Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1
Fritjof Capra. 2002. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan. Fajar Pustaka:
Yogyakarta. Halaman 11
2
Fritjof Capra. 2007. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Jejak:
Yogyakarta. Halaman 3
3
Ibid, Halaman 5
4
Ibid, Halaman 7
Halaman 1 dari 13
Tetapi, oikos di sini bukan sekadar rumah tempat tinggal manusia. Oikos dipahami
sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang
terjalin di dalamnya—diantara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan
dengan keseluruhan ekosistem atau habitat. 5
Secara etimologis pula oikos dipahami dalam padanan yang lebih utuh dengan
logos menjadi oikos dan logos, ecology, ekologi. Logos berarti ilmu atau kajian.
Karena itu, lingkungan hidup dapat pula dipahami sebagai sebuah ilmu, yaitu ilmu
tentang ekosistem dengan segala hubungan saling pengaruh diantara ekosistem dan
isinya serta keseluruhan dinamika dan perkembangan yang berlangsung di
dalamnya. Oleh karena itu, lingkungan hidup dipahami sebagai sama artinya dengan
ekologi sebagai berkaitan dengan kehidupan organisme (termasuk manusia) dan
ekosistemnya serta interaksi di antaranya. 6 Ekosistem sendiri di sini dipahami
sebagai "sebuah komunitas organisme dan lingkungan fisiknya yang berinteraksi
sebagai sebuah unit ekologis".7
Abad pertengahan di Eropa boleh jadi merupakan cikal bakal dari seluruh
persoalan ekologi.8 Dimulai pada peristiwa Revolusi Ilmiah yang diprakarsai oleh
Copernicus, Galileo, Descartes, Bacon dan Newton. Dari beberapa tokoh tersebut,
Descartes dan Newton mengambil peran vital dalam mengubah paradigma kita
memandang alam semesta, dimana awalnya alam diartikan sebagai entitas yang
organis, hidup dan spiritualis, berubaha pada pengertian bahwa alam adalah sebuah
mesin dan bersifat mekanistis.
Melalui postulatnya yang masyur, “Cogito Ergo Sum”, Descartes telah
mendikotomikan antara manusia dan alam. “Aku berpikir maka aku ada”
mengindikasikan bahwa hanya yang berakal yang ada, dan yang berakal hanyalah
manusia, dan karena itu, hanya manusia yang ada. Cartesian memberikan
pandangan bahwa pikiran/kesadaran terpisah dengan tubuh, implikasinya adalah
memberikan konstruksi pemikiran bahwa manusia sebagai subjek dan alam sebagai
objek. Prinsip berpikir inilah yang menjadi penyebab adanya paradigma
antroposentrisme. Tidak hanya itu, paradigma antroposentrisme semakin langgeng
dan menyempurna dengan adanya Mekanika Newton. 9 Sejak saat itu pandangan
manusia terhadap alam berubah dari awalnya memandang alam sebagai sistem
5
Sonny Keraf. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof
Capra. Edisi Elektronik, Kanisius: Yogyakarta. Halaman 42
6
Ibid, Halaman 44
7
Fritjof Capra. The Web of Life, op.cit., hlm. 33. Dikutip dalam Sonny Keraf. 2014. Filsafat Lingkungan
Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof Capra. Edisi Elektronik, Kanisius:
Yogyakarta. Halaman 45
8
Walaupun pada dasarnya jika ditelisik lebih jauh ke belakang, maka persoalan pemanfaatan sumber daya
alam yang nantinya berujung pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang kita lihat pada
zaman ini dimulai pada fase peradaban manusia: dari pola hidup nomaden, ladang berpindahn sampai
pada era feodalisme klasik.
9
Fritjof Capra. 2002. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan. Fajar Pustaka:
Yogyakarta. Halaman 23
Halaman 2 dari 13
yang organis berubah menjadi pandangan bahwa alam semesta ini bersifat mekanis,
reduksionistis, dan atmomistis—layaknya sebuah mesin raksasa.10
Dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam, gaya atau pola hidup manusia
merupakan aspek yang sangat penting untuk dijadikan bahan analisis kritis. Gaya
atau pola hidup merupakan suatu budaya/kultur masyarakat dalam hal bertindak
atau berperilaku. David Chaney menyatakan bahwa gaya hidup merupakan gaya,
tata cara atau cara menggunakan barang, tempat dan waktu khas kelompok
masayarakat tertentu.11 Kemudian, menurut Yasraf dan Jejen, gaya hidup (life style)
merupakan produk habitus yang diproduksi secara sistematis melalui skema
habitus dan praktik. Gaya hidup dibangun dengan menggunakan, serta untuk
mencapai, modal: economic capital, cultural capital, symbolic capital.12
Gaya hidup erat hubungannya dengan pola konsumtif. Bahkan, gaya hidup
merupakan bagian dari budaya konsumen, dimana gaya hidup akan selalu
dikonstruksi secara sosial-ekonomi di dalam pasar.13 Menurut Carl Gardner,
konsumsi yang kemudian nantinya menjadi budaya dan disebut badaya konsumtif
merupakan proses menghabiskan bahan fungsional di alam untuk mengahancurkan
material atau untuk menggunakan fungsinya. 14 Namun definisi itu menurut Yasraf
dan Jejen tidak melingkupi keseluruhan karena pada kenyataannya manusia tidak
lagi mengonsumsi sesuatu yang material saja tetapi juga sesuatu yang nonmateri
seperti ide, gagasan atau tanda. 15 Lebih jauh, Jean Baudrillard mengatakan bahwa
konsumsi adalah totalitas dari semua objek atau pesan. Tindakan mengonsumsi
adalah tindakan memanipulasi tanda-tanda yang satu sama lain memiliki relasi. 16
Sebagai suatu unsur yang tidak terlepas pisah, terbentunya sebuah gaya atau
pola hidup tentu erat kaitannya dengan sistem sosial yang terbangun. Dalam hal ini
suatu sistem yang mengatur dan atau mengonstruk pola perilaku/etika dan
konsumtif manusia dalam ranah pemanfaatan sumber daya alam. Relasi pola
perilaku/etika dan konsumtif manusia dengan pemanfaatan sumber daya alam atau
diskursus lingkungan diistilahkan sebagai ekologi sosial—suatu diskursus ekologi
berbasis pemahaman ekonomi-politik kaitannya dengan perumusan kebijakan
lingkungan hidup.
Sejak dimulainya fase industri, ambang batas daya dukung lingkungan yang
dapat menunjang kehidupan mahluk hidup secara normal sudah mengalami
pelampauan yang sangat signifikan, kondisi ini menciptakan kerusakan alam dalam
10
Sonny Keraf. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof
Capra. Edisi Elektronik, Kanisius: Yogyakarta. Halaman 57
11
David Chaney. 196. Lifestyles. London: Routledge. Dalam, Yasraf Amir Piliang dan Jejen Jaelani. 2018.
Teori Budaya …. Halaman 186
12
Yasraf Amir Piliang dan Jejen Jaelani. 2018. Teori Budaya ….. Halaman 187
13
Ibid. halaman 186
14
Carl Gardner. 1989. Consumming Passion, Unwin & Hyman. Dalam Yasraf Amir Piliang dan Jejen Jaelani.
2018. Teori Budaya …..Halaman 192
15
Ibid. Halaman 192
16
Ibid. Halaman 192
Halaman 3 dari 13
skala planet.17 Industri yang mendasari sistem perekonomiannya dengan nuansa
kapitalistik sudah berperan sangat signifikan dalam menggerus sumber daya alam
secara masif, kapitalisme yang menempatkan logika akumulasi sebagai dasar
sistemnya merupakan sebab.
Kapitalisme sampai kapanpun tidak akan pernah bisa menciptakan
kelestarian lingkungan, imperatif pertumbuhan yang meliputi akumulasi,
eksploitasi, dan ekspansi akan memaksa industri untuk terus memandang alam
sebagai sumber daya yang tidak terbatas, padahal sejatinya sumber daya alam tidak
terbarukan terus mengalami eksploitasi begitupun dengan sumber daya alam
terbarukan yang mulai tercemar dengan berbagai limbah kimia. Hal ini terbukti
melalui penurunan kerusakan lingkungan terjadi saat diberlakukan kebijakan
moratorium dan resesi besar yang menimpa sistem perekonomian. 18
Selain mengalienasi pekerja dari produk yang dihasilkannya, sistem kerja di
bawah kepemilikikan pribadi juga turut mengalienasi manusia dari alam melalui
pandangan yang memandang alam sebagai bahan baku komoditas semata untuk
dipertukarkan sebagai hak milik, serta memisahkan sentuhan manusia dengan alam
melalui proses kerja yang tersentralisasi di pabrik. 19 Selain itu, produk-produk yang
dihasilkan hingga kita konsumsi sehari-hari merupakan produk yang memiliki
resiko bagi tubuh manusia dan alam, namun kita juga ditempatkan dalam posisi
terpaksa mengonsumsi karena tidak punya pilihan lain di luar komoditas yang
dihasilkan industri kapitalisme—seolah-olah kita berkomitmen pada perusakan
alam melalui konsumsi.20
Hal itu jelas erat kaitannya dengan tarik ulur kepentingan yang ada. Kontestasi
politik pada ranah pemanfaatan sumber daya alam—ekologi merupakan unsur yang
sepaket dengan sistem kapitalisme ekologi. Pada konteks ini kita akan masuk dalam
pembahasan tentang etika dan keadilan politik—kaitannya dengan ekologi.
Utilitarianisme, libertarianisme, kontraktarianisme, dan komunitarianisme
merupakan diskursus etika dan keadilan politik yang dimaksud. Ekonomi-politik
ekologi ini merupakan rahim dari lahirnya suatu kebijakan. Maka dari itu, dengan
memahami diskursus tersebut, kita akan mampu mengetahui logika sistem
pengambilan suatu kebijakan, kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam.
Suatu perubahan sosial dalam kaitannya dengan diskursus ekologi—
sebagaimana yang terjelaskan di atas, memerlukan sebuah gerakan. Gerakan sosial
kritis berbasis paradigma ekologi yang berkeadilan. Suatu gerakan dapat terjadi
tentu memerlukan penggerak—individu dan masyarakat. Sebagai individu dalam
komunal masyarakat, mahasiswa mempunyai identitas sebagai aktor intelektual,
17
Fred Magdoff dan John Bellamy Foster, Lingkungan Hidup dan Kapitalisme Sebuah Pengantar. Marjin
Kiri, Halaman 14-19
18
Ibid. Halaman 65-69
19
John Bellamy Foster, penerjemah Pius Ginting, Ekologi Marx Materialisme dan Alam. WALHI & Aliansi
Muda Progresif. Halaman 77-79
20
David Goldblatt, Analisa Ekologi Krisis. Resist Book. Halaman 333-335
Halaman 4 dari 13
dimana konsekuensi logis dari intelektualismenya mesti termanifestasi pada
sebuah gerakan. Gerakan mahasiswa seringkali menjadi pemantik terjadinya
perubahan sosial. Jauh daripada itu, mahasiswa dengan bekal intelektualitasnya,
bukan tidak mungkin akan menjadi aktor vital dalam menangkal ataupun
mengentaskan laju kerusakan ekologi. Sehingga krisis ekologi mampu diredam dan
dikembalikan pada kondisi yang ekuilibrium.
Berdasarkan keseluruhan diskursus itu, maka kegiatan ini berupaya
menjabarkan secara kritis bagaimana kausalitas hadirnya krisis ekologi dengan
merujuk pada empat diskursus utama, yaitu: (a) menelisik aspek paradigma filosofis
ekologi—menjabarkan epistemologi, ontologi, dan aksiologi lingkungan/ekologi;
(b) memahami genealogi dan teori kritis budaya/kultur/gaya atau pola hidup—
upaya perumusan suatu bentuk atau model gaya hidup hijau; (c) menganalisa
diskursus ekologi sosial—menjabarkan analisa ekologi kritis dalam kacamata
ekonomi-politik ekologi kaitannya dengan kebijakan tentang lingkungan hidup; (d)
memahami diskursus gerakan ekososialisme—upaya perumusan gerakan
mahasiswa berbasis paradigma ekologi yang berkeadilan.
Untuk sampai pada ekspektasi tersebut—respon kritis terhadap krisis ekologi,
Badan Eksekutif Keluarga Mahasiswa Kehutanan Sylva Indonesia (PC.) Universitas
Hasanuddin (BE Kemahut SI-Unhas) memandang perlunya menciptakan sebuah
wadah bagi mahasiswa untuk memahami diskursus krisis ekologi sampai pada
perumusan suatu gerakan dalam mengentaskan krisis yang ada. Sebagai wadah
intelektual dan perjuangan, BE Kemahut SI-Unhas berupaya merespon
problematika krisis ekologi—sebagaimana yang terjelaskan di atas, dengan cara
membuat sebuah kegiatan pelatihan kepemimpinan.
Latihan Kepemimpinan Tingkat Menengah (LKTM) 2019 merupakan bentuk
pelatihan yang dimaksud. Dengan mengangkat tema “Manifesto Ecoliteracy;
Dekonsolidasi Gerakan Mahasiswa, Respon Krisis Ekologi”, kegiatan ini diharapkan
mampu menjadi wadah penggerak bagi mahasiswa dalam merespon problematikan
krisis ekologi. Sampai nantinya akan membuat sebuah gerakan perubahan berbasis
ekologi yang berkeadilan.
NAMA
TEMA
Halaman 5 dari 13
TUJUAN
Tujuan Umum:
Tujuan Khusus:
Halaman 6 dari 13
Meningkatnya kapabilitas peserta dalam membangun desain gerakan—
khususnya gerakan berbasis ekologi yang berkeadilan
Indikator: (a) peserta memahami materi ruangan terkait tools analisis
dalam bergerak (dibuktikan dengan adanya review materi ruangan
dalam bentuk tulisan dan pelaksanaan diskusi refleksi materi paska
kegiatan); (b) terbangunnya suatu model gerakan lingkungan
(dibuktikan dengan adanya gerakan yang dilakukan paska kegiatan)
PESERTA
Peserta kegiatan ini merupakan mahasiswa se-Makassar. Jumlah peserta yang
diterima dalam tahap karantina sebanyak 35 orang.
PENDAFTARAN
Hari/Tanggal : Senin-Minggu, 11-18 April 2019
Tempat : Sekretariat BE Kemahut SI-Unhas (Kampung Rimba)
SCREENING DIMENSI
Hari/Tanggal : Senin-Minggu, 15-21 April 2019
Tempat : Sekretariat BE Kemahut SI-Unhas (Kampung Rimba)
KARANTINA
Hari/Tanggal : Kamis-Minggu, 25-28 April 2019
Tempat : Balai Pelatihan Kehutanan, Makassar
Halaman 7 dari 13
MUATAN KEGIATAN
DIMENSI-DIMENSI SCREENING
1. Keilmuan
Peserta mampu memahami diskursus filsafat
Tujuan Instruksional Umum
ilmu
Tujuan Instruksional Khusus Definisi ilmu dan pengetahuan
Definisi dan objek kajian filsafat
(epistemologi, ontologi dan aksiologi)
Sejarah perkembangan filsafat—ilmu
pengetahuan
Metode Diskusi dan brainstorming
Durasi Maksimal 5 jam
3. Gerakan Mahasiswa
Peserta mampu memahami hakikat dan
Tujuan Instruksional Umum
diskursus gerakan kemahasiswaan
Tujuan Instruksional Khusus Definisi mahasiswa
Peran dan fungsi mahasiswa
Sejarah gerakan mahasiswa
Gerakan mahasiswa kontemporer
Metode Diskusi dan brainstorming
Durasi Maksimal 4 jam
Halaman 8 dari 13
4. Paradigma/Etika Lingkungan21
MATERI-MATERI RUANGAN
21
Rekomendasi refrensi buku untuk dibaca:
1. Sonny Keraf. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof
Capra. Edisi Elektronik, Kanisius: Yogyakarta
2. Sonny Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Kompas: Jakarta.
Halaman 9 dari 13
Mampu menaganalisa lahirnya paradigma
baru terkait relasi manusia dan alam semesta
Metode Diskusi dan brainstorming
Durasi ±3 jam
5. Politik Ekologi
Peserta mampu memahami diskursus etika dan
Tujuan Instruksional Umum
keadilan politik hijau
Tujuan Instruksional Khusus Memahami keadilan politik utilitarianisme,
kontraktarianisme, dan komunitarianisme
terhadap lingkungan hidup
Memahami prinsip dasar politik hijau
Memahami implementasi etika politik hijau di
Indonesia
Metode Diskusi dan brainstorming
Durasi ±4 jam
Halaman 10 dari 13
6. Kapitalisme Ekologi; Dialektika Ekonomi kapital dan Daya Dukung
Lingkungan
Halaman 11 dari 13
Tujuan Instruksional Khusus Mampu mengidentifikasi masalah dan
merumuskan tujuan gerakan
Memahami diskursus program/project
Mampu menganalisis dan memahami situasi
dan strategi
Memahami penetuan target dan indikator
pencapaian
Mampu mebuat rancangan kerangka kerja
logis
Ceramah, diskusi, brainstorming, demonstarsi,
Metode
dan atau simulasi
Durasi ±4 jam
AKTIVITAS LAINNYA
Halaman 12 dari 13
PENUTUP
Demikian Term of Reference ini kami buat untuk mempermudah dalam visualisasi.
Semoga Term of Reference ini dapat bermanfaat dan mempermudah dalam
memahami konsep kegiatan.
Terima Kasih.
Salam Rimba!
Salam Perjuangan!
NARAHUBUNG:
Email : lktmkehutanan2019@gmail.com
Halaman 13 dari 13