Anda di halaman 1dari 25

A.

Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang hidup
bersama melalui ikatan perkawinan dan kedekatan emosi yang
masing-masing mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keluarga
(Ekasari, 2000).
Menurut Duval, 1997 (dalam Supartini, 2004) mengemukakan
bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh
ikatan perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan
menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum,
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial
setiap anggota.
Bailon, 1978 (dalam Achjar, 2010) berpendapat bahwa keluarga
sebagai dua atau lebih individu yang berhubungan karena hubungan
darah, ikatan perkawinan atau adopsi, hidup dalam satu rumah
tangga, berinteraksi satu sama lain dalam peranannya dan
menciptakan serta mempertahankan budaya.
Keluarga adalah suatu sistem sosial yang dapat menggambarkan
adanya jaringan kerja dari orang-orang yang secara regular
berinteraksi satu sama lain yang ditunjukkan oleh adanya hubungan
yang saling tergantung dan mempengaruhi dalam rangka mencapai
tujuan (Leininger, 1976).
Jadi dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah sekumpulan dua
orang atau lebih yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi,
hubungan darah, hidup dalam satu rumah tangga, memiliki
kedekatan emosional, dan berinteraksi satu sama lain yang saling
ketergantungan untuk menciptakan atau mempertahankan budaya,
meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial
setiap anggota dalam rangka mencapai tujuan bersama

B. Tahap dan Tugas Perkembangan Keluarga


Tahap dan siklus tumbuh kembang keluarga menurut Duval 1985
dan Friedman 1998, ada 8 tahap tumbuh kembang keluarga, yaitu :
1. Tahap I : Keluarga Pemula
Keluarga pemula merujuk pada pasangan menikah/tahap
pernikahan. Tugas perkembangan keluarga saat ini adalah
membangun perkawinan yang saling memuaskan,
menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonis,
merencanakan keluarga berencana.
2. Tahap II : Keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua bayi
sampai umur 30 bulan)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap II, yaitu membentuk
keluarga muda sebagai sebuah unit, mempertahankan hubungan
perkawinan yang memuaskan, memperluas persahabatan
dengan keluarga besar dengan menambahkan peran orang tua
kakek dan nenek dan mensosialisasikan dengan lingkungan
keluarga besar masing-masing pasangan.
3. Tahap III : Keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak tertua
berumur 2-6 tahun)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap III, yaitu memenuhi
kebutuhan anggota keluarga, mensosialisasikan anak,
mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi
kebutuhan anak yang lainnya, mempertahankan hubungan yang
sehat dalam keluarga dan luar keluarga, menanamkan nilai dan
norma kehidupan, mulai mengenalkan kultur keluarga,
menanamkan keyakinan beragama, memenuhi kebutuhan
bermain anak.
4. Tahap IV : Keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua
usia 6-13 tahun)
Tugas perkembangan keluarga tahap IV, yaitu mensosialisasikan
anak termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan
mengembangkan hubungan dengan teman sebaya,
mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan,
memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga,
membiasakan belajar teratur, memperhatikan anak saat
menyelesaikan tugas sekolah.
5. Tahap V : Keluarga dengan anak remaja (anak tertua umur 13-
20 tahun)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap V, yaitu
menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika
remaja menjadi dewasa dan mandiri, memfokuskan kembali
hubungan perkawinan, berkomunikasi secara terbuka antara
orang tua dan anak-anak, memberikan perhatian, memberikan
kebebasan dalam batasan tanggung jawab, mempertahankan
komunikasi terbuka dua arah.
6. Tahap VI : Keluarga yang melepas anak usia dewasa muda
(mencakup anak pertama sampai anak terakhir yang
meninggalkan rumah)
Tahap ini adalah tahap keluarga melepas anak dewasa muda
dengan tugas perkembangan keluarga antara lain : memperluas
siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga baru
yang didapat dari hasil pernikahan anak-anaknya, melanjutkan
untuk memperbaharui dan menyelesaikan kembali hubungan
perkawinan, membantu orang tua lanjut usia dan sakit-sakitan
dari suami dan istri.
7. Tahap VII : Orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan atau
pensiunan)
Tahap keluarga pertengahan dimulai ketika anak terakhir
meninggalkan rumah dan berakhir atau kematian salah satu
pasangan. Tahap ini juga dimulai ketika orang tua memasuki usia
45-55 tahun dan berakhir pada saat pasangan pensiun. Tugas
perkembangannya adalah menyediakan lingkungan yang sehat,
mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh arah
dengan lansia dan anak-anak, memperoleh hubungna
perkawinan yang kokoh.
8. Tahap VIII : Keluarga dalam tahap pensiunan dan lansia
Dimulai dengan salah satu atau kedua pasangan memasuki
masa pensiun terutama berlangsung hingga salah satu pasangan
meninggal dan berakhir dengan pasangan lain meninggal. Tugas
perkembangan keluarga adalah mempertahankan pengaturan
hidup yang memuaskan, menyesuaikan terhadap pendapatan
yang menurun, mempertahankan hubungan perkawinan,
menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan dan
mempertahankan ikatan keluarga antara generasi.

C. Tipe Keluarga
Menurut Maclin, 1988 (dalam Achjar, 2010) pembagian tipe
keluarga, yaitu :
 Keluarga Tradisional
1. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan
anak-anak yang hidup dalam rumah tangga yang sama.
2. Keluarga dengan orang tua tunggal yaitu keluarga yang
hanya dengan satu orang yang mengepalai akibat dari
perceraian, pisah, atau ditinggalkan.
3. Pasangan inti hanya terdiri dari suami dan istri saja, tanpa
anak atau tidak ada anak yang tinggal bersama mereka.
4. Bujang dewasa yang tinggal sendiri
5. Pasangan usia pertengahan atau lansia, suami sebagai
pencari nafkah, istri tinggal di rumah dengan anak sudah
kawin atau bekerja.
6. Jaringan keluarga besar, terdiri dari dua keluarga inti atau
lebih atau anggota yang tidak menikah hidup berdekatan
dalam daerah geografis.

 Keluarga non tradisional


1. Keluarga dengan orang tua yang mempunyai anak tetapi
tidak menikah (biasanya terdiri dari ibu dan anaknya).
2. Pasangan suami istri yang tidak menikah dan telah
mempunyai anak
3. Keluarga gay/ lesbian adalah pasangan yang berjenis
kelamin sama hidup bersama sebagai pasangan yang
menikah
4. Keluarga kemuni adalah rumah tangga yang terdiri dari lebih
satu pasangan monogamy dengan anak-anak, secara
bersama menggunakan fasilitas, sumber dan mempunyai
pengalaman yang sama.

Menurut Allender dan Spradley (2001)

 Keluarga tradisional
1. Keluarga Inti (Nuclear Family) yaitu keluarga yang terdiri dari
suami, istri, dan anak kandung atau anak angkat
2. Keluarga besar (extended family) yaitu keluarga inti
ditambah dengan keluarga lain yang mempunyai hubungan
darah, misalnya kakek, nenek, paman, dan bibi
3. Keluarga dyad yaitu rumah tangga yang terdiri dari suami
istri tanpa anak
4. Single parent yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang
tua dengan anak kandung atau anak angkat, yang
disebabkan karena perceraian atau kematian.
5. Single adult yaitu rumah tangga yang hanya terdiri
dariseorang dewasa saja
6. Keluarga usia lanjut yaitu rumah tangga yang terdiri dari
suami istri yang berusia lanjut.

 Keluarga non tradisional


1. Commune family yaitu lebih dari satu keluarga tanpa
pertalian darah hidup serumah
2. Orang tua (ayah/ ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan
anak hidup bersama dalam satu rumah
3. Homoseksual yaitu dua individu yang sejenis kelamin hidup
bersama dalam satu rumah tangga
Menurut Carter dan Mc Goldrick (1988) dalam Setiawan dan
Darmawan (2005)

1. Keluarga berantai (sereal family) yaitu keluarga yang terdiri dari


wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan
satu keluarga inti.
2. Keluarga berkomposisi yaitu keluarga yang perkawinannya
berpoligami dan hidup secara bersama-sama.
3. Keluarga kabitas yaitu keluarga yang terbentuk tanpa
pernikahan

D. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarganya:
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Setiawati dan
Darmawan (2005), yaitu:
1. Fungsi afektif
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi
kebutuhan pemeliharaan kepribadian anggota keluarga.
2. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi bercermin dalam melakukan pembinaan
sosialisasi pada anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini
anak, memberikan batasan perilaku yang boleh dan tidak boleh
pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya anak.
3. Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi
keluarga dalam melindungi keamanan dan kesehatan seluruh
anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan
perkembangan fisik, mental, dan spiritual, dengan cara
memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali
kondisi sakit tiap anggota keluarga.
4. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti
sandang, pangan, dan papan, dan kebutuhan lainnya melalui
keefektifan sumber daya keluarga.
5. Fungsi biologis
Fungsi biologis bukan hanya ditujukan untuk meneruskn
keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak
untuk kelanjutan generasi selanjutnya.
6. Fungsi psikologis
Fungsi psikologis terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih
saying dan rasa aman/ memberikan perhatian diantara anggota
keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga
dan memberikan identitas keluarga.
7. Fungsi pendidikan
Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan
pengetahuan, keterampilan membentuk perilaku anak,
mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa mendidik anak
sesuai dengan tingkatan perkembangannya.

E. Tugas Keluarga
Tugas keluarga merupakan pengumpulan data yang berkaitan
dengan ketidakmampuan keluarga dalam menghadapi masalah
kesehatan. Asuhan keperawatan keluarga mencantumkan lima
tugas keluarga sebagai paparan etiologi/ penyebab masalah dan
biasanya dikaji pada saat penjajagan tahap II bila ditemui data
malaadapti pada keluarga. Lima tugas keluarga yang diaksud
adalah:
1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah, termasuk
bagaimana persepsi keluarga terhadap tingkat keparahan
penyakit, pengertian, tanda dan gejala, factor penyebab dan
persepsi keluarga terhadap masalah yang dialami keluarga.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan, termasuk
sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya
masalah, bagaimana masalah dirasakan keluarga, bagaimana
keluarga menanggapi masalah yang dihadapi, adakah rasa takut
terhadap akibat atau adakah sifat negative dari keluarga
terhadap masalah kesehatan, bagaimana system pengambilan
keputusan yag dilakukan keluarga terhadap anggota keluarga
yang sakit.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang
sakit, seperti bagaimana keluarga mengetahui keadaan sakitnya,
sifat, dan perkembangan perawatan yang diperlukan, sumber-
sumber yang ada dalam keluarga serta sikap keluarga terhadap
anggota keluarga yang sakit.
4. Ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan seperti
pentingnya hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan
penyakit yang dilakukan keluarga. Upaya pemeliharaan
lingkungan yang dilakukan keluarga, kekompakan anggota
keluarga dalam menata lingkungan dalam dan lingkungan luar
rumah yang berdampak terhadap kesehatan keluarga.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan
kesehatan, seperti kepercayaan keluarga terhadap petugas
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, keberadaan
fasilitas kesehatan yang ada, keuntungan keluarga terhadap
penggunaan fasilitas kesehatan, apakah pelayanan kesehatan
terjangkau oleh keluarga, adakah pengalaman yang kurang baik
yang dipersepsikan keluarga.

F. Teori Asuhan Keperawatan Keluarga


1. Pengkajian
Pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh
perawat untuk mengukur keadaan klien (keluarga) dengan
menangani norma-norma kesehatan keluarga maupun sosial,
yang merupakan system terintegrasi dan kesanggupan keluarga
untuk mengatasinya. (Effendy, 1998)
Pengumpulan data dalam pengkajian dilakukan dengan
wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik dan studi
dokumentasi. Pengkajian asuhan keperawatan keluarga menurut
teori/model Family Centre Nursing Friedman (1988), meliputi 7
komponen pengkajian yaitu :
a. Data Umum
1) Identitas kepala keluarga
2) Komposisi anggota keluarga
3) Genogram
4) Tipe keluarga
5) Suku bangsa
6) Agama
7) Status sosial ekonomi keluarga
b. Aktifitas rekreasi keluarga
1) Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
2) Tahap perkembangan keluarga saat ini
3) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
4) Riwayat keluarga inti
5) Riwayat keluarga sebelumnya
c. Lingkungan
1) Karakteristik rumah
2) Karakteristik tetangga dan komunitas tempat tinggal
3) Mobilitas geografis keluarga
4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan
masyarakat
5) System pendukung keluarga
d. Struktur keluarga
1) Pola komunikasi keluarga
2) Struktur kekuatan keluarga
3) Struktur peran (formal dan informal)
4) Nilai dan norma keluarga
e. Fungsi keluarga
1) Fungsi afektif
2) Fungsi sosialisasi
3) Fungsi perawatan kesehatan
f. Stress dan koping keluarga
1) Stressor jangka panjang dan stressor jangka pendek
serta kekuatan keluarga
2) Respon keluarga terhadap stress
3) Strategi koping yang digunakan
4) Strategi adaptasi yang disfungsional
g. Pemeriksaan fisik
1) Tanggal pemeriksaan fisik dilakukan
2) Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada seluruh
anggota keluarga
3) Aspek pemeriksaan fisik mulai dari vital sign, rambut,
kepala, mata, mulut, THT, leher, thoraks, abdomen,
ekstremitas atas dan bawah, system genetalia
4) Kesimpulan dari hasil pemeriksaan fisik
h. Harapan keluarga
1) Terhadap masalah kesehatan keluarga
2) Terhadap petugas kesehatan yang ada

Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan saat pengkajian menurut Supraji
(2004) yaitu:

a. Membina hubungan baik


Dalam membina hubungan yang baik, hal yang perlu dilakukan antara
lain, perawat memperkenalkan diri dengan sopan dan ramah tamah,
menjelaskan tujuan kunjungan, meyakinkan keluarga bahwa
kehadiran perawat adalah menyelesaikan masalah kesehatan yang
ada di keluarga, menjelaskan luas kesanggupan bantuan perawat
yang dapat dilakukan, menjelaskan kepada keluarga siapa tim
kesehatan lain yang ada di keluarga.
b. Pengkajian awal
Pengkajian ini terfokus sesuai data yang diperoleh dari unit pelayanan
kesehatan yang dilakukan.
c. Pengkajian lanjutan (tahap kedua)
Pengkajian lanjutan adalah tahap pengkajian untuk memperoleh data
yang lebih lengkap sesuai masalah kesehatan keluarga yang
berorientasi pada pengkajian awal. Disini perawat perlu
mengungkapkan keadaan keluarga hingga penyebab dari masalah
kesehatan yang penting dan paling dasar.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menggunakan dan
menggambarkan respons manuasia. Dimana keadaan sehat atau
perubahan pola interaksi potensial/actual dari individu atau kelompok
dimana perawat dapat menyusun intervensi-intervensi definitive untuk
mempertahankan status kesehatan atau untuk mencegah perubahan
(Carpenito, 2000).
Untuk menegakkan diagnosa dilakukan 2 hal, yaitu:
a. Anallisa data
Mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian dibandingkan
dengan standar normal sehingga didapatkan masalah keperawatan.
b. Perumusan diagnosa keperawatan

Komponen rumusan diagnosa keperawatan meliputi:

1. Masalah (problem) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya


kebutuhan dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau
anggota keluarga.
2. Penyebab (etiologi) adalah kumpulan data subjektif dan objektif.
3. Tanda (sign) adalah sekumpulan data subjektif dan objektif
yang diperoleh perawat dari keluarga secara langsung atau
tidak langsung atau tidak yang emndukung masalah dan
penyebab.
Dalam penyusunan masalah kesehatan dalam perawatan keluarga mengacu
pada tipologi diagnosis keperawatan keluarga yang dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu:

1) Diagnosa sehat/Wellness/potensial Yaitu


keadaan sejahtera dari keluarga ketika telah
mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya dan
mempunyai sumber penunjang kesehatan yang
memungkinkan dapat digunakan. Perumusan
diagnosa potensial ini hanya terdiri dari
komponen Problem (P) saja dan sign /symptom
(S) tanpa etiologi (E).
2) Diagnosa ancaman/risiko
Yaitu masalah keperawatan yang belum terjadi.
Diagnosa ini dapat menjadi masalah actual bila
tidak segera ditanggulangi. Perumusan diagnosa
risiko ini terdiri dari komponen problem (P),
etiologi (E), sign/symptom (S).
3) Diagnosa nyata/actual/gangguan
Yaitu masalah keperawatan yang sedang dijalani
oleh keluarga dan memerlukn bantuan dengan
cepat. Perumusan diagnosa actual terdiri dari
problem (P), etiologi (E), dan sign/symptom (S).
Perumusan problem (P) merupakan respons
terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan
dasar. Sedangkan etiologi mengacu pada 5 tugas
keluarga.
Dalam Friedman (!998) diagnosa-diagnosa keperawatan pilihan NANDA
yang cocok untuk praktek keperawatan keluarga seperti tabel dibawah ini:

Kategori Diagnosa NANDA Diagnosa Keperawatan

Persepsi kesehatan-pola Manajemen kesehatan yang dapat di


manajemen kesehatan ubah

Perilaku mencari sehat

Kognitif-pola latihan Kerusakan penatalaksanaan lingkungan


rumah

Peran-pola persepsi Kurang pengetahuan

Konflik keputusan

Peran-pola hubungan Berduka antisipasi

Berduka disfungsional

Konflik peran orang tua isolasi social

Perubahan dalam proses keluarga

Perubahan penampilan peran

Risiko perubahan dalam menjadi orang


tua Perubahan menjadi orang tua

Risiko terhadap kekerasan

Koping pola – pola Koping keluarga potensial terhadap


toleransi terhadap stress pertumbuhan Koping keluarga tidak
efektif : menurun
Koping keluarga tidak efektif : kecacatan

3. Perencanaan
Perencanaan adalah sekumpulan tindakan yang ditentukan
perawat untuk dilaporkan dalam memecahkan masalah
kesehatan dan keperawatan yang telah diidentifikasi
(Efendy,1998).
Penyusunan rencana perawatan dilakukan dalam 2 tahap yaitu
pemenuhan skala prioritas dan rencana perawatan (Suprajitmo,
2004).
a. Skala prioritas
Prioritas didasarkan pada diagnosis keperawatan yang
mempunyai skor tinggi dan disusun berurutan sampai yang
mempunyai skor terendah. Dalam menyusun prioritas
masalah kesehatan dan keperawatan keluarga harus
didasarkan beberapa criteria sebagai berikut :
1. Sifat masalah (actual, risiko, potensial)
2. Kemungkinan masalah dapat diubah
3. Potensi masalah untuk dicegah
4. Menonjolnya masalah

Skoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnosa


keperawatan telah dari satu proses skoring menggunakan
skala yang telah dirumuskan oleh Bailon dan Maglay
(1978) dalam Effendy (1998).

Kriteria Bobot Skor

Sifat masalah 1 Aktual =3

Risiko =2

Potensial =1
Kemungkinan 2 Mudah =2
masalah untuk
Sebagian =1
dipecahkan
Tidak dapat = 0

Potensi masalah 1 Tinggi =3


untuk dicegah
Cukup =2

Rendah =1

Menonjolnya 1 Segera diatasi = 2


masalah
Tidak segera diatasi = 1

Tidak dirasakan adanya masalah


=0

b. Proses scoring dilakukan untuk setiap diagnosa keperawatan


 Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang dibuat perawat
 Skor dibagi dengan angka tertinggi dan dikaitkan dengan bobot
 Jumlahkan skor untuk semua criteria
 Skor tertinggi berarti prioritas (skor tertinggi 5)

c. Rencana
Langkah pertama yang dilakukan adalah merumuskan tujuan
keperawatan. Tujuan dirumuskan untuk mengetahui atau mengatasi
serta meminimalkan stressor dan intervensi dirancang berdasarkan
tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk memperkuat
garis pertahanan fleksibel, pencegahan sekunder untuk memperkuat
garis pertahanan sekunder, dan pencegahan tersier untuk
memperkuat garis pertahanan tersier (Anderson & Fallune, 2000).

Tujuan terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
Tujuan jangka panjang mengacu pada bagaimana mengatasi
problem/masalah (P) di keluarga. Sedangkan penetapan tujuan
jangka pendek mengacu pada bagaimana mengatasi etiologi yang
berorientasi pada lima tugas keluarga.

Adapun bentuk tindakan yang akan dilakukan dalam intervensi


nantinya adalah sebagai berikut :
1. Menggali tingkat pengetahuan atau pemahaman keluarga
mengenai masalah
2. Mendiskusikan dengan keluarga mengenai hal-hal yang belum
diketahui dan meluruskan mengenai intervensi/interpretasi
yang salah.
3. Memberikan penyuluhan atau menjelaskan dengan keluarga
tentang faktor-faktor penyebab, tanda dan gejala, cara
menangani, cara perawatan, cara mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pentingnya pengobatan secara teratur.
4. Memotivasi keluarga untuk melakukan hal-hal positif untuk
kesehatan.
5. Memberikan pujian dan penguatan kepada keluarga atas apa
yang telah diketahui dan apa yang telah dilaksanakan.

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan pada rencana yang telah
disusun. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan terhadap keluarga yaitu :
a. Sumber daya keluarga
b. Tingkat pendidikan keluarga
c. Adat istiadat yang berlaku
d. Respon dan penerimaan keluarga
e. Sarana dan prasarana yang ada pada keluarga.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil
implementasi dengan criteria dan standar yang telah ditetapkan untuk
melihat keberhasilannya. Kerangka kerja valuasi sudah terkandung
dalam rencana perawatan jika secara jelas telah digambarkan tujuan
perilaku yang spesifik maka hal ini dapat berfungsi sebagai criteria
evaluasi bagi tingkat aktivitas yang telah dicapai (Friedman,1998)
Evaluasi disusun mnggunakan SOAP dimana :

S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif


oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O : keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat
menggunakan pengamatan yang obyektif.
A : merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif
dan obyektif.
P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis
(Suprajitno,2004)
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, K.A.2010. Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta :


Sagung Seto

Allender, JA & Spradley, B. W. 2001. Community as Partner, Theory and


Practice Nursing. Philadelpia : Lippincott

Anderson.E.T & Mc.Farlane.J.M.2000.Community Health and Nursing,


Concept and Practice. Lippincott : California

Carpenitti, L. J. 2000. Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Jakarta :EGC

Effendy,N.1998.Dasar-dasar keperawatan Kesehatan Masyarakat.Jakarta


:EGC

Friedman,M.M.1998.Family Nursing Research Theory and Practice,4th


Edition.Connecticut : Aplenton

Iqbal,Wahit dkk.2005.Ilmu Keerawatan Komunitas 2 Teori dan Aplikasi


dalam Praktek Pendekatan Asuhan Keperawatan Komunitas, Gerontik,
Keluarga.Jakarta : EGC

Suprajitno.2004.Asuhan Keprawatan Keluarga Aplikasi dalam


Praktek.Jakarta :EGC

Wright dan Leakey.1984.Penderita Obesitas.Jakarta : PT Pustaka Raya


Diabetes Melitus (DM)

a. Definisi DM
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Henderina, 2010).

Menurut PERKENI (2011) seseorang dapat didiagnosa diabetes


melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti
poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan kadar gula darah
sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl.

b. Manifestasi Klinis
Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM
diantaranya :
1. Pengeluaran urin (Poliuria)
Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam
meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala
DM dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga
tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk
mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih
sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan
mengandung glukosa (PERKENI, 2011).
2. Timbul rasa haus (Polidipsia)
Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar
glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk
meningkatkan asupan cairan (Subekti, 2009).
3. Timbul rasa lapar (Polifagia)
Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut
disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis
sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi (PERKENI,
2011).
4. Peyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena
tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai
cadangan energi (Subekti, 2009).

c. Klasifikasi DM
1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan
terjadi karena kerusakan sel β (beta) (WHO, 2014). Canadian
Diabetes Association (CDA) 2013 juga menambahkan bahwa
rusaknya sel β pankreas diduga karena proses autoimun, namun
hal ini juga tidak diketahui secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan
terhadap ketoasidosis, memiliki insidensi lebih sedikit
dibandingkan diabetes tipe 2, akan meningkat setiap tahun baik di
negara maju maupun di negara berkembang (IDF, 2014).
2. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014).
Seringkali diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah
onset, yaitu setelah komplikasi muncul sehingga tinggi
insidensinya sekitar 90% dari penderita DM di seluruh dunia dan
sebagian besar merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko
seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik (WHO,
2014).
3. Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang
didiagnosis selama kehamilan (ADA, 2014) dengan ditandai
dengan hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal) (CDA,
2013 dan WHO, 2014). Wanita dengan diabetes gestational
memiliki peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat
melahirkan, serta memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di
masa depan (IDF, 2014).
4. Tipe diabetes lainnya
Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi
karena adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi
insulin dan mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas,
sehingga mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin
secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal
yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin
yaitu sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (ADA,
2015).

d. Patofisiologi DM
1. Patofisiologi diabetes tipe 1
Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan
sel yang memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014). Kondisi
tersebut merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan
ditemukannya anti insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah
(WHO, 2014). National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases (NIDDK) tahun 2014 menyatakan bahwa
autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan kehancuran islet
pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya penyakit
ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa hari sampai minggu.
Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi
karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi
memproduksi insulin. Oleh karena itu, diabetes tipe 1
membutuhkan terapi insulin, dan tidak akan merespon insulin yang
menggunakan obat oral.
2. Patofisiologi diabetes tipe 2
Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak
mutlak. Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan
kurangnya sel beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer
(ADA, 2014). Resistensi insulin perifer berarti terjadi kerusakan
pada reseptor-reseptor insulin sehingga menyebabkan insulin
menjadi kurang efektif mengantar pesan-pesan biokimia menuju
sel-sel (CDA, 2013). Dalam kebanyakan kasus diabetes tipe 2 ini,
ketika obat oral gagal untuk merangsang pelepasan insulin yang
memadai, maka pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi
alternatif.
3. Patofisiologi diabetes gestasional
Gestational diabetes terjadi ketika ada hormon antagonis insulin
yang berlebihan saat kehamilan. Hal ini menyebabkan keadaan
resistensi insulin dan glukosa tinggi pada ibu yang terkait dengan
kemungkinan adanya reseptor insulin yang rusak (NIDDK, 2014
dan ADA, 2014).

e. Komplikasi DM
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat
menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain :
1. Komplikasi metabolik akut
2. Kompikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat
tiga macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan
kadar glukosa darah jangka pendek, diantaranya:
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai
komplikasi diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang
kurang tepat (Smeltzer & Bare, 2008).
4. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan kadar
glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat
menurun sehingga mengakibatkan kekacauan

metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan

ketosis (Soewondo, 2006).

a. Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik)


Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai
dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari
600 mg/dl (Price & Wilson, 2006).
b. Komplikasi metabolik kronik
Komplikasi metabolik kronik pada pasien DM menurut Price & Wilson
(2006) dapat berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) dan komplikasi pada pembuluh darah besar
(makrovaskuler) diantaranya:
c. Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu :

1. Kerusakan retina mata (Retinopati)


Kerusakan retina mata (Retinopati) adalah suatu mikroangiopati
ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil
(Pandelaki, 2009).
2. Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik)
Kerusakan ginjal pada pasien DM ditandai dengan albuminuria
menetap (>300 mg/24jam atau >200 ih/menit) minimal 2 kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. Nefropati diabetik
merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal.
Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik) Neuropati diabetik merupakan
komplikasi yang paling sering ditemukan pada pasien DM. Neuropati
pada DM mengacau pada sekelompok penyakit yang menyerang
semua tipe saraf (Subekti, 2009).
3. Komplikasi pembuluh darah besar (makrovaskuler)
Komplikasi pada pembuluh darah besar pada pasien diabetes yaitu
stroke dan risiko jantung koroner.
4. Penyakit jantung koroner
Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien DM disebabkan karena
adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang tidak disertai dengan
nyeri dada ataudisebut dengan SMI (Silent Myocardial Infarction)
(Widiastuti, 2012).
5. Penyakit serebrovaskuler
Pasien DM berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien non-DM
untuk terkena penyakit serebrovaskuler.
Gejala yang ditimbulkan menyerupai gejala pada komplikasi akut DM,
seperti adanya keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan,
kelemahan dan bicara pelo (Smeltzer & Bare, 2008).

f. Faktor Risiko DM
1. Faktor risiko yang dapat diubah
a. Gaya hidup
Gaya hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan
dalam aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak
teratur dan minuman bersoda adalah salah satu gaya hidup yang
dapat memicu terjadinya DM tipe 2 (ADA, 2009).
b. Diet yang tidak sehat
Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan
nafsu makan, sering mengkonsumsi makan siap saji
(Abdurrahman, 2014).
c. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk
terjadinya penyakit DM. Menurut Kariadi (2009) dalam Fathmi
(2012), obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin
(resisten insulin). Semakin banyak jaringan lemak pada tubuh,
maka tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila
lemak tubuh terkumpul didaerah sentral atau perut (central
obesity).

Perhitungan berat badan ideal sesuai dengan Indeks Massa


Tubuh (IMT) menurut WHO (2014), yaitu: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Tabel 1. Klasifikasi indeks massa tubuh (IMT) Indeks Massa
Tubuh (IMT) Klasifikasi berat badan <18,5 18,5-22,9 23-24,9
≥25,0 Kurang Normal Kelebihan Obesitas
d. Tekanan darah tinggi
Menurut Kurniawan dalam Jafar (2010) tekanan darah tinggi
merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan
resistensi (tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan
peningkatan volume aliran darah.

g. Faktor risiko yang tidak dapat diubah


1. Usia
Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena
diabetes tipe 2. DM tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah
baya, paling sering setelah usia 45 tahun (American Heart
Association [AHA], 2012). Meningkatnya risiko DM seiring dengan
bertambahnya usia dikaitkan dengan terjadinya penurunan fungsi
fisiologis tubuh.
2. Riwayat keluarga diabetes melitus Seorang anak dapat diwarisi
gen penyebab DM orang tua. Biasanya, seseorang yang
menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga terkena
penyakit tersebut (Ehsa, 2010). Fakta menunjukkan bahwa
mereka yang memiliki ibu penderita DM tingkat risiko terkena DM
sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi jika
memiliki ayah penderita DM. Apabila kedua orangtua menderita
DM, maka akan memiliki risiko terkena DM sebesar 6,1 kali lipat
lebih tinggi (Sahlasaida, 2015).
3. Ras atau latar belakang etnis
Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada hispanik, kulit hitam,
penduduk asli Amerika, dan Asia (ADA, 2009).
4. Riwayat diabetes pada kehamilan
Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi
lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko DM tipe 2 (Ehsa,
2010).

Anda mungkin juga menyukai