Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PKN

PROSES PEMBUATAN
UNDANG-UNDANG

ANGGOTA KELOMPOK :
- ADELIA SALSA D. (01)
- ARIS WICAKSONO (04)
- IHZA MAULANA R. (17)
- IVANGKY MONICA W. P. (18)
- SIWI HUTAMI N. R. (35)
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah memang sepantasnya kita panjatkan selalu ke hadirat Allah SWT
yang senantiasa memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Alhamdulillah kami berbahagia sekali mendapat tugas makalah dari beberapa literatur
tentang ilmu perundang-undangan dan juga dari Internet. Terus terang kami sampaikan bahwa
dalam Makalah ini kami yakin masih belum sempurna. Namun tidak menutup kemungkinan
pada kesempatan lain kami akan berusaha untuk membaca dan mengetik lebih banyak lagi.

Atas segala kekurangan dalam Makalah ini, kami mohon maaf dan mohon kritik ataupun
saran demi perbaikan selanjutnya.

Akhirnya kami hanya berharap semoga ikhtikad baik penulis makalah ini bernilai iba di
mata Allah SWT, dan memberikan pemahaman utuh kepada seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Amin.

Tulungagung, 30 September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I..... PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan................................................................... 2

BAB II... PEMBAHASAN

A. Rancangan Undang-Undang (RUU)................................... 3

1. Pengertian...................................................................... 3

2. Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang ........ 4

3. Tahap Pembentukan Undang-Undang.......................... 10

B. Peraturan Perundang-Undangan (PERPU).......................... 15

1. Pengertian ..................................................................... 15

2. Asas Asas Peraturan Perundang-Undangan.................. 16

BAB III.. PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................... 20

B. Saran..................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang merupakan landasan hukum yang yang menjadi dasar pelaksanaan dari
keseluruhan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahaan. “legal policy” yang dituangkan dalam
undang-undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang membuat kebijaksanaan yang
hendak dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru.

Didalam negara yang berdasarkan atas hukum moderen (verzorgingsstaat), tujuan utama
dari pembentukan undang-undang bukan lagi menciptakan kodipikasi bagi normanorma dan
nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama
pembentukan undang-undang itu adalah menciptakan modipikasi atau perubahan dalam
kehidupan masyarakat.

Menindaklanjuti amanah dari ketentuan pasal 18 ayat (3) UU NO. 11 Tahun 2011 dalam
ihwal urgensi pembentukan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur ketentuan ketenutan
lebih lanjut tata cara mempersiapkan RUU, Presiden RI menerbitkan Peraturan Presiden Nomor
68 Tahun 2005 Tentang Cara Mempersiapkan Rancangan UU, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Racangan Peraturtan Presiden.
(Penulisan selanjutnya disingkat dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005-Penulis)

Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan


pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum,
segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan
termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum
nasional.

Perkembangan peratuaran perundangan sangat flexible mengikuti perkembangan zaman


sesuai dengan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-
Undang ini diperluas tidak saja Undang-Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-
undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dalam makalah ini kita akan mengupas bagaimana Proses RUU dari pemerintah dan dari
DPR-RI. Serta Asas asas Pembentukan Peraturan yang baik digunakan dalam proses RUU, yang
akan dibahas di dalam makalah ini. Dan bagaimana cara pengaturan pembentukan peraturan
perundang–undangan di indonesia.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang?

2. Bagaimana Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dalam Proses


Penyusunan RUU yang akan dibuat ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Proses dan Tahap pembentukan Rancangan Undang-Undang.

2. Mengetahui Bagaimana Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik


dalam Proses Penyiapan RUU yang akan dibuat.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Rancangan Undang-Undang (RUU)

1. Pengertian

Proses pembuatan undang-undang adalah rentetan kejadian yang bermula dari


perencanaan, pengusulan, pembahasan, dan pengesahan. Semua proses tersebut dilakukan oleh
para aktor, yang dalam sistem demokrasi modern disebut eksekutif (Presiden beserta jajaran
kementriannya) dan legislatif (DPR).

Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala prioritas program


pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang
integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun peraturan di bawah UU. Penyusunan
daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas didasarkan atas:

a. Perintah UUD NKRI Tahun 1945;

b. Perintah Ketetapan MPR;

c. Perintah UU lainya;

d. Sistem perencanaan pembangunan nasional;


e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional;

f. Rencana pembangunan jangka menegah;

g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR;

h. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan keterkaitanya dengan
peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang diatur dan keterkaitanya dengan peraturan
perundang-undang lainya merupakan keterangan mengenai konsep RUU yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Jangkawan dan arah peraturan;

2. Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non
departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan
RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu,
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin prakarsa kepada Presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai
dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i) urgensi dan tujuan
penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan, (iii) pokok pikiran, lingkup, atau objek yang
akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah pengaturan.

Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a) menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b) meratifikasi konvensi atau perjanjian
internasional; (c) melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d) mengatasi keadaan luar
biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e) keadaan tertentu lainnya yang memastikan
adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR
dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-
undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak
memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat
terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan
naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan
tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang
mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan adalah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Selanjutnya, pelaksanaan
penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga
lainnya yang mempunyai keahlian.

a. Penyusunan RUU Berdasarkan Prolegnas

Ketentuan tentang penyusunan RUU yang dilakukan pemrakarsa berdasarkan prolegnas


diatur dalam pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005. Ditetapkan bahwa Penyusunan
RUU yang berdasarkan Prolegnas tidak memerlukan izin pemrakarsa dari presiden. Namun,
secara berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan RUU tersebut kepada
presiden

Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa.
Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen
yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk
oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro
hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan
pada lembaga pemrakarsa.

Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk
melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan. Panitia antar
departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai
objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang
meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan
kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga
pemrakarsa.

Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk


diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di
tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan
perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya
sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.

Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan


penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau
arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa
disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat
menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung
jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh
pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham
diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan.
Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
RUU diterima.

Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima
maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan
menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka
Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh
keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama
dengan Menhukham.

Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi
teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada
presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih
mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa
untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali
RUU kepada presiden.[6]

b. Penyusunan RUU diluar Prolegnas

Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU
berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal
yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian,
pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini
dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.

Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi


RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang
berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-
undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat
melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.

Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan
kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang
muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang
sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU.

Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan


dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi
RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden
menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen.
Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan
tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.[7]

c. Penyampaian RUU Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR
untuk dilakukan pembahasan. Menteri Sekretaris Negara menyiapkan surat Presiden kepada
Pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan Pemerintah mengenai
Rancangan Undang-Undang dimaksud. Surat Presiden sebagaimana dimaksud Peraturan
Presiden No. 68 Tahun 2005 yang terdapat pada Pasal 26 ayat (2) paling sedikit memuat :

1) Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan Undang-
Undang di Dewan Perwakilan Rakyat;

2) Sifat penyelesaiaan Rancangan Undang-Undang yang dikehendaki; dan

3) Cara penanganan atau pembahasannya. Keterangan Pemerintah disiapkan oleh


Pemrakarsa, yang paling sedikit memuat :

1) Urgensi dan tujuan penyusunan;

2) Sasaran yang ingin diwujudkan;

3) Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan

4) Jangkauan serta arah pengaturan;

Surat Presiden ditembuskan kepada Wakil Presiden, para menteri koordinator, menteri
yang ditugasi untuk mewakili Presiden/Pemrakarsa, dan Menteri. Dalam rangka pembahasan
Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat, Pemrakarsa memperbanyak
Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri


yang ditugasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a wajib melaporkan
perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada Presiden untuk memperoleh keputusan
dan arahan. Apabila dalam pembahasan terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah
pembahasannya akan mengubah isi serta arah Rancangan Undang-Undang, Menteri yang
ditugasi mewakili Presiden wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden disertai
dengan saran pemecahannya untuk memperoleh keputusan.

d. RUU Yang Disusun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

RUU yang berasal dari usul inisiatif DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu

1) Badan Legislasi;
2) Komisi;

3) Gabungan komisi;

4) Tujuh belas orang anggota.

Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota
diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis.
Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota
tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota.
Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai
RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada
fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.

Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada
Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut. Apabila
RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg
ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada Presiden dan pimpinan DPD (dalam hal
RUU yang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang
Menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya
surat dari DPR. Demikian pula halnya, DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan
mewakili dalam proses pembahasan.[9]

3. Tahap Pembentukan Undang-Undang

a. Tahap Perencanaan

Dari perspektif perencanaan, pembentukan undang-undang dimulai dari penyusunan


Program Legislasi Nasional. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan salah satu
instrument penting dalam kerangka pembangunan hukum, khususnya dalam konteks
pembentukan materi hukum.

1) Proses Penyusunan

ProlegnasDalam proses penyusunan Prolegnas, penentuan arah kebijakan dan


penyusunan daftar judul dilakukan pemerintah mapun di DPR RI secara terpisah. Masing-
masing, baik pemerintah maupun DPR, menggalang masukan dari berbagai pihak. Pemerintah
meminta dan menerima masukan dari setiap kementerian dan non-kementerian yang ada di
lingkungan pemerintahan. Sedangkan DPR menggalang masukan dari anggota DPR, fraksi,
komisi, DPD dan masyarakat.

2) Keputusan Prolegnas
Daftar judul RUU yang ada dalam Prolegnas yang merupakan hasil dari pembahasan
bersama antara Pemerintah dan DPR kemudian ditetapkan di Rapat Paripurna DPR untuk
kemudian dimuat dalam keputusan DPR RI.

3) Pengajuan RUU diluar Prolegnas

Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa RUU (baik itu Pemerintah atau DPR) dapat
mengajukan RUU dari luar daftar Prolegnas. Rancangan undang-undang (yang diajukan di luar
Prolegnas) terlebih dahulu disepakati oleh Badan Legislasi dan selanjutnya Badan Legislasi
melakukan koordinasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan untuk mendapatkan persetujuan bersama, dan hasilnya dilaporkan dalam
rapat paripurna untuk ditetapkan.

b. Tahap Penyusunan

Didalam tahap penyusunan UU, proses penyusunanya dilakukan mulai dari perencanaan
rancangan UU berdasarkan daftar prioritas Prolegnas. Selanjutnya penyiapan RUU yang
diajukan oleh Presiden atau DPR. Dalam pengajuan RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden
atau DPD harus disertai Naskah Akademik. UU PPP menjadikan Naskah Akademik sebagai
persyaratan dalam pengajuan sebuah RUU, kecuali terhadap RUU, mengenai:

1) APBN;

2) Penetapan Perpu; atau

3) Pencabutan UU atau pecabutan Perpu; yang cukup disertai dengan keterangan yang
memuat pokok pikiran dan meteri muatan yang diatur.

Kemudian hal penting yang terkait dengan Naskah Akademik adalah sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 44 UU PPP bahwa penyusunan Naskah Akademik yang tercantum dalam
Lampiran 1 UU PPP, sehingga didapatkan formula Naskah Akademik yang sama, baik dari sisi
sistematika, teknis penyusunanya maupun kedalam substansi yang akan diatur.

Untuk memastikan bahwa penyusunan RUU berjalan baik seusuai prosedur dan teknik
penyusunan perundang-undangan, maka diatur ketentuan bahwa setiap RUU yang diajukan
kepada DPR oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau DPD harus dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU oleh Badan Legislasi DPR RI.
Demikian halnya terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden yang penyiapanya dilakukan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas
tanggung jawabnya, dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU
oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi RUU didalam Pasal 46 dan 47 UU PPP diatur lebih jelas, tersetruktur, dan
masing-masing terintegrasi didalam peraturan DPR maupun Perpres tentang tata cara
mempersiapkan RUU.[10]
c. Tahap Pembahasan

Ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU PPP menjelaskan bahwa pembahasan RUU dilakukan
oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Hal ini sesuai bunyi Pasal 20 ayat (2)
UUD NKRI Tahun 1945, yakni “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Adapun pelibatan atau keikutsertaan DPD dalam
pembahsan RUU hanya dilakukan apabila RUU yang dibahas berkaitan dengan:

1) Otonomi daerah;

2) Hubungan pusat dan daerah;

3) Pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah;

4) Pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainya; dan

5) Perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU dilakukan hanya pada pembicara tingkat I
(Satu), kemudian dalam pembahsan tersebut DPD diwakili oleh alat kelengkapan yang
membidangi materi muatan RUU tersebut.

d. Tahap Pengesahan

Sesuai ketentuan Pasal 72 PPP bahwa RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Peresiden untuk disahkan menjadi UU.
Penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama. Penentuan tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak
untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan RUU kelembaran resmi
Presdiden sampai dengan penandatangan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan
sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) oleh Mentri Hukum
dan HAM.

e. Tahap Pengundangan

Pengundangan peraturan perundang-undangan didalam UU PPP tetap dilakuakan dalam


Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah,
Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Penempatan peraturan perundang-undangan
didalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia hanya
berupa batang tubuh peraturan perundang-undangan an sich. Sementara penjelasan peraturan
perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dimuat dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Demikian pula penjelasan peraturan perundang-
undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dimuat dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia. Untuk melaksanakan pengundangan peraturan perundangan-
undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.
[12]

f. Tahap Penyebarluasan

Penyebaraluasan Prolegnas, RUU, dan UU merupakan kegiatan untuk memberikan


informasi dan/atau memproleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan mengenai
Prolegnas dan RUU yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat
dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Prolegnas dan RUU tersebut atau
memahami UU yang telah diundangkan. Kegiatan penyebarluasan tersebut dilakukan melalui
media elektroknik dan/atau media cetak.

Ketentuan pasal 89 UU PPP lebih progresif dalam penyebarluasan, bukan hanya


kewenagan pemerintah semata, melainkan penyebarluasan dilakukan secara bersama oleh DPR
dan pemerintah. Didalam UU ini diatur bahwa penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh
DPR dan pemerintah yang dikordinasikan oleh Badan Legislasi DPR. Penyebarluasan RUU yang
berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/Badan Legislasi DPR. Sementara
penyebarluasan RUU yang berasal dari presiden dilaksankan oleh instansi pemrakarsa.

Demikian halnya terkait ketentuan Pasal 90 UU PPP diatur bahwa penyebarluasan UU


yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) dilakukan secarara
bersama-sama oleh DPR dan pemerintah. Dalam hal UU yang berkaitan disahkan berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolahan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Maka penyebarluasan UU
tersebut dapat dilakukan juga oleh DPD.

B. Peraturan Perundang-Undangan (PERPU)

1. Pengertian

Bagir Manan dan Kuntana Magnar (1987) memberikan pengertian peraturan perundang-
undangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga
dan/atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara
yang berlaku.

Pengaturan pembentukan peraturan perundang–undangan dalam Undang-Undang bisa


dipertinci sebagai berikut :
a. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan.

b. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum


yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

c. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang undangan yang dibentuk oleh Dewan


Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan


yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Dari penjabaran diatas dapat kita simpulkan bahawasanya pembentukan peraturan


perundang undangan adalah Peraturan Perundang-undangan tertulis yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan yang
memuat norma hukum yang dimuat oleh pejabat yang berwenang. Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

2. Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dalam Proses pembentukan Peraturan yang baik, tidak terlepas dari asas-asas yang baik,
Sama halnya dengan Proses Penyiapan RUU juga memerlukan pedoman dalam penyiapannya.
Asas asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah asas hukum yabg
memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam bentuk dan
susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaaan metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur
pembentukan yang telah ditentukan.
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik ini dirumuskan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
khususnya Pasal 5 dan Pasal 6 yang dirumuskan sebagai berikut:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

Sementara itu, asas-asas yang harus dikandung dalam materi muatan peraturan
perundang-undangan dirumuskan dalam pasal 6 sebagai berikut :

a. Pengayoman;

b. Kemanusiaan;

c. Kebangsaan;

d. Kekeluargaan;

e. Kenusantaraan;

f. Bhinneka tunggal iika;

g. Keadilan;

h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Keseimbangan; keserasian, dan keselarasan.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang ( RUU ), terdapat banyak prosedur


dan cara dalam membuatnya, Ada Proses penyiapan RUU dari pemerintah, yang mana
berdasarkan prolegnas yaitu tidak memerlukan izin pemrakarsa dari presiden. Namun, secara
berkala, pemrakarsa melaporkan persiapan dari penyusunan RUU tersebut kepada presiden. Dan
juga di luar dari prolegnas yaitu sama dengan Prolegnas tetapi ada tahapan awal yang wajib
dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan
sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan
dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan
melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.

Ada juga Proses Penyiapan RUU dari DPR-RI yang mana harus telah disetujui dulu oleh
presiden lalu disampaikan kepada DPR-RI Untuk pembahasan, Proses ini diawali dengan
penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan
DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang
dimaksud. Dalam Pembentukan Proses Penyiapan RUU Juga memerlukan asas-asas yang baik
sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 5 dan 6 UU No.12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

B. Saran

Sebagai generasi penerus bangsa kita harus tahu dan memahami akan pentingnya
konstitusi bagi negara,serta berusaha untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dengan
konstitusi ini untuk dapat kita jadikan pedoman dalam mengatasi setiap masalah dalam kapasitas
kita sebagai warga negara.

DAFTAR PUSTAKA
Aziz Syamsyudin. Proses dan Teknik Penyusunan Undang - Undang, Jakarta Timur; Sinar Grafik
(2014)

Erni Setyowati dan M. Nur Sholikin, Bagaimana Undang-Undang Dibuat, sebuah artikel,
diunduh dari http://pengacaraku.com/site/legal-articles/75-bagaimana-undang-undang-
dibuat-.html di Akses pada pukul 19.55 Tanggal 26 Maret 2017

Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2. Yogyakarta: Kanisius

Penjelasan Pasal 5 yang dikutip dari http://artonang.blogspot.co.id/2015/01/asas-asas-


pembentukan-peraturan.html di Akses pada Pukul 20.00 Tanggal 26 Maret 2017

Republik Indonesia.2011. Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan


perundang-undangan.Lembaran Negara RI Tahun 2011, No.82. Tambahan Lembaran Negara RI
No.5234. Sekretariat Negara. Jakarta.

Yani, Ahmad, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif, Jakarta: Konstitusi


Press (2013).

Yuliandri. Asas Asas Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan Yang Baik. Jakarta:


RajaGrafindo Persada (2010)

Anda mungkin juga menyukai