Vaskuler
1. Angina
pectoris
stabil Infeksi
2. Angina 1.Perikarditis
pectorin
unstabil
Nyeri dada
3. IMA dengan
sebelah kiri dan
ST
nafas terasa berat
elevasi/STE
MI
4. IMA tanpa
ST
elevasi/NST
EMI
Trauma
1. Tension
Pneumothorak
2. Flail Chest
2
Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury
ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi
jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi
dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid
rich core) (Sudoyo, 2014).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai
3
Gejala Klinis
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama
dirasakan di daerah sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau
kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan kanan dan pada lengan.
Penderita melukiskan seperti tertekan, terhimpit, diremas-
remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada.
Walau sifatnya dapat ringan, tapi rasa sakit itu biasanya
berlangsung lebih dari setengah jam. Jarang ada hubungannya
dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau
pemberian nitrat (Sudoyo, 2014).
4
Diagnosis
1. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit
di daerah prekordial, retrosternal dan menjalar ke lengan
kiri, lengan kanan dan ke belakang interskapuler. Rasa
nyeri seperti dicekam, diremas-remas, tertindih benda
padat, tertusuk pisau atau seperti terbakar. Kadang-kadang
rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya mengeluh lemah,
banyak keringat, pusing, dan palpitasi (Sudoyo, 2014).
2. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit, muka pucat, kulit basah dan
dingin. Tekanan darah bisa tinggi, normal atau rendah.
Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal,
irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik
5
Penatalaksanaan STEMI
1. Suplemen oksigen dengan saturasi oksigen arteri < 90%
2. Nitrogliserin sublingual 0,4 mg dapat diberikan 3 dosis,
interval 5 menit, lanjutkan melalui IV bila nyeri terus
berlangsung.
3. Pemberian morfin
4. Pemberian aspirin
5. Pemberian beta blocker
6. Pertimbangkan terapi reperfusi (fibrinolisis)
7. Percutaneous coronary intervention (PCI) (Sudoyo,
2014).
A. Pengertian
B. Etiologi
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI)
disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan
dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat
lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan
ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun
menyebabkan pelepasan penanda nekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi
miokard yang dihasilkan dari penyempitan arteri koroner
disebabkan oleh thrombus nonocclusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner mungkin
juga bertanggung jawab (Price & Wilson, 2013).
a. Faktor resiko
1) Yang tidak dapat diubah
a) Umur
b) Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan
pada wanita meningkat setelah menopause
c) Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota
keluarga di usia muda (anggota keluarga laki-laki
muda dari usia 55 tahun atau anggota keluarga
perempuan yang lebih muda dari usia 65 tahun).
d) Hereditas
e) Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
2) Yang dapat diubah
a) Mayor : hiperlipidemia, hipertensi, Merokok,
Diabete, Obesitas, Diet tinggi lemak jenuh, kalori.
9
b. Faktor penyebab
Table 1.2 faktor penyebab (Sudoyo, 2014)
C. Patofisiologi
Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap
perkembangan NSTEMI
1) Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan
thrombus non oklusif (penyebab ini yang paling
berperan dalam terjadinya NSTEMI)
2) Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh :
a. Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada
variant Prinzmental angina
b. Resistenis pembuluh darah koroner
c. Vasokontriktor lokal seperti tromboksan A2,
yang dilepaskan dari trombosit
d. Disfungsi dari endotel koroner; dan
e. Stimulus adrenergic termasuk dingin dan
kokain
10
Gambar 1.1 Pathways Infark Miokard Akut (Price & Wilson, 2013).
15
D. Manifestasi Klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang
epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan
menjadi manifestasi gejala yang sering ditemui pada NSTEMI.
Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka
yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki
prognosis lebih baik jika dibandingkan dengan yang nyeri dada pada
saat istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemi
pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti
dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium,
bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. (Price & Wilson,
2013).
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa
terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas,
dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang
dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat,
pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat
nitrat.
c. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal
jantung akut.
d. Bisa atipik:
1) Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
2) Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau
gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada. (Price & Wilson,
2013).
16
E. Penatalaksanaan Awal
Tatalaksana awal pasien dugaan SKA (dilakukan dalam waktu 10
menit):
a. Memeriksa ABC dan tanda-tanda vital
b. Mendapatkan akses infus intra vena NaCl 0,9 % 500 cc/24
jam
c. Oksigen 2-4 L/menit kanul nasal
d. Merekam dan menganalisis EKG
e. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
f. Mengambil sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung,
elektrolit serta pemeriksaan koagulasi.
g. Mengambil foto rongten thorax (<30 menit). (Price & Wilson,
2013).
17
EKG harus dilakukan segera dan dilakukan rekaman EKG berkala untuk
mendapatkan ada tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T/I diukur saat masuk,
jika normal diulang 6-12 jam kemudian. Enzim CK dan CKMB diperiksa pada
pasien dengan onset < 6 jam dan pada pasien pasca infark < 2minggu dengan
iskemik berulang untuk mendeteksi reinfark atau infark periprosedural. (Price &
Wilson, 2013).
Tatalaksana awal SKA tanpa elevasi segmen ST di unit emergency : (Price
& Wilson, 2013).
a. Oksigen 4 L/ menit (saturasi oksigen dipertahankan > 90%)
b. Aspirin 320 mg dilanjutkan 160 mg (dikunyah).
18
c. Tablet nitrat 5mg sublingual (dapat diualang 3x) lalu per drip bila masih
nyeri dada.
d. Mofin IV (2,5mg-5mg) bila nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG (T Inverted dan ST Depresi)
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan
ST depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika
terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan
biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini
tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-
MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal,
diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T
menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya
menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan),
atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.
(Sherman, 2013)
c. AST
AST juga cepat akan meningkat dan cepat menurun pada saat terkena
serangan jantung. Namun AST tidak spesifik untuk kelainan jantung
karena selain dalam otot jantung juga terdapat pada hepar dalam jumlah
besar, ginjal dan organ otak dalam jumlah kecil. AST sedapat-dapatnya
diperiksa setiap hari selama 5 hari pertama dan bila perlu 2 kali sehari
(pagi dan sore). SGOT pada IMA naik dengan cepat, setelah 6 jam
mencapai 2 kali nilai normal, biasanya kembali normal dalam 2-4 hari.
d. LDH
LDH merupakan enzim yang mengkatalisis perubahan reversibel dari
laktat ke piruvat. Ada 5 isoenzim LDH (LDH1-LDH2 terutama pada otot
jantung). Kadarnya meningkat 8-12 jam setelah infark mencapai puncak
24-28 jam untuk kemudian menurun hari ke-7. Enzim α-HBDH dan LDH
termasuk lambat meningkat dan lambat menurun.Keduanya dimintahkan
pemeriksaan tiap hari selama 5 hari pertama.LDH meninggi selama 10-14
hari.HBDH bahkan beberapa hari lebih lama. Interpretasi LDH :
Peningkatan LDH pada IMA dapat mencapai 3-5 kali nilai
rujukan.Peningkatan 5 atau lebih nilai rujukan ; anemia megaloblastik,
karsinoma tersebar, hepatitis, infark ginjal.Peningkatan 3-5 kali nilai
rujukkan pada infark jantung, infark paru, kondisi hemolitik, leukemia,
distrofi otot dan peningkatan 3 kali nilai rujukkan pada penyakit hati,
syndrome nefrotik, hipotiroidisme.
e. CK tota
Creatine Kinase Adalah enzim yg mengkatalisis jalur kretin-kretinin
dalam sel otak&otot. Pada IMA CK dilepaskan dalam serum 48 jam
setelah kejadian dan normal kembali > 3 hari.Perlu dipanel dengan AST
untuk menaikkan sensitifitas. Peningkatan CK pada IMA : Peningkatan
berat (5 kali nilai rujukan) dan Peningkatan ringan – sedang (2-4 kali
rujukan).
21
f. CK-MB
CK-MB Merupakan Isoenzim CK. Seperti kita ketahui ada beberapa
jenis CK yaitu CK-MM, CK-BB dan CK-MB. M artinya muscular/skelet
(otot) dan B artinya brain (otak). Jumlah CK-MB ternyata lebih banyak di
dalam otot jantung sehingga spesifik untuk kelainan jantung. CK-MB
Meningkat pada angina pektoris beratatau iskemik reversibel. Kadar
meningkat 4-8 jam setelah infark.Mencapai puncak 12-24 jam kemudian
kadar menurun pada hari ke-3. Kriteria untuk diagnosis IMA adalah : CK-
MB > 16 U/l, CK-Total > 130 U/l dan CK-MB > 6% dari CK Total.
g. CK-MB Mass Relative Index (%RI)
Ada istilah baru dalam pelaporan enzim CK-MB, dengan melaporkan
CK-MB Mass Relative Index. Nilai ini didapat dari CK-MB mass dibagi
aktifitas CK-Total dan dikalikan dengan 100% sehingga didapatkan % RI.
Rumus adalah % RI = (CK-MBmass / aktivitas CK-Tot) x 100%.
Peningkatan RI memperlihatkan keadaan miokard. Tidak absolut –
kurangnya standardisasi uji CK-Mbmass dan variabilitas pada jaringan.RI
> 3 – 6 % dengan peningkatan aktivitas CK-Tot (sekitar > 2x batas URR)
menggambarkan nekrosis miokard.
h. Myoglobin
Myoglobin adalah protein BM rendah (oxygen-binding heme protein).
Skeletal & cardiac muscle Mb identik.Kadar Serum meningkat dalam 2
jam setelah kerusakan otot. Kadar puncak pada 6 – 7 jam. Kadar normal
setelah 24 – 36 jam. NEGATIVE predictoryang sangat baik pada cedera
miokard. Pemeriksaan dua sampel, 2 – 4 jam terpisah tanpa peningkatan
kadar adalah bukan AMI. Dilaksanakan cepat , quantitative serum
immunoassays.
i. CRP
CRP adalah C-Reactive Protein yang merupakan protein fase akut
dilepaskan ke dalam darah sebagai akibat adanya suatu inflamasi. CRP
diukur sebagai marker mediator inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α untuk
memahami inflamasi aterosklerosis. Diproduksi di hati dan otot polos
22
volume akhir diastolik. Nilai normal > 50%. Dan apabila < dari
50% fraksi ejeksi tidak normal.
2) Angiografi koroner (Coronari angiografi)
Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila
pasien mengalami derajat stenosis 50% pada pasien dapat
diberikan obat-obatan. Dan apabila pasien mengalami stenosis
lebih dari 60% maka pada pasien harus di intervensi dengan
pemasangan stent.
G. Penatalaksanaan Kausatif
Pasien STEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan
EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen
utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI
24
2) Klopidogrel
Berdasarkan hasil penelitian klopidogrel
direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada
NSTEMI. Clopidrogel merupakan derivat tienopiridin
baru. Clopidogrel mempunyai efek menghambat agregasi
platelet melalui hambatan aktivasi ADP dependent pada
kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Efek samping clopidogrel
lebih sedikit dibanding tiklopidin dan tidak pernah
dilaporkan menyebabkan neutropenia. Pada tahun 1996
dilakukan penelitian pada 19.185 penderita penyakit
aterosklerosis dengan manifestasi stroke iskemia, infark
miokard dan penyakit vaskular perifer simptomatik
dilakukan random, diberikan clopidogrel atau aspirin.
Setelah diikuti 1,9 tahun clopidogrel terbukti lebih efektif
dibanding aspirin dalam penuruan resiko stoke iskemia,
infark miokard atau kematian karena penyakit vaskular,
kejadian infark miokard akut dan kematian. Pada
penelitian CURE didapatkan kombinasi clopidogrel dan
aspirin mengakibatkan kejadian infark miokard akut dan
kematian sebesar 9,3% dibanding pemberian aspirin saja
sebesar 11,4% (p<0,001). Tetapi terjadi peningkatn resiko
perdarahan pada kelompok kombinasi aspirin dan
clopidogrel. Penelitian terakhir pada COMMIT dan
CLARITY memberikan hasil penuruan kematian pada
penderita infark miokard akut yang diobati clopidogrel.
(Sherman, 2013)
3) Antagonis GP IIb/IIIa
Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien resiko
tinggi terutama pasien dengan troponin positif yang
menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan
antagonis GP IIb/IIIa. Antagonis glikoprotein IIb/IIIa
27
Patofisiologi
a. Ruptur Plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total
dari pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan
yang mininal. (Kumar, 2014).
Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada
97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan
kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic
cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi
pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada
bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease
yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan
dinding plak (fibrous cap). (Kumar, 2014).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila
trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark
dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat
akan terjadi angina tak stabil (Trisnohadi, 2009).
30
Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan
adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda
iskemia akut atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang
nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5mm dan
gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia
dan dapat disebabkan hal lain. Pada angina tak stabil 4 % mempunyai
EKG normal dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
(Trisnohadi, 2009)
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah
di terima sebagai pertanda paling penting dalam diagnosis SKA.
Menurut ESC dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T
dan I positif dalam 24 jam, CKMB kurang spesifik untuk diagnosis
karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan
kembali normal dalam 48 jam (Trisnohadi, 2009).
32
Penatalaksanaan
a. Obat anti iskemia
b. Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
c. Obat anti agregasi trombosit
d. Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
e. Obat anti thrombin
f. Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
g. Direct trombin inhibitors
Gejala angina disebut sebagai stabil jika tidak ada perubahan substansial
pada gejala lebih dari beberapa minggu. Gejala dari angina stabil dapat
berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada konsumsi oksigen miokardium,
stres emosional, atau perubahan pada temperatur lingkungan. Pada umumnya,
definisi klinis dari angina pektoris stabil sangat berhubungan dengan stabilitas
atau kepasifan dari plak aterosklerotik. (Sudoyo, 2009)
Angina dikatakan tidak stabil ketika pola gejala memburuk secara tiba-tiba
(peningkatan frekuensi dan durasi) tanpa sebuah penyebab tersembunyi dari
peningkatan konsumsi oksigen miokardium. (Sudoyo, 2009)
Pada beberapa pasien dengan angina onset baru yang telah stabil lebih dari
beberapa minggu, perbedaan jelas antara angina stabil dan tidak stabil tidak
memungkinkan. Pasien itu dapat dipertimbangkan berada pada tingkat
pertengahan antara angina stabil dan tidak stabil. (Sudoyo, 2009)
Presentasi klinis
Trauma
1. Tension Peneumothoraks
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena. Menurut penyebabnya,
pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (Setiati, 2014)
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks
tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding
dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi
ke dalam dua jenis, yaitu : (Setiati, 2014)
36
A. Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
1) Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2) Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
3) Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4) Denyut jantung meningkat.
5) Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
38
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
39
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negative
(Setiati, 2014)
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks
antara lain : (Setiati, 2014)
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
40
D. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk
kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai
berikut : (Setiati, 2014)
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan
O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap
41
12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka.
2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan
udara luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan
tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
42
dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris
atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui
sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura
dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut. (Setiati, 2014)
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif.
Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O,
dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut
dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka
pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal. (Setiati, 2014)
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat
bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel. (Setiati, 2014)
43
E. Pengobatan Tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema.
(Setiati, 2014)
I. Rehabilitasi
1) Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2) Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
3) Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
4) Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas. (Setiati, 2014)
2. Flail Chest
Flail chest adalah area thorax yang melayang atau flail oleh sebab fraktur iga
multiple berurutan = 3 iga dan memiliki garis fraktur = 2 segmen pada tiap iganya.
Akibatnya adalah terbentuknya area flail yang akan bergerak paradoksal dari gerakan
pernapasan dinding dada. (Setiati, 2014)
Etiologi
1. Luka tembak
2. Luka tusuk
3. Kecelakaan
4. Jatuh
5. Pukulan pada dada (Setiati, 2014)
44
Pemeriksaan Penunjang
Infeksi
Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan lapisan paling luar jantung (membran tipis
yang mengelilingi jantung). Perikarditis adalah peradangan perikardium parietal,
perikardium viseral, atau kedua-duanya. Respon perikardium terhadap peradangan
bervariasi dari akumulasi cairan atau darah (efusi perikard), deposisi fibrin, proliferasi
jaringan fibrosa, pembentukan granuloma (lesi makrofak yang terjadi dari reaksi
peradangan lokal dari suatu sjaringan tubuh) atau kalsifikasi (pengapuran).
(Sudoyo,2014)
45
Perikarditis dibagi tiga yaitu perikarditis akut, dan perikarditis kronis, dan
perikarditis kronis konstriktif. Perikarditis akut adalah peradangan pada perikardium
(kantung selaput jantung) yang dimulai secara tiba-tiba dan sering menyebabkan
nyeri. Peradangan tersebut dapat menyebabkan cairan dan menghasilkan darah
(fibrin, sel darah merah dan sel darah putih) yang akan memenuhi rongga
pericardium. Perikarditis kronis (Chronic Pericarditis) adalah suatu
peradangan perikardium (kantung jantung) yang menyebabkan penimbunan cairan
atau penebalan dan biasanya terjadi secara bertahap serta berlangsung lama.
Perikarditis kronis konstriktif adalah suatu penyakit yang terjadi karena ada
penebalan pada perikardium akibat adanya inflamasi yang terjadi sebelumnya
sehingga luas ruangan jantung berkurang. Akibatnya curah jantung menurun dan
tekanan pengisian berkurang. Perikarditis akut terjadi kurang dari 6 minggu,
sedangkan pada perikarditis subakut dan perikarditis kronis lebih dari enam 6 bulan.
(Sudoyo, 2014)
Etiologi Perikarditis
1. Perikarditis Akut
Perikarditis akut dapat disebabkan oleh infeksi virus maupun infeksi bakteri.
Berdasarkan studi pada anak-anak dari tahun 1960-an, virus patogen yang paling
umum adalah Coxsackie, tetapi data terakhir menunjukkan bahwa pada orang dewasa
yang paling sering terpengaruh adalah virus Sitomegalo, virus Herpes dan HIV.
Adapun bakteri paling umum yang dapat menyebabkan penyakit perikarditis yaitu
bakteri Pneumococcus dan Tuberculosis. Di Afrika dan India, tuberkulosis masih
merupakan penyebab tersering dari semua bentuk perikarditis. Selain itu penyebab
perikarditis akut lain yaitu sebagai berikut : (Sudoyo, 2014)
a. Idiopatik (biduran)
b. Trauma
c. Sindrom pasca infark miokard
d. Uremia (kondisi yang terkait dengan penumpukan urea dalam darah karena
ginjal tidak bekerja secara efektif)
e. Sindrom pasca perikardiotomi
46
2. Perikarditis kronis
Pada umumnya penyebab perikarditis kronis tidak diketahui, tetapi mungkin
disebabkan oleh kanker, tuberkulosis atau penurunan fungsi tiroid. Sebelumnya
tuberkulosis adalah penyebab terbanyak dari perikarditis kronis di Amerika Serikat,
tetapi saat ini kasus tersebut hanya tinggal 2%. Selain itu penyebab perikarditis kronis
yang lain yaitu sebagai berikut : (Sudoyo, 2014)
a. Operasi jantung sebelumnya
b. Radiasi dada
c. Pasca infark yang luas
d. Sarkoidosis (Sarkoidosis adalah suatu penyakit peradangan yang ditandai
dengan terbentuknya granuloma pada kelenjar getah bening, paru-paru, hati,
mata, kulit dan jaringan lainnya)
e. Trauma dada
f. Infeksi virus akut (Adenovirus dan Coxsackie virus) atau kronis
(Tuberculosis).
Patofisiologi
Patofisiologi perikarditis bermula dari adanya proses peradangan yang
diakibatkan oleh infeksi virus dan infeksi bakteri yang dapat menimbulkan
penumpukan cairan efusi dalam rongga perikardium dan dapat menimbulkan
kenaikan tekanan intrakardial. Kenaikan tekanan tersebut akan mempengaruhi daya
kontraksi jantung, sehingga akhirnya dapat menimbulkan proses fibrotik dan
penebalan perikardial, setelah lama kelamaan maka akan terjadi kontriksi perikardial
dengan pembentukan cairan, jika berlangsung secara kronis maka akan menyebabkan
fibrosis (pembentukan jaringan ikat fibrosa yang berlebihan dalam suatu organ atau
47
jaringan dalam sebuah proses reparatif atau reaktif). Adapun patofisiologis secara
garis besar adalah sebagai berikut.
Virus
Bakteri
Trauma
inflamasi perikardium
proses febrotik
Penebalan periakardial
kontriksi perikardial
fibrosis paru
48
2. Perikarditis Kronis
Untuk memperkuat diagnosis perikarditis kronis dilakukan 2 prosedur, yaitu:
a. Kateterisasi jantung
Katerisasi jantung digunakan untuk mengukur tekanan darah di dalam bilik
jantung dan pembuluh darah utama. (Sudoyo, 2014)
b. MRI scan atau CT scan
CT scan digunakan untuk mengukur ketebalan perikardium. Dalam keadaan
normal, tebal perikardium kurang dari 0,3 cm, tetapi pada perikarditis
konstriktif kronis tebalnya mencapai 0,6 cm atau lebih. (Sudoyo, 2014)
Penatalaksanaan Perikarditis
Tujuan penatalaksanaan adalah : (Sudoyo, 2014)
1. Menentukan penyebab
2. Menentukan terapi yang sesuai dengan penyebab (bila diketahui)
3. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya temponade jantung (kompresi
jantung oleh cairan dalam kantung perikard)
Terapi Umum
1. Tirah baring, disertai elevasi bagian kepala tempat tidur untuk perbaiki
pernapasan
2. Terapi oksigen
3. Pembedahan dengan melakukan perikardiosintesis atau drainase untuk
mengatasi tamponade
4. Drainase cairan pericardium atau pengangkatan pericardium (Sudoyo, 2014)
51
Terapi Farmakologi
1. Analgesic, diberikan untuk mengurangi nyeri dan mempercepat reabsorbsi
cairan pada klien pericarditis rematik.
2. Kortikosteroid, diberikan untuk mengontrol gejala, mempercepat resolusi
proses inflamasi dalam pericardium dan mencegah kekambuhan. Digunakan
pada lupus eritematosus diseminata.Waspadalah terhadap kemungkinan
terjadinya temponade jantung. Pergunakan keterampilan pengkajian
keperawatan untuk mengantisipasi dan mengidentifikasi trias gejala (turunnya
tekanan arteri, meningkatnya tekanan vena dan bunyi jantung lemah)
3. Antibiotic, pasien dengan infeksi pericardium harus segera diobati dengan
antimikroba pilihan begitu organisme penyebabnya dapat diidentifikasi.
Pericarditis yang berhubungan dengan demam rematik berespon baik terhadap
penicillin. Pericarditis akibat tuberculosis dapat diobati dengan isoniazid,
etambutol hidroklorid, rifampisin dan steptomisin dalam berbagai kombinasi.
Ampoterisin B digunakan untuk pericarditis jamur. (Sudoyo, 2014)
STEP 4
Kasus CR 2
Identitas
Nama : Tn.Y
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : PNS
Kasus
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dibawa ke unit gawat darurat RS dengan keluhan nyeri
dada sebelah kiri disertai nafas terasa berat. Nyeri dada terasa tertindi benda berat sejak
kurang lebih 3 jam yang lalu.Nyeri dirasakan saat pasien saat olah raga. Nyeri dirasakan
kurang lebih selama 10 menit, menjalar ke leher dan punggung. Pasien tidak minum obat
ketika mengeluhkan nyeri dada. Pasien hanya istirahat untuk menghilangkan nyerinya.
Keluhan ini disertai sesak nafas yang terasa berat, keringat dingin, mual dan muntah.
Pasien tidak mengeluhkan demam dan batuk. Buang air besar dan buang air kecil dalam
batas normal.
52
l) Jantung :
1) Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
2) Palpasi : ictus kordis teraba di ICS V LMCS
3) Perkusi : Batas kanan jantung ICS IV LPSD, apeks jantung ICS V LMCS
4) Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
m)Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi : Cembung, distensi (-)
2) Auskultasi :bising usus (+) normal
3) Palpasi : nyeri tekan (-), hepar atau lien daalam batas normal
4) Perkusi :Timpani
n) Pemeriksaan ekstremitas
Superoir : akral dingin, CRT < 2 detik
Inferior : akral dingin, CRT < 2 detik
Diagnosis awal : Acute Coronary Syndrom (ACS)
STEP 5 (Membuat diagnosis banding)
Diagnosis banding : Unstable angina
NSTEMI
STEMI
2) EKG
Interprestasi :
Irama : sinus
Regularitas : reguler
HR :70x/menit
Axis : normoaxis
Gelombang P : normal
Interval PR : 0,08 detik
Kompleks QRS : QS di lead V2
Segmen ST : ST depresi di lead, AVL, V3, V4, V5
Gelombang T : T interval pada lead AVL, V3, V4, V5
Kesan : sinus rhythm. HR 70x/menit, normoaxis, iskemik
anterolateral + high laeral wall
3) Rontgen thorax :
Tiap individu mungkin memiliki proses yang telah dijelaskan diatas yang
mengakibatkan terjadinya NSTEMI. (Trisnohadi, 2014)
57
1. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting, sehingga tiba-tiba terjadi
oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan
angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri
dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).
Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan
timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang
dihasilkan dari makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak. (Trisnohadi,
2014)
Terjadinya ruptur menyebkan aktivasi. Adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah
100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak
menyumbat 100% , dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil. (Trisnohadi, 2014)
2. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan thrombin dan fibrin. (Trisnohadi,
2014)
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi dan
58
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam memulai
thrombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. (Trisnohadi, 2014)
3. Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Teradinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia. (Trisnohadi, 2014)
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi hemodinamik dan
aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah miokard setempat akan memperlihatkan
penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup
(stroke volume) dan peningkatan volume akhir distolik ventrikel kiri. Tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan
tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke
jaringan interstisium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja
disebakan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang
masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan
rangsangan adrenergeik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi dengan akibat
peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak akan memadai
bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik.
Bila infark kecil dan miokard yang harus berkompensasi masih normal, pemburukan
hemodinamik akan minimal. Sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus
berkompensasi sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri akan naik dan gagal jantung terjadi. Sebagai akibat IMA sering terjadi
perubahan bentuk serta ukuran ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang
terkena infark maupun yang non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodeling
ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia
(Price & Wilson, 2013).
Perubahan-perubahan hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila IMA makin tenang
fungsi jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan karena
daerah-daerah yang tadinya iskemik mengalami perbaikan. Daerah-daerah diskinetik
59
akibat IMA akan menjadi akinetik, karena terbentuk jaringan parut yang kaku. Miokard
sehat dapat pula mengalami hipertropi. Sebaliknya perburukan hemodinamik akan
terjadi bila iskemia berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya penyulit mekanis
seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan
memperburuk faal hemodinamik jantung (Price & Wilson, 2013).
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menit-menit
atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan
masa refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaaan terhadap rangsangan. Sistem
saraf otonom juga berperan besar terhadap terjadinya aritmia. Pasien IMA inferior
umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan
bradiaritmia meningkat, sedangkan peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan
mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark (Price & Wilson,
2013).
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi
karena thrombosis akut atau vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya
mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis
dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang yang cenderung ruptur
mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang
tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limposit T yang
menunjukkan adanya proses imflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sel sitokin
proinflamasi, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaranseperti TNF
hsCRP di hati. (Sudoyo, 2009).
60
DAFTAR PUSTAKA
Kumar vinay. 2012. Buku Ajar Patologi. Volume-2. Edisi-7. Jakarta. EGC
Setiati, DKK. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi-6. Jilid-2. Jakarta. Interna Publishing
Sherman, Scott C, et all. 2013. Clinical Emergency Medical. United States, McGraw-Hill
Education
Sidney, Darren. 2012. Constrictive pericarditis. (http://emedicine.medscape.com/article/157096-
overview). Dikutip pada 1 April 2014.
Sudoyo Aru., Setyohadi dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke Empat-Jilid III.
Jakarta, Interna Publishing.
Sudoyo, Aru W.,dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Price & Wilson. 2013. Patofisiologi Vol 1 Edisi 6. Jakarta, EGC
.