Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.

Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar

matahari yang diterima oleh mata.

Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas

dan kering. Faktor lain yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.

Insidensi pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup tinggi

yakni 13,1%. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia, namun

rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua. Insidensi

tertinggi didapatkan pada usia 20-40.

Selain itu, pterigium menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi

mengganggu penglihatan bahkan berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada

stadium lanjut. Penegakan diagnosis dini pterigium diperlukan agar gangguan

penglihatan tidak semakin memburuk dan dapat dilakukan pencegahan terhadap

komplikasi.
BAB II

Tinjauan pustaka

2.1 Definisi

Menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular

konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya

terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang

meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian

sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron

yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang

berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi (Ilyas,2014).

Gambaran 2.1 Pterigium

2.2 Etiologi

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih

sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang

paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor

lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga

berbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan

kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan

hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya

predisposisi genetik untuk kondisi ini (Ilyas,2014).

2.3 Faktor resiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan

faktor herediter: (Mansdjoer,2012)

1. Radiasi Ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah

paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva

menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu

di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting

2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan

pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat

keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.

3. Faktor Lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea

merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal

defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterigium. Yang
juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis factor“ dan penggunaan

farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah,

dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga

penyebab dari pterygium.

2.4 Patofisiologi

Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan

kolagen dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan akibat

dari kelainan lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik. Konjungtiva

bulbi selalu mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar UV, debu, serta

udara yang kering akibat cuaca panas yang mengakibatkan terjadinya penebalan

dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang berkembang ke kornea. Penebalan

abnormal ini dapat mengenai kedua mata (bilateral) karena kedua mata mempunyai

kemungkinan yang sama untuk kontak dengan faktor-faktor tersebut. Semua

kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal kemudian melalui punctum

lacrimalis dialirkan ke meatus nasi infeirior. Selain itu, daerah nasal juga mendapat

paparan sinar UV yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva

yang lain akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari hidung.

UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal stem

cell yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi,

terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala muncul sebagai

pertumbuhan konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,


kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa terigium merupakan manifestasi dari

defisiensi limbal stem cell interpalpebral terlokalisasi yang diduga akibat paparan

sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah interpalpebral.

Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan

menimbulkan peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi

angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

subepitel fibrovaskuler. Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis dan

proliferasi jaringan granulasi vaskuler di bawah epitel yang akhirnya menembus

kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh

pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan inflamasi ringan. Epitel dapat normal,

tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.

Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi

epitel pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada

puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami

degenerasi hialin dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi

sebagai jaringan granulasi yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini

menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea

bagian atas. Histopatologi dari kolagen pada daerah yang mengalami degenerasi

elastis menunjukkan basophilia dengan pengecatan hematoxylin dan eosin (HE)

(Fisher,2013,Ilyas,2014).
Gambar2.2. Histopatologi Pterigium

2.5 Klasifikasi

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang

tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis

menurut Youngson) :

 Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

 Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari

2 mm melewati kornea

 Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4

mm)

 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.
Gambar 2.3 Pterigium Grade 1 - 4

2.6 Gejala klinis

Pterigium biasanya terjadi secara bilateral, karena kedua mata mempunyai

kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan.

Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif

mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva

yang lain

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang

meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi

dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel

kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line).

1 Anamnesa

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa

keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien

antara lain: (Mansjoer,2012)

 Mata sering berair dan tampak merah

 Merasa seperti ada benda asing

 Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium


 Pada pterigium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan

 Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

2 Pemeriksaan Fisik

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera)

pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera

dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan

peradangan. Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

 Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah

kantus

 Apex (head), bagian atas pterygium

 Cap, bagian belakang pterygium

A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas

pinggir pterygium.

2.7 Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau

kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin

telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada

akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan

dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih

kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan berlebihan

terhadap sinar matahari atau partikel debu (Ilyas,2014).


Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh.

Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium

tersebut.

2.8 Tatalaksana

1 Medikamentosa

Pada pterigium yang ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium derajat

1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata

kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan

juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita

dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.

2 Bedah

Pembedahan dilakukan ada pterygium derajat 3-4 karena mengalami

penurunan penglihatan.

2.9 Komplikasi

- Gangguan penglihatan

- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan sentral

berkurang

- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia

- Dry Eye sindrom

- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium


Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.

Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini

bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau

transplant membran amnion pada saat eksisi

2.10 Prognosis

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau

beta radiasi(Ilyas,2014).
BAB III

Laporan kasus

3.1 ANAMNESIS

1. Identittas pasien

Nama : Tn. I

Usia : 25 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat tanggal lahir :

Pekerjaan : Sales keliling

Status : Menikah

Alamat :

Pendidikan : Sarjana

Agama :

Tanggal kunjungan RS :

2. Keluhan utama

Terdapat selaput tumbuh pada mata kiri .

3. Riwayat penyakit sekarang

Selaput tumbuh pada mata kiri sejak 1 tahun yang lalu. Mata terasa ngeres

dan sering merah.

4. Riwayat penyaki dahulu

Tidak ada
5. Riwayat terapi

Tetes insto

6. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

7. Life style

3.2 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : baik

Kesadaran : Compos mentis

GCS : 456

Status gizi : baik

TB : 162 cm

BB : 58 kg

Tanda vital : TD : 130/90mmHg

Nadi : 88x/menit

Suhu : 36,8 °C

Pernafasan : 12x/menit

Kulit : turgor kulit baik, sianosis (-), ikterik (-)

Kepala : bentuk normal, rambut tidak mudah dicabut

Hidung : bentuk normal, nafas cuping hidung (-), secret(-)

Mulut : bibir sianosis (-)


Telinga : bentuk normal, secret (-)

Tenggorok : uvula ditengah, tonsil hiperemis (-), T1-T1, faring hiperemis (-)

Leher : trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar, JVP

normal

Thorax : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri

Cor

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Palpasi : iktus kordis teraba

Perkusi : batas jantung kanan parasteral line sinistra

Auskultasi: reguler, bising (-)

Pulmo

Inspeksi : pengembangan dada kanan dan kiri normal

Palpasi : fremitus raba kanan dan kiri normal

Perkusi : sonor di semua lapang paru

Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

Inspeksi : soefl, flat, meteorismus (-)

Auskultasi: peristaltik normal BU 3-6x/menit

Perkusi : tympani

Palpasi : nyeri tekan (-), hepar teraba (-), lien teraba (-)
Urogenital : dalam batas normal

Ekstremitas : simetris, hangat, Sianosis(-) , Oedem (-)

I. STATUS LOKALIS PERIKSAAN OFTALMOLOGIS

Pemeriksaan dengan head loupe dan senter + oftalmoskop direk

5/20 Ccr C–1.00 x 90 -> AV 5/5

5/7.5

20 mmHg TIO 20 mmHg

Kedudukan

Orthoforia

Pergerakan

Edema – spasme - P Tenang

Jaringan fibrovascular CB Tenang

berbentuk sayap dengan

apex dikornea

Apex jaringan C Jernih

fibrovascular 1 mm dari

tepi limbus

Dalam COA Dalam

Bulat, sentral, refleks I/P Bulat, sentral, refleks

cahaya + cahaya +
Jernih L Jernih

Jernih V Jernih

Papil bulat, batas tegas, F Papil bulat, batas tegas,

CDR 0,3 aa/vv 2/3 RM + CDR 0,3 aa/vv 2/3 RM +

retina baik retina baik

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan

III. Diagnosa Kerja

OS Pterigiun grade II

IV. Diagnosa banding

1) OS Pinguekula
2) OS Pseudopterigium
V. Tatalakana

Cendo lyteers 6 x 1 tetes OS


Bralifex 6 x 1 tetes OS

Date Subyektif Obyektif Assesment Planning

03/05/ Tn. I usia 25 BB 58 kg Wdx: Pemeriksaan

2018 tahun Terdapat OS Pterigiun grade II :-


TB:162 cm
selaput tumbuh Tx:
Ddx:
TD:130/90
pada mata kiri Cendo lyteers
1) OS Pinguekula
mmHg 6 x 1 tetes OS
.Selaput tumbuh 2) OS

pada mata kiri N: 88x/mnt Pseudopterigium


Bralifex 6 x

sejak 1 tahun RR:12x/mnt 1 tetes OS

yang lalu. Mata Tax:36,8°C

terasa ngeres dan

sering merah.

Riwayat

pengobatan

diberi tetes insto


BAB IV

Pembahasan

4.1 Diagnosa Pterigium

Seorang laik-laki bernamaTn. I datang usia 25 tahun Terdapat selaput tumbuh

pada mata kiri .Selaput tumbuh pada mata kiri sejak 1 tahun yang lalu. Mata terasa

ngeres dan sering merah. Riwayat pengobatan diberi tetes insto.

Berdasarkan pemeriksaan oftalmologis didapatkan Jaringan fibrovascular

berbentuk sayap dengan apex dikornea Apex jaringan fibrovascular 1 mm dari tepi

limbus .berdasarkan klasifikasi derajat pterygium tergolong grade II karena karena

jaringan fibrovascular melewati limbus <2mm. Setelah Diagnosa ditegakkan Tn.I

ditatalaksana dengan obat


BAB V

Penutup

5.1 Kesimpulan

Pterigium merupakan salah satu kelainan pada mata yang sering terjadi di
Indonesia. Hal ini di karenakan oleh letak geografis Indonesia yang berada di
sekitar garis ekuator sehingga mendapatkan paparan sinar UV yang diduga
merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Anda mungkin juga menyukai