebuah permulaan dari perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang
dewa pelindungnya sekaligus nenek moyangnya. Pada ritual pemujaan roh nenek
Selain itu, arti simbolis lain Candi Borobudur adalah sebagai sumber dari
pemujaan kepada roh nenek moyang sekaligus untuk memperdewa cikal-bakal Wangsa
tinggi Agama Buddha dan mengandung rasa rendah hati yang didasari sedalam-
dalamnya oleh penciptanya, dan Candi Borobudur juga merupakan bangunan replika
dari kosmos sesuai yang digariskan oleh Kosmologis India dan Buddhis yang memiliki
kesan mendalam bahwa “a complicated building with a very special characters of its
own and a religious document in its own right.” (Joesoef, 2015: 45).
kehidupan peradaban manusia, baik kisah manusia yang sedang terjadi di masa itu
catatan sejarah perkembangan peradaban dan budaya ketika Candi Borobudur didirikan
di Jawa Tengah pada abad IX, daerah Jawa telah dihuni oleh manusia selama ribuan
tahun. Artifak-artifak dari batu, tulang, dan kerang membuktikan adanya homonid
muda. Kemudian datangnya para pendatang seperti suku Mongoloid menyebar dari
ke Pasifik dan ke arah barat hingga Madagaskar. Banyak unsur-unsur budaya yang
48
sama dan identik ditemukan di wilayah ini, seperti rumah panggung, tanaman, serta
menjadi jalinan kontak komersial yang berakhir pada usaha perdagangan tunai.
Perdagangan maritim dengan perahu menjadi tipe perdagangan yang dilakukan selama
berabad-abad. Lalu lintas perdagangan tidak hanya jalan penyaluran barang saja, tetapi
ide termasuk doktrin keagamaan. Begitu terjalin kontak dengan orang-orang asing,
penduduk di pesisir terbuka bagi aneka ragam pengaruh baru. Namun pikiran budaya
asing tersebut tidak diterima begitu saja, tetapi diseleksi bahkan ditolak, lalu
Hal ini sangat terlihat jelas pada relief Candi Borobudur. Relief-relief candi
Jawa selama periode Hindu-Jawa. Salah satu relief yang paling terkenal yang
dalam relief tersebut terukir kapal beserta seluruh awak kapal yang sedang berlayar
kemajuan teknologi masyarakat Jawa semasa itu dalam membuat kapal dari kayu untuk
berlayar. Hal ini sangat cocok dengan sejarah bahwa pada masa Wangsa Syailendra
yang memiliki era keemasan terdapat kemajuan yang signifikan dari segi peradaban
masyarakat Jawa pada jaman dahulu dalam mengembangkan budaya teknologi serta
masyarakatnya.
49
sampai ke Madagaskar hingga Afrika selama kurun waktu 1 abad. Pada tanggal 20
Januari 2003, Kapal Samudraraksa direprodruksi kembali oleh seniman Indonesia dan
pada tanggal 26 Mei 20013. Kapal replika Samudraraksa pun melakukan ekspedisi
pelayaran dimulai dari keberangkatan dari Jakarta melewati Madagaskar, Cape Town,
kemudian dilanjutkan ke Pantai Barat Afrika dan berakhir di Ghana pada tanggal 23
Februari 2004.
perkembangan peradaban manusia pada masa itu serta menjadi saksi atas budaya
pribadi dan kolektif bangsa Indonesia. Semua warisan budaya tua tersebut
menunjukkan adanya sharing dalam engineering skills, filosofi religius dan nilai-nilai
memiliki segi akulturasi budaya dengan India namun masih dengan begitu
Tidak hanya itu, relief Candi Borobudur juga dokumentasi visual mengenai
banyak kejadian, perbuatan, dan kegiatan yang sampai sekarang masih bisa ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat saat ini di seluruh Indonesia (Joesoef,
2015 : 48). Relief-relief juga menunjukkan bahwa bagaimanapun sikap dan keyakinan
spiritual orang-orang pada zaman itu sangatlah kuat dan memiliki perhatian yang cukup
besar.
50
kepuasan berlibur, namun juga secara tidak langsung mempelajari budaya bangsa
Jepang akan memberikan dampak berupa ketertarikan lebih baik untuk Candi