Anda di halaman 1dari 8

NAMA : PRABANCONO BAYU MURTI

NIM / OFF : 150811603372 / C 2015

TUGAS : PSIKOLOGI POLITIK

Kasus :

“Hakim yang Salah Dalam Menafsirkan dan dilaporkan oleh Beberapa Pihak ke
Mahkamah Agung”

Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim tunggal pengadil sengketa praperadilan Komjen Budi
Gunawan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sarpin Rizaldi, dilaporkan ke
Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi.
Ia dinilai melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dalam memeriksa
dan memutus perkara. Dalam putusannya, Hakim Sarpin dinilai salah mengutip pendapat
ahli.

"Hakim Sarpin tidak profesional dengan memperluas objek (praperadilan) dan salah
menafsirkan ahli," ujar peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter di Gedung
Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Jumat (20/2). Saat sidang, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menghadirkan Bernard Arief Sidharta, pakar filsafat hukum Universitas
Katholik Parahyangan, pada Jumat (13/2) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Saat sidang, kuasa hukum Budi Gunawan menanyakan apakah penetapan tersangka boleh
diputus dalam praperadilan jika ada kesewenang-wenangan dalam proses penyelidikan.
Arief menjawab, boleh sepanjang berdasar pasal 77 dan Pasal 95 Kitab Undang-ukum
Acara Pidana (KUHAP) terbatas sejauh sudah ada dalam undang-undang. Dua pasal
tersebut menjelaskan soal batasan sidang praperadilan dan penuntutan ganti rugi.

"Jadi tidak bisa ditafsirkan lain. Tapi, Hakim Sarpin salah mengutip pendapatnya," kata
Lalola. Bahkan, pendapat yang salah kutip tersebut justru dijadikan pertimbangan akhir
dalam pengambilan keputusan. Alhasil, Hakim Sarpin berpendapat sidang praperadilan
dapat memutus keabsahan penetapan tersangka. Menurut Sarpin, KPK tak berwenang
menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Sarpin dinilai mendistorsi penjelasan
Arief.
Hal senada disampaikan peneliti hukum pidana Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK) Miko Susanto Ginting. Alih-alih merujuk pada referensi lain dan
menambahkannya dalam pertimbangan, Hakim Sarpin dinilai justru salah kutip.

"Hakim berargumen tidak memadai dan tidak memberikan rasionalisasi atas perluasan
penafsiran selain memberikan pendapat ahli," ujarnya di Gedung MA, Jakarta, Jumat
(20/2).

Padahal merujuk pasal 77 KUHAP, praperadilan hanya berwenang memeriksa sah atau
tidak penangkapan dan penahanan; sah atau tidak penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan; dan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang
perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.

Penafsiran berlebih oleh Hakim Sarpin berbuntut panjang lantaran gugatan Budi
dikabulkan. Koalisi Masyarakat Sipil merasa Hakim Sarpin melakukan beberapa
pelanggaran dalam putusan sidang.

"Kami melaporkan ke Badan Pengawas MA dengan tembusan ke hakim muda bidang


pengawasan," ujar Lalola. Pelanggaran tersebut, yakni pada angka 8 dan 10 Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim soal disiplin dan profesionalitas.

Berdasar penelusuran CNN Indonesia, Pasal 8 KEPPH mengatur soal kedisiplinan hakim.
Hakim harus melaksanakan kewajiban dan memutus perkara sesuai dengan Kitab Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Sementara itu, Pasal 10 KEPPH mengharuskan hakim bersikap
profesional untuk melaksanakan kewajibannya dan menghasilkan putusan yang efektif
dan efisien.

Menanggapi laporan tersebut, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur
menuturkan MA akan menindaklanjuti. "Intinya kami menerima laporan dan sifatnya
akan menindaklanjuti laporan. Kewenangan persidangan ada pada hakim dan itu ditindak
lajuti MA," ujar Ridwan kepada CNN Indonesia, Jumat (20/2).

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150220154158-12-33651/dianggap-salah-
tafsir-hakim-sarpin-dilaporkan-ke-ma. Diakses pada : 10 Desember 2018.
Landasan Teori

Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menggambarkan tiga tingkatan perkembangan


tentang moral dan setiap tingkatnya memiliki 2 tahapan, yaitu :
1. Perkembangan Prakonvensional adalah tingkat terendah dari perkembangan
moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui
reward (imbalan) dan Punishment (hukuman) eksternal.
a. Tahap 1, moralitas heteronom adalah tahap pertama dalam perkembangan
prakonvensional. Pada tahap ini, perkembangan moral terkait dengan
punishment. Sebagai contoh anak berfikir bahwa mereka harus patuh karena
mereka takut hukuman terhadap perilaku membangkang.
b. Tahap 2, individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran adalah tahap
kedua dari perkembangan prakonvensional. Pada tahap ini, perkembangan
individu yang memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar dan
hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, menurut mereka apa yang
benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran yang setara. Mereka berpikir
apabila mereka baik terhadap oaring lain maka orang lain akan baik terhadap
mereka juga.
2. Perkembangan konvensional, yaitu tingkat kedua atau menengah dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu memberlakukan
standart tertentu, tetapi standart ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua
atau pemerintah.
a. Tahap 3, ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan
konformitas interpersonal merupakan tahap ketiga dari tahap perkembangan
moral Kohlberg. Pada tahap ini individu menghargai kepercayaan, perhatian,
dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penilaian moral. Anak
dan remaja seringkali mengadopsi standart moral orang tua dalam tahap ini
agar dianggap sebagai anak yang baik.
b. Tahap 4, moralitas system sosial adalah tahap keempat menurut teori
Kohlberg. Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang
keteraturan di masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.
3. Perkembangan Pascakonvensional, adalah tingkatan tertinggi dalam
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu menyadari adanya
jalur moral alternative, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutaskan berdasarkan
kode moral personal.
a. Tahap 5, kontrak atau utilitas sosial dan hak individu. Pada tahap ini, individu
menalar bahwa nilai, hak dan prinsip lebih utama atau lebih luas daripada
hukum. Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada, dan system sosial
dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini menjamin dan melindungi hak
asasi dan nilai dasar manusia.
b. Tahap 6, prinsip etis universal adalah tahapan tertinggi dalam perkembangan
moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang telah mengembangkan
standard moral berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika dihadapkan
dengan pertentangan antara hukum dan hati nurani, seseorang menalar bahwa
yang harus diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat
memberikan resiko.

Peran Psikologi dalam Ranah Hukum

Psikologi secara langsung dan tidak langsung berkaitan dengan proses penegakan
hukum. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia,
psikologi memiliki peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Peran psikologi
terutama pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lapas) dan pihak-
pihak yang terlibat (saksi, pelaku dan korban). Selain itu, psikologi juga berperan pada
sistem hukum dan warga yang terkena cakupan hukum.

Ada beberapa peran psikologi dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu,


pertama,. psikologi berperan dalam memperkuat aparat penegak hukum dalam
menegakkan hukum. misalkan bagaimana peranan intervensi psikologis dalam
meningkatkan perfomance polisi. Hasil penelitian Arnetz dkk., dalam Agung 2016
menunjukkan bahwa hasil pelatihan resiliensi dapat meningkatkan performance polisi.
Selain aparat penegak hukum, yang tidak kalah penting adalah keluarga aparat penegak
hukum. Kedua, psikologi berperan dalam menjelaskan kondisi psikologis pelaku, korban
dan saksi sehingga aparat penegak hukum dapat mengambil keputusan dengan tepat.
Ketiga, psikologi berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mematuhi
hukum yang berlaku. Misalkan, psikologi dapat membantu polisi dalam membentuk
masyarakat supaya sadar dan taat aturan melalui kegiatan seminar dan aktifitas yang
berbasiskan masyarakat.

Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum, psikologi berperan dalam
empat tahap, 1) pencegahan (deterrent) ,2) penanganan (pengungkapan dan penyidikan),
3) pemindanaan, dan 4) pemenjaraan. Pada tahap pencegahan, psikologi dapat membantu
aparak penegak hukum memberikan sosialisasi dan pengatahuan ilmiah kepada
masyarakat bagaimana cara mencegah tindakan kriminal. Misalkan, psikologi
memberikan informasi mengenali pola perilaku kriminal, dengan pemahaman tersebut
diharapkan msyarakat mampu mencegah perilaku kriminal.

Pada tahap penanganan, yaitu ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi dapat
membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga polisi dapat
mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal profiling dan
geographical profiling. Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik investigasi
untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur, tinggi, suku),
psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan seting tempat kejadian (scene).
geographical profiling., yaitu suatu teknik investigasi yang menekan pengenalan terhadap
karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan kriminal, yang bertujuan untuk
memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat tinggal pelaku kriminal sehingga
pelaku mudah ditemukan (kemp & Van, 2007)

Pada tahap pemindanaan, psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi


psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman (pemindanaan) sesuai
dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi psikologis pelaku kejahatan.
Menurut Muladi dalam (Rizanizarli dalam Agung 2004) tujuan pemindanaan adalah
memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana. Ada
beberapa teori yang terkait dengan tujuan pemindanaan. Pertama, teori retributif (balas
dendam), teori ini mengatakan bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas
perilakunya, akibatnya di harus menerima hukuman yang setimpal. kedua teori relatif
(tujuan), teori ini bertujuan untuk mencegah orang melakukan perbuatan jahat. Teori ini
sering disebut dengan teori deterrence (pencegahan). Ada dua jenis teori relatif, yaitu teori
pencegahan dan teori penghambat. Teori pencegahan dibagi dua, yaitu pencegahan
umum, efek pencegahan sebelum tindak pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman
dan keteladanan, dan pencegahan spesial, efek pencegahan setelah tindak pidana
dilakukan. Sementara teori penghambatan, yaitu bahwa pemindanaan bertujuan untuk
mengintimidasi mental pelaku agar pada masa datang tidak melakukannya lagi. Ketiga,
behavioristik, teori ini berfokus pada perilaku. Teori ini dibagi dua, yaitu incapacitation
theory, pemindanaan harus dilakukan agar pelaku tidak dapat berbuat pidana lagi dan
Rehabilitation theory, yaitu pemindanaan dilakukan untuk memudahkan melakukan
rehabilitasi (Rizanizarli dalam Agung 2004)

Tahap terakhir adalah pemenjaraan. Pada tahap ini pelaku ditempatkan dalam
lembaga permasyarakatan (LP). Tujuannya adalah agar pelaku kejahatan mengalami
perubahan perilaku menjadi orang baik. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelaku
kriminal setelah keluar dari LP bukannya menjadi lebih baik tapi tetap melakukan
tindakan kejahatan kembali bahkan secara kuantitas dan kualitas tindakan kejahatannya
lebih berat daripada sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi proses pembelajaran sosial
ketika di LP. Dalam konsep psikologi, LP haruslah menjadi tempat rehabilitasi para
pelaku kejahatan. Idealnya terjadi perubahan perilaku dan psikologis narapidana sehingga
setelah keluar dapat menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi masyarakat.
Ada beberapa konsep psikoloogi yang dapat ditawarkan dalam perubahan perilaku
narapidana di LP. Pertama, berorentasi personal, yaitu dengan cara terapi
individual/kelompok, misalkan terapi kogniif. Kedua, berorentasi lingkungan, dengan
menciptakan lingkungan fisik LP yang mendukung perubahan perilaku narapidana,
misalkan jumlah narapidana sesuai dengan besarnya ruangan sel sehingga tidak terjadi
kepadatan dan kesesakan yang berpotensi menimbulkan perilaku agresif narapidana.

Refleksi perkuliahan :

Selama menjalani perkuliahan selama satu semester ini, tepatnya pada mata kuliah
psikologi politik . saya merasa mendapatkan pengetahuan baru dan lebih tentang masalah
politik, baik secara teoritis maupun fakta-fakta atau fenomena tentang perpolitikan. Hal
tersebut sangat membantu dan memberikan manfaat terutama pada kaum-kaum muda
seperti saya. Dalam menjalani perkuliahan dosen pengampu mata kuliah menjelaskan
materi dengan sangat jelas dan mudah dipahami bagi mahasiswa. Ibu dosen terlihat sangat
paham dengan materi yang diberikan dan menyampaikannya dengan cara yang
menyenangkan. Selain itu dalam perkuliahan bukan hanya mendapatkan pengetahuan
dari dari dosen pengampu saja, namun juga mengundang seorang yang memiliki
pengalaman dalam bidang politik untuk memberikan kuliah tamu yang bermanfaat.
Secara garis besar perkuliahan psikologi politik tersampaikan dengan sangat baik dan
dapat dipahami dengan sangat baik pula.
DAFTAR PUSTAKA :

Agung, Ivan. (2012). Kontribusi Psikologi dalam Penegakan Hukum Di Indonesia.


(online).(https://www.researchgate.net/publication/305767389_Kontribusi_Psikol
ogi_ dalam_ Penegakan_Hukum_Di_Indonesia). Diakses pada : 10 Desember 2018

Kemp, J.J & Van, P.J (2007). Fine-Tuning Geographical Profiling Koppen In Criminal
Profiling: International Theory, Research, and Practice Humana Press Inc., Totowa,
NJ.

Santrock, John W. (2011). Perkembangan Anak Edisi 7 Jilid 2. (Terjemahan: Sarah


Genis B) Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai