Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stratigrafi merupakan ilmu yang mencakup sejarah, komposisi dan umur


relatif serta distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk
menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan yang
berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi),
kandungan fosil (biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya
(kronostratigrafi). Stratigrafi kita pelajari untuk mengetahui luas penyebaran lapisan
batuan. (Noor, 2009)
Dalam stratigrafi, dikenal adanya biostatigrafi. Biostratigrafi merupakan ilmu
stratigrafi yang didasarkan pada kandungan biota dari suatu lapisan batuan tanpa
melihat cirri fisik dari batuan tersebut. Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk
mengolongkan lapisan-lapisan di bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan
bernama berdasarkan kandungan dan penyebaran fosil. Kandungan fosil yang
dimaksud disini ialah fosil yang terdapat dalam batuan yang seumur (kontemporer)
dengan pengendapan batuan. (Noor, 2009)
Mengingat pentingnya biostratigrafi dalam geologi, maka praktikum prinsip
stratigrafi mengenai biostatigrafi ini dilakukan. Setelah praktikum dilakukan,
praktikan diharapkan mampu mengetahui hubungan antar lapisan batuan serta urutan
perlapisan batuan berdasarkan kandungan fosilnya.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari diadakannya praktikum prinsip stratigrafi mengenai biostratigrafi


yaitu untuk mengimplementasikan teori-teori yang telah didapatkan selama
perkuliahan dalam bentuk praktikum. Adapun tujuan dari parktikum ini yaitu :
1. Mengetahui umur dari batuan.
2. Mengetahui lingkungan pengendapan batuan.
3. Mengetahui hubungan antar lapisan batuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Stratigrafi

Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta
distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk menjelaskan
sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan yang berbeda dapat
dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi (litostratigrafi), kandungan fosil
(biostratigrafi), dan umur relatif maupun absolutnya (kronostratigrafi). stratigrafi kita
pelajari untuk mengetahui luas penyebaran lapisan batuan. (Noor, 2009)

Gambar 2.1 Contoh Perlapisan Batuan yang Dapat Dijumpai di Lapangan

Ilmu stratigrafi muncul untuk pertama kalinya di Britania Raya pada abad ke-
19. Perintisnya adalah William Smith. Ketika itu dia mengamati beberapa perlapisan
batuan yang tersingkap yang memiliki urutan perlapisan yang sama (superposisi).
Dari hasil pengamatannya, kemudian ditarik kesimpulan bahwa lapisan batuan yang
terbawah merupakan lapisan yang tertua, dengan beberapa pengecualian. Karena
banyak lapisan batuan merupakan kesinambungan yang utuh ke tempat yang berbeda-
beda maka dapat dibuat perbandingan antara satu tempat ke tempat lainnya pada
suatu wilayah yang sangat luas. Berdasarkan hasil pengamatan ini maka kemudian
Willian Smith membuat suatu system yang berlaku umum untuk periode-periode
geologi tertentu walaupun pada waktu itu belum ada penamaan waktunya. Berawal
dari hasil pengamatan William Smith dan kemudian berkembang menjadi
pengetahuan tentang susunan, hubungan dan genesa batuan yang kemudian dikenal
dengan stratigrafi. (Noor, 2009)
Berdasarkan dari asal katanya, stratigrafi tersusun dari 2 (dua) suku kata, yaitu
kata “strati“ berasal dari kata “stratos“, yang artinya perlapisan dan kata “grafi” yang
berasal dari kata “graphic/graphos”, yang artinya gambar atau lukisan. Dengan
demikian stratigrafi dalam arti sempit dapat dinyatakan sebagai ilmu pemerian
lapisan-lapisan batuan. Dalam arti yang lebih luas, stratigrafi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang aturan, hubungan, dan pembentukan (genesa)
macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu. (Noor, 2009)

2.2 Satuan Biostratigrafi

William Smith (1769-1839) seorang peneliti dari Inggris. Smith adalah


insinyur yang bekerja disebuah bendungan, ia mengemukakan Teori biostratigrafi dan
korelasi stratigrafi. Smith mengungkapkan dengan menganalisa keterdapatan fosil
dalam suatu batuan, maka suatu lapisan yang satu dapat dikorelasikan dengan lapisan
yang lain, yang merupakan satu perlapisan. Dengan korelasi stratigrafi maka dapat
diketahui sejarah geologinya pula. (KM HMG “ARC-SINKLIN”, 2010)
Dalam studi hubungan fosil antar perlapisan batuan, ia pun menyimpulkan
suatu hukum yaitu “Law of Faunal Succession”, pernyataan umum yang
menerangkan bahwa fosil suatu organisme terdapat dalam data rekaman stratigrafi
dan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui sejarah geologi yang pernah
dilauinya. Jasanya sebagai pencetus biostratigrafi membuat ia dikenal dengan
sebuatan “Bapak Stratigrafi”. Ahli Stratigrafi lain seperti D’Orbigny dan Albert
Oppel juga berperan besar dalam perkembangan ilmu stratigrafi. D’Orbigny
mengemukakan suatu perlapisan secara sistematis mengikuti yang lainnya yang
memiliki karakteristik fosil yang sama. Sedangkan Oppel berjasa dalam mencetuskan
konsep “Biozone”. Biozone adalah satu unit skala kecil yang mengandung semua
lapisan yang diendapkan selama eksistensi/keberadaan fosil organisme tertentu.
Kedua orang inilah yang juga mencetuskan pembuatan standar kolom stratigrafi.
(KM HMG “ARC-SINKLIN”, 2010)
Gambar 2.2 Biostratigrafi didasarkan pada kandungan fosil dari batuan

Biostratigraphic unit dimaksud untuk menggolongkan lapisan lapisan batuan


di bumi secara bersistem menjadi satuan satuan bernama berdasarkan kandungan dan
penyebaran fosil. Satuan biostratigrafi adalah tubuh lapisan batuan yang dipersatukan
berdasar kandungan fosil atau ciri ciri paleontologi sebagai sendi pembeda terhadap
tubuh batuan sidekitarnya. Kandungan fosil yang dimaksud di sini adalah fosil yang
terdapat dalam batuan yang seumur dengan pengendapan batuan. Fosil rombakan,
apabila mempunyai makna yang penting dapat dipakai dalam penentuan satuan
biostratigrafi (tak resmi). Yang dimaksud satuan biostratigrafi resmi adalah satuan
yang memenuhi persyaratan sandi, sedangkan satuan biostratigrafi tak resmi adalah
satuan yang tidak seluruhnya memenuhi persyaratan. Satuan biostratigrafi ditentukan
oleh penyebaran kandungan fosil yang mencirikannya. (Kementerian Pendidikan,
2015)
Tingkatan dan jenis satuan biostratigrafi adalah Zona. Zona adalah satuan
dasar biostratigrafi. Dan yang dimaksud zona itu sendiri adalah suatu lapisan atau
tubuh batuan yang dicirikan oleh satu takson fosil atau lebih. Urutan tingkat satuan
biostratigrafi resmi masing masing dari besar sampai kecil adalah Super Zona, Zona,
Sub Zona, dan Zonula. Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi satuan
biostratigrafi dibedakan Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, Zona Selang.
(Kementerian Pendidikan, 2015)

2.2.1 Zona Kisaran

Zona Kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi
unsur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada. Kegunaan Zona Kisaran
terutama ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan batuan dan sebagai dasar untuk
penempatan batuan-batuan dalam sekala waktu geologi. Batas dan kelanjutan Zona
Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan mendatar takson (takson-takson) yang
mencirikannya. Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis fosil atau lebih yang
menjadi ciri utama zona. (IAGI, 1996)
Zona Kisaran dapat berupa kisaran satu unsur takson, kumpulan kisaran
takson, kumpulan kisaran takson, takson-takson bermasyarakat, silsilah takson atau
ciri paleontologi lain yang menunjukkan kisaran. Fosil rombakan tidak dapat dipakai
dalam penentuan Zona Kisaran. (IAGI, 1996)

2.2.2 Zona Puncak

Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan


maksimum suatu takson tertentu. Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah
untuk menunjukkan kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat
dipakai sebagai petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba. Batas vertikal
dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat objektif. Nama Zona Puncak
diambil dari nama takson yang berkembang secara maksimum dalam Zona tersebut.
(IAGI, 1996)

2.2.3 Zona Selang

Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua
takson penciri. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh-
tubuh lapisan batuan. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh
pemunculan awal atau akhir dari takson-takson penciri. Nama Zona Selang diambil
dari nama-nama takson penciri yang merupakan batas atas dan bawah Zona tersebut.
(IAGI, 1996)
Pemunculan awal/akhir dari takson ialah awal/akhir dari munculnya takson-
takson penciri pada sayatan stratigrafi. Bidang dimana titik-titik tempat pemunculan
awal/akhir tersebut berada disebut sebagai biohorison dan sering dikenal sebagai
biodatum. Dalam kegunaannya pada korelasi inter-regional atau global sebaiknya
umur mutlak (pentarikhan radiometrik) disertakan. (IAGI, 1996)

2.2.4 Zona Rombakan

Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya
fosil rombakan, berbeda jauh daripada tubuh lapisan batuan di atas dan di bawahnya.
Zona Rombakan umumnya khas berhubungan dengan penurunan muka air laut relatif
yang cukup besar dan sering bersifat lokal, regional sampai global. Zona Rombakan
ini merupakan satuan biostratigrafi tak resmi. (IAGI, 1996)
2.2.5 Zona Padat

Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil
dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak daripada tubuh batuan di atas dan di
bawahnya. Zona Padat ini umumnya diakibatkan oleh sedikitnya pengendapan
material lain selain fosil. (IAGI, 1996)

Gambar 2.3 Bagan dari tiap zona dalam biostratigrafi


2.3 Ketidakselarasan (Unconformity)

Ketidak Selarasan (Unconformity): adalah hubungan antara satu lapis batuan


dengan lapis batuan lainnya (batas atas atau bawah) yang tidak kontinyu (tidak
menerus), yang disebabkan oleh adanya rumpang waktu pengendapan. Dalam geologi
dikenal 3 (tiga) jenis ketidak selarasan, yaitu. (Pambudi, 2016)

2.3.1 Non-Conformity

Non-conformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara


lapisan batuan (sekelompok lapisan batuan) dengan satuan batuan beku atau
metamorf. (Pambudi, 2016)

Gambar 2.4 Non-conformity

2.3.2 Disconformity

Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara


lapisan batuan (sekelompok batuan) dengan lapisan batuan lainnya (kelompok batuan
lainnya) dibatasi oleh satu rumpang waktu tertentu (ditandai oleh selang waktu
dimana tidak terjadi pengendapan). (Pambudi, 2016)

Gambar 2.5 Disconformity


2.3.3 Angular Unconformity

Ketidakselarasan Bersudut (Angular unconformity) adalah salah satu jenis


ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan
satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya), memiliki hubungan/kontak yang
membentuk sudut. (Pambudi, 2016)

Gambar 2.6 Angular Unconformity

2.3.4 Paraconformity

Paraconformity adalah hubungan antara dua lapisan sedimen yang bidang


ketidakselarasannya sejajar dengan perlapisan sedimen. Pada kasus ini sangat sulit
sekali melihat batas ketidakselarasannya karena tidak ada batas bidang erosi. Cara
yang digunakan untuk melihat keganjilan antara lapisan tersebut adalah dengan
melihat fosil di tiap lapisan. Karena setiap sedimen memiliki umur yang berbeda dan
fosil yang terkubur di dalamnya pasti berbeda jenis.

Gambar 2.7 Paraconformity


BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Metode Praktikum

Dalam praktikum digunakan metode analisis data, dimana praktikan akan


menganalisis data stratigrafi melalui problem set yang telah diberikan sebelumnya.

3.2. Tahapan Praktikum

3.2.1. Menentukan Umur

Umur ditentukan dengan melihat kandungan fosil yang terdapat pada batuan
dan mencocokkan spesies fosil yang dijumpai dengan range chart. Selanjutnya
melakukan penarikan umur fosil dengan tabel umur yang telah disediakan.

3.2.2. Menentukan Lingkungan Pengendapan

Dalam penentuan lingkungan pengendapan, klasifikasi yang digunakan adalah


klasifikasi Robertson tahun 1985 karena dianggap sebagai klasifikasi yang paling
ideal dan paling lengkap. Penarikan lingkungan pengendapan dilakukan pada table
lingkungan pengendapan yang telah disediakan.

3.2.3. Membuat Tabel Kuantitatif Serta Semi Kuantitatif dari Jumlah Individu
yang Ada

Tabel ini didasarkan dengan melihat jumlah individu fosil yang ada. Dalam
penulisannya, digunakan simbol dan memiliki rasio.

3.2.4. Membuat Kolom Biostratigrafi

Kolom berisi data atau informasi yang telah didapatkan melalui metode
analisis data.

3.2.5. Membuat Sejarah Geologi

Setelah analisis data telah selesai dilakukan, maka sejarah geologi dari daerah
penelitian dapat disusun dengan melihat satuan yang tertua sampai dengan satuan
yang paling muda.
STUDI
PUSTAKA

PRAKTIKUM

ANALISIS
DATA

LAPORAN

Gambar 3.1 Flow chart

3.3. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu :


1. Kertas grafik
2. Kalkulator
3. Alat tulis
4. Double tip
5. Kertas HVS
6. Busur derajat
7. Pensil warna
8. Table penarikan umur
9. Table penentuan lingkungan pengendapan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sebaran Litologi

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, diketahui sebaran litologi dari
daerah penelitian. Pada ST1, ST2, ST3, ST5, dan ST7 dijumpai litologi berupa
Batulempung. Pada satuan batulempung ini, terjadi intrusi andesit yang dapat
dijumpai pada ST 23 dan ST24. Selanjutnya pada ST8, ST9, ST10, ST11, ST12,
ST13, ST14, ST15, ST16, ST17, ST18, ST19, dan ST20 dijumpai satuan batupasir
dengan ukuran butir pasir kasar sampai pasir halus. Pada satuan ini juga dijumpai
adanya intrusi batuan yang sama dengan yang terjadi pada satuan batu lempung.
Intrusi andesit pada satuan ini dapat dijumpai pada ST25, ST26, dan ST27. Terakhir
adalah satuan batugamping yang dapat dijumpai pada ST21 dan ST22.

4.2. Koreksi Dip dan Ketebalan Lapisan Batuan

Koreksi dip dapat dihitung dengan menggunakan rumus tan dip x sin β.
Berdasarkan rumus tersebut diperoleh nilai koreksi dip untuk batulempung sebesar
47.34o, batupasir 40.42o, serta batugamping sebesar 5.48o. Dari hasil koreksi dip tadi,
ketebalan dari lapisan batuan dapat ditentukan. Batugamping memiliki ketebalan
sekitar 550 m, batupasir sebesar 1825 m, serta intrusi andesit sebesar 150 m.

4.3. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Pada Zaman X Kala Z terjadi pengendapan material sedimen dengan ukuran


butir lempung pada lingkungan pengendapan laut dalam. Selanjutnya terjadi proses
kompaksi atau pembebanan material sedimen sehingga kandungan air dari material
berkurang dan material menjadi lebih padat. Setelah itu terjadi proses sementasi atau
pengikatan oleh semen yang bersifat non karbonatan. Terakhir, terjadi proses
petrifikasi atau pembatuan membentuk satuan batulempung.
Selanjutnya, pada Zaman X Kala Y terjadi pengendapan material sedimen
dengan ukuran butir pasir kasar-pasir sedang pada lingkungan pengendapan transisi.
Material sedimen akan mengalami proses kompaksi, sementasi dan petrifikasi
membentuk satuan batupasir.
Setelah satuan batulempung dan satuan batupasir terbentuk, terjadi intrusi
magma dengan kandungan silica sekitar 52-63%. Intrusi ini membentuk andesit
dengan tekstur afanitik dan struktur massif. Mineral-mineral yang dapat dijumpai
yaitu plagioklas, piroksen, serta hornblende.
Yang terakhir, pada Zaman X Kala X terjadi pengendapat material sedimen
yang berasal dari cangkang-cangkang organisme pada lingkungan pengendapan laut
dangkal. Material sedimen mengalami proses kompaksi dan sementasi atau
pengikatan dengan semen bersifat karbonatan. Setelah itu akan terjadi proses
petrifikasi membentuk satuan Batugamping sebagai satuan yang paling muda.
Karena adanya tenaga endogen, batuan akan mengalami upliftingatau
pengangkatan dan membentuk singkapan di atas permukaan bumi.

4.4. Hubungan Antar Lapisan Batuan

Pada peta, dapat terlihat adanya intrusi batuan beku (Andesit) pada satuan
batulempung serta satuan batupasir. Dapat disimpulkan bahwa terdapat cross-cutting
relationship¸ dimana batuan yang mengintrusi umurnya lebih muda daripada batuan
yang diintrusi.
BAB V
PENUTUP

1.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa


1. Satuan batugamping memiliki ketebalan sebesar 550 m serta satuan batu pasir
memiliki ketebalan sekitar 1.825 m. adapun total ketebalan dari intrusi andesit
yaitu sekitar 150 m.
2. Satuan batugamping terendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal.
Adapun satuan batupasir terendapkan pada lingkungan pengendapan laut
dangkal hingga transisi serta satuan batulempung terendapkan pada
lingkungan pengendapan laut dalam.
3. Dijumpai adanya cross cutting relationship, dimana intrusi andesit umurnya
lebih muda dibandingkan dengan satuan batulempung dan satuan batupasir.

1.2. Saran

Praktikum sebaiknya dilakukan di tempat yang lebih luas agar praktikan lebih
nyaman saat melakukan praktikum. Selain itu, waktu pengerjaan praktikum
sabaiknya lebih lama lagi agar praktikan tidak terburu-buru ketika praktikum
berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Khoiril. 1998. Pola Sebaran Foraminifera Dalam Hubungannya Dengan


Stratigrafi Sikuen (Studi Kasus : Daerah Blora dan Sekitarnya/Daerah Lintang
Rendah). Bandung: ITB.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2015. Geologi


Dasar 2.

KM HMG “ARC-SINKLIN”. 2010. Geologi Dasar. Bandung: Universitas


Padjajaran.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. IAGI.

Noor, Djauhari. 2009. Geologi Dasar. Bogor: Universitas Pakuan.

Pambudi, Aan. 2016. https://www.geografi.org/2016/12/keselarasan-dan-


ketidakselarasan.html. (Diakses pada Selasa, 12 Februari 2019 Pukul 19.17)

Anda mungkin juga menyukai