Anda di halaman 1dari 21

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN

KELOMPOK 11

IKHSAN RYNALDO 16059009

PUTRI SUPRIJANI 16059014

CITRA DWI AGITA 16059039

RATIH RAHMADINI 16059117

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok kami yang berjudul “KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN” dengan
sebaik-baiknya.

Tidak lupa shalawat dan salam kepada nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi Wasalam yang telah
membawa kita dari alam jahiliyah tanpa Ilmu pengetahuan kea lam yang penuh pengetahuan
seperti sekarang ini. Makalah ini kami buat dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi tugas
kelompok kami. Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan kami sebagai penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kami agar kami dapat
memperbaiki kekurangan dalam makalah ini.

Penulis

Kelompok 11
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation, likuidasi:
pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang,
pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham. Beberapa
definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan Kepailitan
Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan
dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana
diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang
mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan
adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan
hak-hak mereka masing-masing”. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur
sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d
Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2
ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan
pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat menentukan
keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah
satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Yaitu suatu perusahaan yang
sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi. Padah tahap insolvensi penting artinya
karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-
bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan diterimanya
suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah dinyatakan insolvensi,
maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal
ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui.
Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan
oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailan. Maka kelompok kami tertarik
untuk menulis mengenai hal tersebut dengan judul PROSES KEPAILITAN DAN
TANGGUNGJAWAB PENGURUS TERHADAP PERSEROAN PAILIT.

B. Rumusan Masalah
1 Bagaimana proses terjadinya kepailitan?
2 Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang
dipailitkan?
3 Contoh kasus pailit batavia air dan bagaimana penyelesaiannya?

C. Tujuan
1 Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2 Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus
terhadap Perseroan yang dipailitkan.
3 Untuk memaparkan dan menganalisis kasus pailit yang terjadi dan penyelesaiannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepailitan

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan
keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan
niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat
dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.

Dari sudut sejarah hukum, undang-undang Kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi
para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang
tidak dapat dibayar.

Pihak-pihak yang tergolong debitur atau seseorang yang dapat dinyatakan pailit adalah (zainal
Asikin, 2001: 34):

a) Siapa saja / setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tigak menjalankan
perusahaan.
b) Badan hukum, baik yang berbentuk perseroan terbatas, firma, koprasi,perusahaan Negara,
dan badan-badan hukum lainnya.
c) Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang
yang meninggal dunia itu semasa hidupnya itu berada dalam keadaan berhenti membayar
utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi
untuk membayar utangnya.
d) Setiap wanita bersuami (si istri )yang dengan tenaga sendiri melakukan suatu pekerjaan
tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan sendiri.

Seorang debitur hanya dikatakan pailit apabila telah diputuskan oleh pengadilan Niaga. Pihak
yang dapat mengajukan permohonan agar seorang debitur dikatakan pailit adalah:

a) Debitur itu sendiri


b) Para kreditur
c) Jaksa penuntut umum
Permohonan dapat diajukan kepada panitera pengadilan Niaga pada pengadilan negeri.
Pengadilan Niaga yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. (pasal 2 UU No.4 Tahun 1998):

a) Pengadilan dalam daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.
b) Jika debitur meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan Niaga adalah
pengadilan dalam wilayah hukum tempat tinggal / kedudukan terakhirdari debitur.
c) Dalam hal debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang berwenang untuk
memeriksa adalah pengadilan Niaga dalam wilayah hukumnya/kedudukan firma tersebut.
d) Dalam hal debitur tidak berkedudukan di dalam wilayah Republik Indonesia, tetapi
menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah republik Indonesia, pengadilan yang
berwenang memutuskan perkara kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya.
e) Dalam hal debitur adalah suatu badan hukum, pengadilan yang berwenang memutuskan
perkara kepailitan adalah pengadilan yang meliputi tempat kedudukan hukumnya
sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.

Tata cara Permohonan Kepailitan

a) Permohonan kepailitan harus diajukan secara tertulis oleh pemohon yang isinya antara
lain :
b) Nama, tempat kedudukan perusahaan yang dimohonkan
c) Nama, tempat kedudukan pengurus perusahaan atau direktur perusahaan yang berbentuk
perseroan terbatas
d) Nama, tempat kedudukan para kreditor
e) Jumlah keseluruhan utang
f) Alasan pemohon

Selanjutnya, dalam pasal 6 UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa panitera pengadilan,
setelah menerima permohonan itu, melakukan pendaftaran dalam registernya dengan
memberikan nomor pendaftaran dan kepada pemohon diberikan tanda bukti tertulis yang
ditandatangani panitera.

Tanggal bukti penerimaan itu harus sesuai dengan tanggal pendaftaran permohonan. Dalam
jangka waktu 1 x 24 jam, panitera menyampaikan permohonan kepailitan itu kepada ketua
pengadilan untuk dipelajari selama 2 x 24 jam untuk kemudian oleh ketua pengadilan akan
ditetapkan hari persidangan.

Setelah hari persidangan ditetapkan, para pihak (permohonan dan termohon) dipanggil untuk
menghadiri pemeriksaan kepailitan. Pemeriksaan harus sudah dilakukan paling lambat dua puluh
hari sejak permohonan didaftarkan di kepaniteraan.

Dalam hal pemanggilan para pihak, pasal 8 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 menentukan sebagai
berikut :

a) Jika permohonan kepailitan diajukan debitur, pengadilan tidak wajib memanggil debitur
dalam persidangan.
b) Sebaliknya jika permohonan diajukan oleh kreditor/ para kreditor atau kejaksaan, debitur
wajib dipanggil. Pemanggilan tersebut dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum hari
persidangan guna memberikan kesempatan kepada debitur untuk mempelajari
permohonan kepailitan.

Apabila dalam pemeriksaan terbukti bahwa debitur berada dalam keadaan berhenti membayar,
hakim akan menjatuhkan putusan kepailitan kepada debitur. Putusan atau penetapan kepailitan
harus sudah dikeluarkan atau diucapkan paling lambat tiga puluh hari sejak tanggal pendaftaraan
permohonan kepailitan, dan putusan ini harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.

Setelah keputusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa, pengadilan dalam jangka
waktu dua hari harus memberitahukan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir tentang
putusan itu beserta salinannya, kepada:

a) Debitur yang dinyatakan pailit


b) Pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit
c) Curator serta Hakim Pengawas

Di samping itu, dalam hal penetapan (putusan) telah dikeluarkan, dalam jangka waktu paling
lambat lima hari sejak tanggal diputuskannya permohonan kepailitan, curator mengumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan sekurang-kurangnya dalam dua surat kabar harian
yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Dalam pengumuman itu harus dikemukakan hal-hal yang
menyangkut:
a) Ikhtisar putusan kepailitan
b) Identitas, pekerjaan, dan alamat debitur
c) Identitas, pekerjaan, dan alamat anggota sementara kreditur (apabila telah ditunjuk)
d) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur
e) Identitas Hakim Pengawas

Di samping itu, Panitera Pengadilan wajib menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat
setiap perkara kepailitan, yang secara berurutan harus memuat:

a) Ikhtisar putusan pailit atau pembatalan pailit


b) Isi singkat perdamaian dan pengesahannya
c) Pembatalan perdamaian
d) Jumlah pembagian dalam pemberesan
e) Pencabutan kepailitan dan
f) Rehabilitasi, dengan menyebut tanggalnya masing-masing

Dalam putusan pernyataan kepailitan, selain dapat menetapkan debitur dalam keadaan pailit,
hakim juga dapat menetapkan curator tetap dan Pengawas sepanjang diminta oleh debitur atau
kreditor. Akan tetapi, apabila debitur atau kreditor tidak meminta, Balai Harta Peninggalan
(BHP) bertindak selaku curator.

B. Akibat dijatuhkan Pailit


a) Debitor kehilangan segala kekuasaan atas harta bendanya (asetnya, baik menjual,
menggadai dan lain sebagainya;
b) Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya;
c) Seluruh asset diurus oleh Balai Harta Peniggalan (BHP) (weeskameer), sebagai
curator (curatrice) yang bertujuan untuk melindungi kreditor (Pasal 7);
d) Penagihan gugatan harus ditujukan kepada weeskamer (Pasal 12)
e) Segala piutang dari debitor ditagih oleh weeskamer;
f) Harus diumumkankan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 13 Ayat 4).

Dalam pailit dikenal juga beberapa pihak:


1 Hakim pengawas atau Rechter Commisaris (dalam bahasa Belanda) seperti yang diatur
dalam pasal 13 Ayat 1, adalah hakim yang diangkat oleh Pengadilan Negeri untuk
mengawasi penyelesaian kepailitan.
a) Kalau masalah kepailitannya besar (kakap) dapat diangkat panitia sementara;
b) Memimpin rapat vertifikasi, rapat untuk mensahkan piutang-piutang (Pasal 104).

2 Kurator

Menurut Pasal 67 UU No. 4 Tahun 1998, curator mempunyai tugas:

a) Melakukan pengurusan dan pembersan harta pailit;


b) Segala perbuatan curator tidak harus mendapat persetujuan dari debitor (meskipun
dipersyaratkan).
c) Dapat melakukan pinjaman dari Pihak Ketiga (dalam rangka meningkatkan nilai harta
pailit);
d) Kurator itu bisa Balai Harta Peninggalan (BHP, atau curator lainnya (Pasal 67 A Ayat 1).

Cara Menjadi Kurator adalah sebagai berikut:

Menurut Pasal 67 A ayat 2 yang dapat menjadi curator adalah:

a) Perseorangan atau Persekutuan Perdata yang mempuanyai keahlian khusus untuk itu
(mengurus harta pailit dan berdomisili di wilayah RI).
b) Terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM.

Kurator dapat Diganti

Menurut Pasal 67B UU No. 4 Tahun 1998 seorang kurator dapat diganti, Pengadilan Negeri
dapat mengganti, memanggil, mendengar kurator atau mengangkat kurator tambahan:

a) Atas permintaan kurator sendiri;


b) Atas permintaaan kurator lainnya, jika ada;
c) Usulan hakim pengawas;
d) Atas permintaan debitor yang pailit;
e) Atas usul kreditor konkuren.
3 Tanggung Jawab Kurator

Menurut Pasal 67C UU No.4 Tahun 1998 seorang kurator mempunyai tanggung jawab:

a. Terhadap kesalahan atau kelalaian dalam tugas pengurusan atau pemberesan yang
menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

b. Kurator dapat bertindak sendiri sebatas tugasnya (Pasal 70 A);

c. Setiap 3 bulan menyampaikan laporannya (Pasal 70 B);

d. Kurator wajib menyampaikan kepada kreditor paling lambat 5 hari setelah pernyataan pailit
ditetapkan (Pasal 77 A Ayat 3);

e. Upah kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri Kehakiman dan
HAM.

Akibat Kepailitan

Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal
21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (“UU KPKPU”).

Akibat dari kepailitan adalah debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan.

Debitor dalam Proses Kepailitan

Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, berdasarkan ketentuan di atas, maka sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan dan selama kepailitan, Debitor telah kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, Debitor sudah tidak dapat
melakukan perbuatan hukum yang meliputi kekayaannya termasuk yang diperoleh selama
kepailitan.
Hal ini juga ditegaskan dalam Paragraf 9 Penjelasan Umum UU PKPU yang menyatakan:

Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjaditidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan.

Selanjutnya terhadap pertanyaan Anda yang kedua, akibat hukum jika Debitor tetap melakukan
perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor adalah tindakan Debitor
tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini karena yang
berwenang untuk melakukan pembagian pembayaran utang-utang Debitor kepada Kreditor
adalah Kurator berdasarkan prinsip keseimbangan dalam Kepailitan (Pari Passu Pro Rata Parte)
dengan memperhatikan adanya kreditur-kreditur yang haknya didahulukan (Kreditur Preferen
dan Kreditur Separatis). Yang dimaksud dengan "pro rata", adalah pembayaran menurut besar
kecilnya piutang masing-masing.

Jika Perbuatan Hukum Debitor Merugikan Kreditor

Sebagai informasi, jika perbuatan hukum yang Debitor lakukan sebelum putusan pernyataan
pailit itu diucapkan merugikan Kreditor, maka berlaku Pasal 41 UU KPKPU:

(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakanpembatalan segala
perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor,
yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat
dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa
perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum
Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.

Akibat hukumnya, setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta
Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda
tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas. Jika orang tersebut tidak dapat
mengembalikan benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi
kepada harta pailit.

Implikasi Pidana Tindakan Debitor yang Menggunakan Harta Pailit

Selanjutnya, karena Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas,[5] maka tindakan Debitor melakukan pembayaran dengan menggunakan harta pailit
yang berstatus sita umum juga dapat berimplikasi secara pidana.

Hal ini diatur dalam Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) jo. Pasal-pasal
KUHP tentang perbuatan merugikan pemiutang (schuldeischer) atau orang yang mempunyai
hak (rechtthebbende) dalam keadaan pailit (Pasal 396-Pasal 405 KUHP).

Selanjutnya, Kurator berdasarkan kewenangannya dapat meminta kepada Pengadilan dengan


putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, untuk menempatkan Debitor untuk
ditahan baik di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri.

Selanjutnya menyorot soal Pasal 10 UU KPKPU yang Anda sebut, berikut bunyi lengkapnya:

(1) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditor,
kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:

a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau

b. menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi:

1) pengelolaan usaha Debitor; dan

2) pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam
kepailitan merupakan wewenang Kurator.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikabulkan, apabila hal
tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan Kreditor.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikabulkan,
Pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditor pemohon memberikan jaminan yang
dianggap wajar oleh Pengadilan.

C. Golongan Orang Berpiutang

Menurut Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004 para kreditur dapat dibagi dalam beberapa golongan:

1 Golongan Separatisen, yaitu kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut kreditur preferen yaitu
pada kreditur yang mempunyai hak didahulukan, disebut demikian karena para kreditur
yang telah diebrikan hak untuk mengeksekusi sendiri terpisah di luar urusan kepailitan.
2 Golongan dengan hak privilege yaitu orang-orang yang mempunyai tagihan yang
diberikan kedudukan istimewa. Sebagai contoh penjual barang yang belum menerima
bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dan pendapatan penjualan
barang yang bersangkutan setelah itu barulah kreditur lainnya (kreditur konkuren).

D. Pengurusan Harta Pailit


1. Hakim pengawas
Hakim pengawas seperti yang diatur dalam pasal 6 yaitu hakim yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.

2. Kurator

Menurut pasal 69 UU No. 37, curator memiliki tugas:

1 Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit


2 Segala perbuatan curator tidak harus mendapat persetujuan dari debitor (meskipun
dipersyaratkan);
3 Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga
4 Curator itu bisa BHP atau currator lainnya.
5 Menjaid kurator

Menurut pasal 70 ayat 2 yang dapat menjadi curator adalah:


1. Orang perseorangan yang memiliki keahliah khusus untuk itu
2. Terdaftar di Dep. .Hukum dan Perguruan.

Menurut pasal 71 ayat 1 UU No. 37 Tahun 1994 seorang curator dapat diganti.

Tanggung jawab kurator

Menurut pasal 72 UU No. 37 Tahun 2004 seorang curator mempunyai tanggung jawab yaitu
sebagai panitia kreditor. Dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, pengadilan
dapat membentuk panitia kreditor sementara terdiri dan tiga orang yang dipilih dan kreditor yang
dikenal dengan maksud memberikan nasehat kepada curator.

Jadi, kami luruskan bahwa yang berhak melakukan pengajuan permohonan sita jaminan terhadap
kekayaan Debitor kepada Pengadilan adalah Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan
Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan selama putusan atas permohonan pernyataan
pailit belum diucapkan dan bukan oleh Debitor.

E. Penundaan Pembayaran

Permohonan penundaan pembayaran itu harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dan oleh
penasihat Hukumnya, disertai dengan :

1 Daftar-daftar para kreditor beserta besar piutangnya masing-masing


2 Daftar harta kekayaan (aktiva/pasiva) dari si debitur.

Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat
oleh semua pihak yang berkepentingan.

Selanjutnya, prosedur permohonan penundaan pembayaran tersebut adalah sebagai berikut:

1 Setelah pengadilan menerima permohonan penundaan pembayaran, secara langsung atau


seketika pengadilan harus mengabulkan permohonan untuk sementara dengan
memberikan izin penundaan pembayaran.
2 Hakim pengadilan paling lambat 45 hari melalui panitera harus memanggil para kreditor,
debitur dan pengurus untuk diadakan sidang.
3 Dalam sidang tersebut akan diadakan pemungutan suara (jika perlu) untuk memutuskan
apakah penundaan pembayaran tersebut dikabulkan atau ditolak. Berdasarkan hasil
pemungutan suara inilah pengadilan akan dapat memutuskan secara definitif terhadap
permohonan penundaan pembayaran.

Permohonan penundaan pembayaran utang akan dikabulkan atau ditetapkan apabila disetujui
lebih dari setengah kreditor konkuren yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga bagian
dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau
kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

Permohonan penundaan pembayaran utang tidak akan dikabulkan apabila :

1 Adanya alasan yang mengkhawatirkan bahwa debitur selama penundaan pembayaran


akan mencoba merugikan kreditor-kreditornya.
2 Apabila tidak ada harapan bagi debitur, selama penundaan pembayaran dan setelah itu,
untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
3 Dalam putusan hakim yang mengabulkan penundaan pembayaran definitif tersebut,
ditetapkan pula lamanya waktu penundaan pembayaran paling lama 270 hari terhitung
sejak penundaan sementara ditetapkan.
4 Pengurus wajib segeramengumumkan putusan penundaan kewajiban pembayaran utang
sementara dalam berita Negara Republik Indonesia, dan paling sedikit dalam dua surat
kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas, dan pengumuman tersebut harus
memuat undangan untuk hadir dalam persidangan yang merupakan rapat
permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu siding tersebut, nama Hakim
Pengawas, dan nama serta alamat pengurus.
5 Setelah pengadilan mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang, panitera
pengadilan wajib mengadakan daftar umum perkara penundaan kewajiban pembayaran
utang dengan mencantumkan untuk setiap penundaan kewajiban pembayaran utang, di
antaranya, yaitu Tanggal putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan
tetap berikut perpanjangannya. kutipan putusan pengadilan yang menetapkan penundaan
kewajiban pembayaran utang sementara maupun tetap dan perpanjangannya, nama hakim
pengawas dan pengurus yang diangkat, ringkasan isi perdamaian dan pengesahan
perdamaian tersebut oleh pengadilan,dan, pengakhiran perdamaian
Sepanjang jangka waktu yang ditetapkan untuk penundaan pembayaran, atas permintaan
pengurus, kreditor, hakim pengawas atau atas prakarsa pengadilan, penundaan kewajiban
pembayaran utang dapat diakhiri dengan alasan-alasan berikut ini (pasal 255 UU No. 37 Th
2004)

Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan iktikad tidak
baik dala melakukan pengurusan terhadap hartanya.

Debitur mencoba merugika para kreditornya

Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu
bagian dari hartanya

Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan yang disyaratkan oleh
pengurus

Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan lagi bagi debitur
untuk melakukan kewajibannya pada waktunya

Dengan dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat menetapkan si debitur
dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitur.

Debitur yang memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dapat mengajukan rencana
perdamaian melalui pengadilan. Perdamaian itu diajukan pada saat atau setelah mengajukan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Hal ini berbeda dengan perdamaian pada
kepailitan, yaitu sebagai berikut:

a) Dari segi waktu, akor penundaan pembayaran diajukan pada saat atau setelah
permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor pada kepailitan diajukan setelah
adanya putusan hakim
b) Pembicaraan (penyelesaian) akor dilakukan pada siding pengadilan memeriksa
permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor kepailitan dibicarakan pada saat
rapat verifikasi, yaitu setelah adanya putusan pengadilan
c) Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui setengah dari
jumlah kreditor konkuren yang diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat
permusyawaratan hakim, yang bersama-sama mewakili dua pertiga bagian dari seluruh
tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang
hadir dalam rapat tesebut, dan mewakili tiga perempat dari jumlah piutang yang diakui.
Sementara itu, akor pada kepailitan harus disetujui oleh dua pertiga dari kreditor
konkuren, yang mewakili tiga perempat jumlah semua tagihan yang tidak mempunyai
tagihan istimewa.
d) Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan kewajiban pembayaran utang berlaku pada
semua kreditor (baik konkuren maupun prepent), sedangkan akor kepailitan hanya
berlaku bagi kreditor konkuren.

Akibat hukum apabila akor penundaan kewajibanpembayaran utang ditolak adalah hakim
dapat langsung menyatakan debitur dalam pailit. Sementara itu, apabila akor diterima, harus
dimintakan pengesahan kepada hakim. Dengan tercapainya penyelesaian melalui perdamaian
(akor) yang telah disahkan, berakhirlah penundaan kewajiban pembayaran utang.

F. PERADILAN NIAGA

Peran Pengadilan Niaga Sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kepailitan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru
yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan
dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. PengadilanNiaga merupakan
diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan
pembaharuan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur
Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-
lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada
setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena
merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah
Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum. Tugas dan wewenang Pengadilan Niaga
ini pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280,
sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal
300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan
Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Memeriksa dan memutusakan permohonan pernyataan pailit


b. Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
c. Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan
undang-undang, misalnya sengketa di bidang HAKI.

Apabila dalam kasus kepailitan, kurator melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan


orang lain maka kurator dapat dipecat atau diberhentikan atau dimintakan
pertanggungjawabannya atas segala perbuatannya yang merugikan orang-orang yang
diwakilinya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang
kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengandung
klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa
dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang
memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat
kepailitan. Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan
tetap berwenang memeriksa danmenyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak,
sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.

Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280
ayat (1) Perpu Republik Indonesia No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa
yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif
eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan
prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah
memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para
pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan
memeriksa dan memutus.

Kompetensi Pengadilan Niaga termasuk kompetensi relatif dan kompetensi absolut.


Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama
di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada
daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan
Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitur, apabila debitur
telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang
menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitur. Dalam hal debitur adalah persero
suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma
tersebut juga berwenang memutuskan.

Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan


peradilan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan
Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi
kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga 5 berwenang pula memeriksa dan
memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-
undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan
gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan
dan diatur pula dalam undangundang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-
satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur
sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d
Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2
ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan
pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Daftar Pustaka

Sunyoto, Danang. 2016. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta : Nuha Medika

https://m.hukumonline.com

Anda mungkin juga menyukai