Anda di halaman 1dari 9

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hog Cholera


Hog cholera (HC) memiliki berbagai sinonim yaitu Classical Swine Fever
(CSF), Peste du Pork, Cholera Porcine dan Virus Schweine Pest, merupakan penyakit
viral menular yang di sebabkan oleh virus hog cholera, yang termasuk dalam Genus
Pestivirus dan Famili Flaviviridae. Hanya terdapat satu serotipe virus hog cholera
namun gejala yang di timbulkannya sangat bervariasi tergantung dari strain yang
menginfeksi (Geering et al. 1995). Virus ini secara antigenik berkerabat dengan Bovine
Viral Diarrhea Virus (BVDV), yang menyebabkan timbulnya penyakit BVD pada sapi
serta Border Disease Virus (BDV) pada domba (Edwards et al. 1991).
Hog cholera dapat di temukan di berbagai bagian dunia seperti di negara-negara
Afrika Timur, Afrika Tengah, Cina, Asia Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Mexico
dan Amerika Selatan (Edward et al. 2000). Wabah hog cholera terjadi di Prancis pada
tahun 1822 sedangkan di Jerman terjadi pada tahun 1833 kemudian penyakit ini
menyebar ke Inggris dan Eropa tahun 1862 (Carbery et al. 1984). Kasus hog cholera di
kota Luxembourg terjadi pada bulan Oktober 2001 hingga Maret 2002. Penyakit ini
tidak di temukan lagi di Prancis sejak 1972, di Australia sejak 1962 dan di New
Zealand sejak tahun 1953 (Geering et al. 1995). Penyakit hog cholera pertama kali
masuk ke Papua di Kabupaten Timika pada tanggal 25 Juni 2004 menyebabkan
kematian ternak babi lokal sebanyak 9.000 ekor, yang kemudian berturut-turut
menyebar ke Kabupaten / Kota Sorong pada tanggal 26 Agustus 2005 dengan jumlah
kematian babi di perkirakan sebanyak 3.000 ekor, selanjutnya Kabupaten / Kota
Jayapura terjadi pada 23 Januari 2006 dengan kematian babi sebanyak 9.500 ekor,
Kabupaten Puncak Jaya pada 14 April 2006 dan Kabupaten Jayawijaya pada 5 Mei
2006 dengan jumlah kematian ternak babi di perkirakan di atas 2.000 ekor (Anonimous
2006). Peta penyebaran penyakit hog cholera di Provinsi Papua dapat di lihat pada
gambar 1.

3
Sorong, 25/8/2005

19
Jayapura, 23/1/2006
03
Puncak Jaya, 4/4/2006 18
KET : 10 11
01.Merauke 16
Jayawijaya,
02
02.Jayawijaya 5/5/2006
03.Jayapura TIMIKA, 25 JUN 2004
17
10.Paniai
11.Puncak Jaya 15
13.Boven Digoel
14.Mappi 14 13
15.Asmat
16.Yahukimo
17.Peg.Bintang
18.Tolikara
19.Sarmi 01

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Papua

Gambar 1. Peta Penyebaran Hog Cholera (HC) di Provinsi Papua. Panah kuning
menunjukan awal perpindahan penyakit HC dari kabupaten Timika ke
kabupaten Jayapura. Panah merah menunjukkan alur penyebaran penyakit HC
ke kabupaten lain. Daratan dengan warna merah merupakan daerah tempat
tejadinya wabah HC, sedangkan daratan dengan warna krem merupakan
daerah yang belum tertular HC.

2.2 Penyebab.
Hog cholera di sebabkan oleh virus yang berbentuk bundar, berdiameter 40-50
nm, dengan nukleokapsid kira-kira berukuran 29 nm. Virus hog cholera merupakan
suatu virus RNA beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran.
Nilai koefisien sedimentasinya adalah berkisar 140-180S (Horzinek 1981). Virion
terdiri dari RNA utas tunggal berpolaritas positif dengan ukuran panjang 12.3 kb.
Struktur virus Hog Cholera dapat di lihat pada gambar 2.

4
Gambar 2. Struktur Virus Hog Cholera. Virus Hog Cholera merupakan virus RNA utas
tunggal beramplop dengan inti isometrik yang di kelilingi oleh membran. Virus
berbentuk bundar, dengan protein nukleokapsid berukuran 29 nm. (Sumber :
Journal of virological methods. www.igentaconnect.com/..00000001/art 00162)

Protein E1 (gp33) terdapat di dalam envelop atau selubung virus sebagai suatu
bentuk heterodimer E1-E2 dan E2 (gp55) yaitu protein yang menyebabkan virus hog
cholera bersifat sangat immunogenik. Sementara itu protein p7 di duga tidak berperan
di dalam virion dan akan tetap tinggal sebagai bagian dari terminal C pada “Open
reading frame” yang berfungsi untuk mengkode protein jenis non struktural (Edwards
et al. 1991). Suatu penanda di gunakan untuk menandai variasi antigen pada masing-
masing strain virus hog cholera (Edwards dan Sands 1990), marker ini pun di
perkirakan terletak di setengah bagian N terminal pada E2 dan pada E1. Struktur
protein virus hog cholera dan fungsi dapat di lihat pada gambar 3.

5’ Structural Proteins Non-Structural Proteins 3'

Npro C Erns E1 E2 NS2 NS3 NS4A NS4B NS5A NS5B

Gambar 3. Struktur Protein Dan Fungsi Virus Hog Cholera. Protein Struktural C, berfungsi
sebagai kapsid internal Protein. Erns, memiliki aktivitas instrinsik RNase, E1-E2,
berfungsi sebagai glikoprotein transmembran, E2 merupakan glokoprotein mayor
yang sangat penting, sebab E2 merupakan target dari virus netralisasi antibodi,
Protein Non Struktural berfungsi membantu di dalam replikasi virus, NS5A dan
NS5B, keduanya bertanggung jawab di dalam replikasi RNA virus. (Sumber :
Parchariyanon et al.2000. Journal of virological methods.
www.igentaconnect.com/..00000001/art 00162)

5
Vilcek et al. (1996) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa isolat lapangan
dengan virulensi yang rendah, memperlihatkan hasil pembacaan yang lebih jelas
mengarah pada terbacanya atau terdeteksinya antibodi terhadap BVDV daripada
antibodi terhadap virus hog cholera. Meskipun secara genetik dan antigenik virus hog
cholera sangat berbeda dengan Virus BVD, namun seringkali memperlihatkan adanya
kesamaan dengan penyakit yang di akibatkan oleh pestvirus lainnya. Faktor penting
yang dapat membedakan antara virus hog cholera dan virus BVD adalah terletak pada
protein E2. Jika antibodi monoklonal (mAb) terhadap virus hog cholera di reaksikan
langsung dengan protein E2 maka akan nampak jelas perbedaannya (Edwards et al.
1991). Antigen bersama di antara pestivirus sebagian besar terletak di protein non
struktural NS2.3 yang merupakan suatu homolog protein yang terdiri dari 70% asam
amino. Diperkirakan 70% asam amino pada virus hog cholera dan virus BVD adalah
bersifat homolog. Hasil penelitian yang di lakukan dengan menggunakan antibodi
monoklonal (mAb) guna mempelajari keanekaragaman strain virus, di ketahui bahwa
berdasarkan pilogeniknya virus hog cholera di kelompokan menjadi dua kelompok
besar yaitu kelompok I (Strain Brescia) mencakup strain virus hog cholera yang
berasal dari Benua Asia dan Amerika dan kelompok II mencakup strain virus hog
cholera yang berasal dari Benua Eropa dan Negara Jepang (Vilcek et al. 1996).
Strain dengan virulensi yang tinggi menginduksi terjadinya suatu bentuk infeksi
yang bersifat akut, dengan tingkat kematian yang tinggi sementara pada strain dengan
tingkat virulensi yang sedang atau menengah dapat mengakibatkan suatu bentuk infeksi
yang sub akut dan kronis. Infeksi post natal babi oleh virus hog cholera dengan
virulensi yang rendah akan menghasilkan penyakit dengan gejala yang ringan atau
infeksi yang bersifat subklinis. Namun demikian suatu strain virus dengan virulensi
yang rendah juga dapat menyebabkan kematian pada fetus babi dan anak-anak babi
yang baru di lahirkan. Faktor-faktor penting yang berperan di dalam suatu infeksi virus
hog cholera antara lain : umur, status gizi dan kompetensi tanggap kebal (Vilcek et al.
1996). Virus hog cholera melakukan replikasi dalam sitoplasma tanpa menyebabkan
efek sitopatik. Virus pertama hasil replikasi keluar dari sel pada 5-6 jam setelah sel
terinfeksi. Dalam satu siklus perkembangbiakan virus, titer virus akan meningkat
berbanding lurus dengan waktu hingga 15 jam pasca infeksi dan kemudian titer virus
bertahan tetap tinggi hingga beberapa hari. Dalam kultur sel, hog cholera virus
menyebar ke sel lain melalui: cairan medium kultur, jembatan antar sel dan pada sel
yang membelah. Virus hog cholera dapat bertahan hidup dengan baik dalam kultur sel.

6
Di dalam sel, perkembangan tahap akhir replikasi virus terjadi pada bagian membran
sitoplasma sebelah dalam, sehingga keberadaan antigen hog cholera tidak bisa
terdeteksi dari bagian luar sel (Van Oirschot et al. 1999).

2.3 Epidemiologi
Daerah wabah hog cholera di Indonesia yang telah ditetapkan berdasarkan SK.
Mentan No. 888/ Kpts/TN. 560/9/97 adalah Provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Anonimous 1998). Secara sporadik
penyakit ini masih ditemukan di peternakan babi di Kalimatan Barat ( Sulaxono et al.
2003). Kasus hog cholera yang terjadi di Timor- Timur tahun 1998 menyerang semua
jenis babi, yaitu babi Landrace, persilangan dan babi lokal serta menyerang semua
kelompok umur. Namun kasus paling banyak terjadi pada babi lokal dari kelompok
umur kurang dari 2 bulan (Ketut et al.1998).
Spesies babi adalah satu-satunya spesies yang rentan terhadap virus hog cholera
(HCV), babi yang sakit akan berperan sebagai sumber penularan penyakit ini.
Penularan alami terjadi melalui kontak langsung sesama babi. Virus di sebarkan
melalui cairan mulut, hidung, mata, urin dan tinja. Babi yang sembuh akan tetapi belum
membentuk antibodi protektif yang cukup, masih dapat menjadi sumber penyakit bagi
hewan lain (Edwards et al. 1991). Pada penyakit yang berjalan akut, virus virulen
disebarkan oleh penderita selama 10-20 hari.
Infeksi virus in-utero atau kongenital pada induk yang bunting dan tertular,
menyebabkan embrio atau janin yang di lahirkan mati, lemah, atau cacat. Anak babi
yang di lahirkan dalam keadaan sehat akan bertindak sebagai sumber penularan selama
berbulan-bulan (carrier). Penularan secara mekanis juga dapat terjadi melalui petugas,
alat angkut atau alat-alat lain yang tercemar (Edwards et al. 1991). Pengaruh pH dan
suhu terhadap stabilitas strain virus hog cholera sangat bervariasi. Pada sel kultur yang
berbentuk cairan kemampuan infeksi virus akan hilang jika di tempatkan pada suhu
60°C setelah 10 menit, pada medium darah yang berfibrin aktifitas virus akan hilang
jika di tempatkan pada suhu 68°C setelah 30 menit. Infektifitas virus akan tetap stabil
pada pH 5-10, di atas atau dibawah pH tersebut infektivitas virus akan segera hilang
atau sangat menurun. Tingkat inaktivasi virus jika berada pada pH dibawah 5,
umumnya akan di pengaruhi oleh temperatur. Sebagian virus masih dapat hidup selama
260 jam jika ditempatkan pada pH 4 yang bersuhu 4°C, sementara sebagian virus masih

7
dapat hidup selama 11 jam jika di tempatkan pada pH 4 yang bersuhu 21°C (Carbery et
al. 1984). Inaktivasi virus dapat berlangsung cepat jika virus di tempatkan pada pelarut
lemak seperti; ether, chloroform, deoxycholate, 2% Sodium hydroxide. Virus hog
cholera tahan berada dalam daging segar, dan produk daging lainnya dalam bentuk
infektif untuk jangka waktu 8 bulan hingga 4 tahun, dengan demikian daging atau
produk daging lainnya dapat di gunakan virus sebagai salah satu media dalam
penyebarannya (Liess et al. 1992).

2.4 Patogenesis
Infeksi alami umumnya terjadi melalui rute oro-nasal. Virus masuk ke dalam
tubuh dapat melalui konjungtiva, mukosa alat genital, atau melalui kulit yang terluka.
Dengan afinitas yang tinggi dari virus hog cholera (HC) terhadap sel-sel sistem
retikuloendotelial, virus HC akan menginfeksi sel-sel endotel sistem vaskuler (kapiler,
vena maupun arteri dan pembuluh limfe) hingga mengalami degenerasi hidropis serta
nekrotik (Van Oirschot et al. 1999). Virus yang melakukan replikasi di dalam tonsil,
segera meluas ke jaringan limforetikuler di sekitarnya. Dengan perantaraan cairan limfe
virus menyebar ke kelenjar limfe. Di dalam kelenjar limfe virus memperbanyak diri
dan selanjutnya dengan perantara buluh darah virus terbawa ke perifer untuk kemudian
ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe viseral. Perkembangan
virus yang cepat juga terjadi di dalam sel leukosit, hingga timbul viremia. Pada
penyakit yang berjalan akut sering terjadi pendarahan yang di sebabkan gangguan
sirkulasi yang akut oleh proses degenerasi sel-sel endotel pembuluh darah dan reaksi
imunologis (Vilcek et al. 1996).

2.5 Gejala klinis


Hewan yang terinfeksi virus hog cholera memperlihatkan gejala klinis antara
lain: lesu, tidak aktif, malas bergerak dan gemetar. Nafsu makan menurun hingga
hilang, suhu tubuh meningkat sampai 41-42°C selama 6 hari. Pada saat viremia, jumlah
leukosit turun dari 9000 menjadi 3000/ml dalam darah hewan (leukopenia). Hewan
penderita mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Eksudat bersifat
mukous atau muko purulen, nampak di kelopak mata dan menyebabkan kelopak mata
lengket (Vilcek et al. 1996). Konstipasi di sertai dengan radang saluran gastrointestinal
menyebabkan diare encer, berwarna kekuningan. Rasa dingin mendorong babi-babi
berkumpul (piled-up) di sudut kandang. Sebelum babi mati pada kulit daerah perut,

8
muka, telinga, dan bagian dalam dari kaki terlihat eritema (Van Oirschot et al. 1999).
Pada penyakit yang berjalan akut kematian babi biasanya memakan waktu 10-20 hari.
Sedangkan penyakit yang berjalan subakut proses kematian berlangsung selama 1
bulan.
Gomez Villamandos et al. (2001) membedakan manifestasi klinis HC kronik
kedalam 3 fase, yaitu 1). fase l atau akut di tandai dengan gejala anoreksia, depresi,
suhu badan meningkat dan leukopenia, fase ini berlangsung dalam beberapa minggu.
2). fase 2, atau kronik, di tandai dengan membaiknya kondisi, nafsu makan, suhu tubuh
normal atau sedikit meningkat dan leukopenia, dan 3). fase 3, hewan kembali tampak
menderita, anoreksia, depresi, suhu meningkat, dan akhirnya mati. Kasus hog cholera
yang berjalan secara perakut kronik dapat bertahan sampai lebih kurang 3 bulan.
Infeksi virus hog cholera yang terjadi pada masa kebuntingan, di kenal sebagai
late-onset HC, kematian dapat terjadi di antara bulan ke-2 sampai dengan bulan ke-11.
Gejala klinis pada kolera late-onset ini meliputi depresi dan anoreksia yang terjadi
secara lambat, suhu tubuh normal, konjungtivitis, dermatitis dan gangguan saat berjalan
(Liess et al. 1992).

2.6 Perubahan patologi anatomi (PA)


Kasus hog cholera yang berjalan secara perakut sering tidak di temukan adanya
lesio, sedangkan yang berjalan secara akut dan subakut, di temukan gambaran sepsis
berupa perdarahan multifokus. Hal tersebut terkait dengan kerusakan buluh darah
(Edwards et al. 2000). Reaksi radang yang bersifat katar, fibrinous dan hemoragi dapat
di temukan pada berbagai organ pencernaan, pernafasan dan saluran urogenital. Lesio
yang terlihat pada kelenjar limfe adalah bengkak, udema, hemoragi dan berwarna
merah kehitaman (Gomez Villamandos et al. 2001). Organ ginjal terutama pada
korteks, jantung, mukosa usus dan kulit mengalami perdarahan titik ptekhi sampai
ekhimosa (Van Oirschot et al.1990).
Perubahan patologi berupa infark pada limpa bersifat khas (patognomonik) pada
kasus hog cholera (Gering et al. 1995). Infark juga di temukan pada berbagai organ,
antara lain kantong kemih dan tonsil. Infark yang meluas di buluh darah submukosa
usus besar, sekum, dan kolon, memicu terbentuknya lesi yang berbentuk seperti
kancing baju, bundar, menonjol di kenal sebagai "button ulcer". Lesio button ulcer
pada usus besar tersebut memiliki arti diagnostik yang sangat penting dalam diagnosa
babi penderita HC. Pada kasus hog cholera akut dan subakut paru-paru mengalami

9
infark dan perdarahan, yang selanjutnya terbentuk proses radang paru-paru dan pleura.
Jantung terlihat pucat di sertai kongesti miokard.

2.7 Perubahan Histopatologi (HP)


Kasus hog cholera yang terjadi di Kalimantan Barat memperlihatkan adanya
variasi perubahan histopatologi seperti nekrosis akut tubuli ginjal, enteritis ringan,
kongesti pada hati, bronkhopneumonia sub akut, hemoragi pada korteks limfoglandula
dan nekrosis pada pusat folikel limfoid limpa (Sulaxono et al. 2003). Pada infeksi
bentuk persisten virus hog cholera menginduksi terjadinya hipoplasia korteks adrenal
yang di tandai dengan peningkatan luas zona fasciculata dan zona glomerulosa
sementara zona reticulata mengalami atrofi (Van Oirschot et al. 1999). Infeksi buatan
virus hog cholera isolat Quillota yang di lakukan oleh Quezada et al. (2000),
menunjukkan lesio antara lain: hemoragi alveolar, deskuamasi sel epitel bronkhi dan
bronkhioli, leukosit terlihat di sekitar area deskuamasi dan adanya peningkatan jumlah
sel-sel mononuklear terutama makrofag di lumen buluh darah. Lesio histopatologi
jantung pada kasus hog cholera timbul sebagai akibat adanya infeksi sekunder dari
bakteri, lesio yang terjdi antara lain: kongesti miokardium, hemoragi perikardium dan
endokardium (Van Oirschot et al. 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Ruiz-Villamor
et al. (2001) menggunakan virus hog cholera isolat Quillota membuktikan bahwa
akibat infeksi virus hog cholera menyebabkan timbulnya lesio glomerulitis.

2.8 Diagnosis
Diagnosis hog cholera di lapangan dapat di tentukan berdasarkan anamnesa,
gambaran klinis, dan pemeriksaan pasca mati. Carbery et al. (1984) menyatakan bahwa
pada pemeriksaan pasca mati perlu di perhatikan adanya gambaran terutama perdarahan
kelenjar limfe, ginjal dan infark limpa yang (patognomonik) serta adanya button ulcer
di berbagai bagian usus besar. Sebagai diagnosis banding perlu di perhatikan African
swine fever (ASF), salmonellosis septik, pasteurellosis (septisemia epizootika, SE),
streptokokosis dan erisipelas. Pemeriksaan laboratorium yang perlu di lakukan meliputi
deteksi antigen virus, isolasi virus. Antigen virus salah satunya dapat di ketahui dengan
teknik antibodi fluoresent metode langsung (direct FAT) (Sasahara 1970).

10
2.9 Pencegahan
Negara yang bebas hog cholera tidak boleh mengimpor babi, daging babi dan
bahan berasal dari babi, yang berasal dari negara atau daerah tertular hog cholera.
Negara yang mengalami enzootik hog cholera harus melaksanakan program vaksinasi
dan stamping out. Bila kasus hog cholera sudah menurun cukup di lakukan stamping
out (Carbery et al. 1984). Program vaksinasi masal secara rutin telah di lakukan di
perusahaan peternakan babi dan peternakan babi rakyat. Vaksin yang di gunakan
berupa vaksin galur C (China), atau vaksin galur Japanese GPE dan French Triverval.
Vaksin-vaksin tersebut terutama vaksin galur C, memacu kekebalan sejak 1 minggu
pasca vaksinasi dan berlangsung selama 2-3 tahun. Program pencegahan
Sejak masuknya penyakit hog cholera ke Papua yang di mulai dari Kabupaten
Timika pada tahun 2004, dan kemudian menyebar ke berbagai kabupaten lainnya, telah
di lakukan langkah penanganan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua melalui Dinas
Peternakan Provinsi maupun Kabupaten. Tindakan yang di lakukan mengacu pada
Pedoman Teknis Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit Classical Swine Fever
(Hog Cholera) Tahun 1988 yang di keluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan
Jakarta. Tindakan tersebut meliputi: a). Menutup wilayah tertular dengan surat
keputusan Bupati. b). Mengisolasi ternak yang sakit. c). Memusnahkan ternak mati. d).
Melakukan vaksinasi dengan vaksin hog cholera e). Public awareness (penyuluhan
kepada masyarakat). Namun tindakan-tindakan di atas belum sepenuhnya dapat
mengatasi laju peningkatan angka morbiditas maupun mortalitas ternak babi.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Karanganyar Jawa Tengah untuk mencegah penularan penyakit pada babi terkait
dengan penyakit hog cholera antara lain : 1). Meningkatkan biosecurity kandang dan
pengawasan lalu lintas. 2). Pencegahan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan
vaksinasi. 3). Meningkatkan kebersihan kandang dan kualitas pakan. 4). Penggunaan
antibiotik yang tidak terkontrol dapat menyebabkan beberapa jenis bakteri menjadi
resisten, sehingga perlu di konsultasikan dengan dokter hewan setempat (Cicilia et
al.2006).

11

Anda mungkin juga menyukai