Anda di halaman 1dari 20

15

BAB II

CIREBON MASA TRADISIONAL

A. Proses Terbentuknya Kerajaan Islam Cirebon


Cirebon, secara teritorial geografis terletak di tepian pantai utara Jawa
(Pantura), yang dilengkapi dengan sungai-sungai yang sangat penting
peranannya sebagai jalur transportasi ke pedalaman yang letaknya di sekitar
pelabuhan Cirebon yaitu : Sungai Cimanuk, Pekik, Kesunean dan Cilosari.
Kondisi alam yang demikian sebenarnya berpotensi untuk menjadi pusat
berkembangnya peradaban, karena dengan keberadaannya yang strategis itu
seharusnya mampu mengikuti gejala umum kota-kota tua yang letaknya di
tepian air. Namun hal tersebut tidak terjadi pada Cirebon, setidaknya di masa
pengaruh Hindu.
Pada masa itu Cirebon belum menampilkan daerah atau kota yang
berarti, ia sekedar sekumpulan daerah bawahan kekuasaan Hindu yang
berpusat di Kawali Galuh. Sebelum masuknya agama Islam, wilayah Cirebon
telah di huni oleh sejumlah penduduk dan telah ada bentuk-bentuk
pemerintahan meskipun dalam pola yang masih sederhana dan terbatas,
menurut catatan lama di wilayah ini telah berdiri beberapa kerajaan Singapura,
Japura, dan Keadipatian Palimanan di bawah pemerintahan Kerajaan Rajagaluh
22
.
Cirebon yang dulunya dikenal dengan nama Caruban Nagari, 23
menampakkan diri sebagai pelabuhan yang mulai dikenal orang, ketika

22
Kerajaan Rajagaluh merupakan Kerajaan yang masih dibawah naungan kerajaan induk yaitu
Pakuan Pajajaran RH Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan
Kerajaan Cirebon 1479-1809, (Bandung : Tarsito, 1983)
23
Kata Caruban berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya campuran. Dalam konteks sejarah
Cirebon bercampurnya penduduk yang berasal dari berbagai wilayah nusantara dan luar nusantara
dalam proses akulturasi kebudayaan. Interaksi yang sangat intensif tersebut dimungkinkan di
Cirebon pada masa itu, karena lokasinya yang sangat strategis baik dari jalur pelayaran antarpantai
dan juga perjalanan darat dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Sedangkan Cirebon berasal dari kata Ci
yang berarti air atau aliran sungai, Rebon berarti ikan atau udang kecil. Lihat, Mardiwarsito,
Kamus Jawa Kuno Indonesia, (Ende : Nusa Indah, 1986), hlm. 137.
17

pengaruh Islam secara perlahan memasuki daerah-daerah pantai utara Jawa.


Sebuah manuskrip berbahasa China “Shun-Feng Hsiang-Sung” yang
menjelaskan adanya intruksi jalur pelayaran dari Shun-t’a (Sunda Pajajaran) ke
arah timur Pantai Utara menuju Che-Li-Wen (Cirebon).24 Keberadaan Cirebon
sebagai pelabuhan diperkuat oleh laporan-laporan yang dibuat oleh Tome Pires
dalam kunjungannya ke Cirebon pada tahun 1513.25 Ia menggambarkan Kota
Cirebon sebagai kota yang mempunya pelabuhan yang bagus yang pada waktu
ia datang menyaksikan 3-4 jung (perahu besar buatan negeri Cina) dan kurang
lebih 10 lancara. Ia menggambarkan juga bahwa kota Cirebon dapat dicapai
dengan menggunakan jung dan terdapat pasar yang jauhnya 1 km dari istana.
Di kota itu tinggal 7 pedagang besar di antaranya adalah Pate Qodir seorang
bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala perkampungan Jawa di
Malaka yang kemudian diusir oleh tentara Portugis karena berkomplot dengan
tentara Demak yang menyerbu Malaka. 26
Cirebon pada mulanya merupakan desa nelayan yang bernama Dukuh
Pesambangan27 (sekarang menjadi komplek Astana Gunung Jati kurang lebih 5
km arah utara dari Kota Cirebon). Di dukuh Pesambangan inilah setiap hari
selalu ramai dikunjungi orang untuk keperluan dagang. Sebelah timur dari
komplek pemakaman terdapat Pelabuhan Cirebon pertama bernama Muara Jati.
Pelabuhan ini ramai disinggahi oleh perahu-perahu dagang dari berbagai
negara antara lain Cina, Arab, Parsi, Bagdad, India, Malaka, Tumasik

24
Intruksinya adalah : Dalam pelayaran ini dari Shun-Ta ke timur sepanjang Pantai Utara Jawa,
kapal-kapal menuju arah 187,5 selama empat penjagaan sampai tiba di Che-Li-Wen (Cirebon)
setelah menyusuri pantai Indramayu. Kapal-kapal Wan-Tan (Banten) menuju arah timur sepanjang
pantai Utara Jawa melalui Chia-Liu-Pa (Sunda Kelapa). Manuskrip Cina tersebut yang
menceritakan intruksi jalur pelayaran disusun sekitar tahun 1430 M sekarang tersimpan di
Bodleian Library (Oxford). Hsiang Ta (ed). 1982, hlm. 66-68.
25
Armando Cortesao (ed), The Summa Oriental of Time Pires : An Account of The East, (London:
Haklyut Society), hlm. 183. Hingga penulisan ini dimuat, penulis belum berhasil menemukan buku
karya Armando Cortesao, hanya mengutip dari Edi S. Ekajati, Babad Cirebon Edisi Brandes
Tinjauan Sastra dan Sejarah, (Bandung : Fak. Sastra UNPAD, 1978) hlm. 52 dan Dennys
Lombard, op. Cit, hlm 55-56.
26
R.A. Kern dan Hoesein Djaiadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon (Terj), (Jakarta :
Bhratara), hlm. 14-15, 24.
27
Kata Pesambangan berasal dari kata Sambang yang berarti datang atau berkunjung.
Pesambangan merupakan bentukan dari Pa+Sambang+an yang berarti tempat yang dikunjngi.
Mardisuwoto, op. Cit, hlm. 498.
18

(Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Hilir mudiknya


perahu dagang dari berbagai negara dan wilayah ini menyebabkan dukuh
Pesambangan menjai lebih ramai dan keadaan masyarakatnya makmur dan
sejahtera. Islam sebagai agama baru di Cirebon telah diperkenalkan beberapa
saat sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati. Tokoh-tokoh yang mengawali
memperkenalkan Islam di wilayah Cirebon di antaranya adalah H. Purwa
(1337 M). Ia merupakan pemeluk Islam pertama di Cirebon dan
menyebarkannya di Cirebon Girang.28 Sementara itu di daerah Pesisir mendarat
seorang juru da’wah dari Makkah yang bernama Syeikh Nurul Jati (Syeikh
Datul Kahfi) beserta 13 pengikutnya yang kemudian disusul dengan
kedatangan 4 orang juru da’wah berasal dari Baghdad yaitu Sayid Abdul
Rahman yang lebih dikenal dengan Pangeran Panjunan, Sayid Abdul Rahim
(Pangeran Kejaksan), Sayid Abdullah dan Siti Baghdad. Di kaki Gunung Jati
sebelah utara para juru da’wah tersebut mendirikan pondok
pesantren/pengguron dan dua buah sumur. Pondok pesantren yang didirikan
dibuat samaran dengan maksud untuk menghindari ancaman dari orang-orang
yang tidak menyenangi agama baru yaitu Islam. 29
Islam mengalami perkembangan yang menggembirakan di Cirebon
ketika penyebarannya dilakukan oleh Syeikh Syarif Hidayatullah atau yang
lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Berdasarkan beberapa literatur yang
digunakan menginformasikan bahwa disamping sebagai seorang juru da’wah,
ia juga memegang tampuk pemerintahan kenegaraan Cirebon yang diwarisinya
dari Ki Somadullah atau Pangeran Cakrabuana yang merupakan pamannya
sendiri sekaligus mertuanya, dengan gelar “ Ingkang Sinuhun Sunan Gunung
Jati Purba Wisia Panetep Panagama Awliyah Kholifatur Rasulullah
Sallawwahu Alaihi Wassalam”.30 Pada masa pemerintahannya yang lama, 89
tahun (1479-1568), tentunya banyak perubahan yang menyangkut agama,

28
Atja & Ayatrohaedi, Nagarakretabhumi karya Kelompok Kerja di bawah Tanggungjawab
Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon, (Bandung : P&K, 1986), 1986, hlm 14.
29
K. Muslim Malawi, Sekelumit Sejarah Sunan Gunung Jati dan Silsilahnya, (Cirebon: Cahaya,
1980), hlm. 7-8.
30
Achmad Opan Safari, Peta Naskah Cirebon, Makalah disampaikan dalam forum diskusi bulanan
Pusat Kajian Naskah Sejarah dan Budaya (PKSB) jurusan Adab STAIN Cirebon, 7 Maret 2009.
19

sosial, politik dan budaya serta merasakan berbagai situasi dari mulai masa-
masa sulit hingga kejayaan dan kewibawaan Cirebon.31

B. Cirebon Masa Sunan Gunung Jati


Selama masa pemerintahan Sunan Gunung Jati yaitu pada abad ke enam
belas terjadi proses transformasi luar biasa di bidang budaya dan di kota-kota
pelabuhan di Jawa yang ketika itu merupakan pusat-pusat kekayaan dan ide-
ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan
makam-makam dibangun dalam perpaduan batu bata dan seni hias yang
sangat indah.
Langkah awal paling bersejarah yang diambil oleh Sunan Gunung Jati
adalah pada tahun 1483 32 beliau menghentikan pengiriman upeti garam dan
terasi yang tiap tahun harus dikirimkan ke ibukota Pakuan Pajajaran, sebagai
persembahan dan tanda takluknya kerajaan kecil kepada kerajaan besar.
Dengan demikian sejak saat itu Cirebon di bawah kepemimpinan Sunan
Gunung Jati menjadi negara merdeka dan tidak lagi berada di bawah pengaruh
Kerajaan Pajajaran yang Hindu.
Untuk mengantisipasi serangan dari Pajajaran akibat dari penghentian
pengiriman upeti tersebut dan memelihara keamanan negara maka dibentuklah
pasukan keamanan yang disebut dengan pasukan Jagabaya, dengan komandan
tertingginya dipegang oleh Tumenggung, yang jumlah dan kualitasnya
memadai baik untuk ditempatkan di pusat kerajaan, di pelabuhan maupun di
wilayah-wilayah yang dikuasai Cirebon.
Dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan, baik di pusat maupun di
wilayah bawahan, 33 telah melakukan penataan yang diselaraskan dengan

31
RH. Unang Sunardjo, op. Cit, hlm. 70-75.
32
Pangeran Wangsakerta, op. Cit, hlm. 13.
33
Wilayah bawahan Kerajaan Cirebon hingga tahun 1530 sudah meliputi lebih dari separoh
Propinsi Jawa Barat sekarang dan dihuni oleh banyak penduduk. Sekalipun demikian sebagian
besar penduduk masih beragaman non-Islam. Hal tersebut akan dapat menimbulkan bahaya bagi
kelangsungan hidup kerajaan Cirebon yang berdasarkan Islam. Unang Sunardjo, Masa Kejayaan
20

kebutuhan sesuai situasi, kondisi sosial dan budaya saat itu. Sunan Gunung
Jati telah menata gelar jabatan yang ada, antara lain untuk kepala persekutuan
masyarakat terkecil yang penduduknya sebanyak 20 somah (kepala keluarga)
dipimpin oleh Ki Buyut; beberapa unit kebuyutan disebut sebuah dukuh/desa
yang dipimpin oleh kuwu; kumpulan beberapa dukuh/desa dipimpin oleh Ki
Gede (Ki Ageng istilah yang dipakai di Jawa Tengah), beberapa Gede
dipimpin oleh Bupati atau Adipati atau Tumenggung.34 Para Adipati, Bupati,
Tumenggung wajib menghadiri rapat bulanan dalam istilah lama disebut Seba
Keliwonan di ibukota negara setiap hari Jum'at Kliwon. Rapat bertempat di
Masjid Agung Sang Ciptarasa dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati
sebagai kepala negara. Tujuan mendasar dari seba adalah agar pemerintah
pusat mengetahui secara langsung kesetiaan para pejabat pejabat daerah
terhadap pemerintah pusat. Dengan kata lain, seba adalah alat kontrol
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Sistem pengendalian
pemerintahan di pusat dan di daerah dilakukan dengan mengangkat para
kerabat dan ulama menjadi pejabat penting untuk mengurus bidang-bidang
tertentu, termasuk sebagai kepala daerah. Hal ini merupakan salah satu bagian
dari sistem pemerintahan kerajaan. Pada awal pemerintahannya Sunan
Gunung Jati membenahi kota Cirebon (sebagai pusat kerajaan) dengan
membangun berbagai sarana, baik sarana untuk kepentingan pemerintahan
atau perkembangan kota Cirebon sebagai pusat pemerintahan, maupun untuk
kepentingan syiar Islam. Kiranya Sunan Gunung Jati memahami bahwa dalam
pemerintahan tradisional, keraton atau pendopo, alun-alun, dan masjid agung
merupakan komponen (infrastuktur) utama di pusat pemerintahan. Sekitar
tahun 1483, Sunan Gunung Jati memperluas komplek Keraton Pakungwati, 35
sehingga memiliki luas lebih kurang 20 hektar. Pada areal seluas itu didirikan
bangunan-bangunan pelengkap keraton, dikelilingi oleh pagar tembok dua
setengah meter dan tebal delapan puluh sentimeter. Sejalan atau bersamaan

Kerajaan Cirebon Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan, Cirebon: Yayasan Keraton
Kasepuhan Cirebon, t.t., halm. 38.
34
Ibid, hlm. 39.
35
Bangunan Keraton Pakungwati adalah Keraton Kasepuhan yang sekarang.
21

dengan kegiatan itu, dibangun alun-alun di arah depan komplek keraton. Alun-
alun di sebut “Sangka Buana”, di tengahnya ditanam pohon beringin jenggot.
Untuk kepentingan peribadatan umat dan syiar Islam, dibangun masjid
agung yang setelah berdiri diberi nama “Sang Cipta Rasa”.36 Dalam Babad
Cirebon disebutkan bahwa masjid agung itu dibangun pada tahun 1489.
Arsitek utamanya adalah Raden Sepat, mantan arsitek kerajaan Majapahit.
Pembangunan masjid tentu berkaitan erat dengan keberadaan pemeluk agama
Islam di daerah setempat yang jumlahnya terus meningkat. Pada sisi lain,
pembangunan sarana ibadah itu berkaitan dengan Cirebon sebagai kota
pelabuhan. Cirebon merupakan negara maritim yang pada zamannya banyak
disinggahi oleh para pedagang-pedagang muslim dari berbagai negara, mereka
itu di antaranya pedagang dari Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik,
Pasai, Jawa Timur, dan Palembang. 37 Dengan kata lain, keberadaan Masjid
Agug Sang Cipta Rasa merupakan salah satu potensi Islam di Cirebon, yang
penting artinya bagi pengembangan dan penegakkan syiar Islam.
Beberapa waktu kemudian, dibangun jalan besar dari alun-alun keraton ke
pelabuhan. Tujuan utama pembangunan jalan itu adalah sebagai fasilitas
utama bagi utusan-utusan negara lain atau saudagar asing yang
berkepentingan untuk menemui Raja Cirebon. Jalan itu dibangun untuk
memudahkan hubungan keraton dengan pelabuhan. Dibangun pula istal kuda
kerajaan dan beberapa pos penjagaan. Keberadaan sarana yang penting bagi
lalu lintas orang, menyebabkan mobilitas orang ke Cirebon menjadi
meningkat. Dalam kondisi itu, agama Islam pun turut menyebar. Sejalan
dengan kegiatan penyebaran agama Islam di luar daerah Cirebon, wilayah
kerajaan Cirebon makin meluas. 38
Dalam perkembangannya Sunan Gunung Jati lebih banyak
mengkhususkan diri dalam masalah syiar Islam ke daerah pedalaman dari
pada pemerintahan. Ia menyerahkan mandat kekuasaannya kepada Pangeran

36
Masjid ini berlokasi di sebelah kiri keraton,sebelah barat alun-alun, menghadap ke arah timur.
37
Sunardjo Unang, 1983: 16.
38
A Sobana Hardjasaputra dkk, Cirebon Dalam Lima Zaman (Disbudpar Provinsi Jawabarat:
2011), hlm 66-67.
22

Pesarean.39Agama Islam dari Cirebon semakin berkembang ke beberapa


daerah sekitarnya, bahkan sampai ke pedalaman Jawa Barat. Banyak daerah
yang menyerah atau mengabdi kepada Sunan Gunung Jati. Seperti penguasa
Luragung. 40 Ki Gedeng Kemuning beserta penganutnya bersedia masuk
Agama Islam pada tahun (1481). Kemudian Ki Gedeng berjanji akan
membantu Sunan Gunung Jati dalam syiar Islam ke daerah lainnya.
Keberhasilan ini berkat keramahan, serta kewibawaan Sunan Gunung Jati.
Proses pengislaman di Luragung ada kaitannya dengan perkawinan antara
Sunan Gung Jati dengan Ong Tien dari Cina. Dalam Babad Cirebon,
dikemukakan ketika itu Sunan Gunung Jati dengan Ki Gedeng Kemuning
sedang bermusyawarah, kemudian tiba tiba datang rombongan Ong Tien dari
negeri Cina sebanyak tiga buah kapal bermuatan bermuatan seratus orang pria
dan lima puluh orang wanita serta membawa barang-barang berharga di
antaranya piring-piring panjang, kong-kong, dan bokor-bokor kuningan.
Kemudian salah seorang Patih dari rombongan putri Ong Tien menyampaikan
maksudnya kepada Sunan Gunung Jati, bahwa kedatangannya diutus oleh
Raja Ong The untuk mempersembahkan seluruh isi kapal termasuk puteri Ong
Tien untuk Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati menerima dengan syarat
terlebih dahulu semua harus masuk Islam. Syarat tersebut disepakasi baik oleh
Ong Tien maupun oleh semua pengikutnya. 41
Selain di wilayah Luragung, Sunan Gunung Jati juga mengislamkan
wilayah Talaga.42 Proses pengislaman di Talaga dengan di Luragung sangatlah
berbeda. Di Talaga terjadi kesalah pahaman antara pengawal Sunan Gunung

39
Putranya dari hasil pernikahan dengan Nyai Tepang Sari. Syang, Pangeran Pesarean gugur di
Demak pada tahun 1546. Setelah Pangeran Pesarean meninggal menantu Sunan Gunung Jati lah
yang mempin kekuasaan yaitu Fattahillah atau Fadillah Khan. Karena Sunan Gunung Jati masih
berfokus pada penyebaran syiar Islam di daerah-daerah pedalaman.
40
Luragung adalah suatu daerah yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan. Di selatan wilayah
tersebut berbatasan langsung dengan Kabupaten Ciamis dan di sebelah timur daerah tersebut
berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Tengah.
41
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kota Dagang Cirebon Sebagai
Bandar Jalur Sutera, Jakarta: 1998, hlm 29.
42
Talaga adalah suatu wilayah bekas Kerajaan Galuh yang sekarang berada di Kabupaten
Majalengka.
23

Jati dengan pengawal Prabu Pucuk Umum. 43 Akhirnya peperangan pun tak
terelakan. Dalam peperangan itu, pengawal Prabu Pucuk Umum terdesak dan
Putra Mahkota Prabu Pucuk Umum, Arya Salingsingan turun tangan dengan
bersenjatakan Ki Cuntabarang milik Ayahandanya. Pengawal Sunan Gunung
Jati terdesak dan mundur sampai ke posisi kedua di mana Sunan Gunung Jati
berada. Melihat kejadian tersebut, Sunan Gung Jati maju ke depan untuk
menghadapi Arya Salingsingan. Arya Salingsingan begitu berhadapan dengan
Sunan Gunung Jati menjadi tidak berdaya, karena melihat penampilannya
yang begitu berwibawa dan agung serta tidak mencerminkan sikap
bermusuhan. Akhirnya Arya Salingsingan memohon maaf dan bersedia masuk
agama Islam beserta para pengawalnya. Mengetahui kejadian tersebut Prabu
Pucukumum dan putrinya Nhay (Nyai) Mas Tanjungrangagang melarikan diri
ke Gunung Ciremai, karena tidak mau tunduk kepada Sunan Gunung Jati. 44
45
Begitu pula proses pengislaman di Rajagaluh dilakukan melalui
peperangan. Hal itu disebabkan adanya utusan dari Prabu Cakraningrat yang
dipimpin oleh Demang Dipasara, supaya Kerajaan Cirebon mengakui sebagai
bagian atau bawahan dari Negara Rajagaluh. Akan tetapi, utusan Rajagaluh
ditolak oleh penjaga Kerajaan Cirebon dan disuruh pulang kembali. Adanya
penolakan ini, maka Raja Galuh memerintahkan kepada Dipati Kiban
Panglima Rajagaluh supaya membuat garis pertahanan di daerah Palimanan
untuk kemudian mengadakan penyerangan ke Cirebon. 46 Adanya pasuka
Prabu Cakraningrat di Palimanan dengan keadaan siap tempur. Dipati Aria
47
Kemuning memberi tahu kepada Sunan Gunung Jati. Kemudian Sunan
Gunung Jati memerintahkan kepada putranya Dipati Aria Kemuning lengkap
dengan pasukannya pergi ke Palimanan untuk menyampaikan pesan kepada
utusan Prabu Cakraningrat supaya Prabu Cakraningrat beserta rakyatnya

43
Raden Rangga Mantri (Prabu Pucuk Umum) putra Raden Munding Sari Agung, keturunan
Prabu Siliwangi atau Pajajaran. Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Talaga_Manggung, Di Unduh pada jam 01.30. tanggal 20
Agustus 2017.
44
Sunardjo Unang,1983, hlm 86-87 : Sulendraningrat, 1984, hlm 86-88.
45
Sekarang Masuk Wilayah Kabupaten Majalengka.
46
Sulendra. 1975, hlm 24-25 : Rais: 1986, hlm 133-134.
47
Putra Angkat Syarif Hidayatullah dengan Ong Tien dari anak Ki Gedeng Luragung.
24

memeluk agama Islam dan jangan terjadi pertumpahan darah di kedua belah
pihak. Akan tetapi, perdamaian ini gagal dan terjadilah perang yang
berkecamuk. Pasukan Rajagaluh dapat dihancurkan pada tahun 1528 Masehi
dan Raja Prabu Cakraningrat melarikan diri, sedangkan rakyat dan pasukan
menyatakan masuk agama Islam. 48
Menilik peliknya persoalan proses pengislaman di tanah Rajagaluh yang
berakhir dengan pertumpahan darah, Sunan Gunung Jati tetap melakukan
dakwahnya di berbagai daerah. Perjuangannya kali ini tidak menimbulkan
pertikaian, melainkan berlangsung dengan baik dan efektif. Dalam dakwahnya
kali ini Sunan Gunung Jati menggunakan metode syiarnya melalui pendekatan
sosial budaya yang akomodatif. Yaitu dengan cara mengajak masyarakat
untuk memahami tentang pengetahuannya akan mitos dan legenda.
Keberhasilan dakwah yang diperoleh Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan
masyarakat tidak lepas pula dari peranannya sebagai seorang da’i yang shalih
dan penuh keteladanan sehingga akhirnya wilayah dakwahnya meluas
meliputi berbagai daerah seperti daerah Pegadingan (wilayah barat dan selatan
Sumedang), Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung), Batu Layang,
Timbanganten (sekarang kabupaten Garut) dan pasir luhur.
Figur yang pantang menyerah yang dimiliki Sunan Gunung Jati telah
banyak mendulang kesuksesan pengislaman di berbagai daerah. Kali ini Sunan
Gunung Jati berdakwah di daerah yang sekarang telah menjadi Indramayu dan
Tasikmalaya. Penyebaran agama yang dinilai begitu baik dan bijaksana
mendulang kesuksesan pengislaman tanpa pertumpahan darah. Hal ini pun
tidak membutakan dari peranan sejumlah santri pilihan yang dimandatkan
oleh Sunan Gunung Jati sebagai pendakwah di berbagai daerah yang telah di
bagi perwilayahnya. Seperti halnya di daerah Sumedang yang mendulang
keberhasilan, yang dipimpin oleh Pangeran Santri. 49 Serta kesuksesannya

48
Depdikbud, Kota Dagang Cirebon Dan Kebudayaan RI, Jakarta: 1998, hlm 30- 31.
49
Beliau adalah cucu Pangeran Panjunan nama asliya adalah Pangeran Koesoemadinata I atau Ki
Gedeng Sumedang. Beliau juga adalah penerus Kerajaan Sumedang Larang setelah menikah
dengan Ratu Pucuk Umun .
25

Pangeran Mahadikusumah alias Maharaja Kawali dalam mengislamkan tanah


Kawali (Ciamis Utara).
Dalam kegiatan pengislaman di berbagai daerah yang berlangsung tentu
melalui beberapa jalur penyebaran, antara lain sebagai berikut:
 Cirebon – Kuningan – Talaga – Galuh
 Cirebon – Kadipaten – Majalengka – Darmaraja – Garut
 Cirebon – Sumedang – Bandung
 Cirebon – Talaga – Sagalaherang – Cianjur
Keberhasilan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat di
tanah Sunda dan Cirebon juga tidak lepas dari beberapa metode dakwah yang
digunakan. Ketika masa Sunan Gunung Jati berdakwah, beliau menggunakan
metode struktural dan kultural. Dalam metode ini Sunan Gunung Jati
memiliki peran untuk mengubah kebiasaan atau sebuah budaya (Hindu-
Budha) yang sangat kental di masyarakat Cirebon menjadi bernilai Islamiyah.
1. Metode dakwah Sunan Gunung Jati:
a. Metode Struktural
Dalam metode dakwah ini menjadikan negara sebagai alat yang
strategis sebagai pengantar dakwah. Metode struktural merupakan dakwah
yang memanfaatkan struktur sosial, politik maupun ekonomi untuk
mendakwahkan ajaran Islam. Metode ini pun digunakan oleh para
Walisongo yang pada umumnya digunakan di berbagai wilayah
dakwahnya.
Dalam dakwah Walisongo juga tidak lepas dari latar belakang mereka
sebagai orang terpandang ataupun bangsawan, begitupun Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati terlahir dari keluarga yang terpandang dan
memiliki kelas sosial yang tinggi. Kedudukannya sebagai tumenggung,
keadaan ekonominya yang mapan serta taatnya dalam menjalankan
ibadahnya menjadikan faktor-faktor yang mempengaruhi dakwahnya
dalam mempengaruhi minat masyarakat untuk memeluk agama Islam
dengan cepat.
26

Perkumpulan Walisongo juga menjadi hal yang sangat mendukung


dalam penyebaran Islam. Tidak terlepas dari daerah Cirebon, pengislaman
masyarakat juga menjadi lebih maju dengan diubahnya Negri Cirebon
menjadi Kesultanan Cirebon yang bebas dari penjajahan oleh Sunan
Gunung Jati.

b. Metode Kultural
Sebelum masyarakat memeluk agama Islam, Sunan Gunung Jati sudah
memasukan nila-nilai Islam secara tersirat. Dalam paparan Pak Elang
Haryono, Sunan Gunung Jati mengajarkan empat tingkatan ibadah, yakni
syari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat kedalam bentuk kesenian agar
mudah diterima oleh masyarakat. Kesenian wayang merupakan bentuk
dari Syari’at. Dalam hal ini wayang disimbolkan sebagai manusia dan
dalang sebagai Tuhan semesta alam (Allah Swt). Barong adalah simbol
dari tarekat, topeng disimbolkan sebagai hakekat dan Ronggeng
disimbolkan sebagai ma’refat.
Disisi lain menurut pak Tatang Subandi selaku staf ahli Keraton
Kasepuhan memaparkan bahwa terdapat media yang digunakan Sunan
Gunung Jati dalam berdakwah menggunakan metode kultural. Adapun
media yang digunakan ialah seni wayang, seni tari, dan gamelan sekanten.
Dalam pertunjukan seni ini masyarakat yang ingin menonton diminta
bayaran dengan membaca kalimat syahadat.
Lepas dari media dakwah Sunan Gunung Jati yang menaungi tentang
kesenian, kali ini muncul sebuah tradisi lisan yang diajarkan oleh Sunan
Gunung Jati sebagai media dakwah dalam penyebaran Islam, Pepatah-
pepitih. Pepatah-pepitih merupakan salah satu media yang unik dalam
menyebarkan dakwah Sunan Gunung Jati yang hingga saat ini dijadikan
sebagai budaya turun-menurun. Dalam hal ini Effendi memaparkan
pendapatnya dalam buku yang berjudul Sunan Gunung Jati. Didalamnya
Pepatah-pepitih yang di gunakan oleh Sunan Gunung Jati mengandung
27

unsur ketakwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan, kebijakan, serta


kesopanan dan tatakrama.
Perjuangan Sunan Gunung Jati dalam mengislamkan masyarakat
Cirebon sangatlah berpengaruh besar. Setelah berkhidmat 89 tahun
membangun kerajaan Cirebon yang berdaulat, Sunan Gunung Jati wafat di
usia 120 tahun, pada tanggal 12 bagian terang bulan Badara tahun 1490
Sakta (19 September 1568 Masehi) malam Jum’at kliwon. Jasadnya
dibumikan di Pasir Jati, bagian teratas kompleks makam Gunung
Sembung.
Sunan Gunung Jati memegang tampuk pemerintahan kerajaan
Cirebon kurang lebih 46 tahun (1482-1528). Dalam kurun waktu itu
kerajaan Cirebon berkembang dalam suasana damai dan menjadi Negara
Islam yang makmur. Dengan kata lain, di bawah pemerintahan Sunan
Gunung Jati, kerajaan Cirebon mencapai puncak kejayaan. Kondisi ini
tercermin antara lain dari perkembangan wilayah pusat pemerintahan. Hal
itu terjadi berkat kepemimpinan dan kearifan Sunan Gunung Jati dalam
kedudukan sebagai raja. Salah satu kearifan Sunan Gunung Jati adalah
dengan pemberlakuan pajak. Jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan
sehingga tidak memberatkan rakyat. Pajak itu benar-benar digunakan
untuk mendanai berbagai pembangunan khususnya pembangunan di pusat
kerajaan.
Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati, beliau meninggalkan
beberapa peninggalan yang hingga saat ini masih dilestarikan. Peninggalan
Sunan Gunung Jati yang pertama, yakni Masjid Sang Cipta Rasa yang
masih berdiri kokoh sejak dibangun pada tahun 1480 (versi lainnya 1479).
Dalam pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa tidak lepas dari tangan
Sunan Bonang dan Sunan Kali Jaga dengan arsitek Raden Sepat, arsitek
kerajaan Majapahit. Tidak sampai disitu Sunan Gunung Jati pun
memperluas dan melengkapi Keraton Pakung Wati (tahun 1679 menjadi
keraton Kesepuhan) dengan bangunan-bangunan pelengkap dan tembok
keliling setinggi 2,5 m dengan tebal 80 cm pada areal sekira 20 Hektar.
28

Selanjutnya, peninggalan Sunan Gunung Jati yang kedua berada di


tepi sungai Kriyan, istal kuda kerajaan dan pos penjagaan berupa
pembangungan pangkalan perahu kerajaan lengkap dengan gapura. Dalam
hal ini Sunan Gunung Jati menyempurnakan fasilitas pelayaran di
Pelabuhan Muara Jati seperti Mercusuar dan galangan kapal. 50 Setelahnya
Sunan Gunung Jati pun membuka pelabuhan baru dengan nama Pelabuhan
Talang, yang berlokasi di Pelabuhan Cirebon sekarang. Pelabuhan ini
dekat dengan kediaman raja dan memiliki fasilitas yang menguntungkan
para pedangang di antaranya lahan yang luas untuk membuat gudang-
gudang dan pasar. Hal inilah yang menjadi Pelabuhan Cirebon menjadi
sangat ramai dikunjungi.
Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati tidak ada satupun dari
putranya yang dapat menggantikan kedudukannya di Cirebon. Pangeran
Pasarean telah gugur di Demak pada 1546, Pangeran Jayakelana dan
Pangeran Bratakelana juga telah gugur lebih dahulu dari pada Sunan
Gunung Jati. Putra yang masih hidup adalah Pangeran
Sabakingkin(Pangeran Hasanudin) telah berkuasa di Banten sejak tahun
1522, yang kemudian kedudukannnya ditingkatkan menjadi Sultan Banten.
Demikian pula putra Pangeran Pasarean (Cucu Sunan Gunung Jati),
yaitu Pangeran Swarga bergelar Pangeran Dipati Carbo yang perang
Kerajaan Cirebon, meninggal pada tahun 1565. Oleh karena itu, Fatahillah
terpilih menjadi raja Cirebon menggantikan Sunan Gunung Jati, karena ia
adalah menantu Sunan Gunung Jati dan telah menunjukan kemampuan
serta berjasa dalam menjalankan pemerintahan Cirebon (1546-1568)
mewakili Sunan Gunung Jati. Fatahillah menjadi raja Cirebon kurang lebih
selama dua tahun, karena ia meninggal pada tahun 1570.

50
Sarana ini dibangun khusus untuk kepentingan kapal kerajaan. Pangkalan ini dibangun di tepi
Sungai Kriyan sebelah tenggara Keraton. Untuk kepentingan pelayaran, mercusuar di pelabuhan
Muarajati yang di banging oleh juru labuhan Ki Gedeng Tapa dengan bantuan Laksamana
Chengho, direnovasi dan disempurnakan. Di kawasan pelabuhan Cirebon dibangun bengkel untuk
memperbaiki dan membuat perahu/kapal ukuran cukup besar. Tenaga utama di bengkel itu adalah
beberapa orang Cina ahli membuat perahu jenis jung.
29

C. Cirebon Pasca Sunan Gunung Jati


Seiring berjalannya waktu kesultanan Cirebon yang berkembang,
terdapat beberapa faktor yang menjadikan kesultanan Cirebon jatuh dan
terpecah. Adapun penyebabnya yakini adalah dimulai dari wafatnya
Girilaya (1662 M). Setelah wafatnya Girilaya atau yang ramah dipanggil
dengan gelar Panembahan Ratu II, kesultanan Cirebon mengalami
kekosongan kekuasaan. Pada masa kini kesultanan Cirebon terpecah
menjadi empat bagian yaitu, Kesepuhan, Kanoman, Kaprabonan dan
Kacirebonan.
Perpecahan pertama dimulai dari tahun 1678 dimana Sultan Ageng
Tirtayasa (Sultan Banten) berhasil membebaskan kedua putra Panembahan
Girilaya melalui tangan Raden Trunojoyo51, Sehingga memaksa penguasa
Mataram yang ada di Cirebon, Tumenggung Martadipa menyerah dan
menyutujui syarat syarat yang diajukan oleh Raden Trunojoyo. Penyerahan
tersebut terdiri dari tujuh pasal, yaitu :
1. Cirebon tidak dibebankan kembali membayar upeti kepada
Mataram.
2. Wanita dan anak-anak dilindungi oleh tentara Madura.
3. Rakyat Cirebon akan dipimpin oleh Rajanya sendiri.
4. Tidak adalagi budak yang dikirimkan ke Mataram.
5. Rakyat Cirebon bersekutu dengan Banten dan mengakui Sultan
Banten sebagai Gusti Pelindung.
6. Cirebon di bawah hak-hak Banten.
7. Jika raja Cirebon yang bertempat tinggal di Mataram dan diserang
oleh tentara Madura maka harus memasang janur sebagai pertanda
menyerah. 52

51
Raden Trunojoyo merupakan sosok yang sangat berpengaruh atas bebasnya Cirebon dari
kekuasaan Mataram dan menempatkan Cirebon di bawah Banten. Hal ini menjadi ancaman bagi
kompeni. Beliaulah yang mengangkat Pangeran Martawidjaya (Pangeran Samsudin) sebagai
Sultan Sepuh/Kasepuhanyang pertama. Pangeran Kartawidjaya sebagai Sultan Anom/Kanoman
yang pertama, serta Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan Cirebon.
52
Zaenal Masqudi, Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, hml. 22
30

Dalam perjanjian ini memperlihatkan bahwa Trunojoyo ingin


membebaskan Cirebon dari Mataram dan menempatkan Cirebon di bawah
Banten. Namun langkah yang dilakukan Trunojoyo justru menjadi ancaman
bagi daerah Sumedang yang ada dibawah perlindungan VOC. Hal ini
mengakibatkan konflik antar Sultan-sultan Cirebon dengan Sumedang pada
bulan Juli 1678. Pada bulan September 1680 Jacob van Dijk berangkat ke
Cirebon. Karena ia merupakan komisaris baru VOC untuk wilayah
Cirebon. Ia melakukan upaya perdamaian antara Sultan-sultan Cirebon dan
Sumedang. 53

Tidak hanya sampai pengadu domba antara Cirebon dan Sumedang,


perjanjian tanggal 7 Januari 1681 merupakan ancaman baru bagi Cirebon
atas bertemannya Cirebon dengan VOC. Dalam perjanjiaan itu terangkai
beberapa kesepakan yang telah disetujui oleh dua belah pihak. Hal ini telah
berselang selama tahun 1681, 1685, 1688, dan 1699. Secara otomatis pada
perjanjian pertama 1681 yakni politik dan ekonomi Cirebon dikuasai oleh
VOC.54

Perpecahan Kesultanan Cirebon yang kedua adalah dimulainya ketika


Sultan Anom I 55 meninggal dunia pada tahun 1723. Sultan Anom
Muhammad Chadiruddin dan Raja Adipati Kaprabonan merupakan kedua
putra Sultan Anom I. Sultan Anom Muhammad Chadiruddin merupakan
anak pertama dan sekaligus menggantikan tahta Sultan Anom I. Setelah
wafatnya Sultan Anom II atau Sultan Anom Chadiruddin (1798-1803) tahta
pun diberikan kepada Raja Kanoman. Raja Kanoman merupakan putra dari
Sutan Anom II, ia mendirikan kerajaan baru bernama Kacirebonan. Hal ini
disetujuinya oleh pihak Belanda dengan keluarnya surat keputusan Belanda
yang mengangkat pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Kacirebonan
1807, dengan syarat dibatasinya bahwa putra dan penggantinya tidak berhak

53
Ibid, hml.85
54
Omi Busytoni: 2013, hlm.87-88
55
Nama aslinya adalah Sultan Badrudin beliau adalah anak kedua dari Sultan Abdul Karim
(Pangeran Girilaya atau yang lebih dikenal dengan Panembahan Ratu II)
31

atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Tahta Sultan Anom V 56
dikomandoi oleh Sultan Anum Abu Soleh Imaduddin. Sejak saat adanya
kerajaan Kacirebonan maka di Kesultanan Cirebon menambah satu
kesultanan lagi yaitu pecahan dari Kesultanan Kanoman.

Berikut terpecahnya Kesultanan Cirebon terjadi menjadi dua tahap,


yakni:

1. Perpecahan I (Kesepuhan dan Kanoman)


Setelah wafatnya Girilaya (1662 M), Sultan Ageng Tirtayasa
menobatkan angeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan
Girilaya, sebagai penanggungjawab pihak Banten. Sultan Agung
Tirtayasa bersukutu dengan Raden Trunojoyo dan mengirimkan
tentara untuk membantunya di medan perang melawan Amangkurat
I dari Mataram. Raden Trunojoyo dan Banten memiliki musuh yang
sama yakni, VOC dan Mataram. Dalam hal ini mencerminkan
bahwa lemahnya diplomasi Cirebon yang tidak dapat membebaskan
kedua putra dari Panembahan Girilaya yang masih menjadi tawanan
Mataram. Cirebon pun meminta bantuan kepada Banten yang saat
itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan juga saat itu sedang
bersekutu dengan Raden Trunojoyo.57
Raden Trunojoyo merupakan asli penduduk Madura. Ia
meruakan putra dari Raden Demang Malaya dan bergelar pangeran
Sampang yang saat itu pernah memerintah daerah Madura. Raden
Trunojoyo menyelipkan dendam terhadap Susuhunan Amangkurat

56
Kesultanan Kacirebonan adalah berdiri pada tahun 1808 sebagai hasil perundingan keluarga
besar Kesultanan Kanoman dikarenakan telah bertahtanya Sultan Anom V Pangeran Raja Abu
Soleh Immamudin yang merupakan adik dari Pangeran Raja Kanoman (putera tertua Sultan Anom
IV Pangeran Raja Adipati Muhammad Chaerudin), hasil dari perundingan besar menghasilkan
bahwa Kesultanan Kanoman dibagi menjadi dua, yaitu Kesultanan Kanoman dengan sultannya
Sultan Anom V Pangeran Raja Abu Soleh Immamudin dan Kesultanan Kacirebonan dengan
sultannya adalah Pangeran Raja Kanoman yang diberi gelar Sultan Kacirebonan I Sultan Cerbon
Kacirebonan Amirul Mukminin. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Kanoman). Diambil
pada tanggal 27 agustus 2018, jam 19.30.
57
Raden Trunojoyo adalah seorang bangsawan asal Madura yang pernah melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkutrat II. Beliau adalah anak dari
R. Demang Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo.
32

di Mataram pada tahun 1656 yang membunuh ayah Raden


Trunojoyo. Setelah persekutuannya dengan Raden Kajoran
(Mertuanya), pangeran Dipati Anom (putra mahkota Mataram).
Tidak hanya dengan itu, Raden Trunojoyo bersekutu dengan orang-
orang Makasar yang dipimpin oleh Kraeng Galesong yang
bermukim di Jawa timur dan terakhir Ia bersekutu dengan Sultan
Ageng Tirtayasa dan berhasil menduduki keraton Mataram juga
membebaskan kedua putra dari Panembahan Girilaya yang
dikirimkannya mereka ke Kediri kemudian ke Banten.
Pada tahun 1678 kedua pangeran Cirebon kembali ke Cirebon
dan dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon. Pangeran
Martawijaya sebagai Sultan Sepuh atau Kesepuhan yang juga diberi
gelar pertama Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin.
Kemudian pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom atau
Kanoman yang juga diberi gelar pertamanya sebagai Sultan Anom
Abil Makarini Muhammad Badrudin, dan Pangeran Wangsakerta
diangkat menjadi asisten sultan Sepuh sebagai Panembahan Cirebon
yang diberi gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin
atau Panembahan Tohpati.
Setelah dinobatkannya Sultan Sepuh dan Sultan Anom maka
secara otomatis kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua, yakni
Kesepuhan dan Kanoman.58 Beralihnya kekuasaan Banten kepada
VOC di Cirebon merupakan buah politik adu domba yang di
dalangi VOC kepada Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Haji merasa cemas atas direbutnya tahta oleh saudaranya
yaitu pangeran Arya urbaya. Dengan hal ini Sultan Haji pun
bersekutu dengan VOC untuk merebut kedudukan di Banten dari

58
Keraton Kesepuhan bertempat di keraton Pakungwati, sedangkan keraton Kanoman bertempat
di bekas rumah Pangeran Cakrabuana yang dibangun pada tahun 1675 M.
33

tangan ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. 59 Dalam hal ini


VOC memiiki syarat perjanjian persekutuan keduanya dengan
Sultan Haji. Adapun pejanjian tesebut adalah:
a. Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
b. Monopoli lada di Banten di pegang oleh VOC.
c. Banten harus membayar upeti 600.000 ringgit apabila
ingkar janji.
d. Pasukan Banten yang berada di Pariangan harus ditarik
kembali.

Setiap perjanjian yang dibuat oleh VOC disetujui oleh Sultan


Haji dan berbalik memerangi ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Ageng Tirtayasa dan pengikutnya tertangkap pada tahun
1683 dan dipenjara di Batavia hingga wafat pada tahun 1692 M.

Akhirnya VOC pun mengambil alih atas kekuasaan Banten di


Cirebon. VOC memainakan peranannya menguasai Cirebon dalam
politik dan ekonominya. Dalam hal ini untuk mempermudah
siasatnya VOC mendekati sultan-sultan Cirebon dan membuat
kesepakatan hingga empat kali, yakni pada tanggal 7 Januari 1681,
4 Desember 1685, 8 September 1688, dan 4 Agustus 1699.60

59
Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun 1631. Sejak kecil beliau memiliki banyak nama
namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah.
Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang merupakan sultan Banten dan ibunya
bernama Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan
Gunung Jati dari Cirebon melalui anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan
Gunung Jati merupakan pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan
Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.Beliau diangkat sebagai Sultan Muda
dengan gelar Pangeran Dipati ketika ayahnya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah
atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat
belum belum menjadi sultan sebab kesultanan Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya
Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.

60
Para Sultan di Cirebon benar benar merasakan Demiliterisasi dan Depolitisasi ketika VOC
pertama kalinya menetapkan seorang residen yang berprofesi sebagai pedagang(koopman) yakni
Marteen Samson pada tahun 1685. Kemudian pada tanggal 4 Desember 1685 di tandatangani suatu
perjanjian baru antara Kompeni dengan Cirebon. Serta pada tanggal 8 september 1988 diadakan
kontrak persetujuan kembali antara Kompeni yang diwakili oleh Johanes de Hartog dengan
34

2. Perpecahan II (Kacirebonan dan Kaprabonan)


Setelah wafatnya Sultan Anom I pada tahun 1723, beliau
dikarunia dua putra. Putra pertama menjadi pengganti ayahnya
sebagai Sultan Anom II, Sultan Anom Muhammad Chadiriddin.
Putra keduanya, yaitu Raja Adipati Kaprabonan yang mendirikan
keraton Kaprabonan dengan gelar Rama Guru Pangeran Raja
Adipati Kaprabonan. Keraton Keprabonan adalah tempat belajarnya
para intelektual keraton, dimana beliau meliki cita-cita mendirikan
dengan mengembangkan agama Islam sesuai dengan perjuangan
Waliyullah terdahulu, terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati. Di
keraton ini lahirlah perkembangannya tarekat Syattariyah61 di
lingkungan keraton Cirebon.
Perpindahan tahta dari sultan selanjutnya hingga sultan Anom
IV62 berjalan lancar (1798-1803). Namun, ketika Sultan Anom IV
wafat, putra mahkota yang seharusnya menjadi Raja, Pangeran Raja
Kanoman Anom Madenda diasingkan oleh Belanda karena
dianggap menjadi orang yang pembangkang dan pemberontak.
Setelah kembalinya dari tempat pengasingan, tahta kesutan telah
diberikan kepada Pangeran Abdul Soleh Imaduddin. Kemudian

penguasa-penguasa di Cirebon. Pihak Cirebon di wakili oleh Sultan Sepuh I, Sultan Anom I
Panembahan Cirebon I, dan 12 orang mantri mereka adalah Raksanagara, Raksawinata,
Suradimarta, Aria Raksadipura, Raksadimanggala, Aria Suradimanta, Suradinata, Mantejegara,
Natanagara, Raksamanggala, Lingganata dan Wiratmaka. Serta perjanjian selanjutnya terjadi pada
tanggal 4 Agustus 1699, perjanjian ini pada dasarnya menegaskan perjanjian sebelumnya masalah
utama yang ditegaskan kembali adalah pembagian warisan kedua anak dari Sultan Sepuh I yakni
Dipati Anom dan Aria Wijaya.
61
Tarekat Syattariyah masuk di lingkungan Keraton Cirebon sejalan dengan masuk dan tersebar
agama Islam di tanah Cirebon. Ini dimulai dengan datangnya Syaikh Nurjati atau Syaikh Dzatul
Kahfi yang datang ke tanah Carbon (nama Cirebon zaman dahulu) jauh sebelum Sunan Gunung
Jati. Syaikh Nurjati menyebarkan agama Islam sekaligus mengajarkan ajaran dan amalan
Syattariyah kepada masyarakat Cirebon. Dalam perkembangannya sepeninggal Syekh Nurjati
dilanjutkan oleh Pangeran Cakrabuana hingga ke Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati
mangkat, tongkat kepemimpinan Tarekat Syattariyah terbagi-bagi kepada para putranya namun
masih dalam satu komunitas tunggal yang dipimpin oleh sultan-sultan Keraton Cirebon. Hal
tersebut terus berlangsung sampai pada abad 17. Akan tetapi semenjak terpecahnya Kerajaan
Cirebon menjadi beberapa bagian Tarekat Syattariyyah tidak bisa difokuskan lagi di lingkungan
Keraton hal ini mengakibatkan Adipati Raja Keprabon (puta kedua Sultan Anom II) menyingkir
dan membuat Keraton sendiri yang di fokuskan untuk kegiatan tarekat, Keraton ini kemudian
dikenal dengan Kaprabonan.
35

Pangeran Raja Kanoman ingin memisahkan diri membangun


kesultan sendiri yang diberi nama Keraton Kacirebonan.

Dengan terbaginya Kesultanan Cirebon menjadi Kesepuhan,


Kanoman, dan Kacirebonan tentunya hal ini merubah tatanan
wilayah, akan tetapi tidak ada informasi yang jelas atas pembagian
wilayah tersebut. Melihat situasi saat itu, pembagian wilayah secara
definitif belum dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai