Anda di halaman 1dari 3

FENOMENOLOGI

Salah satu pencapaian suatu negara adalah tercapainya keberhasilan pembangunan yang dilihat
dari peningkatan usia harapan hidup. Peningkatan usia harapan hidup berbanding lurus dengan
peningkatan jumlah lansia. Pada tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia sebanyak 18.043.712
jiwa atau 7,59% dari total penduduk (Badan Pusat Statistik, 2010). Sedangkan pada tahun 2014,
jumlah lansia di Indonesia mencapai 20,24 juta jiwa atau 8,03% dari total penduduk Indonesia
dan diperkirakan angka tersebut akan terus meningkat setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik,
2014). WHO menyatakan bahwa penduduk lansia di Indonesia diperkirakan akan mencapai
11,34% dari total populasi pada tahun 2020 atau sekitar 28,8 juta orang sehingga mengakibatkan
Indonesia memiliki jumlah lansia terbanyak di dunia (Solikhah, 2011). Namun, meningkatnya
jumlah lansia berarti meningkat juga kemungkinan naiknya kasus penyakit degeneratif, seperti
penyakit jantung, hipertensi, gangguan gastrointestinal hingga konstipasi (Yang, et al., 2012).
Munculnya penyakit degeneratif ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti usia, pola
makan, dan pola hidup (frekuensi olahraga, dan lain sebagainya) (Marjan, et al., 2013).

Konstipasi adalah kondisi di mana feses mengeras sehingga susah dikeluarkan melalui anus, dan
menimbulkan rasa terganggu atau tidak nyaman pada rektum (Brown, 2011). Konstipasi dapat
terjadi pada semua lapisan usia, yang pada umumnya ditandai dengan frekuensi buang air besar
yang rendah (kurang dari 3 kali dalam satu minggu).Konstipasi masih sering dianggap remeh
oleh masyarakat. Mereka menganggap kesulitan buang air besar bukan masalah besar, hanya
akibat dari salah makan atau kurang minum air sehingga disepelekan dan dianggap akan sembuh
dengan sendirinya. Padahal, konstipasi dapat mengakibatkan kanker usus besar (colon cancer)
yang dapat berujung pada kematian (Brown, 2011).

Prevalensi konstipasi pada lansia di Indonesia adalah sebesar 3,8% untuk lansia usia 60–69 tahun
dan 6,3% pada lansia diatas usia 70 tahun (Kemenkes RI, 2013). Konstipasi dapat disebabkan
oleh berbagai hal, seperti kurangnya asupan serat, kurang asupan air, pengaruh obat yang
dikonsumsi, pengaruh dari penyakit yang diderita, hingga akibat kurang aktivitas fisik (Brown,
2011).

Penggunaan pencahar secara berlebihan untuk menggantikan fungsi defekasi yang alami, maka
refleks defekasi secara progresif menjadi kurang kuat dalam hitungan bulan atau tahun, dan
kolon menjadi atonik (Guyton & Hall, 2006). Penggunaan laksatif yang tidak tepat justru akan
memperberat konstipasi karena hanya akan mengatasi sementara bahkan menjadi ketergantungan
penggunanaan laksatif dalam setiap proses defekasi (Lemone & Burke, 2011) Dekade terakhir ini
penatalakasanaan konstipasi lebih efektif menggunakan cara lain, seperti : penambahan asupan
cairan yang diminum, penambahan kandungan magnesium dalam makanan, aktifitas fisik yang
terukur, masase abdomen dan penambahan zat probiotik dalam bentuk minuman, serta stimulasi
intestinal (Fernandez, 2006).

Untuk mengisi volume lambung karena derajat fluiditas kimus di lambungyang dapat
mempengaruhi pengosongan lambung, Pemberian Air putih merupakan pilihan yang baik. Air
putih sudah berbentuk cair merata tanpa harus dicerna lagi sebelum disalurkan ke duodenum
(Sherwood, 2011). Air secara kimiawi tidak mempengaruhi sekresi hormon oleh kelenjar
endokrin di saluran pencernaan (Corwin, 2009).Selain itu terapi air adalah sistem penyembuhan
alami, menggunakan kebutuhan tubuh terhadap air, dan respons tubuh secara fisiologis terhadap
air untuk mencegah, mengkoreksi dan meningkatkan rentang sehat manusia. Dengan minum 500
ml air putih (Lower Maximum Volume : LMV) yaitu volume minimal

Terapi komplementer yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mencegah konstipasi selain
melakukan observasi defekasi adalah dengan melakukan abdominal massage. Berdasarkan
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa abdominal massage adalah salah satu jenis terapi
komplementer yang mampu mencegah dan mengurangi gangguan pada sistem gastrointestinal
(Kahraman & Ozdemir, 2015; Tekgunduz, Gurol, Apay, & Caner, 2014; Lamas, Lindholm,
Stenlund, Engstrom, & Jacobsson, 2010; Lai et al., 2010; Sinclair, 2011, Uysal, Eser, & Akpinar,
2012).

Mekanisme kerja abdominal massage adalah menurunkan kontraksi dan tegangan pada otot
abdomen, meningkatkan motilitas pada sistem pencernaan, meningkatkan sekresi pada sistem
intestinal serta memberikan efek pada relaksasi sfingter sehingga mekanisme kerja tersebut akan
mempermudah dan memperlancar pengeluaran feses (Sinclair, 2010).

Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini
sebagai berikut :
1. Peningkatan jumlah lansia diindonesia semakin bertambah setiap tahunnya
2. Prevalensi konstipasi pada lansia di Indonesia adalah sebesar 3,8% untuk lansia usia 60–
69 tahun dan 6,3% pada lansia diatas usia 70 tahun
3. Penggunaan pencahar secara berlebihan untuk menggantikan fungsi defekasi yang alami
menbuat kolon menjadi atonik ,Penggunaan laksatif yang tidak tepat justru akan
memperberat konstipasi karena hanya akan mengatasi sementara bahkan menjadi
ketergantungan penggunanaan laksatif dalam setiap proses defekasi
4. penatalakasanaan konstipasi lebih efektif menggunakan cara lain, seperti : penambahan
asupan cairan yang diminum, penambahan kandungan magnesium dalam makanan,
aktifitas fisik yang terukur, masase abdomen dan penambahan zat probiotik dalam bentuk
minuman, serta stimulasi intestinal
5. Terapi komplementer yang dapat dilakukan Pemberian Air putih dan melakukan
abdominal massage.

Rumusan Masalah

Berdasarkan studi kepustakaan peneliti tertarik melakukan penelitian apakah ada


”EFEKTIVITAS MINUM AIR PUTIH PAGI HARI DENGAN EFFLURAGE MASSAGE
ABDOMINAL TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN KONSTIPASI
PADA LANSIA “

Anda mungkin juga menyukai