BAB 1
PENDAHULUAN
Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi penyakit gagal
ginjal kronik terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus
(23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).6
Selain itu, beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit ginjal kronik diantaranya adalah pertambahan usia, adanya riwayat
keluarga penyakit ginjal kronik, obesitas, penyakit kardiovaskular, berat lahir
rendah, penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, keracunan obat,
infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih dan penyakit ginjal
bawaan.5-7
Penyakit ginjal kronik tidak hanya akan menyebabkan gagal ginjal, tetapi
juga menyebabkan komplikasi kardiovaskular, keracunan obat, infeksi, gangguan
kognitif dan gangguan metabolik dan endokrin seperti anemia, renal osteodistrofi,
osteitis fibrosa cysta dan osteomalasia.1,2,8
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pembuluh darah pada ginjal dimulai dari arteri renalis sinistra yang
membawa darah dengan kandungan tinggi CO2 masuk ke ginjal melalui hilum
renalis. Secara khas, di dekat hilum renalis masing-masing arteri menjadi lima
cabang arteri segmentalis yang melintas ke segmenta renalis. Beberapa vena
menyatukan darah dari ren dan bersatu membentuk pola yang berbeda-beda, untuk
membentuk vena renalis. Vena renalis terletak ventral terhadap arteri renalis, dan
vena renalis sinistra lebih panjang, melintas ventral terhadap aorta. Masing-
masing vena renalis bermuara ke vena cava inferior.9
Arteri lobaris merupakan arteri yang berasal dari arteri segmentalis dimana
masing-masing arteri lobaris berada pada setiap piramis renalis. Selanjutnya, arteri
ini bercabang menjadi 2 atau 3 arteri interlobaris yang berjalan menuju korteks di
antara piramis renalis.Pada perbatasan korteks dan medula renalis, arteri
interlobaris bercabang menjadi arteri arkuata yang kemudian menyusuri
lengkungan piramis renalis. Arteri arkuata mempercabangkan arteri interlobularis
yang kemudian menjadi arteriol aferen.9
2.2 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal. Diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju glomerulus kurang dari 60 ml.menit.1,73 m2,
seperti pada tabel berikut:12
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73 m2 selama > 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
2.3 Epidemiologi
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami
peningkatan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk
dunia mengalami PGK dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti
ginjal. Menurut United State Renal Data System di Amerika Serikat prevalensi
penyakit ginjal kronis meningkat 20-25% setiap tahun. WHO memperkirakan di
Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal pada tahun 1995-2025
sebesar 41,4% dan menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan
terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya.2,4
2.4 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak yaitu
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%). Penyebab lain dari gagal ginjal kronis adalah adanya sumbatan
pada saluran kemih (batu, tumor, penyempitan/striktur), kelainan autoimun,
misalnya lupus eritematosus sistemik serta adanya penyakit kanker.13,14
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer
apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.
10
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal Universitas
Sumatera Utara lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa.15
2.5 Patofisiologi
Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang kepada
jumlah akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil penyebab
kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal mempunyai upaya
untuk terus mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi dan mekanisme
kompensasi kerja yaitu hipertrofi pada nefron yang masih berfungsi. Upaya ginjal
ini dapat meneruskan fungsi normal ginjal untuk mensekresi bahan buangan
seperti urea dan kreatinin sehingga bahan tersebut meningkat dalam plasma darah
hanya setelah LFG menurun pada tahap 50% dari yang normal. Kadar kretinin
plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%. Walaupun kadar normalnya
adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia menunjukkan penurunan fungsi nefron
telah menurun sebanyak 50%.15
Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan
hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal
yang progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada
kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari
tersebut dan menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis
segmental dan fokal.15 Antara faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan
jaringan ginjal yang bersifat progresif adalah :
Hipertensi sistemik
Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
Proteinuria
Hiperlipidemia
Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir
metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam
darah. Ini menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita.
12
Semakin banyak timbunan produk bahan buangan, semakin berat gejala yang
terjadi. Penurunan jumlah glomerulus yang normal menyebabkan penurunan
kadar pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.15
Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan
kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan
gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
dan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.15
Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi
fungsi kerja otak, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu Blood Urea Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan
secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan
cairan tertahan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita
akan menjadi sesak nafas, akibat ketidak seimbangan asupan zat oksigen dengan
kebutuhan tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan
asites. Hal ini menimbulkan risiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,
sehingga perlu diperhatikan keseimbangan cairannya.15
Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi asidosis metabolik akibat ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Juga terjadi penurunan
produksi hormon eritropoetin yang mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya
filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan
penurunan kadar serum kalsium. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan
gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein
dalam urin, dan adanya hipertensi.15
2.6 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik dibagi berdasarkan derajat dan etiologi.16
1. Klasifikasi berdasarkan derajat dibuat berdasarkan LFG yang dihitung dengan
menggunakan rumus:16
(140−𝐵𝐵)
LFG: LFG = 72𝑋 𝐾𝑅𝐸𝐴𝑇𝐼𝑁𝐼𝑁 𝑃𝐿𝐴𝑆𝑀𝐴 (𝑚𝑔/𝑑𝑙)
13
Penyakit recurrent(glomenular)
Transplant glomerulopathy
Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien gagal ginjal
kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg % atau
penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.1,2,5,7
Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien pe-
15
nyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan
saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan
retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering
dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien
penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
tertier.1,2,5,7
Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost.1,2,5,7
Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi.
Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching
sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian
terjun menjadi koma.1,2,5,7
16
Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi
mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal
jantung.1,2,5,7
Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang
peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem reninangiotensin-
aldosteron, penurunan zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf
simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan
hipokalsemia. Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume
plasma (VP) dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan
mempertinggi tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac
output pressure (COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol
(capacitance) dan pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat.
Kenaikan tonus vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik
(feed-back mechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas
normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan. Sinus karotis
mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang mengatur tekanan darah pada
manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan normal oleh
sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia, mekanisme
penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi untuk mengatur tekanan darah
karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol.1,2,5,7
2. Gambaran Laboratorium16
a. Sesuai penyakit yang mendasari
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum kreatinin serum,
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus kockcroft-Gault.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan Hb, peningkatan kadar
asam urat, hiper/hipokalemia, hiponatremia, hiper/hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia,asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis seperti: proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.
3. Gambaran Radiologis16
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis CKD
danmemberikan petujuk kearah penyebab CKD yaitu:
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering
dilakukankarena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG
merupakanmodalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif.
MeskipunUSG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa,
tetapi USGdapat digunakan untuk memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
membedakan kista jinak dengan tumor solid, kalsifikasi, jugasering
digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
18
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksipada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif
untukmengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari
padapasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal
ginjalakut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan
CTtetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya
untukmendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance
angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri
renalis,meskipun arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan
denganmenggunakan radioisotope scanning 99m-technetium
dimercaptosuccinicacid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan
intravenouspyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan
diagnosisstandar untuk mendeteksi nefropati refluks.
Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan denganpemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik
untukmendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius.
Pemeriksaanini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan
gagal ginjalmeskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya
hidronefrosis.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menerapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang diberikan.
19
2.10 Penatalaksanaan
Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai
dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum.16,19
ginjal (dialisis).
Penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain adalah sebagai berikut :
a) Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi serta
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 20–30%
dari normal terapi dari penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.16,19
b) Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radio
kontras, atau peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan
elektrolit pada penyakit CKD sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk
mencegah terjadinya edema dankomplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan
diatur seimbang antara masukan dan pengeluaran urin serta Insesible Water
Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai dengan luas
tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam asupannya adalah natrium dan
kalium. Pembatasankalium dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan makanan yang
mengandung kalium (sayuran dan buah) harus dibatasi dalam jumlah 3,5- 5,5
mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan tekanan darah dan
adanya edema.16,19
22
2.11 Komplikasi
Menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) berhubungan erat dengan
kejadian komplikasi pada sistem organ tubuh. Semakin menurun LFG maka
semakin berat juga komplikasi yang terjadi. Komplikasi yang terjadi pada pasien
penyakit ginjal kronis antara lain:5,7,8
24
Anemia
Anemia adalah kondisi kekurangan sel darah merah. Anemia dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan hemoglobin berdasarkan jenis kelamin, yaitu pada laki-laki
apabila dibawah 13,5 gr/dL dan pada perempuan apabila dibawah 12 gr/dL.
Sebanyak 50% pasien penyakit ginjal kronis mengalami anemia. Anemia dapat
terjadi pada setiap tingkat penyakit ginjal kronis dan mempunyai hubungan yang
erat dengan keparahan penyakit ginjal tersebut. Anemia dapat terjadi karena
kekurangan zat besi, asam folat, dan vitamin B12 tetapi etiologi yang paling
berperan adalah karena menurunnya sintesis eritropoietin. Eritropoietin adalah
glikoprotein yang disekresikan di ginjal yang berfungsi untuk merangsang
pertumbuhan dan diferensiasi sel darah merah di sum-sum tulang.5,7,8
Penyakit jantung
Penyakit jantung dapat menjadi penyebab sekaligus komplikasi dari penyakit gin-
25
jal kronis. Kejadian komplikasi ini sering dikaitkan dengan hiperfosfatemia dan
hiperkalsemia yang menyebabkan kalsifikasi vaskular. Komplikasi pada jantung
sering kali berkembang menjadi gagal jantung kongestif.5,7,8
Dislipidemia
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular dan komplikasi ini paling sering dijumpai pada pasien penyakit
ginjal kronis. Umumnya, peningkatan hiperlipidemia, hipertrigliseridemia, dan
LDL kolestrol sejalan dengan penurunan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan oleh
penurunan aktivitas lipoprotein lipase dan trigliserida lipase. Beberapa penelitian
mendapat bahwa kondisi hiperparatiroid juga dapat meningkatan keparahan
dislipidemia.5,7,8
Gangguan nutrisi
Pasien penyakit ginjal kronis memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda dan adanya
gangguan metabolisme protein, air, garam, dan potasium. Perubahan ini dapat
menyebabkan penghasilan energi yang tidak efektif walaupun dengan asupan
protein dan karbohidrat yang cukup.5,7,8
2.12 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD) umumnya mengalami
penurunan progresif fungsi ginjal dan beresiko untuk menjadi penyakit ginjal
stadium akhir (ESRD). Perkembangan penyakit tergantung pada usia, diagnosis
penyakit awal, keberhasilan pelaksanaan langkah-langkah pencegahan sekunder,
dan masing-masing pasien. Inisiasi yang cepat untuk terapi pengganti ginjal
kronis adalah penting untuk mencegah komplikasi CKD uremik yang dapat
menyebabkan morbiditas dan kematian.20
Tangri et al melakukan penelitian terhadap pasien dewasa yang
menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan dari
CKD (tahap 3-5) menjadi gagal ginjal. Mereka melaporkan bahwa rendahnya
perkiraan laju filtrasi glomerulus (GFR), albuminuria tinggi, usia yang lebih
26
muda, dan jenis kelamin laki-laki menunjuk ke pengembangan yang lebih cepat
dari gagal ginjal. Juga, serum albumin, kalsium, dan tingkat bikarbonat rendah
dan tingkat serum fosfat tinggi ditemukan untuk memprediksi peningkatan risiko
gagal ginjal.20
Tingkat kematian yang terkait dengan CKD sangat mencolok. Setelah
penyesuaian untuk usia, jenis kelamin, ras, komorbiditas, dan perawatan rumah
sakit sebelumnya, angka kematian pada pasien dengan CKD pada tahun 2009
adalah 56% lebih besar dibandingkan pada pasien tanpa CKD. Untuk pasien
dengan stadium 4-5 CKD, angka kematian diperkirakan adalah 76% lebih besar.
Tingkat kematian secara konsisten lebih tinggi untuk laki-laki daripada
perempuan, dan bagi orang-orang kulit hitam dibandingkan orang kulit putih dan
pasien dari ras lain. Untuk pasien Medicare CKD berusia 66 tahun dan lebih tua,
kematian per 1.000 pasien-tahun pada tahun 2009 adalah 75 untuk pasien putih
dan 83 pasien kulit hitam.20
Angka kematian tertinggi adalah pada 6 bulan pertama dimulai dialisis.
Kematian kemudian cenderung untuk meningka selama 6 bulan berikutnya,
sebelum meningkat secara bertahap selama 4 tahun ke depan. Tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien yang menjalani dialisis jangka panjang
di Amerika Serikat adalah sekitar 35%, dan sekitar 25% pada pasien dengan
diabetes.20
27
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP
Nomor RM : 00.69.14.14
Tanggal Masuk Dokter Ruangan : dr. Fuji
: 10 November2016
ANAMNESA PRIBADI
Nama : BONAR MARPAUNG
Umur : 25 TAHUN
Jenis Kelamin : PRIA
Status Perkawinan : SUDAH MENIKAH
Pekerjaan : WIRASWASTA
Suku : BATAK
Agama : KRISTEN
Alamat : KISARAN
28
ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Muka pucat
Telaah : Hal ini telah dialami os sejak ± 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan ini terjadi perlahan-lahan dan tidak
disadari os, disertai badan lemas yang memberat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Riwayat perdarahan tidak
dijumpai. Riwayat mual dan muntah dijumpai. Isi muntah
adalah apa yang dimakan dan diminum. Riwayat muntah
darah tidak dijumpai. Riwayat batuk, demam dan sesak
napas tidak dijumpai. Terjadi penurunan pada volume air
seni pada os, yaitu sekitar 400 cc per hari. Riwayat nyeri
pada pinggang tidak dijumpai. Riwayat nyeri berkemih,
kencing berpasir, kencing berwarna merah tidak dijumpai.
Buang air besar normal. Riwayat BAB hitam atau berdarah
tidak dijumpai. Riwayat kaki bengkak dijumpai 3 minggu
SMRS. Akan tetapi, sekarang tidak dijumpai kaki bengkak
pada os. Riwayat nyeri sendi tidak dijumpai. Riwayat
tekanan darah tinggi dijumpai sejak 1 bulan yang lalu. Os
tidak mengkonsumsi obat anti hipertensi. Riwayat sakit
gula tidak dijumpai.
ANAMNESIS ORGAN
Lain-lain :-
Haid :- Lain-lain :-
Polifagi :- Lain-lain :-
Lain-lain :-
Lain-lain :-
Temperatur : 36,5oC
Keadaan gizi :
= 87 %
IMT : BB / (TB)2
: 60 / (1,69)2
: 21 normoweight
31
KEPALA
Mata : Konjungtiva palp. inf. pucat (+/+), ikterus (-/-), pupil isokor,
ukuran 3 mm, reflex cahaya direk (+/+) / indirek (+/+), kesan:
Anemis
Lain-lain :-
LEHER
Pembesaran kelenjar limfa (-), lokasi (-), jumlah (-), konsistensi (-),mobilitas (-),
nyeri tekan (-)
THORAKS DEPAN
Inspeksi
Palpasi
Nyeri tekan :-
Perkusi
Paru
Peranjakan : 1 cm
Auskultasi
Paru
Suara tambahan :-
Jantung
M1>M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1, desah sistolis (-), desah diastolis (-), lain-lain(-),
THORAX BELAKANG
Perkusi : Sonor
Auskultasi : SP :Vesikuler
ST : -
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : Simetris
Gerakan Lambung/usus :-
Vena kolateral :-
Caput medusa :-
Palpasi
HATI
Pembesaran :-
Permukaan :-
Pinggir :-
Nyeri Tekan :-
LIMFA
GINJAL
34
UTERUS/OVARIUM : (-)
TUMOR : (-)
Perkusi
Pekak hati :-
Pekak beralih :-
Undulasi :-
Auskultasi
Lain-lain :-
PINGGANG :-
Deformitas sendi :-
Lokasi :-
Jari tabuh :-
Sianosis :-
Eritma Palmaris :-
Lain-lain :-
Edema - -
Arteri femoralis + +
Reflex KPR + +
Refleks APR + +
Refleks Fisiologis + +
Refleks Patologis - -
Lain-lain - -
36
Kalium: 5.1
Osmolaritas :
298.35mOsm/L
Ureum : 268
Kreatinin : 24.37
RESUME
Telaah :
Nadi : 92 x/i
Pernafasan : 20 x/i
Temperatur : 36,5oC
Pemeriksaan Fisik
ikterus (-/-)
Thoraks :
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : sonor, batas paru hati Relatif ICS V /
Absolut VI
Auskultasi : SP vesikuler, ST (-)
Abdomen :
Inspeksi : simetris
Palpasi : Soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi : timpani (+),
Auskultasi : normoperistaltik
Medikamentosa :
- Captopril 2 x 25 mg
- Domperidone 3 x 1 mg
5. Renal Function Test 11. Anemia Profile (SI, TI, BC, Serum
ferritin, Reticulosit count, MDT)
Tanggal S O A P
11/11/16 Lemas (+), Sens: CM - CKD stage V ec. - Tirah baring
07.00 Mual (+), TD : 140/90 mmHg GNC dd PNC - Diet ginjal 1800
WIB muntah (+) HR : 78 x/i - Anemia ec. kkal, 36 gr
RR : 23 x/i penyakit kronis protein
Temp : 36,5oC - Hiponatremi - IVFD NaCl
UOP : 400 cc/24 jam Normo- 0.9% 10 gtt/I
Balance cairan : -250 cc osmolaritas (120) (mikro)
Mata : Conj. Anemis - Hipertensi stg I - Captopril 2x25
(+/+), sklera ikterik (-/-) - Trombositopeni mg
Leher : TVJ R-2 cm - Domperidone
H2O, pembesaran KGB 3x1
(-)
Thorax : R/ - USG Ginjal
SP : vesikuler dan saluran kemih
ST : - - Urinalisa
Abdomen : Soepel (+), - Feces rutin
H/L/R tidak teraba, - Funduskopi
peristaltik (+) normal - Anemia profil
Ekstremitas : edema (-/-) - Rencana HD
80.10/12.10/6.00/1.50/0.
30
GDS : 113 mg/dL
Natrium : 120 mEq/L
Koreksi Natrium :
(135-120) x 0.6 x 60 =
540 mEq
NaCl 0.9% 3.5 fl
Osmolaritas :
2 (120 + 5.1) + 113/18 +
268/6.4 = 298.35
mOsm/L
Fungsi Ginjal
BUN : 125 mg/ dL
Ureum : 268 mg/ dL
Kreatinin : 24.37 mg/ dL
14/11/16 Lemas (+), Sens: CM - CKD stage V ec. - Tirah baring
06.00 muka pucat TD : 120/80 mmHg GNC - Diet ginjal 1800
WIB (+) HR : 80x/i - Anemia ec. kkal, 36 gr
RR : 20 x/i Penyakit kronis protein
Temp : 37,1oC - Hipertensi - IVFD NaCl
UOP : 400 cc/24 jam terkontrol 0.9% 10 gtt/I
Balance cairan : - 200cc - Trombositopenia (mikro)
Mata : Conj. Anemis - Hiponatremia - Captopril 2x25
(+/+), sclera ikterik (-/-) normo- mg
Leher : TVJ R-2 cm H2O osmolaritas
Thorax : R/ - USG Ginjal
SP : vesikuler - Rencana HD
ST : - - Balance cairan
Abdomen : Soepel (+), - RFT ulang,
42
Urinalisa (11/11/16)
Warna : kuning jernih
Glukosa : -
Bilirubin : -
Keton : -
Berat jenis : 1.006
pH : 5.5
Protein : +2
Nitrit : -
Leukosit : +
Darah : +
Sedimen urin :
Eri/Leu/Epi/Cast :
31.5/37.4/4.6/0.67
Kristal : 0.0 LPB
Bakteri : 11.8
Path Cast : 0.67 LPB
medulla hiperekoik.
Kesimpulan : contracted
kidney bilateral.
15/11/16 Lemas (+) Sens: CM - CKD stage V ec. - Tirah baring
06.30 TD : 120/70 mmHg GNC - Diet ginjal 1800
WIB HR : 88x/i - Anemia ec. kkal + 36 gram
RR : 20 x/i Penyakit kronik protein
Temp : 35,9oC - Hiponatremi - IVFD NaCl 0.9%
UOP : 300 cc/24 jam normo- 10 gtt/i mikro
Balance Cairan : -250 cc osmolaritas (123) - Captopril 2x25
Mata : Conj. Anemis - Hipertensi mg
(+/+), sclera ikterik (-/-) terkontrol
Leher : TVJ R-2 cm H2O
Thorax :
SP : Vesikuler
ST : -
Abdomen : Peristaltik (+)
normal
Ekstremitas : Oedem
sup/inf (-/-)
Osmolaritas :
2 (123 + 5.1) + 120/18 +
270/6.4 = 305 mOsm/L
Fungsi Ginjal:
BUN : 126
Ureum : 270
Kreatinin : 26.56
GFR = 3.6 mL/min
HbsAg : Non-reaktif
Anti HCV : Non-reaktif
Anti HIV (Rapid I) :
Non-reaktif
45
BAB 4
DISKUSI KASUS
NO TEORI KASUS
1. Definisi Pada pasien didapati laju filtrasi
Gagal ginjal kronik adalah glomerulus sebesar 3,93 ml / menit
kerusakan ginjal yang terjadi / 1,73 m2. Didapati juga adanya
selama lebih dari 3 bulan, eritrosit dan protein pada urin:
berdasarkan kelainan patologis kesan hematuria mikroskopis dan
atau petanda kerusakan ginjal proteinuria.
seperti proteinuria. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal, diagnosis
penyakit ginjal kronik ditegakkan
jika nilai laju glomerulus kurang
dari 60 ml / menit / 1,73 m2.
2. Etiologi Pada pasien etiologi dari gagal
Dari data yang sampai saat ini ginjal kronisnya adalah
dapat dikumpulkan oleh glomerulonefritis kronis.
Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007 - 2008
didapatkan urutan etiologi
terbanyak yaitu glomerulonefritis
(25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%). Penyebab lain
dari gagal ginjal kronis adalah
adanya sumbatan pada saluran
kemih (batu, tumor, penyempitan
/ striktur), kelainan autoimun,
misalnya lupus eritematosus
46
berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
52
BAB 5
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
13. Brenner, B. M., dan Lazarus, J. M. 2012. Gagal Ginjal Kronik dalam Prinsip-
Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison Edisi 13. Jakarta: EGC. Hal: 1435-143
14. Roesli, R., 2008. Hipertensi, diabetes dan gagal ginjal di Indonesia. Dalam:
Lubis, H.R., et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. USU Press, Medan: 95-
108.
15. Bash LD, Erlinger TP, Coresh J, Marsh-Manzi J, Folsom AR, Astor BC.
Inflammation, hemostasis, and the risk of kidney function decline in the
Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study. Am J Kidney Dis. 2009
Apr. 53(4):596-605.
16. Clinical Practice Guidelines For Chronic Kidney Disease : Evaluation,
Classification and Stratification. 2002. New York National Kidney
Foundation.
17. National Kidney Foundation. KDIGO. Acute Kidney Injury Guidlines. Final
Version, 8 March 2011
18. Referensi : Kelly, C.L., Neilson, E.G. 2004. Tubulointerstitial disease.
Philadhelpia : 1483-1511
19. Goodman, W.G. 2002. Medical Management of Secondary
Hyperparathyroidism In Chronic Renal Failure. Nephrol Dial Transplant
20. Wald R, Yan AT, Perl J, et al. Regression of left ventricular mass following
conversion from conventional hemodialysis to thrice weekly in-centnocturnal
hemodialysis. BMC Nephrol. 2012 Jan 19. 13(1):3.