Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KASUS CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

DI RUANG FLAMBOYAN RS Tingkat II Dr. Soepraoen Malang

OLEH:

WENI STYONINGRUM

201710461011023

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
CHRONIC KIDNEY DISEASE

I. Pengertian

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada

struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau

tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate (GFR). Selain

itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana

GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa

disertai kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2010).

II. Anatomi Ginjal

Gambar 2.1. Letak ginjal

Anatomi ginjal menurut Price dan Wilson (2010) dan Smletzer dan Bare (2010),

ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak pada kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit

lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena

tekanan ke bawah oleh hati. Katub atasnya

terletak setinggi iga kedua belas. Sedangkan

katub atas ginjal kiri terletak setinggi iga

kesebelas. Ginjal dipertahankan oleh bantalan

lemak yang tebal agar terlindung dari trauma langsung, disebelah posterior dilindungi

oleh iga dan otot-otot yang meliputi iga, sedangkan anterior dilindungi oleh bantalan

usus yang tebal. Ginjal kiri yang berukuran normal biasanya tidak teraba pada waktu

pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup oleh

limfa, namun katub bawah ginjal kanan yang berukuran normal dapat diraba secara

bimanual. Ginjal terbungkus oleh

jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai kapsula renis. Disebelah anterior ginjal

dipisahkan dari kavum abdomen dan isinya oleh lapisan peritoneum. Disebelah

posterior organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah dialirkan

kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal melalui vena

renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis membawa darah

kembali kedalam vena kava inferior. Pada orang dewasa panjang ginjal adalah sekitar

12 sampai 13 cm (4,7-5,1 inci) lebarnya 6 cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan
beratnya sekitar 150 gram. Permukaan anterior dan posterior katub atas dan bawah

serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi lateral ginjal berbentk

cekung karena adanya hilus.

Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi menjadi dua bagian

yaitu korteks bagian luar dan medulla di

bagian dalam. Medulla terbagibagi menjadi

biji segitiga yang disebut piramid, piranid-

piramid tersebut diselingi oleh bagian

korteks yang disebut kolumna bertini.

Piramid-piramid tersebut tampak bercorak

karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla

(apeks) dari piramid membentuk duktus papilaris bellinidan masukke dalam

perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut kaliks minor dan bersatu membentuk

kaliks mayor, selanjutnya membentuk pelvis ginjal.


Ginjal tersusun dari beberapa nefron.

Struktur halus ginjal terdiri atas

banyak nefron yang merupakan

satuan fungsional ginjal, jumlahnya

sekitar satu juta pada setiap ginjal

yang pada dasarnya mempunyai

struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowmen yang

mengintari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle

dan tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.

III. Fisiologi ginjal

A. Fungsi ginjal

Menurut Price dan Wilson (2010), ginjal mempunyai berbagai macam

fungsi yaitu ekskresi dan fungsi non-ekskresi. Fungsi ekskresi diantaranya

adalah :

1) Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan

mengubah-ubah ekskresi air.

2) Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma dalam

rentang normal.

3) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan

kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3


4) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein,

terutama urea, asam urat dan kreatinin.

Sedangkan fungsi non-ekresi ginjal adalah :

1) Menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan darah.

2) Menghasilkan eritropoetin sebagai faktor penting dalam stimulasi

produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.

3) Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

4) Degradasi insulin.

5) Menghasilkan prostaglandin.

IV. Penyebab

1. Penyakit glomerulus yangkronik(glomerulonephritis)

2. Penyakit vascular (hipertensi, nefrosklerosis)

3. Obstruksi renal (batu ginjal)

4. Penyakit kolagen (lupus eritomatosus)

5. Penyakit endokrin (nefropati diabetic)

V. Tanda dan gejala

1. Hypervolemia akibat retensi natrium

2. Hipokalsemia dan hyperkalemia akibat ketidakseimbangan elektrolit

3. Azotemia akibat retensi zat sisa nitrogenus

4. Asidosis metabolic akibat kehilangan bikarbonat

5. Mulut kering, mudah lelah, dan mual akibat hiponatremia.

6. Hipertensi akibat kelebihan muatan cairan

7. Kram otot dan kedutan


VI. Klasifikasi

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang

dimiliki oleh pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh

dokter. Semakin parah CKD yang dialami, maka nilai GFRnya

akan semakin kecil (National Kidney Foundation, 2010).

VII. Patofisiologi

Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang

mendasari, namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih

sama. Penyakit ini menyebabkan berkurangnya massa ginjal.

Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh

molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya,

terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan


aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,

hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa

sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti

dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang

mendasarinya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).Diabetes melitus (DM)

menyerang struktur dan fungsiginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik

merupakan istilahyang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada DM

(Wilson,2005).

Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaanini masih belum

jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh

dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang

diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor

(IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia

kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam

amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi

ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis

tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009).Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat

dengan gagalginjal. Hipertensi yang berlangsung lama dapat

mengakibatkanperubahan-perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh,

ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding

pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah

ginjal (Wilson, 2005). Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka

sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi

lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi


lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk

membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan

cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan

tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini

membentuk suatu siklus yang berbahaya (National Institute of

Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).

VIII. Komplikasi

1. Anemia

2. Komplikasi kardiopulminal

3. Komplikasi GI

4. Dusfungsi seksual

5. Parastesia

IX. Pemeriksaan diagnosis

1. Pemeriksaan darah meliputi:

- Penurunan PH darah arteri dan kadar bikarbonat, kadar hemoglobin,

dan nilai hematocrit yang rendah.

- Pemendekan usia sel darah merah, trombositopenia ringan

- Kenaikan kadar ureum, kreatinin, natrium dan kalium.

- Hiperglikemia

2. Hasil urinalisis meliputi:

- Berat jenis yang tetap pada nilai 1,010

- Proteinuria, glikosuria, sel darah merah,

3. Penurunan ukuran ginjal pada foto rontgen BNO. CT scan renal

4. Biapsi renal
5. EEG untuk mengenali ensefalopati metabolic.

X. Penanganan

1. Terapi non farmakologi

- Diet rendah protein untuk membatasi produk akhir metabolism

protein yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal.

- Diet tinggi protein bagi yang menjalani dialysis peritoneal secara

kontinu.

- Diet tingga kalori untuk mencegah ketoasidosis dan atrofi jaringan.

- Pembatasan asupan natrium dan kalium untuk mencegah kenaikan

kadar mineral

- Pembatasan cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan.

2. Terapi farmakologi

- Obat-obatan sperti furosemide (Lasix) untuk mempertahankan

keseimbangan cairan.

- Obat-obatan antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah dan

edema.

- Obat-obatan antiemetik untuk mengendalikan mual dan muntah.

- Obat-obatan ranitidine untuk mengurasi iritasi lambung.

- Suplemen vitamin khususnya vitamin B dan D serta asam-asam

amino asensial.
3. Terapi pada pasien dengan gagal ginjal

kronik. Adapun terapi untuk pasien gagal

ginjal kronik adalah sebagai berikut:

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada

penyakit ginjal kronik stadium 5 yaitu

pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi

tersebut dapat berupa hemodialisis,

Continuous Ambulatory Peritoneal

Dialysis (CAPD) dan transplantasi ginjal.

1. Hemodialisis adalah suatu cara

untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme melalui

membran semipermeabel atau yang disebut dialyzer. Sisa-

sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah

manusia itu dapat berupa air, natrium, kalium, hidrogen,

urea, kreatinin, asam urat, dan zatzat lain. Hemodialisis telah

menjadi rutinitas perawatan medis untuk End Stage Renal

Disease (ESRD). Salah satu langkah penting sebelum

memulai hemodialisis yaitu mempersiapkan access vascular

beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum hemodialisis.

access vascular memudahkan dalam perpindahan darah dari

mesin ke tubuh pasien. Hemodialisis umumnya dilakukan

dua kali seminggu selama 4-5 jam per sesi pada kebanyakan

pasien ESRD. Menurut data Perhimpunan Nefrologi

Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 terjadi peningkatan


jumlah pasien baru yang menjalani hemodialisis dari tahun

ke tahun. Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk

mencegah gejala toksik azotemia dan malnutrisi. Tetapi

terapi dialisis tidak boleh

terlalu cepat pada pasien

gagal ginjal kronik yang

belum mencapai tahap

akhir dalam perburukan

fungsi ginjal.

2. Akhir-akhir ini sudah

populer CAPD di pusat

ginjal dan luar negeri.

CAPD dapat digunakan

sebagai terapi alternatif dialisis untuk penderita ESRD

dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari. 14 Pertukaran

cairan terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan

peritoneal dibiarkan semalam. Terapi dialisis tidak boleh

terlalu cepat pada pasien dialisis peritoneal. Indikasi dialisis

peritoneal yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih

dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit

sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT

(gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup dan


pasien nefropati diabetik

disertai comorbidity dan

co-mortality .

3. Transplantasi ginjal

merupakan cara

pengobatan yang lebih

disukai untuk pasien

gagal ginjal stadium

akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh melebihi

jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang

cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga

dengan pasien. Sehingga hal ini membatasi transplantasi

ginjal sebagai pengobatan yang dipilih oleh pasien. 2

Kebanyakan ginjal diperoleh dari donor hidup karena ginjal

yang berasal dari kadaver tidak sepenuhnya diterima karena

adanya masalah sosial dan masalah budaya. Karena

kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin

melakukan transplantasi ginjal harus melakukan operasi

diluar negeri. Transplantasi ginjal memerlukan dana dan

peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang

memadai. Transplantasi ginjal ini juga dapat menimbulkan

komplikasi akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh.

XI. Diagnose keperawatan


1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet berlebih

dan retensi cairan serta natrium

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh b.d anoreksia, mual dan

muntah, pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut

3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi, produk sampah

4. Gangguan pertukaran gas

5. Kerusakan integritas kulit.

XII. Intervensi keperawatan

1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine , diet

berlebih dan retensi cairan serta natrium

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan kelebihan volume cairan

teratasi dengan kriteria:

Terbebas dari edema, efusi, anaskara

Intervensi :

a. Kaji adanya oedema

Rasional : Oedema menunjukan adanya kelebihan volume

cairan

b. Ukur denyut jantung dan awasi TD

Rasional : Perawatan invasif diperlukan untuk mengkaji volume

intravaskuler khususnya pada pasien dengan fungsi jantung

buruk

c. Monitor pemasukan cairan.


Rasional : Untuk menentukan fungsi ginjal

d. Ukur balance cairan

Rasional : Untuk menentukan output dan input

e. Kolaborasi pemberian obat diuritika dengan dokter

Rasional : Untuk mempercepat pengeluaran urine

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari tubuh b.d anoreksia, mual

dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa

mulut

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 3 x 14 jam pasien

diharapkan mempertahankan/meningkatkan berat badan dan selera

untuk makan. Dengan kriteria hasil : tidak ada penurunan berat badan

Intervensi :

a. kaji/catat pemasukan diet.

Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan

kebutuhan diet

b. Tawarkan perawatan mulut / sering cuci mulut.

Rasional : memberi kesegaran pada mulut dan miningkatkan

selera makan

c. Ajurkan / berikan makan sedikit tapi sering.

Rasional : meminimalkan anoreksia dan mual


d. Kolborasi dengan ahli gizi untuk diit rendah protein dan

rendah garam

Rasional : diit untuk pasien gagal ginjal

3. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi, produk sampah

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 14 jam pasien

mampu activity toleran

Dengan KH :

Mampu melakukan aktivitas sehari - hari ( ADLs) secara mandiri

Intervensi :

a. Monitor intake nutrisi untuk memastikan kecukupan sember

energi.

Rasional : Nutrisi yang cukup memberikan sumber energi.

b. Beri bantuan dalam aktifitas dan ambulasi.

Rasional : Memberikan keamanan pada pasien

c. Ajarkan teknik mengontrol pernafasan saat aktifitas

Rasional : Menghemat energi dalam tubuh

d. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi

Rasional : Memulihkan kembali otot yang mengalami

kekakuan

4. Gangguan pertukaran gas


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24

jam Gangguan pertukaran pasien teratasi dengan kriteria hasi:

- Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat

Intervensi :

a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

Rasional : memperlancar ventilasi

b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu

Rasional : fisioterapi dada dapat melancarkan pernapasan

c. Auskultasi suara nafas, catat adanya

Rasional : mengetahui adanya kelainan

d. Berikan bronkodilator ;

Rasional : melancarkan pernapasan

5. Kerusakan integritas kulit.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24

jam kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan kriteria hasil:

5. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi,

elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)

Intervensi :

a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar

Rasional : agar tidak panas

b. Hindari kerutan pada tempat tidur

Rasional : Kerutan dapat menyebabkan lecet

c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan lembab

Rasional : kebersihan menghindari infeksi

d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali

Rasional : menghindari dicubitus

e. Monitor kulit akan adanya kemerahan

Rasional : kemerahan tanda ada infeksi

f. Kolaborasi pemberian obat topikal

Rasional : untuk membunuh bakteri

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kowalak, dkk. (2013). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Pearce. C. Evelyn. (2009). Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:

Gramedia

Price, Sylvia A.(2015). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta :EGC

Smeltzer, Suzanne C. (2010). Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Vol 2.

Jakarta:

EGC

Wilkinson, Judith,M. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan

Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai