Anda di halaman 1dari 60

1

STEP 1 (Menentukan keluhan utama)


Seorang laki-laki berusia 48 tahun dibawa keunit gawat darurat RS
dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri disertai nafas terasa berat.

STEP 2 (Membuat diagram Venn)

Vaskuler

1. Angina
pectoris
stabil Infeksi
2. Angina 1.Perikarditis
pectorin
unstabil
Nyeri dada
3. IMA dengan
sebelah kiri dan
ST
nafas terasa berat
elevasi/STE
MI
4. IMA tanpa
ST
elevasi/NST
EMI
Trauma

1. Tension
Pneumothorak
2. Flail Chest
2

STEP 3 (Membuat ringkasan dari literature review dari penyakit


pada STEP 2)
Vaskuler
1. Infark Miokard Akut Dengan ST Elevasi
STEMI adalah nekrosis miokard akut akibat gangguan
aliran darah arteri koronaria. Merupakan bagian dari spektrum
sindrom koroner akut yang terdiri dari angina pektoris tidak
stabil (Sudoyo, 2014).

Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak
memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury
ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi
dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi
jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi
dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,
sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika
mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid
rich core) (Sudoyo, 2014).
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari
fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai
3

agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi


trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten).
Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa (Sudoyo, 2014).
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von
Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang
berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets
dan agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan
tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X di
aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi
trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi
fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami
oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik (Sudoyo, 2014).

Gejala Klinis
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama
dirasakan di daerah sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau
kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan kanan dan pada lengan.
Penderita melukiskan seperti tertekan, terhimpit, diremas-
remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada.
Walau sifatnya dapat ringan, tapi rasa sakit itu biasanya
berlangsung lebih dari setengah jam. Jarang ada hubungannya
dengan aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat atau
pemberian nitrat (Sudoyo, 2014).
4

Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah,


takut, berkeringat dingin dan lemas. Kulit terlihat pucat dan
berkeringat, serta ektremitas biasanya terasa dingin. Volume
dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard
berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia
juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal
selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa
minggu, tekanan darah kembali normal (Sudoyo, 2014).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara
jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada
infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal
yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas
suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2
merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung (Sudoyo,
2014)

Diagnosis
1. Anamnesis
Adanya nyeri dada yang lamanya lebih dari 30 menit
di daerah prekordial, retrosternal dan menjalar ke lengan
kiri, lengan kanan dan ke belakang interskapuler. Rasa
nyeri seperti dicekam, diremas-remas, tertindih benda
padat, tertusuk pisau atau seperti terbakar. Kadang-kadang
rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya mengeluh lemah,
banyak keringat, pusing, dan palpitasi (Sudoyo, 2014).
2. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit, muka pucat, kulit basah dan
dingin. Tekanan darah bisa tinggi, normal atau rendah.
Dapat ditemui bunyi jantung kedua yang pecah paradoksal,
irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi diskinetik
5

yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior


(Sudoyo, 2014)
3. Penegakan Diagnosis
a. Elektrokardiografi (EKG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG.
Selama fase awal miokard infark akut, EKG
pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner
menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian
gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil
berkembang menjadi gelombang non-Q (Sudoyo,
2014).
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan
masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke
sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan
aliran limfatik. Oleh sebab itu, nekrosis miokard
dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam
darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-
protein tersebut antara lain aspartate
aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase,
creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB),
mioglobin, carbonic anhydrase III (CA III),
myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin
I dan T (cTnI dan cTnT). Peningkatan kadar serum
protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark
miokard (Sudoyo, 2014).
6

Tabel 1.1 Lokasi infark miokard berdasarkan perubahan


gambaran EKG (Sudoyo, 2014).
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V3
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V1-V6 dan I dan
aVL
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di V5-V6 dan inversi
gelombang T/elevasi ST/gelombang
Q di I dan aVL
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, aVF, dan
V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau
gelombang Q di II, III, aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2
dengan segmen ST depresi di V1-
V3. Gelombang T tegak di V1-V2
9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial
lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada
infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam
beberapa jam pertama infark.
7

Penatalaksanaan STEMI
1. Suplemen oksigen dengan saturasi oksigen arteri < 90%
2. Nitrogliserin sublingual 0,4 mg dapat diberikan 3 dosis,
interval 5 menit, lanjutkan melalui IV bila nyeri terus
berlangsung.
3. Pemberian morfin
4. Pemberian aspirin
5. Pemberian beta blocker
6. Pertimbangkan terapi reperfusi (fibrinolisis)
7. Percutaneous coronary intervention (PCI) (Sudoyo,
2014).

2. Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi (NSTEMI)

A. Pengertian

Sindrom Koroner Akut (SKA) yang biasa dikenal


dengan penyakit jantung koroner adalah suatu
kegawatdaruratan pembuluh darah koroner yang terdiri dari
infark miokard akut dengan gambaran elektrokardiografi
(EKG) elevasi segmen ST (ST Elevation Myocard Infark/
STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (Non
STEMI) dan angina pektoris tidak stabil (APTS) (Price &
Wilson, 2013).

NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara


pemintaan dan suplai oksigen ke miokardium terutama akibat
penyempitan arteri koroner akan menyebabkan iskemia
miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan
menyebabkan perubahan reversibel pada tingkat sel dan
jaringan (Price & Wilson, 2013).
8

B. Etiologi
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI)
disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan
dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat
lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan
ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun
menyebabkan pelepasan penanda nekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi
miokard yang dihasilkan dari penyempitan arteri koroner
disebabkan oleh thrombus nonocclusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner mungkin
juga bertanggung jawab (Price & Wilson, 2013).
a. Faktor resiko
1) Yang tidak dapat diubah
a) Umur
b) Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan
pada wanita meningkat setelah menopause
c) Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota
keluarga di usia muda (anggota keluarga laki-laki
muda dari usia 55 tahun atau anggota keluarga
perempuan yang lebih muda dari usia 65 tahun).
d) Hereditas
e) Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
2) Yang dapat diubah
a) Mayor : hiperlipidemia, hipertensi, Merokok,
Diabete, Obesitas, Diet tinggi lemak jenuh, kalori.
9

b) Minor : Inaktifitas fisik, emosional, agresif, ambisius,


kompetitif, stress psikologis berlebihan.

b. Faktor penyebab
Table 1.2 faktor penyebab (Sudoyo, 2014)

No. Penyebab ST/Nstemi

1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

Obstruksi dinamik (spasme koroner atau


2.
vasokonstriksi)

3. Obstruksi mekanik yang progresif

4. Inflamasi dan atau infeksi

5. Faktor atau keadaan pencetus

C. Patofisiologi
Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap
perkembangan NSTEMI
1) Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan
thrombus non oklusif (penyebab ini yang paling
berperan dalam terjadinya NSTEMI)
2) Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh :
a. Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada
variant Prinzmental angina
b. Resistenis pembuluh darah koroner
c. Vasokontriktor lokal seperti tromboksan A2,
yang dilepaskan dari trombosit
d. Disfungsi dari endotel koroner; dan
e. Stimulus adrenergic termasuk dingin dan
kokain
10

3) Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang


disebabkan oleh pembentukan aterosklerotik
yangprogresif atau restenosis pasca-interbensi
koroner perkutan
4) Inflamasi; dan
5) Angina pectoris tidak stabil sekunder, yang
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen atau
penurunan suplai oksigen (misalnya dalam keadaan
takikardi, demam, hipotensi atau anemia). (Price &
Wilson, 2013).
Tiap individu mungkin memiliki proses yang telah dijelaskan
diatas yang mengakibatkan terjadinya NSTEMI. (Trisnohadi, 2014)
1) Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang
minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan
pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai
penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri dari
inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan
fibrotic (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang
banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.
Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak.
Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling
lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan dari
makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak.
(Trisnohadi, 2014)
Terjadinya ruptur menyebkan aktivasi. Adhesi dan
agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya
11

thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah 100% akan


terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
thrombus tidak menyumbat 100% , dan hanya menimbulkan
stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil. (Trisnohadi,
2014)
2) Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan
salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya
trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi
yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen.
Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan
trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel
busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan
ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah
berhubungan dengan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi
dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik
yang menghasilkan pembentukan thrombin dan fibrin.
(Trisnohadi, 2014)
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi
agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga
memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi dan
pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut
berperan dalam memulai thrombosis yang intermiten, pada
angina tak stabil. (Trisnohadi, 2014)
3) Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Teradinya penyempitan juga dapat disebabkan karena
terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi
terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi
karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan
penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.
(Trisnohadi, 2014)
12

Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi


hemodinamik dan aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah
miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sistolik
(diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup
(stroke volume) dan peningkatan volume akhir distolik ventrikel kiri.
Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan
atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25
mmHg yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke jaringan
interstisium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini
bukan saja disebakan karena daerah infark, tetapi juga daerah
iskemik di sekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan
mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsangan
adrenergeik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi dengan
akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas
tidak akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga mengalami
iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard
yang harus berkompensasi masih normal, pemburukan hemodinamik
akan minimal. Sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus
berkompensasi sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri akan naik dan gagal jantung terjadi.
Sebagai akibat IMA sering terjadi perubahan bentuk serta ukuran
ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena infark
maupun yang non infark. Perubahan tersebut menyebabkan
remodeling ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi
ventrikel dan timbulnya aritmia (Price & Wilson, 2013).
Perubahan-perubahan hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila
IMA makin tenang fungsi jantung akan membaik walaupun tidak
diobati. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah yang tadinya
iskemik mengalami perbaikan. Daerah-daerah diskinetik akibat IMA
akan menjadi akinetik, karena terbentuk jaringan parut yang kaku.
Miokard sehat dapat pula mengalami hipertropi. Sebaliknya
13

perburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan


atau infark meluas. Terjadinya penyulit mekanis seperti ruptur
septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel
akan memperburuk faal hemodinamik jantung (Price & Wilson,
2013).
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi
terutama pada menit-menit atau jam-jam pertama setelah serangan.
Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa refrakter, daya
hantar rangsangan dan kepekaaan terhadap rangsangan. Sistem saraf
otonom juga berperan besar terhadap terjadinya aritmia. Pasien IMA
inferior umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan
akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat, sedangkan
peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan mempertinggi
kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark (Price &
Wilson, 2013).
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen
dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat
oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali
dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini
biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang
rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang
tinggi. Inti lemak yang yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh
yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan
limposit T yang menunjukkan adanya proses imflamasi. Sel-sel ini
akan mengeluarkan sel sitokin proinflamasi, dan IL-6. Selanjutnya
IL-6 akan merangsang pengeluaranseperti TNF hsCRP di hati.
(Sudoyo, 2009).
14

Gambar 1.1 Pathways Infark Miokard Akut (Price & Wilson, 2013).
15

D. Manifestasi Klinis
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang
epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan
menjadi manifestasi gejala yang sering ditemui pada NSTEMI.
Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka
yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat memiliki
prognosis lebih baik jika dibandingkan dengan yang nyeri dada pada
saat istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemi
pada NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti
dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium,
bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar
pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun. (Price & Wilson,
2013).
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa
terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas,
dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang
dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat,
pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat
nitrat.
c. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal
jantung akut.
d. Bisa atipik:
1) Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
2) Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau
gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada. (Price & Wilson,
2013).
16

E. Penatalaksanaan Awal
Tatalaksana awal pasien dugaan SKA (dilakukan dalam waktu 10
menit):
a. Memeriksa ABC dan tanda-tanda vital
b. Mendapatkan akses infus intra vena NaCl 0,9 % 500 cc/24
jam
c. Oksigen 2-4 L/menit kanul nasal
d. Merekam dan menganalisis EKG
e. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
f. Mengambil sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung,
elektrolit serta pemeriksaan koagulasi.
g. Mengambil foto rongten thorax (<30 menit). (Price & Wilson,
2013).
17

Gambar 1.2 Algoritma diagnosis nyeri dada (Sherman etc, 2014).

EKG harus dilakukan segera dan dilakukan rekaman EKG berkala untuk
mendapatkan ada tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T/I diukur saat masuk,
jika normal diulang 6-12 jam kemudian. Enzim CK dan CKMB diperiksa pada
pasien dengan onset < 6 jam dan pada pasien pasca infark < 2minggu dengan
iskemik berulang untuk mendeteksi reinfark atau infark periprosedural. (Price &
Wilson, 2013).
Tatalaksana awal SKA tanpa elevasi segmen ST di unit emergency : (Price
& Wilson, 2013).
a. Oksigen 4 L/ menit (saturasi oksigen dipertahankan > 90%)
b. Aspirin 320 mg dilanjutkan 160 mg (dikunyah).
18

c. Tablet nitrat 5mg sublingual (dapat diualang 3x) lalu per drip bila masih
nyeri dada.
d. Mofin IV (2,5mg-5mg) bila nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG (T Inverted dan ST Depresi)
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan
ST depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika
terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan
biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini
tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-
MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal,
diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T
menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya
menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan),
atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.
(Sherman, 2013)

Tabel 1.3 Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG :


(Sudoyo, 2009)
Lokasi Lead Perubahan EKG
Anterios ekstensif V1-V6 ST elevasi, gelombang Q
Anteroseptal V1-V4 ST elevasi, gelombang Q
Anterolateral V4-V6 ST elevasi, gelombang Q
Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R
tinggi
Lateral I, aVL, V5, ST elevasi, gelombang Q
V6
Inferior II, III, aVF ST elevasi, gelombang Q
19

Gambar 1.3 EKG pada Iskemia miokard (Sudoyo, 2009).


b. Troponin T dan Troponin I
Filamen otot jantung terdiri atas : Actin, Myosin dan Troponin
regulatory complex. Troponin terdiri atas 3 sub-units TnC, TnT& TnI.
BM TnT = 37.000 dan BM TnI = 24.000. Fraksi troponin total ditemukan
bebas dalam sitosol. Berikut penjelasan singkat tentang troponin :
(Sherman, 2013)
(a) Kompleks pengatur kontraksi otot
(b) Dilepaskan secara cepat, mis : dari cytosolic pool
(c) Prolonged release karena degradasi myofilaments
(d) Bentuk yang berbeda antara otot skelet dan miokard
(e) Spesifitas tinggi untuk cedera miokard.
(f) Sensitif untuk kerusakan miokard dalam jumlah kecil.
Petanda peningkatan biokimia troponin T dan troponin I mempunyai
peranan yang sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan
penderita Sindroma Koroner Akut (SKA). Troponin T mempunyai
sensitifitas 97% dan spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel
miokard bahkan yang minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan
troponin I memiliki nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T dengan
troponin I:
(a) Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu
komponen inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
(b) Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang
berfungsi mengikat tropomiosin.
20

c. AST
AST juga cepat akan meningkat dan cepat menurun pada saat terkena
serangan jantung. Namun AST tidak spesifik untuk kelainan jantung
karena selain dalam otot jantung juga terdapat pada hepar dalam jumlah
besar, ginjal dan organ otak dalam jumlah kecil. AST sedapat-dapatnya
diperiksa setiap hari selama 5 hari pertama dan bila perlu 2 kali sehari
(pagi dan sore). SGOT pada IMA naik dengan cepat, setelah 6 jam
mencapai 2 kali nilai normal, biasanya kembali normal dalam 2-4 hari.
d. LDH
LDH merupakan enzim yang mengkatalisis perubahan reversibel dari
laktat ke piruvat. Ada 5 isoenzim LDH (LDH1-LDH2 terutama pada otot
jantung). Kadarnya meningkat 8-12 jam setelah infark mencapai puncak
24-28 jam untuk kemudian menurun hari ke-7. Enzim α-HBDH dan LDH
termasuk lambat meningkat dan lambat menurun.Keduanya dimintahkan
pemeriksaan tiap hari selama 5 hari pertama.LDH meninggi selama 10-14
hari.HBDH bahkan beberapa hari lebih lama. Interpretasi LDH :
Peningkatan LDH pada IMA dapat mencapai 3-5 kali nilai
rujukan.Peningkatan 5 atau lebih nilai rujukan ; anemia megaloblastik,
karsinoma tersebar, hepatitis, infark ginjal.Peningkatan 3-5 kali nilai
rujukkan pada infark jantung, infark paru, kondisi hemolitik, leukemia,
distrofi otot dan peningkatan 3 kali nilai rujukkan pada penyakit hati,
syndrome nefrotik, hipotiroidisme.
e. CK tota
Creatine Kinase Adalah enzim yg mengkatalisis jalur kretin-kretinin
dalam sel otak&otot. Pada IMA CK dilepaskan dalam serum 48 jam
setelah kejadian dan normal kembali > 3 hari.Perlu dipanel dengan AST
untuk menaikkan sensitifitas. Peningkatan CK pada IMA : Peningkatan
berat (5 kali nilai rujukan) dan Peningkatan ringan – sedang (2-4 kali
rujukan).
21

f. CK-MB
CK-MB Merupakan Isoenzim CK. Seperti kita ketahui ada beberapa
jenis CK yaitu CK-MM, CK-BB dan CK-MB. M artinya muscular/skelet
(otot) dan B artinya brain (otak). Jumlah CK-MB ternyata lebih banyak di
dalam otot jantung sehingga spesifik untuk kelainan jantung. CK-MB
Meningkat pada angina pektoris beratatau iskemik reversibel. Kadar
meningkat 4-8 jam setelah infark.Mencapai puncak 12-24 jam kemudian
kadar menurun pada hari ke-3. Kriteria untuk diagnosis IMA adalah : CK-
MB > 16 U/l, CK-Total > 130 U/l dan CK-MB > 6% dari CK Total.
g. CK-MB Mass Relative Index (%RI)
Ada istilah baru dalam pelaporan enzim CK-MB, dengan melaporkan
CK-MB Mass Relative Index. Nilai ini didapat dari CK-MB mass dibagi
aktifitas CK-Total dan dikalikan dengan 100% sehingga didapatkan % RI.
Rumus adalah % RI = (CK-MBmass / aktivitas CK-Tot) x 100%.
Peningkatan RI memperlihatkan keadaan miokard. Tidak absolut –
kurangnya standardisasi uji CK-Mbmass dan variabilitas pada jaringan.RI
> 3 – 6 % dengan peningkatan aktivitas CK-Tot (sekitar > 2x batas URR)
menggambarkan nekrosis miokard.
h. Myoglobin
Myoglobin adalah protein BM rendah (oxygen-binding heme protein).
Skeletal & cardiac muscle Mb identik.Kadar Serum meningkat dalam 2
jam setelah kerusakan otot. Kadar puncak pada 6 – 7 jam. Kadar normal
setelah 24 – 36 jam. NEGATIVE predictoryang sangat baik pada cedera
miokard. Pemeriksaan dua sampel, 2 – 4 jam terpisah tanpa peningkatan
kadar adalah bukan AMI. Dilaksanakan cepat , quantitative serum
immunoassays.
i. CRP
CRP adalah C-Reactive Protein yang merupakan protein fase akut
dilepaskan ke dalam darah sebagai akibat adanya suatu inflamasi. CRP
diukur sebagai marker mediator inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α untuk
memahami inflamasi aterosklerosis. Diproduksi di hati dan otot polos
22

arteri koroner sebagai respon terhadap sitokin inflamasi.Digunakan


sebagai biomarker inflamasi sistemik khususnya untuk penyakit jantung
koroner (PJK). Pemeriksaan menggunakan metode imunoturbidimetrik
dan imunofelometrik. CRP memiliki batas deteksi 3-5 mg/L.
j. hsCRP
hsCRP adalah high sensitivity C-Reactive Protein, Istilah untuk
pemeriksaan lebih rendah kadar CRP. Istilah ini untuk mendeteksi
konsentrasi CRP di bawah limit (3-5 mg/L) tersebut digunakan istilah hs-
CRP (limit 0,1 mg/L).
k. IMA
IMA adalah Ischaemia Modified Albumin. Salah satu biomarker baru
yang digunakan untuk iskemik jantung.
l. Cholesterol, Triglycerides, LDL dan HDL
Cholesterol, Triglycerides, LDL dan HDL merupakan paket
pemeriksaan lemak yang mengarah pada hiperlipidemia dan dislipidemia.
Keempat pemeriksaan ini berkaitan erat dengan resiko terjadinya penyakit
jantung koroner, karena terjadinya plak aterosklerosis berkaitan erat
dengan deposit cholesterol yang difagostosis oleh makrofag membentu sel
busa di bawah lapisan endotel pembuluh darah, membentuk suatu
benjolan/plak yang dapat menyumbat aliran darah. Disini terlihat LDL-C
yang paling berbahaya, namun yang lebih berbahaya lagi adalah LDL
Oxidized. LDL Oxidized paling berbahaya karena : Menyebabkan Plak
Ateroma tidak stabil, Plak mudah Koyak, Terbentuk Trombus/Embolus,
Aliran darah tersumbat dan serangan jantung atau stroke.

m. Echo Cardiografi pada Pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark


1) Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke aorta.
Freksi pada prinsipnya adalah presentase dari selisih volume
akhir diastolik dengan volume akhir sistolik dibagi dengan
23

volume akhir diastolik. Nilai normal > 50%. Dan apabila < dari
50% fraksi ejeksi tidak normal.
2) Angiografi koroner (Coronari angiografi)
Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila
pasien mengalami derajat stenosis 50% pada pasien dapat
diberikan obat-obatan. Dan apabila pasien mengalami stenosis
lebih dari 60% maka pada pasien harus di intervensi dengan
pemasangan stent.

Tabel 1.3 Perubahan cardiac marker infark miokard (Sherman,


2013)

Cardiac Marker Meningkat Puncak Normal


cTn T 3 jam 12-48 jam 5-14 hari
cTn I 3 jam 24 jam 5-10 hari
CKMB 3 jam 10-24 jam 2-4 hari
CK 3-8 jam 10-36 jam 3-4 hari
Mioglobin 1-2 jam 4-8 jam 24 jam
LDH 24-48 jam 3-6 hari 8-14 hari

Tabel 1.4 Perbedaan APTS, NSTEMI, STEMI: (Sherman,


2013)
Perbedaan APTS NSTEMI STEMI
Nyeri dada <15 menit >15 menit >15 menit
EKG Normal/iskemik iskemik evolusi
Cardiac marker normal meningkat meningkat

G. Penatalaksanaan Kausatif
Pasien STEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan
EKG untuk deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen
utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI
24

yaitu terapi antiiskemia, antiplatelet/antikoagulan, invasif, perawatan


sebelum meninggalkan RS dan sesudah meninggalkan RS (Sudoyo,
2009).
a. Terapi antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri
dada berulang dapat diberikan terapi awal mencakup nitrat
dan penyekat beta. Terapi antiiskemi terdiri dari nitrogliserin
sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan
penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat diberikan
intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan
pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran
dengan obat penyekat beta (Sudoyo, 2009).
1) Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau
spray bukal jika pasien mengalami nyeri dada iskemi. Jika
nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali
dengan interval 5 menit, direkomendasikan pemberian
nitrogliserin intravena (mulai 5-10ug/menit). Laju infus dapat
ditingkatkan 10ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan
menghilang atau tekanan darah sistolik <100 mmHg. Setelah
nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral atau
dapat menggantikan nitrogliserin intravena jika pasien sudah
bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi absolut adalah
hipotensi atau penggunaan sidenafil atau obat sekelasnya
dalam 24 jam sebelumnya.
2) Penyekat beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi
jantung 50-60 kali/menit. Antagonis kalsium yang
mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil atau
diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada
persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan
25

penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi


penyekat beta. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan
pemberian nitrogliserin intravena, morfin sulfat dengan
dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit sampai
dosis total 20 mg (Sudoyo, 2009).
b. Terapi antitrombotik
Oklusi trombus sub total pada koroner mempunyai peran
utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari
agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated fibrin
bertanggung jawab atas perkembangan klot (Sudoyo, 2009).
Terapi antiplatelet
1) Aspirin
Aspirin mempunyai efek menghambat siklooksigenase
platelet secara ireversibel. Proses tersebut mencegah
formasi tomboksan A2. The Veteran Administration
Cooperatif study, Canadian Multicenter Trial dan The
Montreal Heart Institute Study membuktikan aspirin
menurunkan resiko kematian dan infark miokard akut fatal
dan non fatal sebesar 51-72% pada penderita angina tidak
stabil. Mera analisis oleh Antiplatelet Trialist
Collaboration memperlihatkan penurunan resiko >25%
terhadap kematian dan infark kiokard akut.
Pemberian aspirin untuk penghambatan agregasi
platelet diberikan dosis awal paling sedikit 160 mg dan
dilanjutkan dosis 80-325 mg per hari. pemberian dosis
aspirin yang lebih besar akan mengakibatkan perdarahan
pada gastrointestinal. Aspirin mempunyai keterbatasan
pada agregasi platelet karena lemah menghambat aktivasi
platelet oleh adenosine dipospat dan kolagen.
26

2) Klopidogrel
Berdasarkan hasil penelitian klopidogrel
direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada
NSTEMI. Clopidrogel merupakan derivat tienopiridin
baru. Clopidogrel mempunyai efek menghambat agregasi
platelet melalui hambatan aktivasi ADP dependent pada
kompleks glikoprotein IIb/IIIa. Efek samping clopidogrel
lebih sedikit dibanding tiklopidin dan tidak pernah
dilaporkan menyebabkan neutropenia. Pada tahun 1996
dilakukan penelitian pada 19.185 penderita penyakit
aterosklerosis dengan manifestasi stroke iskemia, infark
miokard dan penyakit vaskular perifer simptomatik
dilakukan random, diberikan clopidogrel atau aspirin.
Setelah diikuti 1,9 tahun clopidogrel terbukti lebih efektif
dibanding aspirin dalam penuruan resiko stoke iskemia,
infark miokard atau kematian karena penyakit vaskular,
kejadian infark miokard akut dan kematian. Pada
penelitian CURE didapatkan kombinasi clopidogrel dan
aspirin mengakibatkan kejadian infark miokard akut dan
kematian sebesar 9,3% dibanding pemberian aspirin saja
sebesar 11,4% (p<0,001). Tetapi terjadi peningkatn resiko
perdarahan pada kelompok kombinasi aspirin dan
clopidogrel. Penelitian terakhir pada COMMIT dan
CLARITY memberikan hasil penuruan kematian pada
penderita infark miokard akut yang diobati clopidogrel.
(Sherman, 2013)
3) Antagonis GP IIb/IIIa
Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien resiko
tinggi terutama pasien dengan troponin positif yang
menjalani angiografi, mungkin sebaiknya mendapatkan
antagonis GP IIb/IIIa. Antagonis glikoprotein IIb/IIIa
27

menghambat reseptor yang berinteraksi dengan protein-


protein seperti fibrinogen dan faktor von willebrand.
Secara maksimal menghambat jalur akhir dari proses adesi,
aktivasi dan agregasi platelet. Telah dikembangkan tiga
kelas penghambat glikoprotein IIb/IIIa yaitu antibodi
murine-human chimeric (abciximab), bentuk synthetic
peptide (eptifibatide) dan bentuk synthetic nonpeptide
(tirofiban dan lamifiban) (Sudoyo, 2009).
Terapi antikoagulan
1) UFH (Unfractionated heparin)
Manfaat UFH jika ditambahi aspirin telah dibuktikan dalam
tujuh penelitian acak dan kombinasi UFH dan aspirin telah
digunakan dalam tatalaksana NSTEMI untuk lebih dari 15
tahun. Unfractioned heparin merupakan glikosaminoglikan
yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan berat molekul
3000-30.000. Rantai polisakarida berikatan dengan
antitrombin III dan menyebabkan penghambatan trombin
dan faktor Xa. Meta analisis memperlihatkan penurunan
33% insidensi infark miokard dan kematian pada penderita
yang mendapat terapi kombinasi unfractioned heparin dan
aspirin dibanding pengobatan aspirin saja. Guidelines
mendukung pengobatan unfractioned dikombinasi dengan
aspirin pada pengobatan angina tidak stabil. Unfractioned
heparin mempunyai kelemahan pada variabilitas terhadap
dose-reponse. (Sudoyo, 2009)
2) LMWH (Low Molecular Weight Heparin)

LMWH mempunyai rantai pendek (< 18 sakarida) dengan


bervariasi rasio anti faktor Xa : anti faktor IIa. Efikasi
LMWH pada IMA non ST elevasi bervariasi tergantung
preparat LMWH. Lebih tinggi rasio anti faktor Xa: anti
28

faktor IIa akan menghambat pembentukan trombin lebih


baik. LMWH mempunyai keunggulan dibanding
unfractioned heparin yaitu bioavailibilitas meningkat tiga
kali dengan pemberian secara subkutan, mempunyai waktu
paruh lebih panjang, durasi kerja lebih panjang, mempunyai
sedikit efek pada hambatan agregasi platelet, tidak
memerlukan monitoring laboratorium, menurunkan resiko
trombositopenia, kurang berinteraksi dengan trombosit
sehingga menurunkan resiko perdarahan. (Sudoyo, 2009)
3) Direct antithrombin
Direct antithrombin menghambat formasi trombin tanpa
tergantung aktivitas antithrombin III dan terutama
menurunkan aktivitas trombin. Direct antithrombin yaitu
hirudin, hirulog, argatroban, efegatran dan inogatran akan
menghambat ikatan klot trombin secara lebih efektif
dibanding penghambat trombin indirek (Sudoyo, 2009).

3. Angina Pectoris Unstabel


Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh
iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi
atas tiga varian utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil),
angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil.
Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris
tidak stabil (Kumar, 2014)
Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang
frekuensi nya meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang
ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih
lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda
awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel
sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada sebagian besar
pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak di sertai
29

trombosis parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme.


Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis koroner
dan lesi terkaitnya (Kumar, 2014).

Patofisiologi
a. Ruptur Plak
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina
pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total
dari pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan
yang mininal. (Kumar, 2014).
Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada
97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan
kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang
mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic
cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi
pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada
bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease
yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan
dinding plak (fibrous cap). (Kumar, 2014).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila
trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark
dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak
menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat
akan terjadi angina tak stabil (Trisnohadi, 2009).
30

b. Trombosit dan agregasi trombosit


Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan
salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis
setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi
antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam
plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak
stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin
(Trisnohadi, 2009).
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada
angina tak stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam
perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga
menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme sering kali terjadi
pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam
pembentukan trombus (Trisnohadi,2009).
d. Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya
proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap
kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia (Trisnohadi, 2009).

1. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau
keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina
biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu
istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat
31

disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang


disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak ada
yang khas. (Kumar, 2014).

Pemeriksaan Penunjang

a. EKG
Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan
adanya iskemia akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda
iskemia akut atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan T yang
nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5mm dan
gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia
dan dapat disebabkan hal lain. Pada angina tak stabil 4 % mempunyai
EKG normal dan pada NSTEMI 1-6% EKG juga normal.
(Trisnohadi, 2009)
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah
di terima sebagai pertanda paling penting dalam diagnosis SKA.
Menurut ESC dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T
dan I positif dalam 24 jam, CKMB kurang spesifik untuk diagnosis
karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk
diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan
kembali normal dalam 48 jam (Trisnohadi, 2009).
32

Penatalaksanaan
a. Obat anti iskemia
b. Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
c. Obat anti agregasi trombosit
d. Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
e. Obat anti thrombin
f. Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
g. Direct trombin inhibitors

Tindakan revaskularisasi pembuluh darah


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada
pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh
darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan operasi bypass
(CABG) dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi
resiko kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas
dan morbiditas lebih buruk daripada bedah elektif (Sudoyo, 2009)
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan
penyempitan pada satu atau dua pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi
pembedahan, PCI merupakan pilihan utama (Sudoyo, 2009).
Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau
konservatif tergantung dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi,
seperti angina terus-menerus, adanya depresi segmen ST, kadar troponin
meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama jantung seperti
takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini (Sudoyo, 2009).

4. Angina pectoris stabil


Angina pektoris, berasal dari bahasa Yunani "ankhon" (mencekik) dan
bahasa Latin "pectus" (dada), adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
sindrom ketidaknyamanan di dada yang dihasilkan dari iskemia miokardium.
Angina digambarkan sebagai stabil atau tidak stabil pada pola dasar gejalanya.
33

Gejala angina disebut sebagai stabil jika tidak ada perubahan substansial
pada gejala lebih dari beberapa minggu. Gejala dari angina stabil dapat
berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada konsumsi oksigen miokardium,
stres emosional, atau perubahan pada temperatur lingkungan. Pada umumnya,
definisi klinis dari angina pektoris stabil sangat berhubungan dengan stabilitas
atau kepasifan dari plak aterosklerotik. (Sudoyo, 2009)
Angina dikatakan tidak stabil ketika pola gejala memburuk secara tiba-tiba
(peningkatan frekuensi dan durasi) tanpa sebuah penyebab tersembunyi dari
peningkatan konsumsi oksigen miokardium. (Sudoyo, 2009)
Pada beberapa pasien dengan angina onset baru yang telah stabil lebih dari
beberapa minggu, perbedaan jelas antara angina stabil dan tidak stabil tidak
memungkinkan. Pasien itu dapat dipertimbangkan berada pada tingkat
pertengahan antara angina stabil dan tidak stabil. (Sudoyo, 2009)

Presentasi klinis

Pada kebanyakan pasien dengan nyeri dada, diagnosis angina pektoris


dapat dibuat dengan penggalian riwayat pasien secara hati-hati. Keberadaan
faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK), seeperti hipertensi, diabetes
melitus, merokok, riwayat keluarga, hiperlipidemia, dan usia lanjut
meningkatkan kemungkinan bahwa nyeri dada diakibatkan oleh iskemia
miokardium. (Sudoyo, 2009)

Tanda dan Gejala

Kumpulan dari karakteristik gejala angina pektoris termasuk empat


gambaran utama berikut ini : (Sudoyo, 2009)

1) Lokasi. Ketidaknyamanan umumnya dirasakan pada area retrosternal


yang menjalar ke leher, pundak, lengan, rahang, epigastrium, atau
punggung. Pada beberapa keadaan, area tersebut terlibat tanpa
mempengaruhi area retrosternal.
34

2) Hubungannya dengan pencetus. Secara khas gejala dicetuskan oleh


aktivitas fisik, stres emosional, paparan dingin, mengkonsumsi
makanan berat, atau merokok.
a. Beberapa pasien akan mengalami resolusi angina walaupun
melanjutkan aktivitas, yang mana diketahui sebagai fenomena
berjalan. Yang lain mungkin mengalami fenomena pemanasan,
yang mana sebuah aktivitas awal menimbulkan angina, tetapi
aktivitas yang keduakalinya yang menyerupai tidak
menimbulkan gejala angina. Keadaan ini mungkin dihasilkan
dari pengerahan dari aliran koroner kolateral selama episode
awal iskemia.
b. Angina dekubitus, yang mana merupakan manifestasi yang
jarang, terjadi dengan sebuah perubahan postur dan diyakini
menyebabkan pergeseran volume darah. Angina nokturnal, yang
mana terjadi pada waktu malam hari, seringkali berhubungan
dengan mimpi buruk dan takiaritmia.
3) Sifat. Kebanyakan pasien menjelaskan angina sebagai
ketidaknyamanan dada yang samar. Mereka menjelaskan adanya
rasa tertekan, terbakar, rasa sesak, tercekik, berat, dan kadang-
kadang sebuah sensasi panas atau dingin. Beberapa pasien
merasakan sesak napas, lelah yang sangat, kelemahan, mual,
diaforesis, perubahan status mental, atau pingsan pada ketiadaan
ketidaknyamanan apapun di dada. Gejala ini seringkali
menunjukkan sebagai angina yang sama.
4) Durasi. Nyeri dada yang khas berhubungan dengan iskemia
setidaknya berlangsung selama 3-5 menit. Nyeri iskemik biasanya
tidak kurang dari 30 menit akan menyebabkan infark miokardium.
Nyeri dada yang dicetuskan oleh stres emosional cenderung lebih
singkat dibandingkan yang dicetuskan oleh aktivitas. Nyeri dada
yang kurang dari 1 menit mungkin tidak berasal dari jantung,
35

khususnya ketika hal itu tidak berhubungan dengan temuan atau


gejala khas lain.
5) Harus ditekankan bahwa perempuan dapat menunjukkan
sekumpulan gejala yang mungkin lokasi atau kualitas nyeri yang
atipikal dalam perbandingannya dengan gejala yang dijelaskan
oleh pria, atau dimanifestasikan sebagai angina yang sama seperti
mual atau sesak napas.
6) Nyeri dada didefinisikan sebagai “angina tipikal” jika terdiri dari
ciri-ciri ketidaknyamanan di daerah substernal, dipicu oleh stres,
dan mereda dengan nitrogliserin. Dipertimbangkan “atipikal” jika
termasuk 2 atau kurang dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.

Trauma
1. Tension Peneumothoraks
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam
pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena. Menurut penyebabnya,
pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (Setiati, 2014)
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks
tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki
sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis
(PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding
dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi
ke dalam dua jenis, yaitu : (Setiati, 2014)
36

a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang


terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis
karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya
pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai
permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat


diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu : (Setiati, 2014)
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun
lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru
disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya
sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan,
tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka
37

terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama


dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk
melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus
menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara
di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di
dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini
dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.

A. Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah :
1) Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2) Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
3) Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4) Denyut jantung meningkat.
5) Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
38

6) Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,


biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
7) Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut :
a. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
b. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering
dirasakan lebih berat
c. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru
yang lain serta ada tidaknya jalan napas.
d. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih
ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi
menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.
(Setiati, 2014)

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
39

4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negative
(Setiati, 2014)

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks
antara lain : (Setiati, 2014)
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque
yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru
yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat
ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat,
kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan
intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi
jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila
pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang
dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam
dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
40

pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di


mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih
tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak
jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan
belakang.
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan
tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun
pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal
napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar
10%.(Setiati, 2014)
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder. (Setiati, 2014)

D. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk
kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai
berikut : (Setiati, 2014)
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan
diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan
O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap
41

12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka.

2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan
udara luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan
tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum
dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di
dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan
dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura
dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat
42

dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris
atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui
sela iga ke-2 di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura
dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD
dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat
dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut. (Setiati, 2014)
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif.
Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O,
dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang
maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut
dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk
selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka
pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal. (Setiati, 2014)
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat
bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel. (Setiati, 2014)
43

E. Pengobatan Tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan
terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,
terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan
bronkodilator
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.
c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema.
(Setiati, 2014)

I. Rehabilitasi
1) Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan
secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2) Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu
keras.
3) Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.
4) Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak
napas. (Setiati, 2014)
2. Flail Chest
Flail chest adalah area thorax yang melayang atau flail oleh sebab fraktur iga
multiple berurutan = 3 iga dan memiliki garis fraktur = 2 segmen pada tiap iganya.
Akibatnya adalah terbentuknya area flail yang akan bergerak paradoksal dari gerakan
pernapasan dinding dada. (Setiati, 2014)

Etiologi

1. Luka tembak
2. Luka tusuk
3. Kecelakaan
4. Jatuh
5. Pukulan pada dada (Setiati, 2014)
44

Tanda dan Gejala

1. Ada jejas pada thorax


2. Nyeri pada tempat trauma bertambah saat inspirasi
3. Pembengkakkan local dan krepitasi saat palpasi
4. Pasien menahan dadanya dan bernapas pendek
5. Dyspnea, haemoptisis, batuk, dan emfisema subkutan
6. Penurunan tekanan darah
7. Peningkatan tekanan vena sentral
8. JVP meningkat
9. Perfusi jaringan tidak adekuat
10. Pulsus paradoksus (Setiati, 2014)

Pemeriksaan Penunjang

1. Gas darah arteri berkurang


2. Torakosentesis terdapat cairan serosanguinosa
3. Hemoglobin menurun
4. PaCO2 menurun
5. PaO2 menurun
6. Saturasi O2 menurun (Setiati, 2014)

Infeksi

Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan lapisan paling luar jantung (membran tipis
yang mengelilingi jantung). Perikarditis adalah peradangan perikardium parietal,
perikardium viseral, atau kedua-duanya. Respon perikardium terhadap peradangan
bervariasi dari akumulasi cairan atau darah (efusi perikard), deposisi fibrin, proliferasi
jaringan fibrosa, pembentukan granuloma (lesi makrofak yang terjadi dari reaksi
peradangan lokal dari suatu sjaringan tubuh) atau kalsifikasi (pengapuran).
(Sudoyo,2014)
45

Perikarditis dibagi tiga yaitu perikarditis akut, dan perikarditis kronis, dan
perikarditis kronis konstriktif. Perikarditis akut adalah peradangan pada perikardium
(kantung selaput jantung) yang dimulai secara tiba-tiba dan sering menyebabkan
nyeri. Peradangan tersebut dapat menyebabkan cairan dan menghasilkan darah
(fibrin, sel darah merah dan sel darah putih) yang akan memenuhi rongga
pericardium. Perikarditis kronis (Chronic Pericarditis) adalah suatu
peradangan perikardium (kantung jantung) yang menyebabkan penimbunan cairan
atau penebalan dan biasanya terjadi secara bertahap serta berlangsung lama.
Perikarditis kronis konstriktif adalah suatu penyakit yang terjadi karena ada
penebalan pada perikardium akibat adanya inflamasi yang terjadi sebelumnya
sehingga luas ruangan jantung berkurang. Akibatnya curah jantung menurun dan
tekanan pengisian berkurang. Perikarditis akut terjadi kurang dari 6 minggu,
sedangkan pada perikarditis subakut dan perikarditis kronis lebih dari enam 6 bulan.
(Sudoyo, 2014)

Etiologi Perikarditis
1. Perikarditis Akut
Perikarditis akut dapat disebabkan oleh infeksi virus maupun infeksi bakteri.
Berdasarkan studi pada anak-anak dari tahun 1960-an, virus patogen yang paling
umum adalah Coxsackie, tetapi data terakhir menunjukkan bahwa pada orang dewasa
yang paling sering terpengaruh adalah virus Sitomegalo, virus Herpes dan HIV.
Adapun bakteri paling umum yang dapat menyebabkan penyakit perikarditis yaitu
bakteri Pneumococcus dan Tuberculosis. Di Afrika dan India, tuberkulosis masih
merupakan penyebab tersering dari semua bentuk perikarditis. Selain itu penyebab
perikarditis akut lain yaitu sebagai berikut : (Sudoyo, 2014)
a. Idiopatik (biduran)
b. Trauma
c. Sindrom pasca infark miokard
d. Uremia (kondisi yang terkait dengan penumpukan urea dalam darah karena
ginjal tidak bekerja secara efektif)
e. Sindrom pasca perikardiotomi
46

f. Neoplasma (neoplasma adalah massa abnormal dari jaringan yang terjadi


ketika sel-sel membelah lebih dari yang seharusnya atau tidak mati ketika
mereka seharusnya)

2. Perikarditis kronis
Pada umumnya penyebab perikarditis kronis tidak diketahui, tetapi mungkin
disebabkan oleh kanker, tuberkulosis atau penurunan fungsi tiroid. Sebelumnya
tuberkulosis adalah penyebab terbanyak dari perikarditis kronis di Amerika Serikat,
tetapi saat ini kasus tersebut hanya tinggal 2%. Selain itu penyebab perikarditis kronis
yang lain yaitu sebagai berikut : (Sudoyo, 2014)
a. Operasi jantung sebelumnya
b. Radiasi dada
c. Pasca infark yang luas
d. Sarkoidosis (Sarkoidosis adalah suatu penyakit peradangan yang ditandai
dengan terbentuknya granuloma pada kelenjar getah bening, paru-paru, hati,
mata, kulit dan jaringan lainnya)
e. Trauma dada
f. Infeksi virus akut (Adenovirus dan Coxsackie virus) atau kronis
(Tuberculosis).

Patofisiologi
Patofisiologi perikarditis bermula dari adanya proses peradangan yang
diakibatkan oleh infeksi virus dan infeksi bakteri yang dapat menimbulkan
penumpukan cairan efusi dalam rongga perikardium dan dapat menimbulkan
kenaikan tekanan intrakardial. Kenaikan tekanan tersebut akan mempengaruhi daya
kontraksi jantung, sehingga akhirnya dapat menimbulkan proses fibrotik dan
penebalan perikardial, setelah lama kelamaan maka akan terjadi kontriksi perikardial
dengan pembentukan cairan, jika berlangsung secara kronis maka akan menyebabkan
fibrosis (pembentukan jaringan ikat fibrosa yang berlebihan dalam suatu organ atau
47

jaringan dalam sebuah proses reparatif atau reaktif). Adapun patofisiologis secara
garis besar adalah sebagai berikut.

Virus

Bakteri

Trauma

inflamasi perikardium

penumpukan cairan efusi

peningkatan tekanan intrakardial

daya kerja jantung terganggu

proses febrotik

Penebalan periakardial

kontriksi perikardial

fibrosis paru
48

Manifestasi Klinis Perikarditis


1. Manifestasi Klinis pada Perikarditis Akut
Trias klasik perikarditis akut adalah nyeri dada, pericardial friction rub
dan abnormalitas EKG yang khas. Dari pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan
pembesaran jantung, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, edema kaki
dan mungkin tanda-tanda tamponade (merupakan suatu sindroma klinis akibat
penumpukan cairan berlebihan di rongga perikard yang menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel disertai gangguan hemodinamik (Dharma, 2009).
Gambaran 1.3 EKG perikarditis adalah sebagai berikut (Sudoyo, 2014)

Perhatikan elevasi ST dalam memimpin beberapa dengan ST depresi timbal balik


sedikit di aVR.
Gambar 1.4 EKG menunjukkan pericarditis (Sudoyo, 2009)
49

2. Manifestasi Klinis pada Perikarditis Kronik


Manifestasi klinis perikarditis kronik adalah sesak nafas, batuk (karena
tekanan tinggi pada vena paru-paru mendorong cairan masuk ke dalam
kantung-kantung udara), dan kelelahan (karena kerja jantung menjadi tidak
efisien). Biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri dan bisa terjadi edema.
Gejala-gejala yang dapat menjadi petunjuk penting bahwa seseorang
menderita perikarditis kronis adalah tekanan darah tinggi, penyakit arteri
koroner atau penyakit katup jantung. (Sudoyo, 2014)
3. Manifestasi Klinis pada Perikarditis Kronik Konstriktif
Manifestasi klinis perikarditis kronik konstruktif adalah keluhan
berupa rasa lelah, lemah, dispnea saat beraktifitas, orptopnea (napas pendek
yang terjadi pada posisi berbaring karena pengaruh adanya gaya gravitasi) dan
keluhan gagal jantung lainnya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan
tekanan vena jugularis, bunyi jantung melemah, dapat terdengar perikardial
knock, pulsus paradoksus (pengecilan amplitudo denyut nadi yang tajam
selama inspirasi), hepatosplenomegali, ikterus, ascites (penimbunan cairan
secara abnormal di rongga peritoneum) dan edema. (Sudoyo, 2014)

Pemeriksaan Penunjang Perikarditis


1. Perikarditis Akut
Pada perikarditis akut, pemeriksaan EKG ditemukan elevasi segmen ST,
depresi segmen PR dan sinus takikardia, dan setelah beberapa waktu dapat
ditemukan inversi gelombang T. Sebagai komplikasi dapat ditemukan aritmia
supraventrikular, termasuk vibrilasi atrium. (Sudoyo, 2014)
Foto thoraks tampak normal bila efusi perikard hanya sedikit, tetapi bila
banyak dapat terlihat bayangan jantung membesar seperti botol air. Adanya
inflamasi dapat diketahui dari peningkatan LED dan leukositosis. Pemeriksaan
lain dilakukan atas dasar indikasi bila terdapat kecurigaan mengenai etiologinya,
misalnya test tuberkulin. (Sudoyo, 2014)
50

2. Perikarditis Kronis
Untuk memperkuat diagnosis perikarditis kronis dilakukan 2 prosedur, yaitu:
a. Kateterisasi jantung
Katerisasi jantung digunakan untuk mengukur tekanan darah di dalam bilik
jantung dan pembuluh darah utama. (Sudoyo, 2014)
b. MRI scan atau CT scan
CT scan digunakan untuk mengukur ketebalan perikardium. Dalam keadaan
normal, tebal perikardium kurang dari 0,3 cm, tetapi pada perikarditis
konstriktif kronis tebalnya mencapai 0,6 cm atau lebih. (Sudoyo, 2014)

3. Perikarditis Kronik Konstriktif


Pada perikarditis konstruktif, pemeriksaan EKG memperlihatkan penurunan
voltase pada lead di ekstremitas. Foto thoraks menunjukkan klasifikasi
perikardium, kadang dapat terlihat kardiomegali. Dengan Ekokardigrafi dapat
dideteksi penebalan yang terjadi namun sulit. Untuk memastikan diagnosis dapat
dilakukan kateterisasi jantung kiri dan kanan. (Sudoyo, 2014)

Penatalaksanaan Perikarditis
Tujuan penatalaksanaan adalah : (Sudoyo, 2014)
1. Menentukan penyebab
2. Menentukan terapi yang sesuai dengan penyebab (bila diketahui)
3. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya temponade jantung (kompresi
jantung oleh cairan dalam kantung perikard)
Terapi Umum
1. Tirah baring, disertai elevasi bagian kepala tempat tidur untuk perbaiki
pernapasan
2. Terapi oksigen
3. Pembedahan dengan melakukan perikardiosintesis atau drainase untuk
mengatasi tamponade
4. Drainase cairan pericardium atau pengangkatan pericardium (Sudoyo, 2014)
51

Terapi Farmakologi
1. Analgesic, diberikan untuk mengurangi nyeri dan mempercepat reabsorbsi
cairan pada klien pericarditis rematik.
2. Kortikosteroid, diberikan untuk mengontrol gejala, mempercepat resolusi
proses inflamasi dalam pericardium dan mencegah kekambuhan. Digunakan
pada lupus eritematosus diseminata.Waspadalah terhadap kemungkinan
terjadinya temponade jantung. Pergunakan keterampilan pengkajian
keperawatan untuk mengantisipasi dan mengidentifikasi trias gejala (turunnya
tekanan arteri, meningkatnya tekanan vena dan bunyi jantung lemah)
3. Antibiotic, pasien dengan infeksi pericardium harus segera diobati dengan
antimikroba pilihan begitu organisme penyebabnya dapat diidentifikasi.
Pericarditis yang berhubungan dengan demam rematik berespon baik terhadap
penicillin. Pericarditis akibat tuberculosis dapat diobati dengan isoniazid,
etambutol hidroklorid, rifampisin dan steptomisin dalam berbagai kombinasi.
Ampoterisin B digunakan untuk pericarditis jamur. (Sudoyo, 2014)

STEP 4
Kasus CR 2
Identitas
Nama : Tn.Y
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : PNS
Kasus
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dibawa ke unit gawat darurat RS dengan keluhan nyeri
dada sebelah kiri disertai nafas terasa berat. Nyeri dada terasa tertindi benda berat sejak
kurang lebih 3 jam yang lalu.Nyeri dirasakan saat pasien saat olah raga. Nyeri dirasakan
kurang lebih selama 10 menit, menjalar ke leher dan punggung. Pasien tidak minum obat
ketika mengeluhkan nyeri dada. Pasien hanya istirahat untuk menghilangkan nyerinya.
Keluhan ini disertai sesak nafas yang terasa berat, keringat dingin, mual dan muntah.
Pasien tidak mengeluhkan demam dan batuk. Buang air besar dan buang air kecil dalam
batas normal.
52

Riawayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : disangkal

Riwayat penyakit kencing manis : disangkal


Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit hati : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : diakui (sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu dan
jarang kontrol)
Riwayat kolesterol tinggi : diakui (sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu)
Riwayat Penyakit Keluarga : ayah pasien memiliki penyakit jantung
Riwayat Pribadi : pasien sering merokok (kurang lebih 5-10 batang 1
hari sejak SMA)
Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : tampak sakit berat
b) Kesadaran : Komposmetis
c) TB : 164 CM
d) BB : 75 kg
e) Tanda Vital :
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 37, 2 OC
f) Pemeriksaan Mata : Kunjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
g) Pemeriksaan hidung : Nafas Cuping Hidung (-), secret (-)
h) Pemeriksaan Mulut : Sianosis (-), Mukosa kering (-)
i) Pemeriksaan Leher : JVP tidak meningkat 5 + 2 cm, Pembesaran KGB (-)
j) Dinding dada : Simetris tidak ada tanda tanda troma
k) Pemeriksaan Paru :
1) Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi interkostal (-),
2) Palpasi ; takti premitus paru kanan kiri normal
3) Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
4) Auskultasi : SD vesikuler, ronkhi (-)
53

l) Jantung :
1) Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
2) Palpasi : ictus kordis teraba di ICS V LMCS
3) Perkusi : Batas kanan jantung ICS IV LPSD, apeks jantung ICS V LMCS
4) Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
m)Pemeriksaan Abdomen
1) Inspeksi : Cembung, distensi (-)
2) Auskultasi :bising usus (+) normal
3) Palpasi : nyeri tekan (-), hepar atau lien daalam batas normal
4) Perkusi :Timpani
n) Pemeriksaan ekstremitas
 Superoir : akral dingin, CRT < 2 detik
 Inferior : akral dingin, CRT < 2 detik
Diagnosis awal : Acute Coronary Syndrom (ACS)
STEP 5 (Membuat diagnosis banding)
Diagnosis banding : Unstable angina
NSTEMI
STEMI

STEP 6 (Menentukan penatalaksanaan awal)


Penatalaksanaan awal
1. 02 2-4 L/menit kanul nasal
2. IVFD Nacl 0,9 % 500 cc/24 jam
3. Aspirin kunyah 320 mg dilanjutkan 1 x 160 mg p. c.
4. ISDN 5 mg sublingual
54

STEP 7 (Pemeriksaan penunjang)


1) Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin : 15
Hematocrit : 40
Leukosit : 12000
Eritrosit : 4,8
Trombosit : 160.000
SGOT : 72
SGPT : 32
CK : 150
CKMB : 50
Troponin I : 0,4
Ureum darah : 20
Kreatinin darah : 1,1
GDS : 150
Natrium : 137
Kalium :4
Klorida : 100
Kolesterol total : 273
LDL : 191
HDL : 38
Tligiserid : 186
Ph : 7,38
Pco2 : 38
Po2 : 90
HCO3- : 23
Saturasi O2 : 98
55

2) EKG

Interprestasi :
Irama : sinus
Regularitas : reguler
HR :70x/menit
Axis : normoaxis
Gelombang P : normal
Interval PR : 0,08 detik
Kompleks QRS : QS di lead V2
Segmen ST : ST depresi di lead, AVL, V3, V4, V5
Gelombang T : T interval pada lead AVL, V3, V4, V5
Kesan : sinus rhythm. HR 70x/menit, normoaxis, iskemik
anterolateral + high laeral wall
3) Rontgen thorax :

CTR <50%, gambaran jantung paru dalam batas normal


56

STEP 8 (Membuat diagnosis kerja)


Diagnosis kerja : ACS STEMI anterolateral + high lateral wall

STEP 9 (Penatalaksanaan kausatif)


1) O2-4 L/menit kanul nasal
2) IVFD Nacl 0,9% 500 cc/24 jam
3) Anti agregasi platelet :
Aspilet 80 mg/8 jam/oral
Clopidogrel 75 mg/24jam/oral
4) Anticoagulant : heparin 12,5mg/8jam/oral
5) Statin : simvastatin 20mg/24 jam/oral

STEP 10 (Patofisiologi penyakit)


Patofisiologi
Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap perkembangan NSTEMI
1. Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan thrombus non oklusif (penyebab ini
yang paling berperan dalam terjadinya NSTEMI)
2. Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh :
a. Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada variant Prinzmental angina
b. Resistenis pembuluh darah coroner
c. Vasokontriktor lokal seperti tromboksan A2, yang dilepaskan dari trombosit
d. Disfungsi dari endotel koroner; dan
e. Stimulus adrenergic termasuk dingin dan kokain
3. Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang disebabkan oleh pembentukan
aterosklerotik yangprogresif atau restenosis pasca-interbensi koroner perkutan
4. Inflamasi; dan
5. Angina pectoris tidak stabil sekunder, yang menyebabkan peningkatan kebutuhan
oksigen atau penurunan suplai oksigen (misalnya dalam keadaan takikardi, demam,
hipotensi atau anemia).

Tiap individu mungkin memiliki proses yang telah dijelaskan diatas yang
mengakibatkan terjadinya NSTEMI. (Trisnohadi, 2014)
57

1. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting, sehingga tiba-tiba terjadi
oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur
sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan
angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri
dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).
Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya
infiltrasi sel makrofag. Biasanya rupture terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan
timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang
dihasilkan dari makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak. (Trisnohadi,
2014)
Terjadinya ruptur menyebkan aktivasi. Adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh darah
100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila thrombus tidak
menyumbat 100% , dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil. (Trisnohadi, 2014)
2. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan thrombin dan fibrin. (Trisnohadi,
2014)
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokontriksi dan
58

pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam memulai
thrombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. (Trisnohadi, 2014)
3. Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Teradinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan
bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia. (Trisnohadi, 2014)
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi hemodinamik dan
aritmia. Segera setelah terjadi IMA daerah miokard setempat akan memperlihatkan
penonjolan sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup
(stroke volume) dan peningkatan volume akhir distolik ventrikel kiri. Tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan
tekanan atrium kiri di atas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke
jaringan interstisium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja
disebakan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang
masih relatif baik akan mengadakan kompensasi, khususnya dengan bantuan
rangsangan adrenergeik, untuk mempertahankan curah jantung, tetapi dengan akibat
peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak akan memadai
bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik.
Bila infark kecil dan miokard yang harus berkompensasi masih normal, pemburukan
hemodinamik akan minimal. Sebaliknya bila infark luas dan miokard yang harus
berkompensasi sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri akan naik dan gagal jantung terjadi. Sebagai akibat IMA sering terjadi
perubahan bentuk serta ukuran ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang
terkena infark maupun yang non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodeling
ventrikel yang nantinya akan mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia
(Price & Wilson, 2013).

Perubahan-perubahan hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila IMA makin tenang
fungsi jantung akan membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan karena
daerah-daerah yang tadinya iskemik mengalami perbaikan. Daerah-daerah diskinetik
59

akibat IMA akan menjadi akinetik, karena terbentuk jaringan parut yang kaku. Miokard
sehat dapat pula mengalami hipertropi. Sebaliknya perburukan hemodinamik akan
terjadi bila iskemia berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya penyulit mekanis
seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan
memperburuk faal hemodinamik jantung (Price & Wilson, 2013).
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menit-menit
atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan
masa refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaaan terhadap rangsangan. Sistem
saraf otonom juga berperan besar terhadap terjadinya aritmia. Pasien IMA inferior
umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan
bradiaritmia meningkat, sedangkan peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan
mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan infark (Price & Wilson,
2013).
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi
karena thrombosis akut atau vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner
diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya
mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis
dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang yang cenderung ruptur
mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang
tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limposit T yang
menunjukkan adanya proses imflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sel sitokin
proinflamasi, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaranseperti TNF
hsCRP di hati. (Sudoyo, 2009).
60

DAFTAR PUSTAKA

Kumar vinay. 2012. Buku Ajar Patologi. Volume-2. Edisi-7. Jakarta. EGC
Setiati, DKK. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi-6. Jilid-2. Jakarta. Interna Publishing
Sherman, Scott C, et all. 2013. Clinical Emergency Medical. United States, McGraw-Hill
Education
Sidney, Darren. 2012. Constrictive pericarditis. (http://emedicine.medscape.com/article/157096-
overview). Dikutip pada 1 April 2014.
Sudoyo Aru., Setyohadi dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke Empat-Jilid III.
Jakarta, Interna Publishing.
Sudoyo, Aru W.,dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Price & Wilson. 2013. Patofisiologi Vol 1 Edisi 6. Jakarta, EGC
.

Anda mungkin juga menyukai