Anda di halaman 1dari 9

REFERAT PENYAKIT MALARIA PADA PENGUIN

OLEH
PUJA HAYU PANGASTUTI
061711535010

DEPARTEMEN PARASITOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
PSDKU BANYUWANGI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium spp, penyakit
ini ditularkan oleh nyamuk vector kosmopolitan dan menginfeksi hampir semua taksa burung
(Valkiunas, 2005). Beberapa burung dianggap sangat rentan terhadap penyakit ini serta diikuti dengan
penyakit yang parah (Levin, II dan Parker, 2011). Penguin merupakan burung yang juga rentan terhadap
penyakit malaria ini, prevalensi infeksi mulai dari 6-43% pada penguin yang terdapat di pameran
terbuka dan pusat rehabilitasi (Vanstreels et al, 2015). Beberapa kasus yang pernah dilaporkan di tahun
2013, diantaranya penguin kecil (Eudyptula minor) yang berasal dari alam liar di penangkaran kebun
binatang Wellington, penguin ini mengalami kelesuan. Penguin ini sempat ditangani di rumah sakit
hewan kebun binatang Wellington dan menerima perawatan supportif, namun tidak dapat tertolong dan
meninggal dalam waktu 24 jam (Sijbranda, et al, 2017). Kasus pada penguin lainnya terjadi pada
Penguin Magellan (Spheniscus magellanicus) ditemukan di kebun binatang Brazil (Bueno et al, 2010),
Korea Selatan (Ko et al, 2008), dan di pusat rehabilitasi di Chile Utara (Carvarajal dan Alvrado, 2009).
Menurut hasil pencatatan dari setiap kasus, parasite dianggap tidak mampu menyelesaikan siklus
hidupnya dalam tubuh hostnya atau beberapa jenis penguin, contohnya pada penguin Gallapagos
(Spehiscus mendiculus) (Kilat et al, 2013). Sebaran dari species Plasmodium berbeda di tiap negara.
Beberapa garis keturunan Plasmodium (Huffia) elongatum GRW106 menunjukkan tingginya
prevalensi infeksi serta patogenitas rendah namun memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan
pada burung endimik di New Zealand (Banda et al, 2013). Hampir semua kasus Avian Malaria pada
penguin dikaitkan dengan parasite Plasmodium relictum dan Plasmodium elongatum (Quillfeldt, 2010).
Penguin merupakan hewan yang rentan terjangkit malaria, terutama wabah pada kebun binatang
menyebabkan mortalitas serta morbiditas yang tinggi (Vanstreels et al, 2014). Alasan mengapa penguin
menjadi hewan yang rentan terhadap malaria tidaklah jelas, terdapat spekulasi bahwa hal ini
dikarenakan penguin berhabitat di tempat yang dingin, kering ataupun di tempat yang berangin maka
hewan akan sedikit terpapar oleh vector (Jovani et al, 2001). Namun hal ini menjadikan penguin
menjadi rentan ketika ia dipindah ke tempat baru, karena tidak pernah terpapar oleh vector maka
penguin tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh antibody sehingga menjadi sangat rentan
mengalami kematian dalam satu kali infeksi (M. L. Grillo et al, 2016). Penyakit malaria ini pun tidak
main-main dalam menyebabkan kerugian karena morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan cukup
tinggi. Beberapa patologi yang ditemukan pada keadaan akut berupa hepatomegaly, splenomegaly,
serta oedema paru. Liver dan limpa dapat berwarna lebih gelap dari keadaan normal karena akumulasi
pigmen dalam sel makrofag (Atkinson, 2008). Cardiomegaly, pericardial effusion serta neprhomegaly
juga dapat ditemukan dibeberapa kasus yang pernah dilaporkan (Grim et al, 2003). Melihat dari
kerugian yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini maka perlu sekali pengetahuan lebih untuk
pencegahan serta pengendalian penyakit.

1.2. Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk memberikan wawasan terhadap pembaca agar lebih memahami
tentang penyakit malaria pada penguin. Karena penyakit ini cukup langka terjadi di Indonesia maka
alangkah baiknya ada edukasi tentang penyakit ini sehingga ketika ditemui kasus seperti ini tidak
kesulitan untuk diadakan penanganan.

1.3. Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat menjadi penambah wawasan bagi pembaca serta dapat digunakan
sebagai acuan teori ketika suatu saat terjadi penyakit malaria pada penguin di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Etiologi
Haemosporidians merupakan golongan obligat heteroxenous protozoa yang menggunakan diptera
penghisap darah sebagai vector, diantaranya vector yang sering membawa protozoa ini adalah Culex, Aedes,
Aniopheles, Culiceta, dan Mansonia. Protozoa penyebab Avian Malaria adalah genus Plasmodium dari
family Plasmodiidae, protozoa ini melewati merogony dari vertebrata host serta eritrosit. Ketika parasite
berkembang pada eritrosit menjadi meront dan gametosit, parasit menghasilkan malarial pigmen atau
haemozoin (Valkiunas, 2005).
Terdapat lebih dari 200 species yang teridentifikasi pada genus Plasmodium. Parasit ini
dideskripsikan sebagai parasit yang dapat menginfeksi reptil, burung, dan mamalia (Martinsen dan Perkins,
2013). Meskipun parasite ini berasal dari genus yang sama tetapi species harus benar-benar dijabarkan
dengan jelas karena per species memiliki filogenetik grup yang berbeda (Martinsen and Perkins, 2013).
Pada penguin tujuh parasite telah didokumentasi yakni Plasmodium (Haemoba) relictum
(Fantham dan Porter, 1944), P. (Huffa) elongatum (Huff dan Shiroisi, 1962), P. (Bennettinia) juxtaneuclear
(Grim et al, 2003), P. (Haemamoeba) tejerai (Silveria et al, 2013). P. (Haemamoeba) cathemerium, P.
(Novyella) nucleophillum dan P. (Novyella) unalis (Vanstreel et al, 2015). Pada berbagai kasus yang
dilaporkan, species yang sering menginfeksi pada penguin adalah P. relicticum serta P. elongatum
(Vanstreel et al, 2015).

2.2. Siklus Hidup


Gambar 1. Siklus hidup dari Plasmodium di dalam tubuh penguin (menggunakan siklus hidup Plasmodium
relictum sebagai contoh).
Vector menggigit penguin dibagian yang terekspos seperti daerah sekitar mata, lengan, kaki, dan
paruh (Vanstreel dan Parsons, 2014). Ketika vector menggigit penguin maka saliva dari vector yang
mengandung sporozoit akan diproses dalam reticulo endothelial sel (makrofag, monosit, dan endothelial
sel) dekat dengan lokasi nyamuk menggigit atau menginjeksikan salivanya dan akan diproses dalam
generasi pertama dari exoeritrositik meront (cryptozoit) (Huijiben et al, 2007). Kemudian meront akan
berlanjut ke proses aseksual multiplikasi menjadi bentuk mononuklear yang lebih kecil yakni merozoit.
Ketika sel dari host pecah, merozoit akan dibebaskan dan dapat menyebar ke sistem peredaran darah untuk
melanjutkan siklus hidup Selanjutnya (Atkinson, 2008).
Setelah menginvasi kedalam eritrosit, merozoit berkembang di dalam tropozoit kemudian tumbuh
menjadi meront eritrositik. Dengan cara lain, beberapa merozoit berkembang dalam gametosit. Bentuk dari
morfologi meront eritrositik dan gametosit dari masing-masing spesies Plasmodium berbeda, sehingga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi protozoa tersebut. Ketika menginfeksi
eritrosit, plasmodium akan haemozoin granules (malaria pigmen) dengan bahan-bahan hasil cerna yang
tidak tercerna dengan baik oleh haemoglobin host. Kebanyakan Plasmodium hanya akan menginfeksi
eritrosit yang sudah dewasa. Namun ditemukan juga meront dari spesies dalam subgenus Huffia juga dapat
berkembang pada eritrosit muda (Atkinson, 2008).
Fase final dari siklus hidup Plasmodium adalah gametogoni. Ketika merozoit berkembang dalam
gametosit, mereka berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet. Fase ini tetap berada dalam erirosit
hingga ditelan oleh vector (Huijben, 2007). Setelah dihisap oleh vector, akan terjadi fertilisasi didalam
tubuh vector dan dihasilakan ookinet dalam waktu 16-48 jam. Ookinet akan bergerak ke dan berkembang
di lembaran epithelial dari midgut. Kemudian dibawah lamina basal ookinet akan membulat dan
membentuk oosit.Selama oosit berkembang, sporogony mengambil tempat dan membentuk sporozoit.
Ketika dewasa, sporozoit dibebaskan dari haemocole vector dan migrasi ke glandula salivaria vector.
Sporozoit akan diinokulasikan ketika vector menghisap darah host (Huijben et al, 2007).

2.3. Patogenesa
Malaria pada penguin merupakan penyakit musiman. Pada musim panas atau pada awal musim
gugur outbreak sering terjadi. Kasus biasanya terjadi di bulan Juni-Oktober (Chitty et al, 2015). Infeksi
biasanya terjadi ketika penguin ditempatkan di tempat terbuka dan mortalitasnya biasanya tinggi. Ketika
parasite diinjeksikan kedalam tubuh penguin, parasite akan menuju sel-sel endotel , pada fase ini akan
terjadi parasitemia level rendah yang hampir sama sekali tidak menunjukkan gejala klinis. Plasmodium
dapat meneybabkan infiltrasi leukosit di berbagai jaringan (Vanstreel, 2015). Gejala klinis seperti lesilesi
pada paru, limpa dan hepar dapat terjadi karena vascular oklusi dan pecahnya endotel karena terdapat
meront dalam jaringan endothelial. Akibatnya akan terjadi hipoksia dan nekrosis pada berbagai jaringan
(Marzal, 2012). Beberapa ahli menyatakan bahwa destruksi dari eritrosit tidak cukup untuk menyebabkan
gejala klinis berupa anemia karena parasitemia dalam kasus ini hanya level rendah. Pada beberapa kasus
kematian dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan karena terjadi perusakan exoerytrostik oleh merogoni
di endotel pembuluh darah yang menginduksi darah ke otak (Marzal, 2012). Pada kasus lain juga ditemukan
bahwa kematian disebabkan oleh tersumbatnya saluran pernafasan karena terjadi pneumonia dan oedema
paru (Vanstreels et al, 2015).
2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat diamati pada malaria penguin adalah kehilangan nafsu makan,
kehilangan berat badan, lethargy, lemas, membrane mukosa pucat, berak kehijauan (Campos et al, 2014).
Beberapa kasus juga dilaporkan adanya neurological sign, inkoordinasi gerak, konvulsi dan lumpuh
(Cranfield, 2003). Gejala klinis dari malaria pada penguin tidak spesifik dan dapat dikelirukam dengan
penyakit lain seperti Aspergillosis, helminthiasis, infeksi west nile, dan gastroenteritis (Vanstreel et al,
2015). Gejala klinis saja tidak cukup untuk mendiagnosa penyakit karena tidak adanya gejala yang spesifik
pada malaria penguin.

2.5. Distribusi Penyakit

Gambar 2. Perkembangbiakan penyakit sedang marak (warna gelap) penyebaran pada musim dingin (warna
terang) terjadi pada Magellan penguins (Spheniscus magellanicus) (Birdlife International, 2012).

Plasmodium dilaporkan menginfeksi penguin Magellan di pusat rehabilitasi di Florian’opolis


Brazil pada tahun 2009 (Silveira et al, 20130. Ditemukan juga Plasmodium tejerai di San Clemente del
Tuyú lebih dari 1.200 km jauhnya dari Florianópolis dan 5.200 km jauhnya dari Trujilo. Selain di Amerika
Selatan, malaria pada penguin juga ditemukan di New Zealand dan Australia (Schoener et al, 2014), serta
Israel (Lublin A et al, 2018).
2.6. Diagnosa
Terdapat banyak alternative untuk mendiagnosa penyakit malaria pada penguin selain melihat
dari gejala klinis. Diantaranya adalah menggunakan ulasan darah tipis, PCR, dan histopatologi. Untuk lebih
lanjut dapat dilakukan pemeriksaan post mortem (Lublin A et al, 2018).
Pada metode ulas darah tipis digunakan pewarna Giemsa. Darah lebih baik diambil dari hati,
limpa, dan paru. Dalam beberapa kasus juga bisa melalui ginjal dan otak (Lublin A et al, 2018). Apabila
penyakit sudah terlihat parah sample darah dapat diambil dari bagian tubuh mana saja karena parasite sudah
menyebar ikut aliran darah. Sample darah difiksasi dengan methanol selama 4-5 menit, setelah kering
diwarnai dengan Giemsa stain selama 30 menit lalu diamati dengan mikroskop cahaya/ setiap sample
diamati 10-20 bidang dengan pembesaran 100-500X (Lublin A et al, 2018).

Gambar 3. Gambar mikroskopis parasite pada ulasan darah tipis penguin yang mengidap malaria.

Metode lain yang dapat digunakan adalah metode PCR. Segmen organ (hati, limpa, paru, otak,
dan ginjal) disimpan dalam suhu 20℃ ketika menunggu untuk diproses. Tiap segmen orang yang digunakan
sebagai sample diekstraksi DNA dengan menggunakan Kit DNA Extraction. Metode ini menggunakan
reaksi berantai polymerase. Genus spesifik primer dirancang berdasarkan Plasmodium 18s kecil RNA
ribosom unit (ssRNA). PCR akan menghasilkan fragmen yang diharapkan lebih dari 1600 pasangan basa
(bp), serta produk yang bersarang menghasilkan konservatif 240 bp band (Lublin A et al, 2018).
Gambar 4. Hasil pembacaan polymerase chain reaction pada dugaan malaria pada penguin.
Metode lain yang dapat dilakukan adalah histopatologi. Metode ini dilakukan dengan cara
membuat preparat histopatologi dari organ yang mengalami perubahan patologi karena malaria kemudian
dilakukan pewarnaan dan pengamatan dibawah mikroskop cahaya dengan berbagai pembesaran untuk
megetahui perubahan histopatologi dari jaringan tersebut (Lublin et al, 2015).

Gambar 5. Gambaran histo patologi serta perubahan post mortem pada penguin dengan penyakit malaria.
Untuk melihat perubahan patologi organ atau perubahan post mortem juga dapat dilakukan
nekropsi lalu melihat organ yang rawan terserang seperti (hati, limpa, paru, otak, dan ginjal) kemudian
diamati dan dibandingkan dengan keadaan normal dari organ.

2.7. Pengobatan
Pengobatan yang paling efektif dilakukan adalah pengobatan yang diberikan pada saat gejala awal
telah muncul (Cranfield, 2003). Sayangnya pengobatan yang dilakukan terlalu awal pun dapat mengganggu
sistem imun sehingga penguin dapat resisten terhadap obat yang diberikan (Cranfield, 2003). Obat
antimalarial harus diberikan di waktu yang tepat, sehingga parasitemia dapat ditekan dengan sempurna.
Obat antimalarial yang sering digunakan adalah chloroquine dan primaquine. Baru-baru ini beberapa kebun
binatang mencoba obat lain seperti mefloquine atau campuran dari atovaquone dan proguanil, obat ini juga
menunjukkan hasil yang efektif untuk malaria (Palinauskas et al, 2009). Efek samping dari obat juga harus
diperhatikan, contohnhya jangan memberikan Pyrimethamine pada penguin betina yang sedang bunting
atau dalam masa kawin, karena obat ini merupakan inhibitor folic acid sehingga memiliki efek teratogen.

2.8. Pencegahan
Pencegahan dari penyakit malaria pada penguin dapat dilakukan dengan tiga hal yakni
mengurangi vector sebaik mungkin dengan menggunakan physical barrier untuk mencegah vector
mendekati penguin kemudian dapat pula dilakukan dengan mengginakan obat-obat profilaksis untuk
mencegah terjadinya infeksi dan paparan parasite, dapat juga dilakukan dengan membiarkan imun dari
penguin untuk melawan infeksi yang masuk (Vanstreel et al, 2014). Dapat juga digunakan bakteri Bacillus
thuringensis untuk membunuh larva dari vector (Tetreau et al, 2013).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Malaria pada penguin disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium, spesies yang sering
ditemukan pada malaria penguin adalah P. relicticum dan P. elongatum. Penyakit ini ditandai dengan
beberapa gejala klinis seperti kehilangan nafsu makan, kehilangan berat badan, lethargy, lemas, membrane
mukosa pucat, berak kehijauan, namun pada penguin tanda awal kurang begitu teramati karena parasitemia
hanya pada low level. Diagnose penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan ulas darah, histopatologi,
PCR, dan perubahan post mortem. Diagnose dengan melihat gejala klinis susah diamati karena tidak ada
gejala klinis yang spesifik. Terapi penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan seperti
primaquine, chloroquine, mefloquine atau campuran dari atovaquone dan proguanil. Pencegahan dari
penyakit juga dapat dilakukan dengan memperhatikan sanitasi terumata menghindari vector serta larvanya.
Daftar Pustaka

Bueno, M. G., Lopez, R. P. G., Menezes, R.M.T., Costa-Nascimento, M.J., Lima, G.F.M.C., Araujo,
R.A.S., Guida, F.J.V. & Kirchgatter, K. (2010). Identification of Plasmodium relictum causing
mortality in penguins (Spheniscus magellanicus) from Sao Paulo Zoo, Brazil. Veterinary
Parasitology, 173, 123-127.
Chitty, J., Barrows, M., Feltrer, Y., Flach, E, Grillo, M., Justice, W., Sayers, G., Thornton, S. & Whitehead,
M. (2015). A review of avian malaria in penguins in UK Zoos. In N. Chai, M. Huynh, C. Pignon &
L. Schilliger (Eds), Proceedings of the 2nd International Conference on Avian Herpetological and
Exotic Mammal Medicine (ICARE) (p. 263). Paris.
Grillo, M.L. Vanstreel, R.E.T., Wallace, R, Garcia-Parraga, D., Braga, E.M., Chitty,J., Catao-Dias,J.L. and
Madeira de Carvalho,L.M.: Malaria in penguins – current perceptions. Avian Pathol. 45:393-
407,2016.
Levin, I.I. and Parker , P.G.:Hemosporidian parasites: impacts on avian host. In: Miller E., Fowler M., eds.
Fowler’s zoo and wild animal medicine. Missouri:Elsevier Suanders, pp. 356-363, 2011.
Lublin, A., Lapid, R., Mechani, S., Farnoushi, Y., Goldbach, C. and Edery, N.: Unusual Prevalence of
Avian Malaria (Plasmodium sp.) in the Adult Population of Humboldt Penguins (Spheniscus
humboldti) at an Israel Zoo Between Years 2012 and 2015. Israel Journal Veterinaty Medicine vol
73 (2), 2018.
Valki u nas G. Avian Malaria Parasites and Other Haemosporidia. CRC Press, Boca Raton, FL, USA,
2005.
Vanstreel, RET. Filho de Silva, RP, Kolesnikovas, CKM, Bhering, RCC, Ruoppolo, V, Epiphanio, S.,
Amaku M, Ferreira Jr. FC, Braga EM , Catao-Dias JL. Epidemologi and pathology of avian malaria
in penguins undergoing rehabilitation in Brazil. Veterinary Research 46, 30, 2015.

Anda mungkin juga menyukai