KELOMPOK 11
FAKULTAS EKONOMI
2019
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
kelompok kami yang berjudul “KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN” dengan
sebaik-baiknya.
Tidak lupa shalawat dan salam kepada nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi Wasalam yang telah
membawa kita dari alam jahiliyah tanpa Ilmu pengetahuan kea lam yang penuh pengetahuan
seperti sekarang ini. Makalah ini kami buat dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi tugas
kelompok kami. Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan kami sebagai penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kami agar kami dapat
memperbaiki kekurangan dalam makalah ini.
Penulis
Kelompok 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation, likuidasi:
pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang,
pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham. Beberapa
definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan Kepailitan
Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan
dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana
diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang
mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan
adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan
hak-hak mereka masing-masing”. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur
sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d
Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2
ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan
pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat menentukan
keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah
satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Yaitu suatu perusahaan yang
sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi. Padah tahap insolvensi penting artinya
karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-
bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan diterimanya
suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah dinyatakan insolvensi,
maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal
ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui.
Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan
oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailan. Maka kelompok kami tertarik
untuk menulis mengenai hal tersebut dengan judul PROSES KEPAILITAN DAN
TANGGUNGJAWAB PENGURUS TERHADAP PERSEROAN PAILIT.
B. Rumusan Masalah
1 Bagaimana proses terjadinya kepailitan?
2 Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang
dipailitkan?
3 Contoh kasus pailit batavia air dan bagaimana penyelesaiannya?
C. Tujuan
1 Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2 Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus
terhadap Perseroan yang dipailitkan.
3 Untuk memaparkan dan menganalisis kasus pailit yang terjadi dan penyelesaiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan
keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan
niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat
dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang Kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi
para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang
tidak dapat dibayar.
Pihak-pihak yang tergolong debitur atau seseorang yang dapat dinyatakan pailit adalah (zainal
Asikin, 2001: 34):
a) Siapa saja / setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tigak menjalankan
perusahaan.
b) Badan hukum, baik yang berbentuk perseroan terbatas, firma, koprasi,perusahaan Negara,
dan badan-badan hukum lainnya.
c) Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang
yang meninggal dunia itu semasa hidupnya itu berada dalam keadaan berhenti membayar
utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi
untuk membayar utangnya.
d) Setiap wanita bersuami (si istri )yang dengan tenaga sendiri melakukan suatu pekerjaan
tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan sendiri.
Seorang debitur hanya dikatakan pailit apabila telah diputuskan oleh pengadilan Niaga. Pihak
yang dapat mengajukan permohonan agar seorang debitur dikatakan pailit adalah:
a) Pengadilan dalam daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.
b) Jika debitur meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan Niaga adalah
pengadilan dalam wilayah hukum tempat tinggal / kedudukan terakhirdari debitur.
c) Dalam hal debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang berwenang untuk
memeriksa adalah pengadilan Niaga dalam wilayah hukumnya/kedudukan firma tersebut.
d) Dalam hal debitur tidak berkedudukan di dalam wilayah Republik Indonesia, tetapi
menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah republik Indonesia, pengadilan yang
berwenang memutuskan perkara kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya.
e) Dalam hal debitur adalah suatu badan hukum, pengadilan yang berwenang memutuskan
perkara kepailitan adalah pengadilan yang meliputi tempat kedudukan hukumnya
sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.
a) Permohonan kepailitan harus diajukan secara tertulis oleh pemohon yang isinya antara
lain :
b) Nama, tempat kedudukan perusahaan yang dimohonkan
c) Nama, tempat kedudukan pengurus perusahaan atau direktur perusahaan yang berbentuk
perseroan terbatas
d) Nama, tempat kedudukan para kreditor
e) Jumlah keseluruhan utang
f) Alasan pemohon
Selanjutnya, dalam pasal 6 UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa panitera pengadilan,
setelah menerima permohonan itu, melakukan pendaftaran dalam registernya dengan
memberikan nomor pendaftaran dan kepada pemohon diberikan tanda bukti tertulis yang
ditandatangani panitera.
Tanggal bukti penerimaan itu harus sesuai dengan tanggal pendaftaran permohonan. Dalam
jangka waktu 1 x 24 jam, panitera menyampaikan permohonan kepailitan itu kepada ketua
pengadilan untuk dipelajari selama 2 x 24 jam untuk kemudian oleh ketua pengadilan akan
ditetapkan hari persidangan.
Setelah hari persidangan ditetapkan, para pihak (permohonan dan termohon) dipanggil untuk
menghadiri pemeriksaan kepailitan. Pemeriksaan harus sudah dilakukan paling lambat dua puluh
hari sejak permohonan didaftarkan di kepaniteraan.
Dalam hal pemanggilan para pihak, pasal 8 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004 menentukan sebagai
berikut :
a) Jika permohonan kepailitan diajukan debitur, pengadilan tidak wajib memanggil debitur
dalam persidangan.
b) Sebaliknya jika permohonan diajukan oleh kreditor/ para kreditor atau kejaksaan, debitur
wajib dipanggil. Pemanggilan tersebut dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum hari
persidangan guna memberikan kesempatan kepada debitur untuk mempelajari
permohonan kepailitan.
Apabila dalam pemeriksaan terbukti bahwa debitur berada dalam keadaan berhenti membayar,
hakim akan menjatuhkan putusan kepailitan kepada debitur. Putusan atau penetapan kepailitan
harus sudah dikeluarkan atau diucapkan paling lambat tiga puluh hari sejak tanggal pendaftaraan
permohonan kepailitan, dan putusan ini harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.
Setelah keputusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa, pengadilan dalam jangka
waktu dua hari harus memberitahukan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir tentang
putusan itu beserta salinannya, kepada:
Di samping itu, dalam hal penetapan (putusan) telah dikeluarkan, dalam jangka waktu paling
lambat lima hari sejak tanggal diputuskannya permohonan kepailitan, curator mengumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan sekurang-kurangnya dalam dua surat kabar harian
yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Dalam pengumuman itu harus dikemukakan hal-hal yang
menyangkut:
a) Ikhtisar putusan kepailitan
b) Identitas, pekerjaan, dan alamat debitur
c) Identitas, pekerjaan, dan alamat anggota sementara kreditur (apabila telah ditunjuk)
d) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur
e) Identitas Hakim Pengawas
Di samping itu, Panitera Pengadilan wajib menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat
setiap perkara kepailitan, yang secara berurutan harus memuat:
Dalam putusan pernyataan kepailitan, selain dapat menetapkan debitur dalam keadaan pailit,
hakim juga dapat menetapkan curator tetap dan Pengawas sepanjang diminta oleh debitur atau
kreditor. Akan tetapi, apabila debitur atau kreditor tidak meminta, Balai Harta Peninggalan
(BHP) bertindak selaku curator.
2 Kurator
a) Perseorangan atau Persekutuan Perdata yang mempuanyai keahlian khusus untuk itu
(mengurus harta pailit dan berdomisili di wilayah RI).
b) Terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM.
Menurut Pasal 67B UU No. 4 Tahun 1998 seorang kurator dapat diganti, Pengadilan Negeri
dapat mengganti, memanggil, mendengar kurator atau mengangkat kurator tambahan:
Menurut Pasal 67C UU No.4 Tahun 1998 seorang kurator mempunyai tanggung jawab:
a. Terhadap kesalahan atau kelalaian dalam tugas pengurusan atau pemberesan yang
menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.
d. Kurator wajib menyampaikan kepada kreditor paling lambat 5 hari setelah pernyataan pailit
ditetapkan (Pasal 77 A Ayat 3);
e. Upah kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri Kehakiman dan
HAM.
Akibat Kepailitan
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal
21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (“UU KPKPU”).
Akibat dari kepailitan adalah debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan.
Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, berdasarkan ketentuan di atas, maka sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan dan selama kepailitan, Debitor telah kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, Debitor sudah tidak dapat
melakukan perbuatan hukum yang meliputi kekayaannya termasuk yang diperoleh selama
kepailitan.
Hal ini juga ditegaskan dalam Paragraf 9 Penjelasan Umum UU PKPU yang menyatakan:
Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjaditidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan.
Selanjutnya terhadap pertanyaan Anda yang kedua, akibat hukum jika Debitor tetap melakukan
perbuatan hukum demi melunasi dan membagi rata utang-utang Debitor adalah tindakan Debitor
tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Hal ini karena yang
berwenang untuk melakukan pembagian pembayaran utang-utang Debitor kepada Kreditor
adalah Kurator berdasarkan prinsip keseimbangan dalam Kepailitan (Pari Passu Pro Rata Parte)
dengan memperhatikan adanya kreditur-kreditur yang haknya didahulukan (Kreditur Preferen
dan Kreditur Separatis). Yang dimaksud dengan "pro rata", adalah pembayaran menurut besar
kecilnya piutang masing-masing.
Sebagai informasi, jika perbuatan hukum yang Debitor lakukan sebelum putusan pernyataan
pailit itu diucapkan merugikan Kreditor, maka berlaku Pasal 41 UU KPKPU:
(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakanpembatalan segala
perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor,
yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat
dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, Debitor dan pihak dengan siapa
perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perbuatan hukum
Debitor yang wajib dilakukannya berdasarkan perjanjian dan/atau karena undang-undang.
Akibat hukumnya, setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta
Debitor yang tercakup dalam perbuatan hukum yang dibatalkan, harus mengembalikan benda
tersebut kepada Kurator dan dilaporkan kepada Hakim Pengawas. Jika orang tersebut tidak dapat
mengembalikan benda yang telah diterima dalam keadaan semula, wajib membayar ganti rugi
kepada harta pailit.
Selanjutnya, karena Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas,[5] maka tindakan Debitor melakukan pembayaran dengan menggunakan harta pailit
yang berstatus sita umum juga dapat berimplikasi secara pidana.
Hal ini diatur dalam Pasal 227 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) jo. Pasal-pasal
KUHP tentang perbuatan merugikan pemiutang (schuldeischer) atau orang yang mempunyai
hak (rechtthebbende) dalam keadaan pailit (Pasal 396-Pasal 405 KUHP).
Selanjutnya menyorot soal Pasal 10 UU KPKPU yang Anda sebut, berikut bunyi lengkapnya:
(1) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditor,
kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau
2) pembayaran kepada Kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam
kepailitan merupakan wewenang Kurator.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikabulkan, apabila hal
tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan Kreditor.
(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikabulkan,
Pengadilan dapat menetapkan syarat agar Kreditor pemohon memberikan jaminan yang
dianggap wajar oleh Pengadilan.
Menurut Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004 para kreditur dapat dibagi dalam beberapa golongan:
1 Golongan Separatisen, yaitu kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, biasanya disebut kreditur preferen yaitu
pada kreditur yang mempunyai hak didahulukan, disebut demikian karena para kreditur
yang telah diebrikan hak untuk mengeksekusi sendiri terpisah di luar urusan kepailitan.
2 Golongan dengan hak privilege yaitu orang-orang yang mempunyai tagihan yang
diberikan kedudukan istimewa. Sebagai contoh penjual barang yang belum menerima
bayarannya, mereka ini menerima pelunasan terlebih dahulu dan pendapatan penjualan
barang yang bersangkutan setelah itu barulah kreditur lainnya (kreditur konkuren).
2. Kurator
Menurut pasal 71 ayat 1 UU No. 37 Tahun 1994 seorang curator dapat diganti.
Menurut pasal 72 UU No. 37 Tahun 2004 seorang curator mempunyai tanggung jawab yaitu
sebagai panitia kreditor. Dalam putusan pailit atau dengan penetapan kemudian, pengadilan
dapat membentuk panitia kreditor sementara terdiri dan tiga orang yang dipilih dan kreditor yang
dikenal dengan maksud memberikan nasehat kepada curator.
Jadi, kami luruskan bahwa yang berhak melakukan pengajuan permohonan sita jaminan terhadap
kekayaan Debitor kepada Pengadilan adalah Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan
Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan selama putusan atas permohonan pernyataan
pailit belum diucapkan dan bukan oleh Debitor.
E. Penundaan Pembayaran
Permohonan penundaan pembayaran itu harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dan oleh
penasihat Hukumnya, disertai dengan :
Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat
oleh semua pihak yang berkepentingan.
Permohonan penundaan pembayaran utang akan dikabulkan atau ditetapkan apabila disetujui
lebih dari setengah kreditor konkuren yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga bagian
dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau
kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan iktikad tidak
baik dala melakukan pengurusan terhadap hartanya.
Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu
bagian dari hartanya
Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan yang disyaratkan oleh
pengurus
Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan lagi bagi debitur
untuk melakukan kewajibannya pada waktunya
Dengan dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat menetapkan si debitur
dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan berlaku bagi si debitur.
Debitur yang memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dapat mengajukan rencana
perdamaian melalui pengadilan. Perdamaian itu diajukan pada saat atau setelah mengajukan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Hal ini berbeda dengan perdamaian pada
kepailitan, yaitu sebagai berikut:
a) Dari segi waktu, akor penundaan pembayaran diajukan pada saat atau setelah
permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor pada kepailitan diajukan setelah
adanya putusan hakim
b) Pembicaraan (penyelesaian) akor dilakukan pada siding pengadilan memeriksa
permohonan penundaan pembayaran, sedangkan akor kepailitan dibicarakan pada saat
rapat verifikasi, yaitu setelah adanya putusan pengadilan
c) Syarat penerimaan akor pada penundaan pembayaran haruslah disetujui setengah dari
jumlah kreditor konkuren yang diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat
permusyawaratan hakim, yang bersama-sama mewakili dua pertiga bagian dari seluruh
tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang
hadir dalam rapat tesebut, dan mewakili tiga perempat dari jumlah piutang yang diakui.
Sementara itu, akor pada kepailitan harus disetujui oleh dua pertiga dari kreditor
konkuren, yang mewakili tiga perempat jumlah semua tagihan yang tidak mempunyai
tagihan istimewa.
d) Kekuatan mengikatnya akor pada penundaan kewajiban pembayaran utang berlaku pada
semua kreditor (baik konkuren maupun prepent), sedangkan akor kepailitan hanya
berlaku bagi kreditor konkuren.
Akibat hukum apabila akor penundaan kewajibanpembayaran utang ditolak adalah hakim
dapat langsung menyatakan debitur dalam pailit. Sementara itu, apabila akor diterima, harus
dimintakan pengesahan kepada hakim. Dengan tercapainya penyelesaian melalui perdamaian
(akor) yang telah disahkan, berakhirlah penundaan kewajiban pembayaran utang.
F. PERADILAN NIAGA
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru
yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan
dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. PengadilanNiaga merupakan
diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang PokokPokok Kekuasaan Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan
pembaharuan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur
Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-
lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada
setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena
merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah
Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum. Tugas dan wewenang Pengadilan Niaga
ini pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280,
sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal
300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan
Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut:
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280
ayat (1) Perpu Republik Indonesia No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa
yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif
eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan
prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah
memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para
pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan
memeriksa dan memutus.
PENUTUP
KESIMPULAN
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur
sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d
Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2
ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan
pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Daftar Pustaka
Sunyoto, Danang. 2016. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta : Nuha Medika
https://m.hukumonline.com