Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Listiana (2005) dengan judul

“Pengaruh Obyek Wisata Candi Borobudur Terhadap Perilaku Sosial Ekonomi

Pedagang Di Kawasan Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang”

menyatakan dalam kesimpulannya bahwa Candi Borobudur memiliki potensi

pengembangan ekonomi yang sehat melalui para pedagang dan wisatawan yang

berkunjung. Kausar (2010) dengan judul “Rethingking the Role of World Heritage Sites

in Development: Cases of Cultural Sites in Indonesia and Cambodia” menyimpulkan

dalam penelitiannya bahwa Candi Borobudur memiliki potensi sebagai tempat

berkembangnya kebudayaan, baik terhadap para pedagang maupun para wisatawan

asing yang memberi dampak baik pada kemampuan ekonomi negara dan memperdaya

lingkungan sosial yang ada di dalamnya. Dalam Jurnal Kepariwisataan Indonesia (Vol.

8 No. 1 Maret 2013) menyatakan bahwa peran tourguide sangat penting dalam

memfasilitasi peserta tour dalam memahami budaya lokal. Adapun pada konteks

pariwisata Indonesia, pengembangan paket wisata hemat memiliki keunggulan yang

dapat ditonjolkan, yaitu rasa aman yang tetap dapat ditawarkan disamping kesempatan

untuk melakukan eksplorasi untuk meningkatkan pemahaman akan budaya Indonesia.

Penulis juga menghimpun penelitian terdahulu lainnya mengenai bentuk fisik

Candi Borobudur yang dilakukan oleh Mentari (2012) dengan judul “Bentuk dan Tata

Letak Stupa di Candi Borobudur” menyatakan bahwa hubungan antara bentuk dan

11
12

keletakan stupa dapat dilihat dari penempatan stupa pada tiap teras stupa yang beragam

sesuai dengan tipe stupa. Penelitian ini pula mengemukakan bahwa terdapat tiga

macam fungsi stupa di Candi Borobudur berdasarkan dari segi struktur bangunan dan

ukiran pada stupa candi. Penelitian oleh Mentari juga menyatakan bahwa berdasarkan

hubungan antara bentuk dan konteks tata letak stupa, dapat diketahui bahwa semakin

tinggi tingkatan teras Candi Borobudur, semakin tinggi pula kedudukan stupa yang

terletak pada dalam ketekan teras tersebut. Bentuk stupa yang berada di puncak

(terletak paling tinggi) mempunyai ukuran paling besar dan terdiri dari bagian-bagian

penyusun stupa (prasadha, anda, harmika, dan yathsi) dengan hiasan paling lengkap.

Penulis juga menemukan salah satu penelitian seorang arkeolog Jepang yang

meneliti tentang keterkaitan Candi Borobudur dengan Zutou yang ada di Perfektur

Nara, Jepang. Sakai dalam tulisannya “Kodai ni okeru Buttou no Denpa: Borobudur

to Nara Zutou no Kankei ni Tsuite” atau dalam bahasa Inggris berjudul “The Diffusion

of Buddhist Stupas in Ancient Times: Concerning the Relationship of Borobudur with

Zuto in Nara” menyatakan bahwa stupa dibangun berbentuk seperti piramid serta

memiliki hubungan yang sangat lekat dengan nilai-nilai Buddha. Stupa yang menjadi

media penyembahan dalam agama Buddha memiliki bentuk yang berbeda-beda karena

setiap pagoda/candi merepresentasikan budaya lokal dimana letak pagoda/candi itu

berada. Keistimewaan Candi Borobudur dalam penelitian milik Sakai adalah stupa

yang dimiliki Candi Borobudur tidak sama dengan stupa yang ada di pagoda/candi

lainnya di seluruh dunia. Sakai menemukan keunikan lain, bahwa penyebaran Buddha

pada masa Wangsa Syailendra merupakan era penyebaran agama Buddha paling besar

semasa bhiksu asal China bernama I-tsing yang telah berziarah lama di Wangsa
13

Shrivijaya dan mengajarkan kitab Vajarayana. Berdasarkan hal ini Sakai berasumsi

bahwa (bentuk) kuil gunung khas Indonesia merupakan perpaduan antara ajaran

Vajarayana dengan ajaran Huayen Tsung yang menjadi pengaruh berkembangnya nilai

Buddhistik di Nara, Jepang. Berdasarkan fakta ini pula Sakai berpendapat, keseluruhan

bentuk kuil Buddha baik Candi Borobudur maupun Zutou yang ada di Nara memiliki

kesamaan bentuk yaitu bentuk piramid dengan landasan nilai Buddha yang terdapat di

dalamnya.

Beberapa penelitian terdahulu tersebut menyatakan bahwa Candi Borobudur

memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh obyek wisata lain di Indonesia

maupun candi-candi lain yang ada di Indonesia. Selain menjadi bagian dari situs

warisan dunia oleh UNESCO, Candi Borobudur juga memiliki daya tarik tersendiri

dalam bidang pariwisata sekaligus menjadi sebuah monumen bersejarah kebanggan

bagi bangsa Indonesia. Corak Buddha yang ditampilkan dari segala sisi Candi

Borobudur pada setiap unsur-unsurnya memiliki pesan tersendiri akan keajaiban

perkembangan peradaban manusia di masa lampau sekaligus bukti nyata akan adanya

sebuah peradaban manusia yang dipaparkan dari sudut pandang religi yang terdapat di

dalamnya. Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan estetika, namun

juga cerminan budaya lokal masyarakat setempat.

Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis adalah sama-sama

memilih Candi Borobudur sebagai objek utama penelitian, baik sebagai lokasi

penelitian maupun meneliti keunikan Candi Borobudur itu sendiri. Sedangkan

perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang sebelumnya adalah penulis ingin

mengkaji sisi estetika dari nilai historis, spiritual dan kultural Candi Borobudur
14

berdasarkan pendapat wisatawan Jepang melalui pemaparan informasi tentang Candi

Borobudur oleh tourguide khusus wisatawan Jepang di Taman Wisata Candi

Borobudur.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Konsep Budaya Dalam Studi Antropologi

Antropologi budaya merupakan cabang besar dari antropologi umum yang

menyelidiki kebudayaan pada umumnya dan berbagai kebudayaan serta berbagai

bangsa di seluruh dunia. Persoalan antropologi muncul ketika kehidupan sosial budaya

masyarakat semakin mengalami dinamika dan perubahan. Konsep “budaya” dalam

ilmu antropologi sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Seperti definisi yang

diajukan para antropolog jelas sangat berbeda dengan arti yang biasa diberikan kepada

konsep itu dalam bahasa sehari-hari, yaitu arti yang terbatas kepada hal-hal yang indah

seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara, kesusastraan dan filsafat, definisi ilmu

antropologi, jauh lebih luas sifat dan ruang lingkupnya (Koentjaraningrat, 1980).

Konsep manusia atau masyarakat manusia sebagai pemilik kebudayaan juga

merupakan konsep tak terpisahkan dari konsep kebudayaan atau budaya tersebut. Dari

kedua konsep dasar tersebut munculah berbagai konsep penting lainnya yang tak

terbilang jumlahnya. Studi antropologi budaya tidak lain dari studi tentang masyarakat

manusia dan kebudayaannya serta menyelidiki seluruh cara hidup manusia.


15

2.2.2 Tiga Wujud Kebudayaan Koendjaraningrat

Kebudayaan secara garis besar berwujud dari tiga hal, yaitu: 1) Wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-

norma, peraturan dan sebagainya. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Wujud kebudayaan

sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam penjabaran yang lebih spesifik,

Koendjaraningrat juga menyatakan adanya relasi melalui pendekatan dari sesuatu yang

bersifat abstrak dengan sifat yang konkret (Koendjaraningrat, 1974:6, 7, 8).

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak dan tak

dapat diraba. Lokasi dari wujud pertama ada di dalam kepala-kepala setiap individu,

atau dengan kata lain dalam pikiran dari setiap warga masyarakat dimana kebudayaan

yang bersangkutan itu hidup. Namun sekarang banyak gagasan-gagasan yang sudah

dituliskan dan dipatenkan lewat media-media. Hal ini yang membuat Koendjaraningrat

berpendapat bahwa suatu gagasan-gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norma-norma serta

peraturan yang telah dipatenkan dalam lingkup masyarakat disebut dengan kebudayaan

ideal. Kebudayaan ideal juga sudah dapat didokumentasikan akibat perkembangan

teknologi di masyarakat sehingga wujud pertama yang bermula bersifat abstrak kini

mendekat pada sifat yang lebih konkret.

Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut dengan sistem sosial, yaitu

mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari

aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan

yang lain. Maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di lingkungan sekitar kita

sehari-hari, bisa diobservasi, difoto maupun didokumentasikan.


16

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan

keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik suatu aktivitas,

perbuatan, dan karya masyarakat, oleh sebab itu wujud ini bersifat paling konkret, serta

berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

Berdasarkan pemaparan Koendjaraningrat ini penulis menarik pernyataan yang

sungguh apa adanya berkaitan dengan penelitian terhadap Candi Borobudur. Yakni

wujud pertama yaitu pada gagasan-gagasan Buddha yang dianut oleh Wangsa

Syailendra dan rakyatnya yang kemudian dibentuk secara konkret melalui relief-relief

yang terdapat di Candi Borobudur. Sedangkan pada wujud kedua dapat dilihat berbagai

macam bentuk interaksi sosial yang terjadi di Taman Wisata Candi Borobudur, salah

satu contohnya adalah bentuk interaksi antara tourguide dengan wisatawan Jepang

ketika memaparkan Candi Borobudur saat berwisata. Wujud ketiga yaitu adanya bukti

nyata kemegahan Candi Borobudur yang didirikan baik dari segi sejarah murninya

maupun sejarah pembaharuannya. Pembangunan maha-karya Candi Borobudur tidak

semata-semata sebagai simbol dari suatu keyakinan, namun juga suatu karya dari buah

kerjasama masyarakat dalam mengabdi kepada Wangsa yang memimpin mereka pada

masa saat itu.

2.2.3 Definisi Mitos dan Mitologi

Cerita-cerita yang tergambar pada setiap relief merupakan gambaran dari

perkembangan peradaban manusia dari tingkat terendah hingga tertinggi atau nirwana.

Setiap tingkatan menceritakan nilai-nilai ajaran Buddha, dari reinkarnasi dewa-dewa

dalam berbagai wujud makhluk hidup, kehidupan sebelum kelahiran Sang Buddha,
17

kelahiran serta kehidupan Sidharta Gautama saat menjadi pangeran kerajaan, hingga

proses Sidharta Gautama beralih untuk bertapa dan berubah menjadi Sang Buddha atau

Buddha Agung. Hal ini menjadikan penulis ingin memahami lebih keterkaitan makna

cerita pada relief dengan mitos-mitos yang timbul di Candi Borobudur, untuk

pendekatan hasil penelitian yang lebih akurat, penulis mencantumkan teori definisi

mitos dan mitologi.

Mitos atau mite merupakan sebuah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah

berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan

makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita

atau penganutnya. Sedangkan mitos menurut Kamus Dewan (edisi ke-2) adalah cerita

atau kisah tentang dewa-dewa dan orang atau makhluk luar biasa pada zaman dahulu

yang dianggap oleh setengah golongan masyarakat sebagai kisah benar dan merupakan

kepercayaan berkenaan kejadian dewa-dewa dan alam seluruhnya. Menurut Harsojo

(1988), mitos adalah sistem kepercayaan dari suatu kelompok manusia, yang berdiri

atas sebuah landasan yang menjelaskan cerita-cerita yang suci yang berhubungan

dengan masa lalu. Mitos yang dalam arti asli sebagai kiasan dari zaman purba

merupakan cerita yang asal usulnya sudah dilupakan, namun ternyata pada zaman

sekarang mitos dianggap sebagai suatu cerita yang dianggap benar.

Mitos juga merujuk pada suatu cerita dalam sebuah kebudayaan yang dianggap

mempunyai kebenaran mengenai suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu

serta dianggap sebagai suatu kepercayaan dan kebenaran mutlak yang dijadikan

sebagai rujukan, atau merupakan suatu dogma yang dianggap suci dan mempunyai

konotasi upacara. Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1986:50), mite adalah cerita
18

prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita.

Dalam mite, tokohnya adalah para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi

di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada

masa lampau. Oleh karena itu, dalam mite sering terdapat beberapa tokoh pujaan yang

dipuji dan atau sebaliknya, ditakuti. Di sisi lain, pemahaman atas cerita yang bernuansa

mitos sering kali diikuti dengan adanya penghormatan yang dimanifestasikan ke dalam

wujud pengorbanan. Hal ini menyiratkan bahwa dalam mitos pada kenyataannya

melahirkan sebuah keyakinan, karena tokoh dalam mitos bukan tokoh sembarangan.

Keyakinan inilah yang sering mempengaruhi pola pikir kearah takhayul.

Penulis setuju dengan definisi mitos/mite oleh Bascom, karena mitos adalah

sebuah cerita yang dipopulerkan secara klasiknya lewat mulut ke mulut masyarakat di

lingkungan mitos itu berada. Namun tidak sedikit pula mitos yang beredar dianggap

benar oleh beberapa orang sehingga bagi mereka yang membenarkan mitos tersebut

sungguh menjaga baik tradisi-tradisi adat untuk menjaga kesakralan mitos tersebut.

Berdasarkan pengamatan penulis, penulis merangkum beberapa mitos yang terdapat di

Candi Borobudur setidaknya 3 mitos besar yang sudah terkenal, yaitu Karmavibhangga,

Lalittavistara, Jataka/Avadana, dan Gandavyuha.

Sedangkan mitologi adalah kajian mengenai mitos atau suatu himpunan atau

koleksi dari berbagai mitos, dan mitologi yang mencakup berbagai mitos-mitos

tersebut pada Candi Borobudur ialah 3 unsur alam semesta yang ter-representasikan

oleh bangunan candi yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, serta Arupadhatu. Wisatawan yang

mengunjungi Candi Borobudur akan mendapat pemaparan tentang mitos-mitos serta

mitologi-mitologinya, baik melalui tourguide maupun dari selebaran brosur tentang


19

Candi Borobudur sebagaimana banyak kisah “misteri” yang belum terungkap

kebenarannya sehubungan dengan mitos-mitos yang ada di Candi Borobudur itu

sendiri.

2.2.4 Religi, Ritual & Konsep Buddha

2.2.4.1 Religi

Koentjaraningrat (1987), mengatakan religi merupakan bagian dari

kebudayaan, ada yang mengatakan bahwa suatu sistem religi merupakan suatu

agama yang berlaku hanya pada penganutnya saja. Crawley (1905) dan Gennep

(1909) menyatakan dalam kehidupan manusia ada masa kritis (crisis rites/ rites de

passage) yaitu kemungkinan adanya sakit maut pada masa kanak-kanak, peralihan

usia dari muda ke dewasa, masa hamil, masa melahirkan dan akhirnya kematian.

Dalam menghadapi masa kritis tersebut manusia butuh melakukan perbuatan

untuk memperteguh imannya dan kekuatan dirinya, yang berupa upacara-upacara

masa kritis dimana menjadi awal dari religi bentuk tertua.

Candi Borobudur kerap juga memiliki sebutan “kitab akbar” penganut

Buddha, yang menjadikan pengingat bagi umatnya saat mengunjungi Candi

Borobudur untuk peribadatan. Banyak biksu yang melakukan ritual pradagsina

(mengitari bangunan candi searah jarum jam) serta berdo’a dalam memenuhi

kebutuhan spiritual mereka. Penulis menyaksikan langsung saat berada di Candi

Borobudur terdapat beberapa biksu maupun penganut Buddha lain yang


20

menyengaja diri mereka berkunjung ke Candi Borobudur untuk memenuhi

kebutuhan religius mereka.

2.2.4.2 Ritual

Preusz (1914) mengungkapkan bahwa pusat dari tiap sistem religi dan

kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan

yang diangggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu manusia

mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan

hidupnya. Penelitian budaya juga dapat memfokuskan kepada simbol-simbol ritual.

Spradley (1997) menyatakan bahwa simbol adalah objek atau peristiwa apapun

yang menunjuk pada sesuatu. Simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang

menyimpan makna dari suatu tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang

bersifat khas, seperti sesaji-sesaji, mantra, jimat dan ubarampe atau perlengkapan

ritual.

Hal ini sangat jelas terjadi setiap tahun baru waisak di Candi Borobudur.

Para penganut Buddha dari berbagai negara turut berpartisipasi merayakan hari

raya waisak di Candi Borobudur. Beberapa video dokumentasi menayangkan

upacara-upacara ritual dalam hari raya waisak di Candi Borobudur yang dilakukan

oleh biksu-biksu, dari menyebrangi sungai kulon progo, berjalan menuju Candi

Mendhut dan melakukan do’a pemujaan, lalu berziarah di Candi Pawon hingga

akhirnya melakukan pencapaian ritual akhir pradagsina serta melepaskan lampion

ke udara sebagai simbol mengantar do’a yang dipanjatkan kepada Yang Kuasa di

Candi Borobudur.
21

2.2.4.3 Konsep Buddha

Candi Borobudur dalam segala seginya dibangun atas dasar konsep dan

ajaran Sang Buddha. Agama Buddha menyatakan bahwa “Buddha” atau “Yang

Tercerahkan”, adalah sosok yang menemukan kembali kebijaksanaan kuno, yang

telah berlaku lama bahkan sepanjang masa. Penemuan itu terjadi di Bihar India,

sekitar tahun 600 SM atau 400 SM. Perumusan kembali kebijaksanaan abadi

tersebut dirancang untuk mengatasi tiga kejahatan, yaitu Kekerasan, “Diri”, dan

Kematian (Conze, 2007: vii). Agama Buddha juga mengajarkan faham tentang

bagaimana manusia melenyapkan karma, memutuskan lingkaran samsara

(penderitaan), dan pada akhirnya mencapai nirwana (kesempurnaan).

Konsep agama ini adalah suatu mata rantai kehidupan dalam lingkaran

tanpa akhir, dimana lingkaran kehidupan penuh dengan penderitaan, dunia nampak

fana dan hidup dengan segala lingkupnya adalah khayalan, kemudian hidup juga

sebagai kelanjutan dari kehidupan terdahulu dan hidup adalah persiapan untuk

kehidupan selanjutnya. Oleh sebab itu Buddha pada dasarnya bukanlah agama

yang di dalam ajarannya memiliki Tuhan yang disembah (agama ciptaan). Ritual

yang paling menjadi ciri khas dalam agama Buddha adalah ritual meditasi,

pradagsina, serta upacara memperingati datangnya Sang Buddha di bumi yaitu

upacara waisak yang di dalam unsur-unsur upacara tersebut terdapat serangkaian

ritual lain untuk puja-puji kepada Sang Buddha.


22

2.2.5 Pariwisata

2.2.5.1 Pengertian Pariwisata

Istilah pariwisata berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua

suku kata yaitu “pari” dan “wisata”. Pari berarti berulang-ulang atau berkali-kali,

sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Jadi pariwisata memiliki arti

perjalanan yang dilakukan secara berulang-ulang atau berkali-kali (Musanef,

1996:8). Menurut Sutrisno (1998:23) pariwisata adalah istilah yang diberikan

apabila wisatawan melakukan perjalanan itu sendiri, atau dengan kata lain aktivitas

dan kejadian yang terjadi ketika seorang pengunjung melakukan perjalanan.

Pendit (2002) mengungkapkan bahwa pariwisata adalah bagian yang

tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia terutama dalam menyangkut

kegiatan sosial dan ekonomi. Menurut Pendit, peran kekuasaan membuat hanya

segelintir orang kaya saja yang boleh melakukan kegiatan pariwisata. Namun

dalam praktiknya pariwisata kini menjadi bagian dari hak asasi manusia.

Pendit juga memperinci kembali pariwisata berdasarkan jenis-jenisnya,

yaitu:

a. Wisata budaya

Suatu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk

memperluas wawasan hidup seseorang dengan cara mengadakan

kunjungan ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan

rakyat, kebiasaan dan adat istiadat mereka, cara hidup mereka,

kebudayaan dan seni mereka.


23

b. Wisata kesehatan

Perjalanan seseorang wisatawan dengan tujuan untuk menukar keadaan

dan lingkungan tempat sehari-hari dimana ia tinggal demi kepentingan

beristirahat baginya dalam arti jasmani dan rohani.

c. Wisata olahraga

Wisatawan-wisatawan yang melakukan perjalanan dengan tujuan

berolahraga atau memang sengaja bermaksud mengambil bagian aktif

dalam pesta olahraga di suatu tempat atau negara.

d. Wisata komersial

Termasuk perjalanan untuk mengunjungi pameran pameran dan pekan

raya yang bersifat komersial, seperti pameran industri, pameran dagang

dan sebagainya.

e. Wisata industri

Perjalanan yang dilakukan oleh rombongan pelajar atau mahasiswa,

atau orang-orang awam ke suatu kompleks atau daerah perindustrian,

dengan maksud dan tujuan untuk mengadakan peninjauan atau

penelitian.

f. Wisata Bahari

Wisata yang banyak dikaitkan dengan danau, pantai atau laut.

g. Wisata Cagar Alam

Jenis wisata yang biasanya diselenggarakan oleh agen atau biro

perjalanan yang mengkhususkan usaha-usaha dengan mengatur wisata

ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah


24

pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh

undang-undang.

h. Wisata bulan madu

Suatu penyelenggaraan perjalanan bagi pasangan-pasangan pengantin

baru yang sedang berbulan madu dengan fasilitas-fasilitas khusus dan

tersendiri demi kenikmatan perjalan.

Dari pengertian terdapat beberapa hal yang penting yaitu:

a. Perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu.

b. Perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain.

c. Perjalanan itu, walaupun apa bentuknya harus selalu dikaitkan dengan

bertamasya dan rekreasi, melihat dan menyaksikan atraksi-atraksi wisata.

d. Orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat /

daerah yang dikunjungi dan semata-mata sebagai konsumen di tempat

tersebut, dengan mendapat pelayanan.

Penulis secara keseluruhan menyetujui teori milik Pendit karena penulis

beranggapan untuk fenomena pariwisata yang terjadi di Candi Borobudur sangat

mengacu pada jenis-jenis pariwisata yang dikemukakannya. Candi Borobudur

merupakan destinasi yang sangat bagus sebagai tempat untuk mempelajari kebudayaan

masyarakat sekitar. Seperti adanya Desa Wisata Borobudur, yaitu desa sekitar

Borobudur yang dilokasikan khusus bagi wisatawan mancanegara untuk mengenal

lebih dekat dengan masyarakat jawa tengah khususnya di Desa Borobobudur, serta

terdapatnya beberapa rumah warga yang menjadi homestay untuk para wisatawan.
25

Selain itu, Candi Borobudur merupakan kuil agung umat Buddha di seluruh

dunia. Hal ini dikarenakan sering berkunjungnya para bikhu dan bikhuni dari Thailand,

Tibet, maupun Indonesia sendiri dalam mensucikan keadaan jasmani dan rohani

mereka menghayati agama Buddha. Candi Borobudur juga dijadikan aset komersial

pada iklan wisata Visit-Indonesia Wonderful Indonesia dalam rangka perayaan waisak

2016 lalu serta dijadikan lokasi event acara olahraga besar berjudul “Borobudur

International 10k & Half Marathon” sebagai bentuk promosi pariwisata Indonesia yang

diselenggarakan oleh Kementrian Pariwisata Indonesia, serta masih banyak lagi

pendekatan Pendit yang sangat cocok dengan keadaan pariwisata Candi Borobudur.

Sebagai salah satu warisan dunia, Candi Borobudur tidak pernah luput dari

pengawasan UNESCO dalam perawatannya dan tidak sedikit petugas UNESCO datang

untuk melakukan riset penelitian mempelajari “misteri” yang belum terungkap tentang

Candi Borobudur.

2.2.5.2 Tujuan Pariwisata

Penyelenggaraan kepariwisataan mempunyai tujuan yaitu:

a. Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan

meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata.

b. Memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan

antar bangsa.

c. Memperluas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan

kerja.
26

d. Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

e. Mendorong pendayagunaan produksi nasional

2.2.6 Wisatawan

2.2.6.1 Definisi Wisatawan

Banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur

adalah fakta bahwa Candi Borobudur merupakan destinasi impian banyak orang

untuk berwisata, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Oleh sebab itu

penulis memaparkan beberapa teori tentang definisi wisatawan dari berbagai

sumber sekaligus pemaparan jenisnya yang sekiranya sangat cocok dengan kriteria

wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur.

Menurut Musanef (1996: 16) wisatawan adalah orang-orang yang

melakukan perjalanan atau kunjungan sementara, tinggal sekurang-kurangnya 24

jam di negara yang di kunjungi dengan motif perjalanan:

a. Kesenangan, liburan, kesehatan, belajar, keagamaan dan olahraga.

b. Usaha, kunjungan keluarga, misi dan pertemuan

Berdasarkan batasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

ditarik kesimpulan ciri seorang wisatawan yaitu:

a. Orang yang melakukan perjalanan.

b. Perjalanan itu dilakukan hanya untuk sementara waktu.


27

c. Orang yang melakukannya tidak mencari nafkah di tempat

atau negara yang dikunjungi.

Menurut Norval (dalam Yoeti, 1995) wisatawan adalah setiap orang

yang datang dari suatu negara yang alasannya bukan untuk menetap atau

bekerja di situ secara teratur, dan yang di negara dimana ia tinggal untuk

sementara itu membalanjakan uang yang didapatkannya di lain tempat.

Sedangkan menurut Soekadijo (2000:2), wisatawan adalah pengunjung

di negara yang dikunjunginya setidak-tidaknya tinggal 24 jam dan yang datang

berdasarkan motivasi:

a. Mengisi waktu senggang atau untuk bersenang-senang,

berlibur, untuk alasan kesehatan, studi, keluarga, dan

sebagainya.

b. Melakukan perjalanan untuk keperluan bisnis.

c. Melakukan perjalanan untuk mengunjungi pertemuan-

pertemuan atau sebagai utusan (ilmiah, administrative,

diplomatik, keagamaan, olahraga dan sebagainya).

d. Dalam rangka pelayaran pesiar, apabila ia tinggal kurang dari

24 jam.

Menurut Karyono (1997), Berdasarkan sifat perjalanan, lokasi di mana

perjalanan dilakukan wisatawan dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu :

a. Foreign Tourist (Wisatawan asing)

Orang asing yang melakukan perjalanan wisata, yang

datang memasuki suatu negara lain yang bukan merupakan


28

negara di mana ia biasanya tinggal. Wisatawan asing disebut

juga wisatawan mancanegara atau disingkat wisman.

b. Domestic Foreign Touris

Orang asing yang berdiam atau bertempat tinggal di suatu

negara karena tugas, dan melakukan perjalanan wisata di

wilayah negara di mana ia tinggal. Misalnya, staf kedutaan

Belanda yang mendapat cuti tahunan, tetapi ia tidak pulang

ke Belanda, tetapi melakukan perjalanan wisata di Indonesia

(tempat ia bertugas).

c. Domestic Tourist (Wisatawan Nusantara)

Seorang warga negara suatu negara yang melakukan

perjalanan wisata dalam batas wilayah negaranya sendiri

tanpa melewati perbatasan negaranya. Misalnya warga

negara Indonesia yang melakukan perjalanan ke Bali atau

ke Candi Borobudur. Wisatawan ini disingkat wisnus.

d. Indigenous Foreign Tourist

Warga negara suatu negara tertentu, yang karena tugasnya

atau jabatannya berada di luar negeri, pulang ke negara

asalnya dan melakukan perjalanan wisata di wilayah

negaranya sendiri yang merupakan kebalikan dari Domestic

Foreign Tourist.
29

e. Transit Tourist

Wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu

Negara tertentu yang terpaksa singgah pada suatu

pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri.

f. Business Tourist

Orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan bisnis

bukan wisata tetapi perjalanan wisata akan dilakukannya

setelah tujuannya yang utama selesai. Jadi perjalanan wisata

merupakan tujuan sekunder, setelah tujuan primer yaitu

bisnis selesai dilakukan.

2.3 Candi Borobudur

2.3.1 Nama Candi Borobudur

Menurut Soekmono, sebagian besar dari candi di Indonesia tidak lagi diketahui

nama aslinya. Agar bisa dimasukkan ke dalam daftar khazanah pusaka budaya bangsa,

candi-candi itu diberi nama menurut desa tempat monumen tersebut ditemukan.

Sebaliknya, bila ada candi yang masih tetap menyandang nama aslinya, desanya lalu

disebut menurut nama candi yang bersangkutan (Joesoef, 2015:1).

Mengenai Candi Borobudur sulit ditentukan apakah namanya mengikuti nama

desanya atau desanya yang mengambil nama dari candi tersebut. Menurut

Poerbatjaraka, kata asli dari “boro” adalah “biara”. Karena itu beliau menyimpulkan

bahwa sebutan “Borobudur” ialah “Biara Budur”. Tafsiran ini sangat menarik perhatian

banyak orang mengingat aktivitas penggalian untuk keperluan penelitian ilmiah yang
30

pernah dilakukan pada tahun 1952 di halaman sebelah barat laut bangunan Candi

Borobudur. Penelitian tersebut telah berhasil menemukan fondasi batu bata dan sebuah

genta perunggu berukuran besar. Genta ini memperkuat dugaan bahwa fondasi yang

ditemukan tersebut adalah sisa-sisa sebuah biara. Bila dikaitkan dengan kitab kuno

Nagarakertagama menyebut nama “Budur”, maka besar sekali kemungkinannya

bahwa tafsiran Poerbatjaraka itu tepat (Joesoef, 2015: 2).

Pada tahun 1814 Thomas Stanford Raffles menerima laporan ditemukannya

sebuah peninggalan purbakala bernama “Borobudur” di Desa Bumisegoro, sedangkan

dalam babad (kitab sejarah Jawa) dari abad XVIII ada disebutkan “Bukit Borobudur”.

Kata “budur” kiranya dapat dikiaskan sebagai “bukit”. Maka Raffles mengajukan

suatu keterangan lain lagi, yaitu “boro” yang berarti “agung”, sedangkan “budur”

sama dengan “Buddha”. Sehingga sebutan “Borobudur” kiranya berarti “Sang Buddha

Yang Agung”, hingga Candi Borobudur memperoleh namanya menurut Sang Buddha

tersebut. Memang benar bahwa kata Jawa “boro” memiliki “agung”, walaupun arti

yang lebih tepat sebenarnya adalah “yang terhormat” (Joesoef, 2015 : 2-3).

Di pihak lain, kata “bhara” dalam bahasa Jawa Kuno dapat pula berarti

“banyak”, seperti halnya kata “para” dalam bahasa Jawa sekarang yang kini sering pula

dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan pengertian jamak. Dengan

demikian, “Borobudur” dapar diartikan dengan “Buddha yang banyak”, sehingga

banyaknya jumlah arca Buddha di Candi Borobudur itu menjadi sebab penamaan

tersebut. Sarjana Belanda Moens, mengemukakan pendapat berdasarkan keadaan di

India Selatan. Istilah “bharabuddha” sebagai sebutan bagi para pengikut taat agama

Buddha yang kemudian diberi kata Tamil “ur” yang berarti “kota”. Maka,
31

“bharabuddha + ur” yang berarti “kota para penjunjung tinggi Sang Buddha hingga

kini menjadi “Borobudur” (Joesoef, 2015 : 6).

2.3.2 Sejarah Pembangunan Candi Borobudur

Menurut Yamin (1989) sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang disusun

atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan kenyataan.

Secara umum sejarah dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang terjadi pada masa

lampau. Sejarah Candi Borobudur merupakan suatu peristiwa yang menceritakan asal-

usul kemunculan Candi Borobudur. Para arkeolog dan ahli sejarah sepakat untuk

menduga bahwa Candi Borobudur didirikan semasa periode Jawa Tengah dalam

sejarah Hindu-Jawa antara tahun 650 dan 930 M (Joesoef, 2015:7).

Ada berbagai indikasi yang menunjukkan bahwa pembangunannya terjadi di

sekitar tahun 800 M dan penyelesaiannya memerlukan waktu 50 sampai dengan 70

tahun. Dibangun bagai “batok mengkurep”, tempurung kelapa (atau mangkuk) yang

telungkup, menutupi sebuah bukit alam, tanpa fondasi. Pada kaki bangunan dari batu

masif itu, tampak kaki tambahan, yang menurut dugaan dibuat untuk memperkokoh

candi yang tak berfondasi tersebut. Kaki tambahan tersebut mulai ditemukan oleh Ir.

Ijzerman pada tahun 1885. Berkat penemuan kaki tambahan inilah diketahui

bagaimana candi ini dibuat atau teknologi pembangunan (sistem pembangunan) apa

yang digunakan pada waktu itu (Joesoef, 2015:7).

Sir Thomas Stanford Raffles mengutus seorang Belanda yang sudah

berpengalaman dalam masalah percandian di Jawa, utusan tersebut bernama Cornelius,

untuk mengadakan peninjauan terhadap Candi Borobudur pada tahun 1814. Laporan
32

Cornelius dipublikasikan lewat buku Raffles pada tahun 1817 dengan judul The History

of Java yang kemudian menarik perhatian masyarakat yang lebih luas, termasuk

komunitas pemerhati dan ilmuwan arkeolog asing di dalam dan luar negeri. Usaha

pemugaran pun dilakukan oleh pakar asing dan pejabat-pejabat Belanda, baik karena

minat pribadi maupun atas penugasan resmi dari pemerintah Hindia Belanda. Bahkan

penguasa militer Jepang menunjukkan perhatian yang memadai pada keadaan candi

(Joesoef, 2015:12).

Pada bulan Agustus tahun 1907 Van Erp memimpin langsung proses

pemugaran Candi Borobudur secara besar-besaran dan berakhir pada tahun 1911. Pada

tanggal 29 Januari 1973 ditandatangani persetujan antara UNESCO dengan Pemerintah

Indonesia dengan beberapa Member States yang bersedia membantu pendanaan

pemugaran Candi Borobudur. Kerja besar pemugaran candi periode berikutnya secara

resmi dimulai pada tanggal 10 Agustus 1973, dengan mengerahkan tenaga teknis dan

pekerja sebanyak 600 sampai 700 orang. Sepuluh tahun kemudian, pada tanggal 23

Februari 1983, pemugaran Candi Borobudur dengan resmi dinyatakan berakhir sukses

dan Presiden Soeharto dengan disaksikan oleh Direktur Jenderal UNESCO, A.M.

M’bow, menandatangani Prasasti dan Sampul Hari Pertama Perangko Seri Borobudur

(Joesoef, 2015 : 16-17). Peresmian Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia

terjadi pada tahun 1991 dengan UNESCO meresmikan Candi Borobudur adalah situs

warisan dunia dengan nomor urut ke-592.


33

2.3.3 Historis Candi Borobudur

Sampai sekarang tidak ditemukan dokumen tertulis yang menyatakan secara

eksplisit kapan Candi Borobudur dibangun, siapa yang memerintahkan

pembangunannya dan untuk apa didirikan. Namun dengan membandingkan berbagai

kejadian, jenis huruf prasasti dan peninggalan budaya, telah ditarik suatu perkiraan.

Berdasarkan pigura-pigura relief dari kaki asli Candi Borobudur terdapat pahatan

tulisan-tulisan singkat berhuruf sejenis dengan apa yang ditemukan pada prasasti-

prasasti dari akhir abad VIII hingga awal abad IX. Hal ini yang menyimpulkan bahwa

Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 Masehi, berpenampilan Buddhistik, dan

dibangun semasa pemerintahan Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra, yaitu

wangsa (dinasti) yang dikenal dalam sejarah menjunjung tinggi agama Buddha

Mahayana. Kesimpulan ini sesuai dengan pola sejarah daerah Jawa Tengah pada kurun

waktu antara pertengahan abad VIII dan pertengahan abad ke IX. Periode ini terkenal

sebagai Abad Emas Syailendra atau “Penguasa Pegunungan” (Rulers of Mountain).

Menurut Soekmono (dalam Joesoef, 2015:19).

Kejadian ini ditandai oleh kehadiran sejumlah besar candi-candi yang

mencerminkan semangat membangun yang luar biasa, baik di lembah maupun di

lereng gunung bagian tengah Pulau Jawa. Candi-candi yang ada di lereng-lereng

gunung semuanya adalah bangunan agama Siwa, sedangkan yang bertebaran di

dataran-dataran adalah bangunan dari agama Siwa dan agama Buddha. Kehadiran

candi-candi yang menampilkan citra dari dua agama yang berbeda menimbulkan

spekulasi bahwa dalam pertengahan kedua abad VIII itu ada dua keluarga raja yang
34

memerintah di Jawa Tengah. Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa

Sanjaya keturunan Mataram yang beragama Hindu.

Menurut Boechari (dalam Joesoef, 2015:20), Depunta Syailendra, leluhur dari

Wangsa Syailendra yang memeluk agama Buddha pada dasarnya seorang yang masih

beragama Hindu. Hal ini berarti bahwa tesis tersebut secara implisit memberikan

kesaksian bahwa bagi bangsa Indonesia, agama rupanya tidak pernah menjadi sumber

pertentangan yang gawat. Ada anggapan umum bahwa keluarga Syailendra berasal dari

luar Indonesia, yaitu India Selatan atau Indo-China. Sebagai pendatang, wangsa

tersebut mula-mula menetap di pesisir bagian utara Pulau Jawa. Namun kenyataan

justru menunjukkan sebaliknya.

Raja Syailendra tampil pertama kalinya dalam sejarah Indonesia di bagian

selatan Jawa Tengah, sedangkan daerah keluarga Bumiputera Sanjaya berada lebih ke

utara. Di dalam prasasti Sojomerto “Syailendra” adalah nama orang, bukti ini yang

menunjukkan bahwa “Syailendra” adalah nama besar keluarga atau marga. Prasasti

Sojomerto dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram dengan maksud

untuk memperingati pendirian sebuah kuil untuk Dewa Siwa di puncak Gunung Ukir

dekat Muntilan, kira-kira 10 kilometer di sebelah timur Candi Borobudur (Joesoef,

2015 : 20-21). Menurut Soekmono dan Kempers (dalam Joesoef, 2015:21), apa yang

dikenal sebagai raja-raja Hindu di Indonesia sesungguhnya adalah penguasa-penguasa

Indonesia asli, dan sudah banyak buktinya dalam dokumen-dokumen sejarah. Suleiman

(dalam Joesoef, 2015:22) berpikir berdasarkan pertimbangan bahwa pendirian candi-

candi di Jawa Tengah adalah perintah dari para raja disebabkan oleh kemakmuran dan

adanya sistem kemasyarakatan yang sedemikian rupa.


35

Pertama, kemakmuran yang diperoleh dari perdagangan maritim dan

pemanfaatan tanah subur secara efisien dapat memberi cukup sumber pangan untuk

menghidupi sejumlah besar seniman dan pengrajin yang terlibat dalam pembuatan

candi. Kedua, para pengikut dan pengabdi raja mampu memberikan upeti wajib berupa

hasil tanah mereka, arsitek, tukang, pengrajin, serta pekerja yang diperlukan untuk

proyek pembangunan candi dan menyumbang berbagai bahan konstruksi. Ketiga,

penguasaan jalur perdagangan mempermudah kerajaan mengirim pendeta dan tenaga

ahli ke India, tidak hanya untuk belajar Buddhisme atau Hinduisme, tetapi juga untuk

mempelajari arsitektur dan seni patung. Bagi keperluan raja-raja Syailendra orang-

orang tersebut dididik di India untuk berkemampuan melaksanakan sistem Buddha,

Bodhisattwa, dan pembuatan relief yang terlibat di Borobudur. Keempat, ketika para

arsitek, pengrajin, dan seniman tersebut mendapat tugas membangunn candi atau

membuat patung atau memahat relief, mereka menciptakan karya-karya yang benar-

benar orisinal, dalam arti mempadukan dan memantulkan bentuk-bentuk seni serta

nilai-nilai estetik Indonesia (Joesoef, 2015:22-23).

2.3.4 Mitologi & Mitos Candi Borobudur

Ada banyak kisah-kisah yang terdapat di Candi Borobudur, baik di setiap relief

maupun di setiap tingkatan pada bangunan candi. Mitologi-mitologi Candi Borobudur

diantaranya adalah Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Penulis mencantumkan

mitologi ini karena setiap wisatawan (baik lokal maupun mancanegara) akan mendapat

edukasi umum tentang mitologi-mitologi Candi Borobudur. Pemaparan edukasi ini

bisa dinikmati oleh para wisatawan melalui brosur tentang Candi Borobudur (yang
36

tersedia dalam berbagai bahasa negara termasuk bahasa Jepang), pemaparan dari

tourguide maupun ketika mereka mengunjungi Museum Karmavibhangga.

Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu juga merupakan refleksi 3 unsur alam

semesta yang terdapat dalam ajaran Buddha. Hal ini ditekankan pada kosmografi India

kuno yang menyatakan dalam kepercayaan Buddha bahwa bentuk Candi Borobudur

yang memiliki stupa di puncak serupa dengan “Gunung Kosmos”. Ketiga unsur atau 3

tingkatan yang tersusun mewakili ketiga dunia alam semesta; bhurloka (dunia

manusia), bhuwarloka (dunia manusia sempurna), dan swarloka (dunia kedewaan).

Ideologi ini memiliki kecocokan pada mitologi dalam 3 tingkatan candi tersebut.

Tingkatan terendah atau dunia paling bawah, Kamadhatu merupakan tingkatan

peradaban manusia pada masa “jahiliyah” atau ketika manusia masih belum mengerti

norma, nilai, dan Kamadhatu juga memiliki arti sebagai “dunia hasrat”. Dalam

Kamadhatu diceritakan di setiap reliefnya manusia-manusia hanya mengenal hasrat

dan dikuasai oleh hasrat. Tingkatan kedua, di atas dari Kamadhatu kerap disebut

dengan “dunia rupa” atau Rupadhatu. Rupadhatu menceritakan kisah-kisah ketika

manusia sudah mulai meninggalkan hasratnya tetapi masih terikat dengan nama dan

rupa. Dunia ketiga pada tingkat tertinggi adalah Arupadhatu atau “dunia tanpa rupa”.

Pada tingkatan dunia ini sudah tidak ada lagi dan tidak ada sama sekali nama maupun

rupa. Manusia telah terbebaskan dan sudah memutuskan diri mereka dari ikatan dunia

fana (Joesoef, 2015:35).

Pada Candi Borobudur Kamadhatu diwakili oleh kaki candi, sedangkan kelima

undak-undakan di atasnya menggambarkan Rupadhatu dan ketiga batur bundar beserta

stupa induknya melambangkan Arupadhatu. Sedangkan mitos-mitos yang terkandung


37

di dalamnya diantaranya Karmavibhangga, Lalittavistara, Jataka/Avadana, dan

Gandavyuha. Adapun mitos-mitos tersebut merupakan sebuah kisah yang berwawasan

Buddhisme dan terpaparkan oleh relief yang menghiasi seluruh permukaan dinding

dari lorong dan langkan candi. Pahatan-pahatan relief ini meliputi luas tidak kurang

dari 2.500 m². Karya seni pahat yang sangat indah ini bukan hanya sekedar hiasan

belaka, namun menunjukkan terdapat kisah yang dibagi dalam kotak-kotak menurut

adegannya menjadi pigura-pigura (Joesoef, 2015:95).

Karmavibhangga merupakan salah satu dari teks-teks Buddhisme Mahayana,

yaitu (Maha) Karmavibhangga (klasifikasi besar dari tindakan-tindakan), mengandung

suatu pemaparan yang detil menerangkan tentang karma atau “sebab dan akibat”.

Kisah ini merupakan kisah berjalannya hukum karma yang diajarkan dalam kitab

Buddha Mahakarmavibhangga. Relief-relief pada kisah ini menampakkan gambar

pada pigura pertama tokoh manusia yang sudah melakukan sebuah tindakan akan

mendapatkan akibat atas perbuatannya pada pigura berikutnya secara berurutan dan

bersambungan. Kisah Karmavibhangga menceritakan manusia yang berbuat kejahilan,

kejahatan, hingga pembunuhan akan mendapatkan hukuman setimpal. Tidak hanya itu,

kebajikan dan kerendahan hati manusia juga digambarkan pada kisah ini, barang siapa

yang melakukan amal baik, berziarah ke tempat suci juga akan mendapatkan balasan

berupa pahala. Secara ringkas, ajaran Buddha yang tertera pada kisah ini yaitu

lingkaran samsara atau lingkaran lahir-hidup-mati yang tak pernah berakhir namun

justru harus dihentikan kelanjutan prosesnya (Joesoef, 2015: 98-99).

Paling sedikitnya ada dua kisah dari kehidupan Buddha yang sangat dihormati.

Yaitu Aswaghosha Buddhacarita dan Lalitavistara, semuanya tertulis dalam bahasa


38

sansekerta. Pertama menceritakan kelahiran kemudian kehidupan Sang Buddha saat

remaja hingga nirwana. Kedua adalah “uraian lakon” meliputi suatu periode yang lebih

singkat dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Benares

(Joesoef, 2015:100).

Kedua kisah ini menceritakan di setiap relief dan pigura-piguranya tentang

“Sejarah Buddha”. Lalitavistara sendiri lebih spesifik terhadap awal mula kelahiran

Buddha. Seorang ratu kerajaan bernama Dewi Maya bermimpi dalam tidurnya melihat

seekor gajah putih, yang kemudian gajah itu masuk ke dalam rahim Dewi Maya. Dewi

Maya lalu menceritakan mimpinya kepada suaminya Sang Raja, lalu Sang Raja

menceritakan kembali mimpi yang dialami istrinya kepada peramal. Peramal

mengabarkan bahwa mimpi Dewi Maya adalah pertanda baik, dia juga melanjutkan

bahwa Dewi Maya akan memiliki anak yang akan menjadi seorang Raja yang hebat,

ataupun menjadi “orang suci” ketika dewasa kelak, namun sisi buruknya peramal

menceritakan bahwa Dewi Maya akan meninggal 7 hari setelah kelahiran putranya.

Dewi Maya kemudian hamil dan saat tengah perjalanan pulangnya menuju

kampung halaman, Dewi Maya berhenti di Taman Lumbhini (yang sekarang menjadi

Nepal) untuk berisitirahat dan melahirkan anak yang kemudian dinamainya Sidharta.

Ajaibnya setelah Sidharta lahir, ia langsung melangkah sebanyak 7 langkah dan setiap

pijakan langkahnya tumbuh mekar bunga teratai. Ketika beranjak dewasa Sidharta

menikah dengan seorang putri bernama Puteri Gopa. Sidharta melihat realita akan

kejamnya dunia dengan penuhnya orang-orang yang hidup melarat, sakit, sengsara dan

sekarat, serta banyaknya kekacauan sesama manusia. Tidak kuat dengan keadaan

manusia yang seperti itu, ia memutuskan untuk meniggalkan kerajaan untuk menjadi
39

pertapa dan bersemedi di bawah Pohon Bodhi. Di sanalah Sidharta mengubah namanya

menjadi Buddha Gautama.

Jataka atau Avadana merupakan kisah yang mirip dengan Lalitavistara karena

sama-sama menceritakan “Sejarah Buddha”. Hanya saja kisah Jataka adalah kisah

Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta, dalam arti ini Sang

Buddha masih bereinkarnasi dalam wujud makhluk hidup yang berbeda. Isi pokok dari

kisah Jataka yaitu penonjolan perbuatan-perbuatan baik yang membedakan Sang

Bodhisattwa dari makhluk-makhluk lain. Kisah Jataka yang paling terkenal adalah

“Jatakamala” atau “Untaian (kisah) Jataka” karya penyair Aryasura pada abad IV

(Joesoef, 2015 : 110). Avadana pada dasarnya sama seperti Jataka hanya saja berbeda

lakon. Dalam kisah Avadana pemeran utama bukanlah Sang Bodhisattwa, melainkan

orang lain. Kisah-kisah Avadana dihimpun dalam kitab Dviyavadana yang berarti

perbuatan-perbuatan mulia kedewaan dan kitab Avadanasalaka atau “Seratus kisah

Avadana”. Sehingga perbedaan daripada Jataka dan Avadana secara esensial adalah

tokoh utama dari kisah tersebut. Bila lakon dalam Jataka adalah Sang Buddha sendiri,

maka lakon dalam Avadana adalah calon Buddha Sakyamuni (Joesoef, 2015:110).

Gandavyuha merupakan kisah puncak yang sangat dihormati dan sangat

mengandung arti yang dalam bagi penganut Buddha. Gandavyuha menceritakan kisah

“Kemajuan Peziarah Buddhisme” dimana lakonnya seorang pemuda bernama Sudhana.

Sudhana adalah seorang anak juragan kaya-raya yang telah memilih jalan hidup

Bodhisattwa. Dalam upayanya menggapai kebijaksanaan yang tertinggi dan mencari

kalyanamitra yang diperlukan untuk perjalanannya, ia mengunjungi berbagai tokoh

penting seperti orang-orang bijak bestari, berupa guru, pendeta, resi, pertapa, dan siapa
40

saja yang bersedia membagi pengetahuannya tentang kebenaran kepada Sudhana.

Sudhana dikisahkan memperoleh banyak pelajaran dan jawaban baru terhadap

pertanyaan-pertanyaannya kepada setiap orang yang ia tanyakan tentang kebenaran

dalam meraih kebijksanaan tertinggi. Sudhana juga seorang pemikir dan terus

merenung setiap ilmu yang didapatkannya dan terus melanjutkan pengembaraannya.

Ternyata setiap kalyanamitra memberikan kepadanya hanya sebagian pengetahuan

saja dari keseluruhan ajaran Buddha, dimana memiliki bagian-bagian khusus yang

mereka kuasai masing-masing. Gandavyuha ini sangat diapresiasi dan dihormati

kisahnya sehingga terdapat karya sajak berirama yang mengisahkan Gandavyuha, buku

cerita bergambar, dan lain-lain. Gandavyuha juga merupakan bagian dari ajaran kitab

Buddha Mahayana dan dimuat dalam kitab lain bernama Bhadracari (Joesoef,

2015:119).

2.3.5 Spiritual Candi Borobudur

Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya dilihat dari sisi wujud bentuk

bangunannya, namun juga suasana yang terbangun yang terus berada di seluruh

lingkungan candi. Sebagaimana seseorang menikmati dalam setiap menapak di Candi

Borobudur. Pemandangan yang tercipta dari perpaduan suasana alam dengan relief

maupun stupa Candi Borobudur menimbulkan keharmonisan dalam segala estetikanya.

Penulis juga pernah merasakan rasa kagum yang luar biasa setiap menapaki Candi

Borobudur, menjadikan penulis seperti terbawa suasana “damai” hingga merasakan

takjub yang luar biasa saat berada di langkan Arupadhatu. Panorama Candi Borobudur

dapat dinikmati begitu jelasnya serta dapat dihasrati setiap melihat detil sebuah maha-
41

karya seni pada ukiran-ukiran candi. Oleh sebab itu penulis ingin mengkaji lebih dalam

tentang spiritual yang terdapat di Candi Borobudur.

Nilai spiritual diberikan pada suatu monumen dan situsnya karena dipercaya

bahwa ia sekarang atau dahulu pernah menjadi sebuah tempat suci dan mewakili nilai-

nilai penting religius, adakalanya yang bersifat simbolis atau transenden. Para penganut

Buddha mencari perlindungan dan naungan dari samsara (penderitaan) di bawah panji-

panji Tri Ratna, yaitu Sang Buddha, Dharma (ajaran Sang Buddha) dan Sanggha

(komunitas Buddhis). Dengan menetapkan Sang Buddha sebagai teladan, dengan

melaksanakan petunjuk-petunjuk Sang Buddha dan dengan menjadi anggota

komunitas biksu, mereka dibimbing sepanjang Jalan Delapan menuju Nirwana

(Joesoef, 2015 : 27).

Jalan Delapan (Astamarga) tersebut adalah, 1) pandangan yang benar, 2) niat

yang benar, 3) bicara yang benar, 4) perilaku yang benar, 5) penghidupan yang benar,

6) usaha yang benar, 7) ingatan yang benar, dan 8) pemusatan pikiran yang benar. Sang

Buddha diagungkan oleh penganut Buddha karena dianggap Sang Buddha adalah

Bodhisattwa atau “orang yang hakikatnya adalah tak lain daripada wahyu itu sendiri”

dalam setiap jenis penjelmaannya sewaktu melintasi seluruh perputaran lahir dan

dilahirkan kembali (Joesoef, 2015:28).

Dalam perkembangan agama Buddha, terjadi perubahan visi Buddhis.

Perubahan visi di lingkungan kelompok yang baru berkembang, tokoh Bodisattwa

menjadi pengganti dari citra nirwana. Dengan kata lain, yang dijadikan idaman bukan

lagi nirwana tetapi Bodissatwa. Oleh sebab itu, penganut aliran baru itu menyebut

dirinya Bodissatwayana, sedangkan golongan yang tidak bersedia mengubah visi


42

dinamakan Nirwayana. Sebutan yang kemudian menjadi lebih terkenal untuk aliran

Buddhisme baru ini, tampil tidak lama sebelum awal era Kristiani, yaitu Mahayana.

Sedangkan penerus visi Nirwayana beberapa abad kemudian dinamakan Hinayana.

Ajaran dari aliran baru itulah, Mahayana Buddhisme, yang kiranya dihayati oleh

penduduk setempat ketika Candi Borobudur didirikan (Joesoef, 2015:28).

Para pembangun Candi Borobudur tentu membantah telah melenceng dari

maksud sebenarnya ajaran Sang Buddha. Para pengikut Mahayana menganggap

penghayatan kepercayaan mereka sudah sesuai benar dengan ajaran-ajaran Sang

Buddha sebagaimana mestinya. Stupa pada Candi Borobudur merupakan sebuah

lambang Buddhisme par-excellence (Joesoef, 2015:29). Kemudian ada barisan stupa-

stupa yang seluruhnya berjumlah 72 buah, tersusun dalam tiga tingkat sebagai

lingkaran-lingkaran konsentris mengelilingi induknya. Lingkaran yang pertama dan

lingkaran yang paling bawah, terdiri dari 32 buah stupa. Lingkaran yang kedua 24 buah

stupa dan lingkaran yang ketiga, paling atas, 16 buah. Setiap stupa tersebut tegak di

atas sebuah landasan yang berupa bantalan teratai, sedangkan dinding-dindingnya

diberi lubang-lubang dan di dalam stupa tersebut terdapat arca Buddha yang sedang

“dipingit” (Joesoef, 2015:31). Pembagian Candi Borobudur secara tegak lurus menjadi

kaki, tubuh, dan bagian atas, artinya bahwa stupa induknya hanya merupakan puncak

dari bangunan seluruhnya, sesuai dengan pengertian candi sebagai gunung kosmos.

Ketiga bagian yang tersusun bertingkat itu mewakili ketiga dunia alam semesta, yang

menurut kosmografi kuno India, adalah bhurloka (dunia manusia biasa), bhuwarloka

(dunia manusia sempurna), dan swarloka (dunia kedewaan). Sesuai ajaran Buddhisme,
43

perjalanan setingkat demi setingkat sangat mementingkan adanya tingkatan-tingkatan

dalam persiapan mental para penganutnya yang setia (Joesoef, 2015:33).

Adapun tingkatan-tingkatan tersebut, yang pada dasarnya masih mengikuti

pembagian alam semesta menjadi tiga dunia seperti yang terdapat dalam kosmologi

India, dimana penamaan setiap tingkatannya berdasarkan kosmologi Buddhis. Dunia

yang paling bawah adalah Kamadhatu atau “dunia hasrat”. Dunia kedua di atasnya

adalah Rupadhatu atau “dunia rupa” dimana manusia telah meninggalkan semua

hasratnya. Dunia ketiga pada tingkat tertinggi adalah Arupadhatu atau “dunia tanpa

rupa”, dan pada dunia ketiga sudah tidak ada sama sekali untuk selama-lamanya segala

ikatan dengan dunia fana.

Bagi orang awam, mencapai puncak Candi Borobudur memberi kepuasan

bahwa jerih payahnya telah memperoleh imbalan yang sepadan. Bila demikian

sungguh mengagumkan bagaimana para pencipta candi itu berhasil menyalurkan rasa

dan jiwa keagamaan kepada setiap pengunjung maupun peziarah. Jumlah seluruh arca

Buddha yang ada di Candi Borobudur mula-mula 504 buah, namun akibat erupsi dan

berbagai macam bencana lainnya, kini 300 arca Buddha mengalami kecacatan. Arca-

arca tersebut diakui oleh para ahli bermutu seni sangat tinggi dan semuanya

menggambarkan sistem Dhyani Buddha atau Meditative Buddha (Joesoef, 2015: 37).

Dhyani Buddha biasanya disebut sebagai bentukan sebuah kelompok dari lima

kekuatan kosmis yang ditata menurut keberadaan lima mata angin pokok, yaitu timur,

barat, selatan, utara, dan zenith atau pusat. Arca-arca Buddha yang terdapat di Candi

Borobudur memiliki bebagai macam posisi dan sikap tangan berbeda yang disebut
44

dengan mudra. Sikap tangan tersebut mengungkapkan bahwa arca-arca di setiap

langkan berbeda-beda dengan berbagai makna yang berbeda pula, di antaranya:

a. Bhumisparasa-mudra

Yaitu mudra yang menggambarkan sikap tangan sedang menyentuh

tanah. Tangan kiri terbuka dan menengadah di pangkuan, sedangkan

tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan jari-jari menunjuk

ke bawah. Mudra ini melambangkan Sang Buddha memanggil

Dewi Bumi sebagai saksi ketika dia menangkis semua serangan dari

iblis Mara. Mudra ini merupakan khas bagi Dhyani Buddha

Aksobhya yang bersemayam di timur.

b. Abhaya-mudra

Yaitu mudra yang menggambarkan sikap tangan sedang

menenangkan dan menyatakan “jangan khawatir”. Tangan kiri

terbuka dan menengadah di pangkuan, sedangkan tangan kanan

diangkat sedikit di atas lutut kanan dengan telapak menghdap ke

muka. Mudra ini menjadi tanda khusus bagi Dhyani Buddha

Amoghasiddhi yang berkuasa di utara.

c. Dhyana-mudra

Yaitu mudra yang menggambarkan sikap semadi. Kedua tangan

diletakkan di pankuan, tangan kanan di atas tangan kiri, dengan

telapaknya menengadah serta ibu jari saling bertemu. Mudra ini

merupakan tanda khusus bagi Dhyani Buddha Amitaba yang

menguasai yang menjadi penguasa daerah barat.


45

d. Wara-mudra

Yaitu mudra yang melambangkan pemberian amal, sepintas sikap

tangan ini tampak serupa dengan Bhumisparasa-mudra, tetapi

telapak tangan yang kanan menghadap ke atas sedangkan jari-

jarinya terletak di lutut kanan. Dengan mudra ini dapat dikenal

Dhyani Buddha Ratnasambhawa, yang bertahta di selatan.

e. Dharmacakra-mudra

Yaitu mudra yang melambangkan gerak memutar Roda Dharma.

Kedua tangan diangkat sampai ke depan dada, yang kiri di bawah

dan yang kanan di atas. Tangan kiri menghadap ke atas dengan jari

manisnya menyentuh ibu jari, sedangkan tangan kanan menghadap

ke bawah dan menyentuh kelingking tangan kiri dengan jari

manisnya. Sikap tangan ini memang serupa dengan gerak memutar

sebuah roda, dan menjadi ciri khas bagi Dhyani Buddha Wairocana,

yang daerah kekuasaannya berada di pusat.

Khusus di Candi Borobudur, Wairocana ini digambarkan pula dengan sikap

tangan yang disebut witarka-mudra atau sikap tangan yang melambangkan sedang

mengurai sesuatu. Yaitu tangan kiri terbuka di atas pangkuan dan tangan kanan sedikit

terangkat di atas lutut kanan dengan telapaknya menghadap ke muka dan jari

telunjuknya menyentuh ibu jari. Maka semua Dhyani Buddha yang menghadap ke

timur menggambarkan Aksobhya, sedangkan yang menghadap ke selatan adalah

Amoghasiddhi, dan yang menghadap ke barat adalah Amitabha, sementara yang

menghadap ke utara adalah Ratnasambhawa. Penggambaran Dhyani Buddha oleh para


46

pematung atau pelukis lama-kelamaan menjadi kebiasaan dalam praktik kesenian

Buddhis. Walau demikian, arca atau lukisan Dhyani Buddha sebagaimana adanya tetap

dianggap sebagai manifestasi belaka dari suatu kekuatan spiritual yang lebih tinggi lagi,

yang disebut sebagai Realitas Ultima atau Makhluk Agung atau sebutan-sebutan lain

untuk mengungkapkan suatu yang tidak bisa dinyatakan begitu saja (Joesoef, 2015 :

40-41).

Dalam kepercayaan Buddha Mahayana, kata “Borobudur” juga diprediksi

menjadi nama candi berdasarkan kata majemuk “bhumisambharabhudhara” yang

tertera dalam piagam yang berangka tahun 842M yang memiliki arti “Bukit tumpukan

kebajikan pada ke-sepuluh tingkatan ke-Bodhisattwa-an” atau “Bukit yang disusun

bertingkat-tingkat”. Dengan persepsi ini, Casparis (dalam Joesoef, 2015:42) menarik

kesimpulan bahwa kepercayaan Buddha pada zaman Syailendra adalah sebuah agama

yang memuja roh nenek moyang. Karena dalam kebudayaan prasejarah Indonesia,

bangunan limas berundak adalah lambang khusus tempat bersemayam arwah nenek

moyang di puncak gunung. Atas persepsi ini Candi Borobudur memiliki konsep

Buddha Mahayana dan konsep pemujaan roh nenek moyang (Joesoef, 2015:43).

Bukan hal asing bila seorang raja menyamakan dirinya dengan dewa

pelindungnya. Dalam kepercayaan Buddha Mahayana pencapaian untuk mengakhiri

samsara adalah sebuah permulaan dari perjalanan yang harus ditempuh oleh seorang

Bodhisattwa. Raja Syailendra memutuskan untuk membangun candi demi memuliakan

dewa pelindungnya sekaligus nenek moyangnya. Pada ritual pemujaan roh nenek

moyang terdapat kepercayaan bahwa leluhur terdahulu telah mencapai tingkat

kesempurnaan yang lebih tinggi dari leluhur setelahnya.


47

Selain itu, arti simbolis lain Candi Borobudur adalah sebagai sumber dari

pemujaan kepada roh nenek moyang sekaligus untuk memperdewa cikal-bakal Wangsa

Syailendra. Raja yang mendirikannya bermaksud untuk menampilkan serta

memperingati kebajikan-kebajikan yang telah dihimpun oleh wangsa tersebut selama

pemerintahan 10 orang raja berturut-turut. Candi Borobudur juga mencerminkan nilai

tinggi Agama Buddha dan mengandung rasa rendah hati yang didasari sedalam-

dalamnya oleh penciptanya, dan Candi Borobudur juga merupakan bangunan replika

dari kosmos sesuai yang digariskan oleh Kosmologis India dan Buddhis yang memiliki

kesan mendalam bahwa “a complicated building with a very special characters of its

own and a religious document in its own right.” (Joesoef, 2015: 45).

2.3.6 Nilai Budaya Candi Borobudur

Setiap relief yang terdapat di Candi Borobudur kebanyakan merupakan kisah

kehidupan peradaban manusia, baik kisah manusia yang sedang terjadi di masa itu

maupun di masa lainnya. Kebanyakan relief-relief di langkan Rupadhatu sangat banyak

menceritakan kehidupan masyarakat Jawa pada masa Wangsa Syailendra. Berdasarkan

catatan sejarah perkembangan peradaban dan budaya ketika Candi Borobudur didirikan

di Jawa Tengah pada abad IX, daerah Jawa telah dihuni oleh manusia selama ribuan

tahun. Artifak-artifak dari batu, tulang, dan kerang membuktikan adanya homonid

muda. Kemudian datangnya para pendatang seperti suku Mongoloid menyebar dari

tempat-tempat di daratan Asia Tenggara ke arsipelago Indonesia, ke timur mengarah

ke Pasifik dan ke arah barat hingga Madagaskar. Banyak unsur-unsur budaya yang
48

sama dan identik ditemukan di wilayah ini, seperti rumah panggung, tanaman, serta

hewan ternak tertentu (Joesoef, 2015: 46-47).

Kunjungan-kunjungan bersifat penjajakan yang singkat lama-kelamaan

menjadi jalinan kontak komersial yang berakhir pada usaha perdagangan tunai.

Perdagangan maritim dengan perahu menjadi tipe perdagangan yang dilakukan selama

berabad-abad. Lalu lintas perdagangan tidak hanya jalan penyaluran barang saja, tetapi

ide termasuk doktrin keagamaan. Begitu terjalin kontak dengan orang-orang asing,

penduduk di pesisir terbuka bagi aneka ragam pengaruh baru. Namun pikiran budaya

asing tersebut tidak diterima begitu saja, tetapi diseleksi bahkan ditolak, lalu

dicocokkan dengan pola kebudayaan setempat (Joesoef, 2015:47).

Hal ini sangat terlihat jelas pada relief Candi Borobudur. Relief-relief candi

secara keseluruhan merepresentasikan khazanah pengetahuan tentang gaya hidup di

Jawa selama periode Hindu-Jawa. Salah satu relief yang paling terkenal yang

menceritakan kebudayaan masyarakat pada saat itu adalah relief Samudraraksa.

Samudraraksa merupakan nama sebuah kapal besar bercadik kembar dimana

dalam relief tersebut terukir kapal beserta seluruh awak kapal yang sedang berlayar

melakukan mata pencaharian maritim. Kapal Samudraraksa sangat mencerminkan

kemajuan teknologi masyarakat Jawa semasa itu dalam membuat kapal dari kayu untuk

berlayar. Hal ini sangat cocok dengan sejarah bahwa pada masa Wangsa Syailendra

yang memiliki era keemasan terdapat kemajuan yang signifikan dari segi peradaban

masyarakat Jawa pada jaman dahulu dalam mengembangkan budaya teknologi serta

budaya mata pencaharian untuk meningkatkan kesejahteraan di lingkungan

masyarakatnya.
49

Kapal Samudraraksa juga memiliki sejarah keunikan tersendiri. Menurut

sejarah, bangsa Indonesia sudah mampu melakukan pelayaran perdagangan maritim

sampai ke Madagaskar hingga Afrika selama kurun waktu 1 abad. Pada tanggal 20

Januari 2003, Kapal Samudraraksa direprodruksi kembali oleh seniman Indonesia dan

kemudian diresmikan untuk berlayar oleh Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri

pada tanggal 26 Mei 20013. Kapal replika Samudraraksa pun melakukan ekspedisi

pelayaran dimulai dari keberangkatan dari Jakarta melewati Madagaskar, Cape Town,

kemudian dilanjutkan ke Pantai Barat Afrika dan berakhir di Ghana pada tanggal 23

Februari 2004.

Candi Borobudur juga merupakan monumen sebagai saksi bisu tentang

perkembangan peradaban manusia pada masa itu serta menjadi saksi atas budaya

pribadi dan kolektif bangsa Indonesia. Semua warisan budaya tua tersebut

menunjukkan adanya sharing dalam engineering skills, filosofi religius dan nilai-nilai

artistik. Sementara relief-relief di Candi Borobudur jelas menggambarkan adanya

aspek-aspek komunalitas budaya di wilayah Asia Tenggara. Candi Borobudur terbukti

memiliki segi akulturasi budaya dengan India namun masih dengan begitu

bijaksananya menampilkan keaslian budaya seni pahat Indonesia (Joesoef, 2015:24).

Tidak hanya itu, relief Candi Borobudur juga dokumentasi visual mengenai

banyak kejadian, perbuatan, dan kegiatan yang sampai sekarang masih bisa ditemukan

dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat saat ini di seluruh Indonesia (Joesoef,

2015 : 48). Relief-relief juga menunjukkan bahwa bagaimanapun sikap dan keyakinan

spiritual orang-orang pada zaman itu sangatlah kuat dan memiliki perhatian yang cukup

besar.
50

2.4 Kerangka Teori

Teori yang digunakan dalam menganalisis sejarah dan mitologi Candi

Borobudur bagi wisatawan Jepang adalah teori mengenai konsep pariwisata

berdasarkan pendapat Pendit sebagaimana dengan fenomena pariwisata yang terjadi di

Candi Borobudur. Wisatawan Jepang yang berkunjung tidak hanya mendapatkan

kepuasan berlibur, namun juga secara tidak langsung mempelajari budaya bangsa

Indonesia khususnya masyarakat lokal dan nilai-nilai religi Buddha. Dengan

beragamnya pemahaman baru mengenai budaya dan karakter Indonesia, wisatawan

Jepang akan memberikan dampak berupa ketertarikan lebih baik untuk Candi

Borobudur maupun Indonesia dalam pariwisata dunia.

Anda mungkin juga menyukai